Selasa, 19 Maret 2013

MUSTHALAH AL HADIST (ISTILAH-ISTILAH HADIST)

       I.            PENDAHULUAN
Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Keterpercayaan periwayatan hadits merupakan persoalan kontroversial dikalangan muslim atuapun sarjana-sarjana muslim sejak zaman dahulu sampai sekarang.
Sangat pentingnya fungsi hadits pada kehidupan sehari-hari dalam menjalankan hukum Islam membuat penulis tertarik untuk membahas hal-hal yang menjadi istilah-istilah pada suatu hadits.
Sebelumnya, tentu kita perlu mengetahui bagaimana hadits itu dikualifikasikan. Sehingga kita dapat berlanjut pada beberapa istilah-istilah hadits yang hendaknya kita tahui.
Pembahasan Musthalah Al-Hadits akan sangat pokok yang harus dipelajari oleh para pelajar. Mengapa kita harus mempelajarinya adalah hadits sebagai sumber hukum, sebagai penjelasan hukum yang belum gamblang dalam al-Qur’an, layaknya kita mengamalkannya. Hadits sendiri berisi tentang perkataan, dan tingkah laku Nabi saw. tentu ketika kita mengamalkannya, kita akan mendapat pahala. Maka dari itu perlu kita ketahui pula tentang pamahaman istilah-istilah hadits tersebut. Agar kita tidak keliru dalam mengamalkannya.
    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana pembagian Hadist secara umum?
B.     Apa yang dimaksud dengan Hadist Mutawatir dan Hadis Ahad?
C.     Apa yang dimaksud dengan Hadist Shahih? (Pengertian, Syarat dan Kitab-kitab Hadis yang Shahih)
D.    Apa yang dimaksud dengan Hadist Hasan? (Pengertian dan Bentuk-bentuknya)
E.     Apa yang dimaksud dengan Sanad dan Matan Hadist?
F.      Apa yang dimaksud dengan Hadist Marfu’, Mauquf dan Maqthu’?
 III.            PEMBAHASAN
A.    Pembagian Hadist secara Umum
Para ahli hadis membagi hadis menjadi banyak bagian dengan istilah yang berbeda-beda. Namun pada dasarnya dari semua itu tujuan pokoknya adalah kembali pada tiga objek pembahasan, yaitu dari segi matan, sanad, serta matan dan sanad. Dan umumnya mereka mengklasifikasikan hadis menjadi tiga kategori yaitu shahih, hasan, dan dhaif.
Pembagian tersebut berdasarkan pada hadis itu adakalanya maqbul(diterima) dan adakalanya mardud(ditolak). Hadis dikatakan maqbul jika syarat-syaratnya terpenuhi untuk diterima sempurna ataupun kurangnya syarat-syarat untuk diterima sempurna. Untuk hadis yang diterima dengan sempurna adalah hadis shahih, sedang yang kurang memenuhi syarat-syarat untuk diterima sempurna disebut hadis hasan. Dan hadis dhaif adalah hadis yang mardud (ditolak).
Pembagian hadis jika ditinjau dari dimensi shahih, hasan, dan dhaifnya, dibagi menjadi dua, yaitu[1]:
1.      Macam-macam istilah atau nama-nama penyebutan hadis yang bisa digolongkan ke dalam istilah shahih, hasan, dan dhaifnya itu sangat tergantung pada terpenuhi syarat-syaratnya. Hadis yang dapat di kategorikan pada ketiga istilah tersebut adalah hadis marfu’, musnad, muttasil, muallaq, mu’an’an, muannan, fard, gharib, masyhur, mustafidh, ‘ali, nazil, mutabi’, syahid, mudraj, musalsal, dan mushahhaf.
2.      Macam-macam istilah atau nama-nama penyebutan yang khusus digolongkan pada hadis dhaif ialah hadis mursal, munqathi’, mu’dhal, mudallas, mu’allal, mudhtharib, maqlub, syadz, munkar, dan matruk.
