I. PENDAHULUAN
Kepribadian adalah suatu totalitas psikophisis yang kompleks dari individu, sehingga nampak dalam tingkahlakunya yang unik. Setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda-beda.
Islam merupakan agama yang santun karena dalam islam sangat menjunjung tinggi pentingnya etika, moral, dan akhlak mulia pada pribadi manusia. Kepribadian yang baik, dengan segala macam bentuk dan warnanya, sangat kita perlukan di setiap tempat dan waktu: dalam hubungan kita dengan Allah, hubungan kita kepada diri kita, dan hubungan kita dengan masyarakat.
Keluarga yang menghadirkan anak kedunia ini secara kodrat bertugas mendidik anak. Seluruh isi keluarga itu yang mula-mula mengisi pribadi anak itu. Kemudian lingkungan serta peran pengajar juga mempengaruhi kepribadian anak.
Al-Faqih Abu Laits berkata: “Tanda pibadi yang teguh adalah bila ia memelihara 10 hal, dengan mewajibkannya atas dirinya;
Islam merupakan agama yang santun karena dalam islam sangat menjunjung tinggi pentingnya etika, moral, dan akhlak mulia pada pribadi manusia. Kepribadian yang baik, dengan segala macam bentuk dan warnanya, sangat kita perlukan di setiap tempat dan waktu: dalam hubungan kita dengan Allah, hubungan kita kepada diri kita, dan hubungan kita dengan masyarakat.
Keluarga yang menghadirkan anak kedunia ini secara kodrat bertugas mendidik anak. Seluruh isi keluarga itu yang mula-mula mengisi pribadi anak itu. Kemudian lingkungan serta peran pengajar juga mempengaruhi kepribadian anak.
Al-Faqih Abu Laits berkata: “Tanda pibadi yang teguh adalah bila ia memelihara 10 hal, dengan mewajibkannya atas dirinya;
1. Memelihara lidah dari menggunjing orang lain
2. Menjauhi buruk sangka
3. Menjauhkan diri dari memperolok-olokkan orang lain
4. Menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan
5. Kejujuran lidah
6. Menafkahkan harta pada jalan Allah
7. Jangan boros
8. Janganlah ingin diunggul-unggulkan maupun dibesarkan dirinya
9. Memelihara shalat lima waktu
10 Teguh hati dalam menganut Aswaja.[1]
Dalam makalah ini kami akan membahas hadits tentang pribadi yang Teguh dalam pendirian dan dan pendidikan Nabi Muhammad kepada shahabat saat peristiwa pencurian di Makhzumiyyah.
II. Hadits dan terjemah
A. Tangguh Dalam Pendirian
عَنْ حُدَيْفَةَ قَالَ قَالَ رسو الله صلى الله عليه وسلم لاَتَكُوْنُوا اِمَّعَةً تَقُولُونَ اِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا وَاِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ اِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا وَاِنْ أَسَاءُوا فَلَا تَظْلِمُوا ( اخرجه الترمدي في كتاب البر والصلاح)[2]2
“Dari Hudzaifah berkata, bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda: “Janganlah kalian menjadi tidak berpendirian, kalian berkata, “Jika manusia berbuat baik, kamipun berbuat baik, dan jika manusia berbuat dholim, kamipun berbuat dholim; akan tetapi tetaplah pada pendirian kalian. Jika orang-orang berbuat kebaikan, berbuat baiklah kalian, dan jika orang-orang berbuat kejahatan, janganlah kalian berbuat kejahatan”.(H.R. At-Tirmidi dalam kitab Birri was sholah )
B. Perkara Pencurian Makhzumiyyah
