Senin, 25 Maret 2013

MODEL PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS PLURALISME

I.              PENDAHULUAN
Dewasa ini wacana pluralisme agama menjadi wacana yang mulai digembar-gemborkan kembali, terutama di Indonesia. Hal ini tidak terleplas seiring munculnya berbagai kekerasan yang mengatasnamakan agama. Agama dipandang sebagai sumber pemicu konflik antar umat beragama itu sendiri. Konflik semacam itu sangat mungkin terjadi bahkan intensitasnya bisa lebih tinggi jika melihat konteks Indonesia yang multi agama dan dari masing-masing agama mengajarkan bahwa dirinyalah yang paling benar sedangkan yang lain salah. Karena itulah konflik yang mengatasnamakan agama di Indonesia tergolong permasalahan yang rawan terjadi sehingga perlu adanya ajaran tentang Pluralitas Agama.[1]
Dan salah solusi yang ditawarkan pemerintah adalah pendidikan agama yang berbasis pluralime atau diinteralisasikan dengan mata pelajaran lain seperti dengan mata pelajaran PKN. Selanjutnya tentang Pendidikan Islam Berbasis Pluralisme akan kita bahas pada point selanjutnya.

II.           RUMUSAN MASALAH

A.       Pengertian Pendidikan Agama Islam dan Seluk Beluknya
B.       Pengertian dan Sejarah Pluralisme Agama
C.       Tujuan Pluralisme Agama
D.       Penerapan Pendidikan Islam Berbasis Pluralisme


III.        PEMBAHASAN
A.  Pengertian pendidikan Islam dan Seluk beluknya
Pendidikan dalam wacana keIslaman lebih populer dengan istilah tarbiyah, ta’lim, ta’dib, dan riyadhah. Masing-masing istilah tersebut memiliki keunikan makna tersendiri ketika sebagian atau semuanya disebut secara bersamaan.[2]
1.    Al-tarbiyah, tokoh yang mengajukan istilah ini adalah Muhammad Athiyah al-Abrasyi. Menurutnya, istilah al-tabiyah mencakup keseluruhan aktifitas pendidikan, sebab didalamnya tercakup upaya mempersiapkan individu untuk kehidupan lebih sempurna, mencapai kebahagiaan hidup, memperkuat fisik, menyempurnakan etika, sistematisasi logika berfikir, giat dalam berkreasi. Menurutnya al-ta’lim hanya mencakup aspek tarbiyah aqliyah (pendidikan intelektual dan ranah kognisi atau kognitif).
2.    Al-ta’lim, tokoh yang mengajukan istilah ini adalah ‘Abd Fatah jalal. Menurutnya ta’lim merupakan proses transmisi pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga terjadi penyucian diri manusia dari segala kotoran serta menjadikan manusia berada dalam suatu kondisi yang memungkinkan untuk menerima hikmah (Wisdom).
3.    Al-ta’dhib, tokohnya adalah  Muhammad Al-naqwib al-attas. Menurutnta istilah ta’dhib paling cocok digunakan untuk peristilahan pendidikan Islam karena konsep ta’dhib mencerminkan tujuan esensial pendidikan Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
4.    Al-riyadhah, tokonya adalah Abu Hamid Muhammad al-Ghazali. Berdasarkan uraiannya sendiri al-Ghazali membatasi ruang lingkup ar-riyadhah pada fase kanan-kanak.
Sedangkan secara istilah pendidikan agama Islam adalah proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhitrat.[3]     
Selanjutnya menurut Kurshid Ahmad, yang dikutip Ramayulis, fungsi pendidikan Islam adalah 1). Alat untuk memelihara, memperluas, dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan bangsa. 2). Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan perkembangan yang secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan, perubahan sosial dan ekonomi.[4]
B.  Pengertian dan Sejarah Pluralisme Agama
1.    Pengertian Pluralisme Agama
Secara etimologis, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa Arab diterjemahkan al-ta’addudiyah al-diniyyah dan dalam bahasa Inggris religious pluralism. Oleh karena istilah pluralisme agama ini berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti “jama’” atau lebih dari satu.[5]
Sedang Pluralisme agama menurut fatwa MUI adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.[6]
Dan pengertian pendidikan pluralisme menurut Frans Magnez Suseno adalah suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok batas atau tradisi budaya dan agama kita sehingga kita mampu melihat “kemanusian” sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan.[7]
2.         Sejarah Perkembangan Pluralisme Agama
Sejarah berkembangnya pluralisme agama mulai hangat diperbincangkan ketika beberapa sekte Kristen ternyata masih mengalami perlakuan diskriminatif dari gereja, sebagaimana yang dialami sekte mormon yang tetap tidak diakui oleh gereja karena dianggap gerakan heterodox, sampai akhir abad ke sembilan belas ketika muncul protes keras dari presiden Amerika Serikat Grover Cleveland (1837-1908). Begitu juga, doktrin “di luar gereja tidak ada keselamatan” juga tetap dipegang teguh oleh Gereja Katolik, hingga dilangsungkan Konsili Vatikan II (Vatican Council II) pada permulaan tahun 60-an abad ke 20 yang mendeklarasikan doktrin “keselamatan umum” bahkan bagi agama-agama selain Kristen.[8]  
Sebenarnya kalau ditelusuri lebih jauh dalam peta sejarah peradaban agama-agama dunia, kecenderungan sikap beragama yang pluralistik, dengan pemahaman yang dikenal sekarang, sejatinya sama sekali bukan barang baru. Cikal bakal pluralisme agama ini telah muncul di India pada akhir abad ke-15 dalam gagasan-gagasan Kabir (1440-1518) dan muridnya, yaitu Guru Nanak (1469-1538) pendiri agama “Sikhisme”. Hanya saja pengaruh gagasan ini belum mampu menerobos batas-batas gepografis regional, sehingga hanya populer di anak benua India. Ketika arus globalisasi telah semakin menipisnya pagar-pagar kultural Barat-Timur dan mulai maraknya interaksi kultural anatar kebudayaan dan agama dunia, kemudian dilain pihak timbulnya kegairahan baru dalam meneliti dan mengkaji agama-agama Timur, khususnya Islam, yang disertai dengan berkembangnya pendekatan-pendekatan baru kajian agama (Scientific study of religioni), mulailah gagasan pluralisme agama berkembang secara pelan tapi pasti, dan mendapat tempat dihati para intelektual hampir secara universal.[9]  
Sementara itu dalam diskursus pemikiran Islam, pluralisme agama, masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama yang muncul lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses presentasi kultural Barat modern dalam dunia Islam. Pendapat ini diperkuat oleh realitas bahwa gagasan pluralisme agama dalam wacana pemikiran Islam, baru muncul pada masa-masa pasca-perang dunia kedua, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berekenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat.
Ajaran pluralisme agama di Indonesia sendiri sudah ada sejak zaman dahulu kala. Ajaran tersebut. Ajaran tersebut bisa ditemukan dalam semboyan “ Bhineka Tunggal Ika”. Secara tersirat semboyan itu mengajarkan untuk saling menghargai dan menerima keberagaman dan keberbedaan Indonesia.[10]
C.  Tujuan Pluralisme Agama
 Tujuan pendidikan pluralisme adalah bukan untuk membuat suatu kesamaan pandangan, apalagi keseragaman, karena itu adalah suatu yang absurd dan agak menghianati suatu agama. Yang dicari adalah mendapatkan titik-titik pertemuan yang dimungkinkan secara teologis oleh masing-masing agama. Karena setiap agama mempunyai sisi ideal masing-masing baik secara filosofis dan teologis yang dibanggakan oleh para penganutnya.
Adapun langkah-langkah untuk mewujudkan tujuan pendidikan pluralisme adalahsebagai berikut: 1) Adanya perubahan paradigma dan pola pikir dalam menyikapi kemajemukan budaya dalam sistem pendidikan. Wawasan pluralisme, inklusivisme, toleransi dan non-sekterian perlu dikembangkan sebagai wujud nyata motto kebangsaan Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”, kemudian melakukan reorientasi visi dam misi, serta restrukturisasi penyenggaran pendidikan nasional yang sejalan dengan wawasan pluralisme. 2) Menyusun kurikulum yang berpendakatan lintas budaya. 3) Merumuskan metode belajar mengajar yang interaktif yang bertujuan untuk menghasilkan warga negara yang mempunyai sikap inklusif dan toleran terhadap kemajemukan masyarakat.
Selain hal diatas, tujuan pluralisme yang akan dibentuk secara khusus adalah dalam rangka menjawab, merespon, dan mengantisipasi persoalan-persoalan kerusuhan berbau SARA. Bentuk pendidikannya juga harus mencerminkan adanya pluralitas. Maksudnya, guru dan muridnya harus bersifat heterogen, tidak berkotak-kotak satu sama lain, sehingga orang-orang yang memiliki keberagaman budaya, agama, dan etnis dapat berinteraksi secara langsung dan memungkinkan untuk saling belajar dan memahami satu sama lain dalam satu komunitas pendidikan. Selanjutnya dalam proses pendidikannya berbagai pemikiran-pemikiran keagamaan dapat di kaji secara sistematik, konseptual, dan rasional dari sudut pandang berbagai disiplin keilmuan. Dan berupaya mengembangkan dialog atau sharing pemahaman dan pembelajaran iman baik pada agamanya sendiri maupun agama orang lain, serta mengembangkan misi untuk menciptakan perdamaian dan persaudaraan terutama dikalangan para pemeluk agama. Bentuk pluralisme semacam itu tentunya akan dapat dijadikan sebagai jawaban atau solusi alternative bagi pemecahan masalah yang dihadapi oleh masyarakat majemuk seperti Indonesia ini. Serta mampu mengantisipasi dan meminimalisir ketegangan dan pertikaian antar kelompok. Akhirnya mampu menentukan ke arah keselamatan Rahmatanlial-‘alamin menebarkan berkah bagi seluruh masyarakat. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah bentuk pendidikan multireligion seperti ini, akan menjadi suatu penyelesaian bila itu di jadikan sebagai pengetahuan, sehingga timbul kesadaran untuk saling mengerti perbedaan agamanya lebih jauh, maka tidak menghasilkan apapun. Sehingga selain mempelajari pengetahuan multireligion untuk menanamkan nilai universal dan solidaritas, yang harus dilakukan adalah mendalami agamanya masing-masing secara murni untuk mendekatkan diri dari Yang Maha Kuasa. [11]
D.  Penerapan Pendidikan Islam Berbasis Pluralisme
Sebelum membahas tentang bagaimana menerapkan Pendidikan Islam berbasis Pluralisme, terlebih dahulu kita harus tahu tentang model-model pengembangan PAI di sekolah atau perguruan tinggi. Dalam hal terdapat tiga model yang dikemukan oleh para ahli.
1)   Model Dikotomi, pada model ini, aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana. Segala hal yang ada hanya dipandang dari dua sisi, seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada, pendidikan agama dan non agama dan lain sebagainya. Pandangan ini akan berimplikasi pada pengembangan ukhrowi saja, pendidikan yang bersifat duinawi tidaklah penting. Model ini berkembang pada periode pertengahan dalam sejarah pendidikan Islam.
2)   Model Mekanisme, model ini memamdang kehidupan dari berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai-nilai kehidupan yang terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi dan nilai-nilai yang lain.  Model tersebut dikembangkan pada sekolah atau PT yang bukan berciri khas agama Islam, namun mungajarkan mata pelajaran atau mata kuliah agama Islam.
3)   Model Sistemik, dalam konteks ini pendidikan Islam dipandang sebagai aktifitas yang terdiri atas komponen-komponen yang hidup bersama dan bekerja sama dengan tujuan tertentu, yaitu terwujudnya hidup yang religius. Model ini diterapkan oleh madrasah atau sekolah swasta  Islam unggulan.[12]
Dalam pendidikan, semua aspek kelembagaan dan proses belajar mengajarnya harus menerapkan sistem dan metode yang dapat menyembuhkan pluralisme serta mampu menggali sisi perdamaian dan toleransi. Oleh karenanya, di antara langkah yang di tempuh guru atau dosen, khususnya yang terkait dengan organisasi atau kegiatan pembelajaran di kelas adalah penentuan pendekatan dan metode. Hal tersebut merupakan elemen penting dalam proses belajar mengajar. Berhasil dan tidaknya suatu tujuan pendidikan tergantung pendekatan dan metode yang digunakannya. Tidak relevannya pendekatan dan metode yang di kembangkan dalam pembelajaran pendidikan agama berbasis pluralisme seperti ini perlu di perhatikan adanya beberapa pendekatan yang dapat di gunakan antara lain:
1.    Pembiasaan, melaksanakan pembelajaran dengan membiasakan sikap dan perilaku yang baik, terutama sekali yang berhubungan dengan nilai seperti: tenggang rasa, toleransi, saling mengasihi, tolong menolong dll.
2.     Rasional, pendekatan yang memfungsikan rasio peserta didik, sehingga isi dan nilai yang di tanamkan mudah di pahami dengan penalaran. Disisi lain pendekatan akademis cenderung menempatkan proses pendidikan agama pada orientasi objektif.
3.    Emosional, upaya menggugah perasaan peserta didik dalam memahami realitas keanekaragaman budaya dan agama dalam masyarakat. Sehingga lebih terkesan dalam jiwa peserta didik untuk selalu menampilkan sikap tenggang rasa dan saling menghormati antara agama satu dengan yang lainnya.
4.    Fungsional, memfungsikan ajaran masing-masing agama (termasuk agama Islam) terutama tentang pentingnya menghargai perbedaan dengan menekankan segi manfaat dan hikmahnya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dengan tingkat perkembangannya.[13]

Selanjutnya pendidikan berbasis pluralisme secara tersirat tertera pada UU Sikdiknas No.23 Tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa”dan UU Sikdiknas pasal 12 ayat 1a yang berbunyi: “Peserta didik mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan seagama”.


[1] Quantum, Menyempurnakan Pendidikan Pluralisme, Semarang: LPM EDUKASI, 2011, hlm. 2.
[2]  Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:  Kencana Media Group, 2008, cet. ke 2, hlm. 10
[3]  Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 22-28
[4] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 69
[5] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Jakarta: Perspektif, 2005, hlm. 11
[6]http://ibnufatih.wordpress.com/2009/07/31/fatwa-mui-tentang-pluralisme-liberalisme-dan-sekularisme-agama/
[7] Syamsul Ma’arif, The Baeuty of Islam “Dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme”, Semarang: NEED’S PRESS, 2011, hlm 100.
[8] Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama, hlm. 17-18
[9]  Anis malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, hlm. 20-21
[10] Quantum, Menyempurnakan Pendidikan Pluralisme.
[11] Samsyul Ma’arif, The Baeuty of Islam “Dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, hlm. 102-103
[12]Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 59-68.
[13] Samsyul Ma’arif, The Baeuty of Islam “Dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, hlm. 104-106

Tidak ada komentar:

Posting Komentar