Dan jika dilihat dari sudut kualitas periwayatnya, terbagi atas tiga bagian, yakni shahih, hasan, dan dhaif.Akan tetapi, jika dilihat dari sudut kuantitas periwayatnya, ia terbagi menjadi dua bagian, yakni mutawatir dan ahad.[2]
B.     Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad
1.      Hadis Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi’, yakni sesuatu yang datang berikut dengan kita atau yang beringin-ingin antara satu dengan lainnya tanpa ada jaraknya.[3]
Mutawatir menurut etimologi berarti “beriring-iringan.” Sedang hadis mutawatir menurut terminologi ialah hadis yang diriwayatkan oleh segolongan rawi banyak, di mana materi hadis tersebut bersifat inderawi, yang menurut pertimbangan rasio, mereka mustahil melakukan konspirasi kebohongan, dan adanya segolongan rawi banyak itu terdapat di dalam semua thabaqahnya, jika terdiri dari beberapa thabaqah.[4]
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, dalam buku Ilmu Ushul Hadisdituliskan bahwa ada empat syarat yang harus terpenuhi dalam hadis mutawatir, yaitu:
a.       Rawi-rawi hadisnya terdiri dari segolongan orang banyak.
b.      Menurut pertimbangan rasio, mereka mustahil melakukan konspirasi kebohongan, atau mengadakan suatu perkumpulan untuk berdusta, atau dipaksa oleh penguasa untuk berdusta, karena rawi-rawi itu orang banyak yang berbeda-beda dari berbagai kalangan dan profesi.
c.       Rawi yang banyak itu meriwayatkan dari rawi yang banyak pula, mulai dari permulaan sampai pada akhir sanadnya.
d.      Sandaran akhir (hadis yang diriwayat) dari rawi-rawi itu sesuatu yang inderawi (diterima melalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba, dan perasa).
Dari keempat syarat diatas akan diperoleh pengetahuan adanya kepastian kebenaran hadis tersebut.
Hadis mutawatir itu merupakan ilmu dharuri, yaitu ilmu yang tidak memerlukan observasi karena sudah jelas dan didukung oleh keyakianan yang kuat. Orang yang mengingkari hadis mutawatir hukumnya kafir.
Hadis muatwatir terbagi menjadi dua bagian, yaitu[5]:
a         Mutawatir Lafdzi
Yaitu mutawatir dalam satu masalah yang diriwayatkan dengan menggunakan lafadz satu atau lebih namun satu makna, atau menggunakan susunan kata yang berbeda tetapi pengertiannya sama, yaitu tetap dalam konteks masalah itu.
b        Mutawatir Maknawi
Yaitu yang mutawatir dalam kejadian yang berbeda-beda, tetapi ada satu kesamaan yang ditujukan oleh hadis itu, baik dari segi isi maupun makna yang tersirat.
2.      Hadis Ahad
Kata ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka ahad atau khabar wahid berarti yang disampaikan oleh satu orang.
Adapun yang dimaksud dengan hadis ahad menurut istilah banyak didefinisikan oleh para ulama, antara lain sebagai berikut:
Khabar yang jumlah perawinya tidak sebanyak jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir.[6]
Abdul Wahab Khallaf menyebutkan bahwa hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang, atau sejumlah orang, tetapi jumlahnya tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir.[7]
Para ulama membagi hadis ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan gharib.[8]
a.       Hadis Masyhur
Hadis masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar wa az-zuyu’(sesuatu yang sudah tersebar dan populer).[9]Menurut istilah, dalam buku ulumul hadisdisebutkan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, tetapi bilangannya tidak mencapai ukuran bilangan mutawatir. Macam-macam hadis masyhur adalah sebagai berikut:
1)      Masyhur di kalangan ahli hadis
2)      Masyhur di kalangan ulama ahli hadis
3)      Masyhur di kalangan ulama ahli fikih
4)      Masyhur di kalangan ahli ushul fiqh
5)      Masyhur di kalangan ahli sufi
6)      Masyhur di kalangan ulama-ulama arab.
b.      Hadis Ghairu Masyhur
Para ulama ahli hadis menggolongkan hadis ghair masyhur menjadi aziz dan gharib.
1)      Hadis Aziz
Kata aziz berasal dari azza, ya’izzu, yang berarti ia yakadu yujadu atau qalla wanadar (sedikit atau jarang adanya) atau berasal dari azza ya’azzu, berarti qawiya (kuat). [10]
Aziz menurut istilah adalah hadis yang perawinya kurang dari dua orang dalam semua thabaqat sanad. Dijelaskan oleh Mahmud At-Tahan bahwa sekalipun dalam sebagian thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, hal ini tidak menjadi masalah, asalkan dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang.
2)      Hadis Gharib
Gharib secara lughawi (bahasa) berarti al-munfarid (menyendiri) atau al-ba’id’an ( jauh dari kerabatnya).[11]Hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam periwayatannya, tanpa ada orang lain yang meriwayatkannya. Ini dapat berkaitan dengan personalianya, yakni tidak ada orang yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau berkenaan dengan sifat atas keadaan perawi itu sendiri yang berbeda dengan sifat dan keadaan perawi lain yang meriwayatkan hadis itu. Hadis gharib ini terbagi menjadi dua, yaitu gharib mutlaq dan gharib nisbi. Hadis gharib mutlaq yaitu hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya pada asal sanad. Periwayatannya harus berpangkal pada ashlu sanaa, yakni tabiin. Sedangkan hadis gharib nisbi ialah hadis yang terjadi gharib dipertengahan sanadnya. Hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari seorang perawi pada asal sanad (perawi pada tingkat sahabat), tetapi di pertengahan sanadnya terdapat tingkatan yang perawinya hanya sendiri (satu orang).[12]
C.    Hadis Shahih
Shahih menurut bahasa berarti sehat, kebalikan dari sakit. Sedang menurut istilah ialah hadis yang muttasil (bersambung) sanadnya, dirirwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, tidak syadz dan tidak pula terdapatillat (cacat) yang merusak.[13]
Hadis shahih itu ada dua rupa, yaitu shahih li dzatihi, dan shahih li ghairihi.[14]Shahih li dzatihi artinya: yang sah karena dzatnya, yakni yang shahih dengan tidak bantuan keterangan lain. Menurut istilah, ialah satu hadis yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang adil, dhabit yang sempurna, serta tidak ada syadz dan tidak ada illat. Kedua, shahih li ghairihi artinya: yang shahih karena yang lainnya, yaitu yang jadi sah karena dikuatkan dengan jalan (sanad) atau keterangan lain.
Penjelasan dari kriteria-kriteria atau syarat-syarat hadis shahih adalah sebagai berikut:
1.      Muttasil[15]sanadnya
Sanad dari matan hadis tersebut bersambung dari permulaannya sampai pada akhir sanad.
2.      Rawi-rawinya adil
Adil adalah perangai yang senantiasa menunjukkan pribadi yang taqwa dan menjauhkan diri dari sifat atau tingkah laku yang tak pantas untuk dilakukan. Adil di sini dimaksudkan dalam meriwayatkan hadis, yaitu orang Islam yang mukallaf (cakap bertindak hukum) yang selamat dari fasiq, dan sifat-sifat yang rendah.
3.      Rawi-rawinya sempurna ke-dhabit[16]-annya
Dhabit dibagi menjadi dua macam , yaitu: dhabit hati dan dhabit kitab. Pertama, dhabit hati yaitu apabila seseorang mampu menghafal setiap hadis yang didengarnya dan sewaktu-waktu dia bisa mengutarakan atau menyampaikannya. Kedua, dhabit kitab yaitu seseorang yang meriwayatkan setiap hadis dan tertulis  pada kitabnya yang sudah ditashhih (dicek kebenarannya) dan selalu dijaga.
4.      Tidak syadz
Syadz di sini ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang terpercaya itu tidak bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang tingkat dipercayanya lebih tinggi.
5.      Tidak terdapat Illat
Illat ialah cacat yang samar yang mengakibatkan hadis tersebut tidak dapat diterima.
Kitab shahih ialah kitab hadis yang sistem penulisannya khusus bermuatan hadis-hadis shahih, setelah melaluimetode standart seleksi pemurnian yang amat ketat. Termasuk dalam tipe kitab ini adalah kitab Shahih Al-Bukhari, dan Muslim, dan kitab shahih lainnya.[17]Sedangkan tingkatan-tingkatan hadis tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Hadis yang disepakati keshahihannya oleh Al-Bukhari dan Muslim, yang lazim disebut dengan istilah Muttafaqun ‘alaihi.
2.      Hadis yang dishahihkan oleh Al-Bukhari saja.
3.      Hadis yang dishahihkan oleh Muslim saja.
4.      Hadis yang diriwayatkan oleh selain Al-Bukhari dan Muslim, tetapi mengikuti syarat-syarat shahih Al-Bukhari dan Muslim.
5.      Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain Al-Bukhari dan Muslim, tetapi mengikuti syarat-syarat keshahihan Al-Bukhari.
6.      Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain Al-Bukhari dan Muslim, tetapi mengikuti syarat-syarat keshahihan Muslim.
7.      Hadis shahih yang diriwayatkan olah ahli hadis yang terkenal selain Al-Bukhari dan Muslim, tetapi tidak mengikuti syarat-syarat keshahihan Al-Bukhari dan Muslim dan tidak pula salah satunya.
D.    Hadits Hasan
Hasan menurut bahasa ialah sesuatu yang baik dan cantik. Sedang menurut terminologi, hadis hasan ialah hadis yang muttasil sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, tetapi kadar kedhabitannya di bawah kedhabitan hadis shahih, dan hadis itu tidak syadz dan tidak pula terdapat illat (cacat).[18]
Untuk syarat-syarat hadis hasan sama dengan hadis shahih. Perbedaannya adalah pada rawi-rawi hadis hasan sifat kedhabitannya dan adilnya tidak semasyhur hadis shahih.[19]
Hadis hasan ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu hasan li dzatihi, dan hasan li ghairihi. Hadis hasan li dzatihi ialah hadis yang baik karena dzatnya atau dirinya. Menurut istilah ialah satu hadis yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang adil tetapi ada yang kurang dhabit, serta tidak ada syadz dan illat. Sedangkan li ghairihi artinya: karena yang lainnya, yakni satu hadis menjadi hasan karena dibantu dari jalan lain.
Menurut istilah, satu hadis yang dalam sanadnya ada: rawi mastur atau rawi yang kurang kuat hafalannya, atau rawi yang tercampur hafalannya karena tuanya, atau rawi mudallis, atau rawi yang pernah keliru dalam meriwayatkannya, atau rawi yang pernah salah dalam meriwayatkan, lalu dikuatkan dengan jalan lain yang sebanding dengannya. Atau singkatnya adalah satu hadis yang tidak terlalu lemah, dikuatkan dengan jalan lain yang seumpama atau sebanding dengannya.[20]
E.     Sanad dan Matan Hadits
1.      Sanad Hadis
Sanad secara bahasa berarti al-mu’tamad, yaitu yang diperpegangi (yang kuat) atau yang bisa dijadikan pegangan atau dapat juga diartikan: sesuatu yang terangkat (tinggi) dari tanah. Secara terminologis, definisi sanad ialah: sanad adalah jalannya matan, yaitu silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama.[21]
Dalam buku yang sama disebutkan bahwa Al-Badru Ibn Jama’ah dan ath-Thibi, disebutkan oleh as-Suyuthi, mengemukakan definisi yang hampir sama, yaitu berita-berita tentang jalan matan. Yang dimaksud sebagai jalan matan adalahserangkaian orang-orang yang menyampaikan matan hadis, mulai perawi pertama sampai yang terakhir.
Selain istilah sanad, ada tiga istilah yang berkaitan erat dengannya, yaitu al-isnad, musnad, dan al-musnid. Al-isnad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikkan ke asla), dan mengangkat. Yang dimaksud adalah mengasalkan hadis kepada orang yang mengatakannaya. Sedangkan pengertian al-musnad yang pertama adalah hadis yang diriwayatkan pada seseorang yang membawanya. Atau berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadis-hadis dengan sistem penyusunannya berdasarkan nama-nama sahabat perawi hadis.
2.      Matan Hadis
Kata matan atau al-matan, menurut bahasa berarti ma shaluba wa irtafa’a min al-ardhi (tanah yang meninggi). Secara terminologis, istilah matan memiliki beberapa definisi, yang pada dasarnya maknanya sama, yaitu materi atau lafal hadis itu sendiri.[22]Dapat disimpulkan bahwa apa yang tertulis setelah (penulisan) sanad, adalah matan hadis. Penulisn matan sendiri barada setelah sanad dan sebelum rawi.
Dari definisi sanad dan matan hadis di atas, hendak pula diketahui bahwa antar sanad dan matan tidak selalu berhubungan, yakni[23]:
a.         Sanad sah bukan berarti matannya sah.
b.        Sanad dhaif bukan berarti matannya tidak sah.
F.     Hadist Marfu’, Mauquf dan Maqthu’
1.      Hadis Marfu’
Hadis marfu’ ialah hadis yang dihubungkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir.[24]Hadis ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a.       Marfu’ Tashrihi
Yaitu hadis yang diketahui secara jelas dihubungkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir.
Contoh hadis marfu’ yang berupa perkataan, apabila sahabat mengatakan: ”Aku mendengar Rasulullah bersabda ...”, dan lain sebagainya.
Contoh hadis marfu’ yang berupa perbuatan, apabila sahabat mengatakan, “Bawasannya aku melihat Rasul mengerjakan...”
Contoh hadis marfu’ yang berupa taqrir “ Bahwa telah dilakukan di depan Nabi saw ...”
b.      Marfu’ Hukmi
Yaitu hadis yang secara jelas oleh sahabat tidak dihubungkan kepada Nabi saw melalui kata-kata. Contohnya, “Bahwa Rasulullah bersabda”.
2.      Hadis Mauquf
Hadis mauquf adalah hadis yang dihubungkan kepada sahabat, baik berupa perkataan atau perbuatan, baik muttasil (bersambung) atau munqathi’ (terputus) sanadnya.[25]Hadis mauquf yang beupa perkataan adalah seperti, “ibnu Umar telah berkata...”
Kadang mauquf digunakan untuk menyebut apa-apa yang disandarkan kepada tabi’in, atau orang-orang yang datang sesudahnya, dengan syarat harus diberi penjelasan di belakangnya, seperti dikatakan “hadis ini mauquf sampai kepada Atha’, atau Thawus, atau Malik.[26]
3.      Hadis Maqthu’
Hadis maqthu’ ialah hadis yang dihubungkan kepada tabi’in, atau orang-orang yang  datang sesudahnya, baik berupa perbuatan maupunperkataan, baik tabi’in besar maupun tabi’in kecil, baik sanadnya muttasil atau tidak.[27]


[1] Al-Maliki, Muhammad Alawi, Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushulul Al-Hadisi Al-Syariifi, diterjemahkan oleh Adnan Qohar, Ilmu Ushul Hadis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), cet. II, hlm.50-51.
[2] Masrur, Ali, Teori Common Link G.H.A Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, (Yogyakarta: Lkis, 2007), hlm. 116.
[3] Sahrani, sohari, Ulumul Hadits, (bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 83
[4] Al-Maliki, Muhammad Alawi, op. cit, hlm. 89.
[5]Al-Maliki, Muhammad Alawi, Ibid, hlm. 90.
[6]  Sahrani, sohari, op. cit, hlm. 91.
[7] Sahrani, sohari, Ibid, hlm. 92-93.
[8] Sahrani, sohari, Ibid, hlm. 93.
[9] Sahrani, sohari, Ibid, hlm.94.
[10]  Sahrani, sohari, Ibid, hlm. 97.
[11] Sahrani, sohari, Ibid, hlm. 98
[12]  Sahrani, sohari, Ibid, hlm. 100-101.
[13] Al-Maliki, Muhammad Alawi, op.cit, hlm. 52.
[14] Hassan, A. Qadir, Ilmu Musthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 2007), hlm. 29.
[15]  Rawi-rawi yang meriwayatkan hadis, masing-masing mendengar dari gurunya
[16]  Rawi yang titik hafalannya sudah tinggi dan sewaktu-waktu dapat menyampaikan hadis-hadis dari gurunya dengan benar.
[17] Al-Maliki, Muhammad Alawi, op.cit, hlm.245.
[18] Al-Maliki, Muhammad Alawi, Ibid, hlm. 59
[19] Asy-syafii, Syeikh Umar bin Syeikh Futuh Ad-Dimsyiq,  Manzhumatul Al-Baiquni, (Kudus: Menara Kudus, 1960), hlm. 7.
[20] Hassan, A. Qadir, op. cit, hlm. 73.
[21]  Sahrani, sohari, op. Cit, hlm. 129-130.
[22] Sahrani, sohari, Ibid, hlm. 131.
[23] Hassan, A. Qadir, op. cit, hlm. 375.
[24] Al-Maliki, Muhammad Alawi, op. Cit, hlm. 67.
[25] Al-Maliki, Muhammad Alawi, Ibid, hlm. 73.
[26] Al-Maliki, Muhammad Alawi, Ibid, hlm. 73.
[27] Al-Maliki, Muhammad Alawi, Ibid, hlm.71

Tidak ada komentar:

Posting Komentar