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الّتِي سَرَقَتْ فَقَالُوا وَمَنْ يُكَلِّمُ فِيْهَا رسول الله صلى الله عليه وسلم فَقَالُوا وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ اِلَّا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ حِبُّ رسول الله صلى الله عليه وسلم فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ فَقَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ ثُمَّ قَالَ اِنَّما أَهْلَكَ الذِّيْنَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوْا اِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الشَّرِيْفُ تَرَكُوهُ وَاِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الضَّعِيْفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَاِيْمُ اللهِ لَوْأَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا (اخرجه البخاري في كتاب احاديث الانبياء)[3]3
“Dari Aisyah ra. Bahwasanya suku Quraisy dibingungkan oleh seorang wanita yang bermarga Mahzumiyyah yang telah melakukan pencurian. Mereka berkata: “siapa yang berani berkata kepada Rasulullah SAW.? Dan siapa lagi yang berani (bertanya) kepada Nabi kecuali Usamah kekasih Rasulullah SAW.? Usamah lalu memberitahu Rasulullah SAW, beliau lalu bersabda: ”Apakah kamu memberi syafaat dalam salah satu had Allah. Kemudian beliau berdiri dan berpidato: “wahai manusia sesungguhnya orang-orang sebelum kamu sama tersesat karena mereka apabila ada orang terhormat melakukan pencurian, mereka membiarkannya, dan apabila ada orang lemah melakukanya, mereka mendirikan had atasnya. Demi Allah, andaikan fatimah binti Muhammad melakukan pencurian niscaya Muhammad memotong tangannya. (HR. Al-Bukhari dalam kitab Hadits anbiya’).[4]
C. Pembahasan
1. Pengertian Pendidikan Kepribadian
Pendidikan adalah suatu kegiatan yang didalamnya terdapat metode-metode pengajaran dan pengembangan segala aspek yang dimiliki oleh seseorang.
Sedangkan pengertian kepribadian adalah seperangkat karakteristik dan kecenderungan yang stabil, yang menentukan keumuman dan perbedaan tingkahlaku psikologik (berfikir, mersas dan gerakan) dari seseorang dalam waktu yang panjang dan tidak dapat dipahami secara sederhana sebagai hasil dari tekanan sosial dan tekanan biologis saat itu. Karakteristik itulah yang membedakan antara individu yang satu dengan lainya.[5]
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan kepribadian adalah usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk melatih dan mendidik kepribadian, atau karakter seseorang.
2. Teguh Dalam Pendirian
Teguh pendirian adalah lawan dari kata tidak berpendirian اِمَّعَةً artinya orang yang mengikuti setiap ada orang yang mengajak, dan dia berkata kepada semua orang, saya mengikutimu karena tidak mempunyai pendapat. Maknanya seorang pengikut yang menjadikan agamanya sebagai pengikut agama yang lainya tanpa adanya pendapat dan bukti.
Kutipan Imam al-Qari dari kitab al-Faid: didalam kalimat diatas memberikan isyarat terhadap larangan mengikuti secara penuh baik pada akhlaq lebih-lebih pada i’tiqad dan ibadah.
Dalam kamus “tidak berpendirian” itu seperti orang yang gelisah dan berkeluh kesah dan keduanya tampak ketika seorang lelaki mengikuti setiap orang atas pendapatnya, tidak ada ketetapan hati terhadap sesuatu, mengikuti kebijakan manusia tanpa diajak, mengikuti orang-orang pada agamanya dalam keragu-raguan tanpa adanya tindakan dan seseorang yang berkata “dia bersama orang-orang”. Yang dimaksud disini yaitu:
1. Seseorang yang mengikuti hawa nafsunya dan kehendaknya.
2. Seseorang yang berkata saya bersama dengan orang-orang sebagaimana mereka bersama saya. Apabila mereka baik saya pun baik, dan apabila mereka jelek saya pun jelek. Makna ini adalah makna dari potongan hadits تَقُولُونَ اِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ.
Sedangkan menurut imam at-Thibi makna dari تَقُولُونَ اِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ itu sebagai penjelas terhadap kata اِمَّعَةً , karena sesungguhnya arti dari redaksi وَاِنْ ظَلَمُوا yaitu aku mengikuti manusia dari dalam kabaikan dan kedhzaliman mereka dan mengikuti jejak mereka.
وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ اِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا dalam kamus, ketetapan teguhnya pendirian adalah mempersiapkan dan membuatnya tenang. Didalam kitab munjid tetapnya pendirian yaitu menetapkan jiwa terhadap sesuatu dan dengan mempersiapkan hati untuk melakukan dan mengarahkan kehidupan terhadap sesuatu.[6]
Seseorang dikatakan teguh pendirianya dimana seseorang itu mampu menguasai nafsu dan kehendaknya. Tidak hanya mengikuti orang lain tanpa dasar dan pendapat. Seorang guru harus mendidik muridnya dengan dasar yang kuat sehingga anak tersebut tidak mudah terpengaruh dengan hal-hal yang jelek dan menjadi pribadi yang teguh pendirianya.
3. Perkara Pencurian Makzumiyyah
Ketika Fatimah binti Aswad mencuri perhiasan pada perang Fathul Makkah, siapa yang berani mengatakan peristiwa ini kepada Rasulullah, dengan menanyakan dalil (dasar hukumnya). Dan tidak ada yang berani diantara kita menanyakannya (karena kewibawaan Rasulullah SAW), dan karena Rasulullah SAW tidak akan lemah dalam memegang agama Allah, kecuali Usamah bin Zaid yaitu kekasih Rasulullah. Lalu Usamah mengatakan kejadian tersebut kepada Rasulullah SAW. Beliau lalu bersabda: ”Apakah kamu memberi syafaat dalam salah satu had Allah. Kemudian beliau berdiri dan berpidato: “wahai manusia sesungguhnya orang-orang sebelum kamu sama tersesat karena mereka apabila ada orang terhormat melakukan pencurian, mereka membiarkannya, dan apabila ada orang lemah melakukanya, mereka mendirikan had atasnya. Demi Allah, andaikan fatimah binti Muhammad melakukan pencurian niscaya Muhammad memotong tangannya. Kenapa disini Fatimah dijadikan contoh, karena dia merupakan keluarga Nabi yang paling tinggi derajatnya diantara keluarga Nabi.[7]
Bahwa Nabi menganjurkan agar terhadap kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan oleh anggota masyarakat dimaafkan saja oleh yang terkena yaitu jika tidak mengganggu kepentingan anggota masyarakat dan tidak memudaratkan, jangan diadukan kepada aparat (hakim). Apabila perkara itu sudah sampai ketangan hakim, hakim harus menjatuhkan hukuman dan tidak boleh lagi orang yang mengadukanya memberi syafaat.[8]
Diantara sifat beliau tidak mau membeberkan kesalahan sahabat ditengah ramai. Sifat itu baik kita teladani, agar lahir keadilan dan tegak akhlak murni ditengah masyarakat ramai.[9]
Disini agama Islam tidak membeda-bedakan status seseorang dalam memberikan hukum. Seperti yang Nabi sendiri berkata bahwa ia akan memotong tangan Fatimah jika mencuri. Inilah pribadi Rasulullah yang harus kita teladani untuk memberikan pengajaran kepada orang-orang, agar hukum yang berlaku di Negara kita tidak memandang status dalam memerikan hukuman.
[1] Anshory Umar Sitanggal, Terjemah Durratun Nashihin, (Semarang: CV Asy Syifa’, 1991), hlm.294-296.
[2] Abi Isa Muhammad Bin Isa Bin Saurah, Jami’us Shohih Jus 4, (Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiah), Hlm.320
[3] Ahmad Bin Ali Bin Hajar Al-Asqolani, Fathul Bari Juz 6, (Beirut: Darul Fiqr ), Hlm.513
[4]Imam Abdullah Muhammad Bin Ismail Al Bukhari, Shahih Bukhari Juz 8, ( Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993), Hlm. 627-628
[5] Nur Zariah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), Hlm. 143
[6] Imam Hafidz Abil ‘Ula Muhammad Abdurohman Bin Abdirrohim Mubarokfuri, Tuhfatul Ahwad Juz 6, ( Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiah), Hlm.123
[7] Imam Sihabbudin Bin Abil ‘Abas Ahmad Bin Muhammad Atsani Al Qustholani, Irsyadus Syari Jus 7, (Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiah), Hlm 432
[8] Teungku Muhammad Hasbsi Ash-Shidieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum Jilid 4, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2011), Hlm. 401-402
[9] Kahar Masyhur, Bulughul Maram, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), Hlm. 217.
Pendidikan adalah suatu kegiatan yang didalamnya terdapat metode-metode pengajaran dan pengembangan segala aspek yang dimiliki oleh seseorang.
Sedangkan pengertian kepribadian adalah seperangkat karakteristik dan kecenderungan yang stabil, yang menentukan keumuman dan perbedaan tingkahlaku psikologik (berfikir, mersas dan gerakan) dari seseorang dalam waktu yang panjang dan tidak dapat dipahami secara sederhana sebagai hasil dari tekanan sosial dan tekanan biologis saat itu. Karakteristik itulah yang membedakan antara individu yang satu dengan lainya.[5]
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan kepribadian adalah usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk melatih dan mendidik kepribadian, atau karakter seseorang.
2. Teguh Dalam Pendirian
Teguh pendirian adalah lawan dari kata tidak berpendirian اِمَّعَةً artinya orang yang mengikuti setiap ada orang yang mengajak, dan dia berkata kepada semua orang, saya mengikutimu karena tidak mempunyai pendapat. Maknanya seorang pengikut yang menjadikan agamanya sebagai pengikut agama yang lainya tanpa adanya pendapat dan bukti.
Kutipan Imam al-Qari dari kitab al-Faid: didalam kalimat diatas memberikan isyarat terhadap larangan mengikuti secara penuh baik pada akhlaq lebih-lebih pada i’tiqad dan ibadah.
Dalam kamus “tidak berpendirian” itu seperti orang yang gelisah dan berkeluh kesah dan keduanya tampak ketika seorang lelaki mengikuti setiap orang atas pendapatnya, tidak ada ketetapan hati terhadap sesuatu, mengikuti kebijakan manusia tanpa diajak, mengikuti orang-orang pada agamanya dalam keragu-raguan tanpa adanya tindakan dan seseorang yang berkata “dia bersama orang-orang”. Yang dimaksud disini yaitu:
1. Seseorang yang mengikuti hawa nafsunya dan kehendaknya.
2. Seseorang yang berkata saya bersama dengan orang-orang sebagaimana mereka bersama saya. Apabila mereka baik saya pun baik, dan apabila mereka jelek saya pun jelek. Makna ini adalah makna dari potongan hadits تَقُولُونَ اِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ.
Sedangkan menurut imam at-Thibi makna dari تَقُولُونَ اِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ itu sebagai penjelas terhadap kata اِمَّعَةً , karena sesungguhnya arti dari redaksi وَاِنْ ظَلَمُوا yaitu aku mengikuti manusia dari dalam kabaikan dan kedhzaliman mereka dan mengikuti jejak mereka.
وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ اِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا dalam kamus, ketetapan teguhnya pendirian adalah mempersiapkan dan membuatnya tenang. Didalam kitab munjid tetapnya pendirian yaitu menetapkan jiwa terhadap sesuatu dan dengan mempersiapkan hati untuk melakukan dan mengarahkan kehidupan terhadap sesuatu.[6]
Seseorang dikatakan teguh pendirianya dimana seseorang itu mampu menguasai nafsu dan kehendaknya. Tidak hanya mengikuti orang lain tanpa dasar dan pendapat. Seorang guru harus mendidik muridnya dengan dasar yang kuat sehingga anak tersebut tidak mudah terpengaruh dengan hal-hal yang jelek dan menjadi pribadi yang teguh pendirianya.
3. Perkara Pencurian Makzumiyyah
Ketika Fatimah binti Aswad mencuri perhiasan pada perang Fathul Makkah, siapa yang berani mengatakan peristiwa ini kepada Rasulullah, dengan menanyakan dalil (dasar hukumnya). Dan tidak ada yang berani diantara kita menanyakannya (karena kewibawaan Rasulullah SAW), dan karena Rasulullah SAW tidak akan lemah dalam memegang agama Allah, kecuali Usamah bin Zaid yaitu kekasih Rasulullah. Lalu Usamah mengatakan kejadian tersebut kepada Rasulullah SAW. Beliau lalu bersabda: ”Apakah kamu memberi syafaat dalam salah satu had Allah. Kemudian beliau berdiri dan berpidato: “wahai manusia sesungguhnya orang-orang sebelum kamu sama tersesat karena mereka apabila ada orang terhormat melakukan pencurian, mereka membiarkannya, dan apabila ada orang lemah melakukanya, mereka mendirikan had atasnya. Demi Allah, andaikan fatimah binti Muhammad melakukan pencurian niscaya Muhammad memotong tangannya. Kenapa disini Fatimah dijadikan contoh, karena dia merupakan keluarga Nabi yang paling tinggi derajatnya diantara keluarga Nabi.[7]
Bahwa Nabi menganjurkan agar terhadap kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan oleh anggota masyarakat dimaafkan saja oleh yang terkena yaitu jika tidak mengganggu kepentingan anggota masyarakat dan tidak memudaratkan, jangan diadukan kepada aparat (hakim). Apabila perkara itu sudah sampai ketangan hakim, hakim harus menjatuhkan hukuman dan tidak boleh lagi orang yang mengadukanya memberi syafaat.[8]
Diantara sifat beliau tidak mau membeberkan kesalahan sahabat ditengah ramai. Sifat itu baik kita teladani, agar lahir keadilan dan tegak akhlak murni ditengah masyarakat ramai.[9]
Disini agama Islam tidak membeda-bedakan status seseorang dalam memberikan hukum. Seperti yang Nabi sendiri berkata bahwa ia akan memotong tangan Fatimah jika mencuri. Inilah pribadi Rasulullah yang harus kita teladani untuk memberikan pengajaran kepada orang-orang, agar hukum yang berlaku di Negara kita tidak memandang status dalam memerikan hukuman.
[1] Anshory Umar Sitanggal, Terjemah Durratun Nashihin, (Semarang: CV Asy Syifa’, 1991), hlm.294-296.
[2] Abi Isa Muhammad Bin Isa Bin Saurah, Jami’us Shohih Jus 4, (Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiah), Hlm.320
[3] Ahmad Bin Ali Bin Hajar Al-Asqolani, Fathul Bari Juz 6, (Beirut: Darul Fiqr ), Hlm.513
[4]Imam Abdullah Muhammad Bin Ismail Al Bukhari, Shahih Bukhari Juz 8, ( Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993), Hlm. 627-628
[5] Nur Zariah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), Hlm. 143
[6] Imam Hafidz Abil ‘Ula Muhammad Abdurohman Bin Abdirrohim Mubarokfuri, Tuhfatul Ahwad Juz 6, ( Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiah), Hlm.123
[7] Imam Sihabbudin Bin Abil ‘Abas Ahmad Bin Muhammad Atsani Al Qustholani, Irsyadus Syari Jus 7, (Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiah), Hlm 432
[8] Teungku Muhammad Hasbsi Ash-Shidieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum Jilid 4, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2011), Hlm. 401-402
[9] Kahar Masyhur, Bulughul Maram, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), Hlm. 217.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar