PERAN DAN KIPRAH MARWAN BIN HAKAM DALAM KEPEMIMPINAN BANI UMAYAH
I. I. PENDAHULUAN
Daulah Umayah (41-132H/661-750M) yang berkedudukan di Damaskus, para penguasanya berasal dari satu keturunan yaitu keturunan Umayah bin Abdu Syam bin Abdu Manaf. Dalam kekhalifahan Bani Umayah terdapat dua cabang, yang pertama adalah keluarga Harb bin Umayah, dan kedua adalah keluarga Abdul ‘Ash bin Umayah.
Khalifah-khalifah yang berasal dari cabang yang pertama yaitu Mu’awiyah bin Abu Sofyan bin Harb, Yazid bin Muawiyah dan Muawiyah II bin Yazid. Pada Muawiyah II bin Yazid inilah cabang yang pertama berakhir. Kemudian dilanjutkan dengan cabang yang kedua, dari keluarga Abul ‘Ash bin Umayyah. Pada cabang yang kedua ini, pemerintah berjalan lama dan turun-temurun. Khalifah yang pertama dari cabang yang kedua ini yaitu, Marwan bin Hakam. Dari sinilah lahirlah pemimpin-pemimpin yang nantinya menjadi khalifah Bani Umayyah selanjutnya.
II. II. RUMUSAN MASALAH
A. Siapakah Marwan bin Hakam?
B. Bagaimanakah pembaiatan Marwan bin Hakam?
C. Bagaimana kiprah Marwan bin Hakam?
III. III. PEMBAHASAN
A. Biografi Marwan bin Hakam
Marwan bin Hakam merupakan Khalifah ke empat di dalam Daulat Bani Umayyah. Marwan adalah putera paman Khalifah Utsman bin Affan, yang mana Marwan itu adalah sepupu Khalifah Utsman dan kemudian dinikahkan dengan puteri Khalifah Utsman yang bernama Ummu Abban.
Ketika pada masa Nabi terjadi pengusiran terhadap ayah Marwan, yaitu Al-Hakam beserta keluarga, yang pada saat itu Marwan berusia 7 tahun. Utsman bin Affan pernah mengajukan permohonan supaya pamannya beserta keluarga diizinkan kembali ke Madinah, akan tetapi ditolak Rasulullah. Begitu pula pada masa Abu Bakar dan Umar, mereka menolak permohonannya agar dapat kembali dari pengasingan di Thaif ke Madinah. Namun, pada masa Utsman menjadi khalifah, ia memanggil pamannya sekeluarga termasuk sepupunya Marwan untuk kembali ke Madinah.[1]
Pada masa Khalifah Usman bin Affan, Marwan bin Hakam diangkat untuk mengepalai lembaga sekretriat, yakni Al-dawawin, yang wewenangnya sangat menentukan bagi setiap keputusan khalifah. Pada masa Mu’awiyah menjadi khalifah, Marwan bin Hakam diangkat sebagai Gubernur di Madinah. Kemudian pada masa pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah , Marwan bin Hakam menjadi pembantu yang terdekat, serta menjadi salah seorang penasihatnya di Damaskus.[2]
Marwan bin Hakam adalah seorang yang bijaksana, berpikiran tajam, fasih dalam berbicara, dan berani. Ia ahli dalam pembacaan Al-Qur’an dan banyak dalam meriwayatkan hadis-hadis dari para sahabat Rasulullah saw yang terkemuka. Dia merupakan lapis pertama dari kalangan Tabi’in, dia banyak meriwayatkan hadis terutama dari Umar bin Khattab dan Usman bin Affan.[3]
B. Pembaiatan Marwan bin Hakam
Awal perjalanan Marwan bin Hakam sebelum menjadi seorang khalifah, Marwan adalah seorang Sekretaris Negara pada masa Khalifah Usman bin Affan. Pada hakikatnya Marwanlah yang menjalankan pemerintahan dan memegang kekuasaan eksekutif, sementara Khalifah Usman bin Affan yang Menyandang gelar Khalifah.[4]Pada masa Mu’awiyah menjadi Khalifah, Marwan bin Hakam diangkat menjadi Gubernur di Madinah, sebagai pengakuan atas segala bantuan yang telah diberikan marwan kepada Mu’awiyah, dan yang terpenting adalah peristiwa Perang Jamal, Marwan melemahkan Ali bin Abi Thalib dan membunuh Thalhah dengan panahnya. Kemudian pada pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah, Marwan bin Hakam menjadi pembantunya yang terdekat serta menjadi penasihatnya di Damaskus. Selenjutnya pada saat Yazid bin Mu’awiyah, wafat kepemimpinan digantikan oleh Mu’awiyah II bin Yazid namun masa kepemimpinannya itu tidak berlangsung lama.[5]Ketika Mu’awiyah bin Yazid II juga telah wafat, ia tidak menunjuk siapa penggantinya, maka keluarga besar Mu’awiyah mengangkatnya (Marwan) sebagai Khalifah. Ia di anggap sebagai orang yang mampu mengendalikan kekuasaan karena pengalamannya, sedangkan orang lain yang pantas memegang jabatan Khalifah itu tidak didapatkannya. Padahal keadaan begitu rawan dengan terjadinya perpecahan ditubuh bangsa Arab sendiri dan ditambah dengan pemberontakan kaum khawarij dan syi’ah yang bertubi-tubi. Khalifah yang baru ini menghadapi segala kesulitan satu demi satu.[6]Akan tetapi adanya “sukuisme” di kalangan bangsa Arab menyebabkan perpecahan di kalangan Bani Umaiyah. Kalangan bangsa Arab Utara dan kalangan bangsa Arab Selatan. Kalangan bangsa Arab Utara lebih condong kepada Ibnu Zubair, sedangkan kalangan bangsa Arab Selatan mendukung Bani Umaiyah, namun di dalam tubuh Bani Umaiyah sendiri terjadi pecah belah. Sebagian ingin mengangkat Khalid bin Yazid, dan sebagian ingin mengangkat Marwan bin Hakam.[7]
Faktor-faktor Marwan bin Hakam menjadi kholifah:
1. Mundurnya Mu’awiyah II dari kekhalifahan.
2. Adanya konspirasi politik dengan Ummu Khalid setelah dinikahi.
3. Mendapat dukungan dari sebagian masyarakat Arab.
4. Kemampuan meredam masyarakat Demonstran.
5. Terpilihnya Marwan dalam Mu’tamar Al-Jabaiyah pada bulan zulqaidah Th 64 H & menetapkan pengganti Marwan yaitu Khalid bin Yazid, Amru bin Sa’id.
C. Kiprah Marwan bin Hakam
Marwan bin Hakam adalah Khalifah ke empat didalam daulat Bani Umaiyah. Tugas yang pertama setelah menjadi Khalifah adalah menyelamatkan kedudukannya dan mengembalikan orang-orang suku di jazirah kedalam kekuasaannya.
Kebijakan awal pemerintahan Marwan bin Hakam:
1. Menyelamatkan posisinya dan mengembalikan suku-suku dalam wilayahnya.
2. Meredam gerakan Abdullah ibnu Zubairdi Hijaz (Makah), Irak, Mesir, sebagin Suriah.
3. Meredam gerakan-gerakan di Syam yang hendak mengangkat Kholid bin Yazid.
4. Mengalahkan gerakan Khowarij dan Syi’ah.
5. Menghentikan gerakan Al Dhahak ibnu Qois dan An Nukman ibnu Basyir.
6. Mengangkat puteranya Abdul Aziz sebagai gubernur di Syam.
7. Meredam gerakan Mus’ah ibnu Zubair di Palestina.
Dalam kepemimpinan, Marwan bin Hakam menghadapi perjuangan yang lama. Mula-mula perjuangan melawan orang-orang dari kabilah Ad-Dhahak bin Qais. Dia juga mampu menguasai Syam kembali kemudian mengambil Mesir dari tangan Abdullah ibnu Zubair.[8]Pertempuran hebat terjadi antara Ad-dhahak dengan Marwan bin Hakam pada suatu tempat yang bernama Marj-Rahit dalam wilayah distrik ghouta Damsyik. Pertempuran tersebut terjadi pada bulan Muharam tahun 65 H, dimana mengakibatkan Ad-Dhahak dan para pengikutnya tewas, dengan demikian seluruh daerah Syam dikuasai oleh Marwan. Kemenangan atas pertempuran ini berpengaruh kuat terhadap Mesir dan Libya dan seluruh pesisir Afrika Utara. Semuanya Mengangkat bai’at terhadap Marwan bin Hakam.
Pertempuran marj rahit juga menghasilkan kesepakatan untuk mendukung Marwan dan sekarang Marwan melanjutkan perlawanannya terhadap provinsi-provinsi lain yang menerima Ibnu Zubair. Mesir adalah sasaran yang pertama yang paling mudah. Tanpa mengalami kesulitan sama sekali Marwan berhasil membujuk orang-orang di Mesir untuk menarik kesetiaannya dan membai’at Marwan bin Hakam. Hal ini merupakan pencapaian Marwan bin hakam sebelum meninggal dunia.
Sebelum meninggal dunia, Marwan telah membai’at dua orang putranya sebagai putra mahkota yang akan menggantikannya sebagai Khalifah berturut-turut, yaitu Abdul Malik bin Marwan dan Abdul Aziz bin Marwan. Dengan demikian Marwan bin Hakam telah mengabaikan keputusan dari Muktamar Al-jabiyah.[9]
Meskipun diakui bahwa Marwan adalah orang yang berjiwa besar dan bercita-cita tinggi, tetapi dia hanya berkuasa selama 9 bulan, tidak sampai 1 tahun. Lebih tepatnya 9 bulan 18 hari. Marwan bin Hakam meninggal dunia karena dicekik oleh ibunya Khalid dalam keadaan tidur.[10]Marwan bin Hakam meninggal pada bulan Ramadhan tahun 65H/685M, ia wafat dalam usia 63 tahun.
Pada masa pemerintahan Marwan bin Hakam ada orang-orang penting yang manjadi tangan kanannya, antara lain Ubaidullah ibnu Ziyad, Abdullah ibnu Marwan, Abdul Aziz ibnu Marwan. Marwan bin Hakam juga telah berjasa menertibkan alat-alat takaran dan timbangan. Setelah Marwan bin hakam meninggal ia digantikan oleh anaknya yang bernama Abdul Malik bin Marwan.
[1]M.Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 92.
[2]A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1997), hlm.64.
[3]Ahmad Al-Ushairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2003), hlm. 183.
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2003), hlm. 38.
[5]A. Syalabi. Op. Cit, hlm. 64.
[6]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 124.
[7]A.Syalabi, Op. Cit, hlm. 66.
[8] Ahmad Al-Ushairy, Op. Cit, hlm.195.
[9]A.Syalabi, Op. Cit, hlm.66.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar