I. PENDAHULUAN
Anak adalah buah hati orangtuanya. Ia merupakan salah satu nikmat Allah SWT yang dianugerahkan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Lebih jauh lagi, bahwa ia adalah generasi penerus yang akan memegang kendali kehidupan suatu bangsa pada masa depan.
Setiap anak yang dilahirkan di dunia ini memiliki potensi yang sama, yaitu potensi untuk menjadi manusia yang baik, baik di mata Allah SWT maupun di mata sesamanya.
Sesungguhnya masa kanak-kanak adalah masa yang sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai yang baik sekaligus menumbuhkannya menjadi manusia yang memiliki jiwa dan perilaku yang mulia. Apabila kesempatan itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya maka harapan masa depannya akan lebih cerah.
Maka di sini pemakalah akan mencoba membahas tentang bagaimana potensi anak dan apa saja yang harus dilakukan kepada anak yang baru dilahirkan.
II. HADIS
A. Hadis tentang anak lahir atas dasar fitrah
عَنْ أبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَ بَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أوْيُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُوْلُ آَبُوْ هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ (فِطْرَةَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ( أخرجه البخاري في كتاب الجنائز ) [1]
“Dari (Abu) Hurairah ra. Dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: tidak ada seorang anakpun kecuali ia dilahirkan menurut fitrah. kedua orang tua nyalah yang akan menjadikan yahudi, nasrani, dan majusi sebagaimana binatang melahirkan binatang dalam keadaan sempurna. Adakah kamu merasa kekurangan padanya. Kemudian abu hurairah ra. berkata : “fitrah Allah dimana manusia telah diciptakan tak ada perubahan pada fitrah Allah itu. Itulah agama yang lurus” (HR al-bukhari dalam kitab jenazah).
B. Hadis Prosesi Paska Kelahiran
عَنْ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْ بَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ ( أخرجه الترمذي في كتاب الاضاحي )[2]
“Dari Samurah RA ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “(setiap) anak kecil ( belum baligh ) tergadai (dan) ditebus dengan mengakikahkannya, disembelih hewan pada hari ketujuh lahirnya, diberi nama dan dicukur rambutnya”. (HR At-tirmidzi dalam Kitab kurban).
III. PEMBAHASAN
A. Anak Lahir Atas Dasar Fitrah
Kata fithrah berasal dari bahasa arab فَطَر yang artinya sifat bawaan setiap sesuatu dari awal penciptaannya, Atau bisa juga berarti sifat dasar manusia/agama.[3]
Yang dimaksud dengan fitrah dalam Hadits ini ada dua pengertian, yaitu: pertama, Pada Dasar pembawaan manusia (human nature) yang religius dan monoteis, artinya bahwa manusia itu dari dasar pembawaannya adalah makhluk yang beragam dan percaya pada kekuasaan Allah secara murni (pure monotheism atau tauhid khalis). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-A’raf: 172
Kesucian atau kebersihan (purity), artinya bahwa semua anak manusia dilahirkan dalam keadaan suci atau bersih dari segala macam dosa.
Kedua, fithrah bisa juga memiliki pengertian agama, maksudnya adalah bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki sifat dasar untuk berkecenderungan beragama tauhid, artinya meyakini adanya Dzat yang Maha Esa sebagai Tuhan dan penciptanya yang wajib disembah.
Pada dasarnya semenjak lahir manusia sudah dianugerahi fithrah atau potensi untuk menjadi baik dan jahat, akan tetapi anak yang baru lahir berada dalam keadaan suci tanpa noda dan dosa.
Sebagaimana pernyataan Allah dalam Al-Qur’an sifat dasar itu meliputi dua kecenderungan, yaitu kecenderungan bertaqwa dan kecenderungan berbuat fujur.[4]Hal ini tercantum dalam firman-Nya:
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”(Q.S As-Syam : 8)
Potensi bisa diartikan sebagai kekuatan, kesanggupan, kemampuan, kekuasaan, pengaruh, daya, kefungsian, kekuatan diri, kesanggupan untuk berbuat, kemampuan untuk bertindak, daya untuk berkuasa atau menguasai, kefungsian untuk memberikan peran. Secara sederhana, potensi berarti kapasitas diri.[5]
Al-Ghazali memberikan penjelasan bahwa tiap individu lahir bagaikan kertas putih dan lingkungannyalah yang mengisi kertas itu, dengan pengalaman dari lingkungan dan dari lingkungan itu menentukan pribadi seseorang, terutama lingkungan keluarganya.
Sedangkan yang dimaksud fitrah Allah adalah bahwa manusia diciptakan Allah memiliki nilai beragama, yaitu agama tauhid. Jika meraka tidak beragama tauhid itu karena pengaruh lingkungannya, di sini peranan pembiasaan, pengajaran dan pendidikan dalam pertumbuhan perkembangan anak yang mempengaruhi anak dalam menemukan tauhid yang murni, keutamaan budi pekerti, spiritual, dan etika agama yang lurus. Dalam hal ini, faktor pendidikan yang baik yang utama dan faktor lingkungan yang mendukung. Yang akan menentukan anak untuk tumbuh sebagaimana mestinya.[6]
B. Prosesi Pasca Kelahiran
1. Adzan dan Iqomah
Adzan dan iqomah merupakan tuntunan Nabi Muhamad SAW yang diajarkan kepada kaum muslimin untuk menyambut sang buah hati yang saleh, dengan tujuan supaya suara yang pertama kali didengar sang bayi adalah lantunan adzan.
Tentang hikmah dan rahasia melantunkan adzan ditelinga bayi, Ibnul Qoyyim al-Jauziyah berkata “melantunkan azan di telinga bayi yang baru dilahirkan bertujuan –Allah lebih mengetahui- agar kalimat-kalimat yang pertama kali didengar oleh bayi adalah kalimat-kalimat yang mengandung ungkapan tentang kebesaran Allah dan keagungan kalimat syahadat yang merupakan syarat untuk masuk kedalam agama Islam. Lantunan adzan itu sebagai bimbingan pertama yang diajarkan kepada bayi ketika ia terlahir memasuki alam dunia sebagaimana ia akan dibimbing membaca kalimat tauhid saat sedang keluar meninggalkan alam dunia”.[7]
2. Aqiqah
Pemahaman Aqiqah – Kata “Aqiqah“ berasal dari bahasa arab. Secara etimologi, ia berarti ‘memutus’. “Aqqa walidyahi”, artinya jika ia memutus (tali silaturahmi) keduanya. Dalam istilah, ‘aqiqah berarti “menyembelih kambing pada hari ketujuh (dari kelahiran seorang bayi) sebagai ungkapan rasa syukur atas rahmat Allah swt berupa kelahiran seorang anak”, atau hari kelipatannya.
Beberapa ulama seperti Imam Hasan Al-Bashri, juga Imam Lain berpendapat bahwa hukum ‘Aqiqah adalah wajib. Pendapat ini berdasarkan atas salah satu Hadits di atas, “Kullu ghulamin murtahanun bi ‘aqiqatihi’ artinya (setiap anak tertuntut dengan ‘Aqiqah-nya), mereka berpendapat bahwa Hadits ini menunjukkan dalil wajibnya ‘Aqiqah dan menafsirkan Hadits ini bahwa seorang anak tertahan syafaatnya bagi orang tuanya hingga ia di aqiqahi. Ada juga sebagian ulama yang mengingkari disyariatkannya ‘Aqiqah, tetapi pendapat ini tidak berdasar sama sekali.[8]
Dengan demikian, pendapat mayoritas ulama lebih utama untuk diterima karena dalil-dalilnya, bahwa ‘ aqiqah adalah sunat muakadah. Imam Syafei, Abu Tsaur, Ahmad, dan Daud berpendapat bahwa, akikah anak laki-laki dua kali lipat akikah anak perempuan, yaitu dua ekor kambing. Daging sembelihan akikah dibagikan dalam bentuk sudah dimasak kepada fakir miskin. Yang lebih baik diantar kerumahnya masing-masing, agar menghindarkan rasa rendah diri dan yang melakukannya merasa beribadat benar-benar. Khalifah Abu Bakar, Umar dan lain-lain mengantarkan bagian fakir miskin ketempat mereka. Islam dan Rasulullah SAW menyuruh menutupi malu sesama muslim, sesuai dengan hati nurani serta kemanusiaan yang murni.[9]
Imam Malik mengatakan: boleh sesudahnya; dan kata beliau: barang siapa yang mati ( anak yang mati ) sebelum hari ketujuh itu, maka gugurlah kewajiban mengakikahinya.
Syarat-syarat aqiqah, Imam Nawawi berkata “hewan yang layak disembelih sebagai aqiqah adalah domba yang dewasa dan kambing yang dewasa yang sudah memiliki gigi seri”. Domba dan kambing itu harus selamat dari caca, karena aqiqah adalah mengalirkan darah secara syar’I maka sifat-sifat hewan yang disembelih untuk aqiqah sama dengan sifat-sifat hewan yang disembelih untuk kurban. Untuk laki-laki disembelihkan dua ekor kambing dan anak perempuan satu ekor kambing saja.
Menurut sunah Nabi, penyembelihan hewan aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh, hari keempat belas, dan hari kedua puluh tujuh. Hadis riwayat oleh al-Baihaqi dari Abdullah Buraidah. Sedangkan menurut penganut mazhab Syafi’i disebutkan bahwa penyebutan tujuh itu untuk ikhtiar bukan keharusan. Namun jika memang belum sempat beraqiqah sampai sang bayi telah mencapai usia baligh.[10]
Aqiqah Menurut Syaikh Abdullah nashih Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Aulad Fil Islam sebagaimana dilansir di sebuah situs memiliki beberapa hikmah diantaranya:
a. Menghidupkan sunnah Nabi Muhammad SAW dalam meneladani Nabiyyullah Ibrahim AS tatkala Allah SWT menebus putra Ibrahim yang tercinta Ismail AS.
b. Dalam aqiqah ini mengandung unsur perlindungan dari syaitan yang dapat mengganggu anak yang terlahir itu, dan ini sesuai dengan makna hadits, yang artinya: “Setiap anak itu tergadai dengan aqiqahnya.”. Sehingga Anak yang telah ditunaikan aqiqahnya insya Allah lebih terlindung dari gangguan syaithan yang sering mengganggu anak-anak. Hal inilah yang dimaksud oleh Al Imam Ibunu Al Qayyim Al Jauziyah “bahwa lepasnya dia dari syaithan tergadai oleh aqiqahnya”.
c. Aqiqah merupakan tebusan hutang anak untuk memberikan syafaat bagi kedua orang tuanya kelak pada hari perhitungan. Sebagaimana Imam Ahmad mengatakan: “Dia tergadai dari memberikan Syafaat bagi kedua orang tuanya (dengan aqiqahnya)”.
d. Merupakan bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sekaligus sebagai wujud rasa syukur atas karunia yang dianugerahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan lahirnya sang anak.
e. Aqiqah sebagai sarana menampakkan rasa gembira dalam melaksanakan syari’at Islam & bertambahnya keturunan mukmin yang akan memperbanyak umat Rasulullah SAW pada hari kiamat.
f. Aqiqah memperkuat ukhuwah (persaudaraan) diantara masyarakat.
3. Memotong Rambut
Diantara hal-hal yang disyari’atkan Islam terkait dengan anak yang baru lahir adalah mencukur rambutnya pada hari ketujuh dari kelahirannya. Kemudian bersedekah berupa perak seberat rambut tersebut kepada orang muslim. Sebagian ulama berpendapat bahwa sedekah itu seberat timbangan rambut bayi dengan nilai harga emas/perak.
Maksudnya bahwa anak itu tergadai dengan kotoran rambutnya; itulah Nabi SAW, bersabda: “hilangkanlah dari kepalanya, ( dengan mencukur rambutnya ). Rasulullah memberi petunjuk kepada anaknya Fatimah untuk melakukan pencukuran rambutnya dan bersedekah perak seberat rambutnya.[11]Dari hadits diatas “ yulaqu” ( dicukur ) menjadi dalil adanya ajaran cukur rambut anak pada hari ketujuh. Dan menurut zhohirnya, bersifat umum bagi pencukuran rambut anak lelaki dan perempuan.
Ada dua manfaat terkait dengan mencukur rambut anak, yaitu :
a. Mencukur rambut bermanfaat bagi kesehatan bayi, karena dengan dicukur rambutnya kepala bayi akan menjadi kuat, pori-porinya jadi terbuka, indera penglihat, pencium, pendengarannya akan bertambah tajam.
b. Manfaat yang bersifat sosial, yaitu dengan menyedekahkan perak atau emas seberat rambut bayi kepada orang yang membutuhkan atau orang miskin. Hal ini dapat menumbuhkan jiwa silaturahim, kasih saying, dan perhatian dalam masyarakat Muslim.[12]
4. Memberi Nama
Diantara hal yang harus dilakukan orangtua terhadap anak-anaknya adalah memberikan nama yang bagus. Karena kelak di hari kiamat mereka akan dipanggil dengan nama tersebut dan dengan nama orangtua mereka maka jangan sampai seorang anak dipanggil dengan nama yang diharamkan atau nama yang burukyang diberikan oleh orangtuanya pada saat hidup di dunia.
Seyogyanya dipilih nama yang baik bagi anak, nama yang akan diberikan diusahakan sebagus mungkin. Rasulullah SAW bersabda: “nanti pada saat kiamat, kalian akan dipanggil sesuai nama kalian dan bapak kalian, karena itu baguskanlah namamu”.
Nabi SAW, biasanya merubah atau mengganti nama yang jelek. Sebaiknya pemberian nama itu adalah dengan nama Nabi. Nama yang paling dicintai Allah adalah: Abdullah, Abdur Rahman, dan lainya; yaitu nama yang diambil dari Asma’aul Husna dengan tambahan, karena memberi nama anak sama persis dengan nama Allah atau sifatNya itu tidak boleh.[13]
[1] Abi Hasan Nuruddin,dan Muhammad ibni Abdul Hadi Assindi, Shahih Bukhari, ( Lebanon: Darul Kutub Al-ilmiah, 2008) hlm. 457.
[3]Juwariyah, Hadis Tarbawi, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 1.
[4]Fadlan Al-Ikhwani, Find Your Potency , (Solo: Afra Publishing, 2010), hal. 7.
[5]Abdullah Nasib Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam, (Bandung: Asy Syifa, 1988), hlm. 43
[6] Jamal AR, Mendidik Anak Menurut Rasulullah, Usia 0-3 Tahun, (Semarang: Pustaka, Nuun, 2008), hlm. 23.
[7]Ahmad ibnu Muhamad ad-Dib, Aqiqah Risalah Lengkap Berdasarkan Sunnah Nabi, (Jakarta: Qisthi Press, 2010), hlm. 26-27.
[8]Ahmad ibnu Muhamad ad-Dib, Aqiqah Risalah…, hlm. 52.
[9]Masyhur Kahar, Bulughul Maram, jilid II, ( Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), hlm.303-304.
[10]Ahmad ibnu Muhamad ad-Dib, Aqiqah Risalah…, hlm. 53-56.
[12]Ahmad ibnu Muhamad ad-Dib, Aqiqah Risalah…, hlm. 74-75
[13]Abubakar Muhammad, Hadits Tarbiyah...,hlm.114-116.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar