Senin, 25 Maret 2013

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF ISLAM

I.           PENDAHULUAN
Seiring dengan tumbuh kembangnya seorang anak, tentunya banyak pihak yang mempengaruhinya. Pertama dalam lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan agama, dan lingkungan pergaulan. Dalam hal ini, pemakalah akan membahas mengenai lingkungan pendidikan, yang berfokus dengan pendidikan karakter dan pendidikan Islam. Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang melibatkan dua pihak sekaligus. Pihak pertama subjek pendidikan, yaitu pihak yang melaksanakan pendidikan, sedang pihak kedua adalah objek pendidikan, yaitu pihak yang menerima pendidikan. Bagaimanakah pendidikan karakter itu? Lebih lanjut akan di uraikan dalam pembahasan makalah ini.

II.        PERMASALAHAN
 
A.  Pengertian, Tujuan dan dasar Pendidikan Karakter
B.  Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Islam
C.  Pengembangan Kepribadian Islam
D.  Dasar Etika Sosial

III.     PEMBAHASAN 

    A.    Pendidikan Karakter
  1. Pengertian Pendidikan Karakter
Secara umum, istilah karakter sering diasosiasikan dengan apa yang disebut dengan temperamen yang memberinya, seolah definisi yang menekankan unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan.[1]
Dari segi etimologi, karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang berprilaku sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia. Sedangkan dari segi istilah, karakter sering dipandang sebagai cara berfikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisamembuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter pada hakekatnya ingin membentuk individu menjadi seorang pribadi bermoral yang dapat menghayati kebebasan dan tanggung jawabnya, dalam relasinya dengan orang lain dan dunianya dalam komunitas pendidikan. Dengan demikian pendidikan karakter senantiasa mengarahkan diri pada pembentukan individu bermoral, cakap mengambil keputusan yang tampil dalam perilakunya, sekaligus mampu berperan aktif dalam membangun kehidupan bersama.[2]
  1. Tujuan Pendidikan Karakter
Manusia secara natural memang memiliki potensi didalam dirinya. Untuk bertumbuh dan berkembang mengatasi keterbatasan manusia dan keterbatasan budayanya. Di pihak lain  manusia juga tidak dapat abai terhadap lingkungan sekitarnya. Tujuan pendidikan karakter semestinya diletakkan dalam kerangka gerak dinamis diakletis, berupa tanggapan individu atau impuls natural (fisik dan psikis), sosial, kultural yang melingkupinya, untuk dapat menempa dirinya menjadi sempurna sehingga potensi-potensi yang ada dalam dirinya berkembang secara penuh yang membuatnya semakin menjadi manusiawi. Semakin menjadi manuusiawi berarti membuat ia juga semakin menjadi makhluk yang mampu berelasi secara sehat dengan lingkungan di luar dirinya tanpa kehilangan otonomi dan kebebasannya, sehingga ia menjadi  manusia yang bertanggungjawab.
Pendidikan karakter lebih  mengutamakan pertumbuhan moral individu yang ada dalam lembaga pendidikan. Untuk ini, dua paradigma pendidikan karakter merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Peranan nilai dalam diri siswa dan pembaruan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu merupakan kedua wajah pendidikan karakter dalam lembaga pendidikan.[3]
  1. Dasar Pembentukan Karakter
Dasar pembentukan karakter itu adalah nilai baik atau buruk. Nilai baik disimbolkan dengan nilai Malaikat dan nilai buruk disimbolkan dengan nilai Setan. Karakter manusia merupakan hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energy positif dan nilai buruk dalam bentuk energi negatif. Energi positif itu berupa nilai-nilai etis religius yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan, sedangkan energi negatif itu berupa nilai-nilai yang a-moral yang bersumber dari taghut (Setan).
Nilai-nilai etis moral itu berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani). Energi positif itu berupa: Pertama, kekuatan spiritual. Kekuatan spiritrual itu berupa îmân, islâm, ihsân dan taqwa, yang berfungsi membimbing dan memberikan kekuatan kepada manusia untuk menggapai keagungan dan kemuliaan (ahsani taqwîm); Kedua, kekuatan potensi manusia positif, berupa âqlus salîm (akal yang sehat), qalbun salîm (hati yang sehat), qalbun munîb (hati yang kembali, bersih, suci dari dosa) dan nafsul mutmainnah (jiwa yang tenang), yang kesemuanya itu merupakan modal insani atau sumber daya manusia yang memiliki kekuatan luar biasa. Ketiga, sikap dan
Perilaku etis. Sikap dan perilaku etis ini merupakan implementasi dari kekuatan spiritual dan kekuatan kepribadian manusia yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya etis. Sikap dan perilaku etis itu meliputi: Istiqâmah (integritas), ihlâs, jihâd dan amal saleh.
Energi positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter, yaitu orang yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs al-mutmainnah) dan beramal saleh. Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan competency yang bagus pula (professional).
Kebalikan dari energi positif di atas adalah energi negatif. Energi negatif itu disimbolkan dengan kekuatan materialistik dan nilai-nilai thâghût (nilai-nilai destruktif). Kalau nilai-nilai etis berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani), nilai-nilai material (thâghût ) justru berfungsi sebaliknya yaitu pembusukan, dan penggelapan nilai-nilai kemanusiaan. Hampir sama dengan energi positif, energi negatif terdiri dari:
Pertama, kekuatan thaghut. Kekuatan thâghût itu berupa kufr (kekafiran), munafiq (kemunafikan), fasiq (kefasikan) dan syirik (kesyirikan) yang kesemuanya itu merupakan kekuatan yang menjauhkan manusia dari makhluk etis dan kemanusiaannya yang hakiki (ahsani taqwîm) menjadi makhluk yang serba material (asfala sâfilîn);
Kedua, kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu pikiran jahiliyah (pikiran sesat), qalbun marîdl (hati yang sakit, tidak merasa), qalbun mayyit (hati yang mati, tidak punya nurani) dan nafsu ‘l-lawwamah (jiwa yang tercela) yang kesemuanya itu akan menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah selain Allah berupa harta, sex dan kekuasaan (thâghût).
Ketiga, sikap dan perilaku tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini merupakan implementasi dari kekuatan thâghût dan kekuatan kemanusiaan negatif yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya tidak etis (budaya busuk). Sikap dan perilaku tidak etis itu meliputi: takabur (congkak), hubb al-dunyâ (materialistik), dlâlim (aniaya) dan amal sayyiât (destruktif).
Energi negatif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter buruk, yaitu orang yang puncak keburukannya meliputi syirk, nafs lawwamah dan ’amal al sayyiât (destruktif). Aktualisasi orang yang bermental thâghût ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan perilaku tercela, yaitu orang yang memiliki personality tidak bagus (hipokrit, penghianat dan pengecut) dan orang yang tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang dimiliki.[4]
    B.     Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Islam
Pendidikan karakter merupakan langkah penting dan strategis dalam membangun kembali jati diri individu maupun bangsa. Tetapi penting untuk segera dikemukakan bahwa pendidikan karakter harusah melibatkan semua pihak; rumahtangga dan keluarga; sekolah; dan lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat). Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan educational networkyang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini.
Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan  Anas r.a, keluarga yang baik memiliki empat ciri. Pertama, keluarga yang memiliki semangat (ghirah) dan kecintaan untuk mempelajari dan menghayati ajaran-ajaran agama dengan sebaik-baiknya untuk kemudian mengamalkan dan mengaktualitaskannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, keluarga dimana setiap anggotanya saling menghormati dan menyayangi;saling asah dan asuh. Ketiga, keluarga yang dari segi nafkah (konsumsi) tidak berlebih-lebihan; tidak ngoyo atau tidak serakah dalam usaha mendapatkan nafkah; sederhana atau tidak konsumtif dalam pembelanjaan. Keempat, keluarga yang sadar akan kelemahan dan kekurangannya.
Pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui sekolah, dengan demikian, tidak bisa dilakukan semata-mata melalui membelajaran pengetahuan, tetapi melalui penanaman atau pendidikan nilai-nilai.
Lingkungan masyarakat luas juga memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika dan etika untuk pembentukan karakter. Dari perspektis Islam, menurut Quraish Shihab (1996:321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan  mereka terbatas pada “kini dan di sini”, maka upaya dan ambisinya terbatas pada kini dan di sini pula.
Dalam konteks itu, Al-Qur’an dalam banyak ayatnya menekankan tentang kebersamaan anggota masyarakat menyangkut pengalaman sejarah yang sama, tujuan bersama, gerak langkah yang sama, solidaritas yang sama.
Tujuan pendidikan karakter semestinya diletakkan dalam kerangka gerak dinamis diakletis, berupa tanggapan individu atau impuls natural (fisik dan psikis), sosial, kultural yang melingkupinya, untuk dapat menempa dirinya menjadi sempurna sehingga potensi-potensi yang ada dalam dirinya berkembang secara penuh yang membuatnya semakin menjadi manusiawi.[5]
   C.     Pengembangan Kepribadian Islam
Dalam pengembangan kepribadian Islam, hal yang paling utama adalah pengembangan qalb  (hati).Hati yaitu tempat bermuara segala hal kebaikan ilahiyah karena ruh ada didalamnya. Secara psikologis, hati adalah cerminan baik buruk seseorang. Rasululullah SAW bersabda:” ketahuilah bahwa dalam jasad terdapat mudghah yang apabila baik maka baik pula sluruh anggota tubuh dan apabila rusak maka rusaklah seluruh tubuh.ketahuilah bhwa mudghah itu qalb."( HR.Al Bukhari dari an nu’man bin basyir). Qalb jika dirawat dan dikembangkan  potensinya,cahayanya akan melebihi sinar matahari. Ia akan menjadi obor sepanjang zaman. Pada pembahasan inilah hakikat pengembangan islam dan mengingat kedudukan hati yng begitu penting, maka unsur pembuka (ladang subur) pembahasannya adalah pendekatan agama.
Pada tahap selanjutnya adalah pengembangan Jism ( fisik). Fisik adalah badan dan seluruh anggotanya dapat dilihat dan diraba serta memiliki panca indera sebagai alat pelengkap. Rasulullah saw bersabda : “ mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dibandingkan mukmin yang lemah...” (HR. Muslim). Untuk mengetahui hal-hal apa yang harus dilakukan selama hidup, maka berikut dikutip dari Al-Qur’an tahap-tahap penciptaan manusia.
Allah swt. berfirman:
“dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.(12) kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).(13) kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.(14)  Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.(15) Kemudian, Sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.(16)” (QS. Al-Mu’minuun: 12-16)
Ayat-ayat tersebut menginformasikan asal-usul manusia lengkap dengan batasan-batasan, yaitu dibatasi oleh tanah dari segi fisik dan dibatasi oleh kekuasaan Tuhan dari segi qalb. Manusia yang unggul adalah manusia yang mampu mengembangkan potensi fisik dan psikis. Mencegahnya dari hal-hal yang merusak dan mampu menyembuhkannya jika sudah terlanjur sakit.
Sedangkan dampak dari rusak (sakit) nya qalb dan jism berdampak pada nafs (psikis). Psikis adalah jiwa, yaitu tempat yang memunculkan gejala yang teraktualisasi dalam bentuk perilaku (amaliah). Jiwa bisa sehat, sakit, atau hanya sekedar terganggu, tergantung dari aspek mana yang paling dominan pengaruhnya. Pepatah arab mengatakan : “tingkah laku lahir itu menunjukkan tungkah laku batin”, artinya kondisi nafs dapat dilihat dari bagaimana seseorang berperilaku. Orang yang sedang cemas dan gelisah dapat dilihat dari raut wajahnya yang kusut. Orang yang sedang marah atau malu dapat dilihat dari matanya yang memerah dan sebagainya. Dengan demikian, pengembangan kepribadian merupakan suatu proses yang dinamis. Dalam proses tersebut sifat individu dan sifat lingkungan menentukan tingkah laku apa yang akan menjadi aktual dan terwujud.[6]
   D.    Dasar Etika Sosial
Di dalam Islam manusia adalah sentral ajarannya, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, hubungan antar sesama manusia maupun antara manusia dan alam. Yang paling kompleks adalah yang kedua, yaitu hubungan antar sesama manusia. Hubungan manusia dengan Tuhannya adalah hubungan antara si makhluk dengan khaliknya. Jelas ada subordinasi ; si makhluk tunduk dan patuh terhadap sang Khalik. Hubungan antara manusia dengan alam (hewan, tumbuh-tumbuhan, bumi, laut, dan lainnya) adalah hubungan antara penerima amanat sebagai pengelola dengan penerima amanat sebagai yang dikelola: subyek dan obyek. Sedangkan untuk hubungan antar manusia dengan manusia tidak sama dengan kedua bentuk hubungan itu. Untuk itu, Islam mengajarkan konsep-konsep mengenai kedudukan, hak, dan kewajiban serta tanggung jawab manusia. Akibat dari apa yang dilakukan oleh setiap manusia bukan saja mempunyai nilai dan konsekuensi di dunia namun sekaligus juga di akhirat.
Konsep pertanggung jawaban di akhirat ini merupakan ciri khas konsep agama. Karena bagaimanapun canggih administrasi, tidak akan pernah terjadi tuntutan tanggung jawab di akhirat. Apapun yang telah di kerjakan,  sebagai hal yang baik atau buruk, akan diketahui di akhirat kelak, dan akan dipertanggung jawabkan. Jika hal itu baik, maka pahala yang akan menjadi imbalannya, sedangkan jika hal itu buruk, maka akan ada tuntutan pertanggung jawabannya atas perbuatan buruknya itu.[7]


[1] Doni Koesoema A., Pendidiakn Karakter, (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 79
[2] Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, (Semarang: PUSLIT IAIN Walisongo, 2010), hlm. 24-28
[3] Doni Koesoema A., Pendidiakn Karakter, (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 134
[4]http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektif-islam-pendahulan/
[5] Fihris, Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah, (Semarang: PUSLIT IAIN Walisongo, 2010), hlm. 55
              [6] Rafy Sapury, Psikologi Islam, ( Jakarta : PT.Raja grafindo, 2009), hlm. 114
[7] A. Qodry Azizy, Pendidikan Agama Untuk Membangun Etika Sosial, ( Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hlm. 93

Tidak ada komentar:

Posting Komentar