Kamis, 04 Juli 2013

MEMPELAJARI ILMU DAN TANGGUNGJAWAB KEILMUAN

I. PENDAHULUAN

Ilmu merupakan anugrah teristimewa yang diberikan Allah kepada umat manusia. Ilmu adalah cahaya yang dianugrahkan Allah untuk memberi petunjuk kepada manusia dalam peradaban dunia dan memerangi beraneka jalan. Ilmu sangat dipuji dan inilah sebabnya mengapa ada kehausan akan ilmu pengetahuan yang tidak ada habis-habisnya.

Ilmu mengajarkan kita pengetahuan tentang segala hal yang ada didunia ini hingga menembus akhirat baik tentang kejadian alam, keberadaan makhluk hidup, sampai kepada sebuah keyakinan untuk bernaung dibawah sebuah dzat yang kuat dan besar.Itulah ilmu tauhid yaitu ilmu ketuhanan sehingga setiap orang yang makin berilmu tentang Allah, maka rasa takutnya pun semakin besar terhadapNya, dan hal tersebut mendorongnya untuk menjauhi segala bentuk kemaksiatan dan sebaliknya mendorongnya untuk berbuat kebaikan.

Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut bagaiaman seorang mukmin harus mencari ilmu, hilangnya ilmu karena wafatnya para ulama dan bagaimana hasud yang diperkenankan menurut hadis nabi.

II. HADIS DAN TERJEMAH

A. Hadis Abu Sa’id al-Khudri tentang Mukmin harus mencari ilmu kebaikan

عَنْ اَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّه صَلَّي اللَّهُ عّلّيْهِ وَسَلَّم " لَنْ يَشْبَعَ الْمُؤْمِنُ مِنْ خَيْرٍ يَسْمَعُهُ حَتَّى يَكُوْنُ مُنْتَهَاهُ الْجَنَّةُ ( اخرجه محمدبن اسمعل البخرى )

Artinya : dari Abu Sa’id al Khudri berkata, Rasulullah bersabda “ sekali-kali tidak akan kenyang seorang mukmin dari kebaikan yang didengarnya, sampai ia masuk surga”. (HR. Muhamad bin Isma’il al Bukhari). [1]

B. Hadis Abdillah Amr bin Ash tentang hilangnya pengetahuan karena meninggalnya orang yang berilmu



عَنْ عَبْدِاللَّه بْن عَمْروبْنِ العَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُول اِنَّ اللَّه لاَيَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ, وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلمَ بِقَبضِ الْعُلَمَا ءِ حَتَّى اِذَا لَمْ يَبْقِ عَالٍمًا اَتَّخّدَ النَاسً رُؤْسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَافْتَوْ بِغَيْرٍ عِلْمٍ فَضَلّوُا وَاءَضَلُّوا ( اخرجه محمد بن اسمعل البخرى )[1]

Artinya: dari Abdillah bin Amr bin Ash ra, ia berkata: saya mendengar Rasulullah SAW. Bersabda ; “sungguh, Allah akan mnecabut ilmu dari manusia begitu saja. Tetapi Allah mencabutnya dengan mengambil (mewafatkan) orang-orang yang berilmu, sampai tidak lagi tersisa seorang alim pun, lalu menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Para pemimpin yang bodoh itu ditanya, lalu mereka memberi fatwa tanpa dasar ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.[3]

C. Hadis abdullah bin Mas’ud tentang dua macam hasad yang diperkenankan



عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيهِ وسَلَّمَ لاَحَسَدَ اِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ اَتَاهُ اللَّه مَالاَ فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ اَتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا ( اخرجه محمدبن اسمعل البخري في الكتاب العلم )[1]

Artinya: dari Abdillah bin Mas’ud ra berkata; Rasulullah SAW bersabda : “tidak boleh hasud (dengki), kecuali didalam dua hal, yaitu terhadap orang yang diberi harta oleh Allah, kemudian ia mempergunakannya untuk membela kebenaran, dan terhadap orang yang diberi ilmu pengetahuan oleh Allah kemudian ia mengamalkannya dan mengajarkannya”. (HR. Muhamad Bin Isma’il al Bukhari).

III. PEMBAHASAN


A. Seorang Mukmin Harus Mencari Ilmu yang Bermanfaat
Dalam hadis diatas disebutkan bahwa seorang mukmin harus mencari ilmu kebaikan, baik kebaikan untuk dunia maupun akhirat yang kelak bisa mengantarkannya menuju nikmat Allah yaitu surga. Mukmin yang mencari ilmu kebaikan harus berfikir secara islami. Agama Islam menganjurkan mempergunakan akal pikiran untuk menganalisa, meneliti semua makhluk dan alam benda ciptaan Allah ini, agar iman dan keyakinan semakin hidup dan semakin tinggi mutunya.[5]

Hadis diatas menjelaskan bahwa dorongan untuk selalu melakukan amal-amal kebaikan, sebagian cara memuliakan ilmu adalah belajar dan mengajar, karena perilaku tersebut akan senantiasa mengontrol dan mengoreksi kebenaran amal perbuatannya, serta seorang mukmin tidak akan merasa puas dan lelah dalam mencari maupun mempelajarinya.

Ilmu adalah cahaya yang dianugrahkan Allah, memberi petunjuk kepada manusia dalam percaturan dunia dan menerangi beraneka jalan. Ilmu adalah pintu yang lebar terbuka bagi orang bodoh dan merupakan cahaya yang menerangi kegelapan.[6]

Ilmu yang bermanfaat tidak diukur dengan banyaknya pengetahuan tentang tokoh, waktu, tempat, dan berbagai hal. Ada juga yang beranggapan bahwa berilmu berarti sanggup berbicara panjang lebar dan bisa diajak dialog atau berdiskusi dengan siapapun dan dalam tema apapun. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang memberikan manfaat di dunia dan akhirat. Ilmu yang bermanfaat dan diberkahi menuntun pemiliknya kepada keutamaan, mencegahnya dari kehinaan, menahannya dari kesesatan, menghalanginya dari hawa nafsu, menyelamatkan dari kejelekan, dan keabdian yang langgeng disisi Allah.[7]

Karena ilmu menjadi sarana bagi seoarang mukmin untuk memperoleh kesejahteraan dunia maupun akhirat maka mencari ilmu hukumnya wajib bagi setiap mukmin laki-laki ataupun perempuan. Mengkaji ilmu merupakan pekerjaan mulia karenanya maka orang yang keluar dari rumahnya untuk mengkaji dan mencari ilmu kebaikan dengan didasari iman kepada Allah, maka semua yang ada di bumi mendoakannya, termasuk ikan di dalam lautan. Mencari ilmu berarti melaksankan perintah agama yang memerlukan perjuangan, ketabahan, keuletan, kerja keras dan kesabaran.[8]

Ilmu yang terkandung dalam pemikiran umat Islam, bukan hanya ilmu dunia, bukan hanya ilmu akhirat, tetapi mencakup semua bidang ilmu. Dari sanalah ilmu bertambah luas hingga meliputi seluruh pengetahuan. Di antaranya ilmu agama yang berupa hukum fikih, syariat, ilmu tauhid dan logika, budaya dan sastra, astronomi dan ilmu falak, teknik dan kimia, olah raga dan jiwa raga, dan lain-lain sains yang tersebar di masa kini.

B. Hilangnya Ilmu Pengetahuan Karena Wafatnya Seorang Ulama


Di dalam kitab Fathul Baari Syarah Sahih Bukhari Muslim diterangkan bahwa hadis ini berisi anjuran menjaga ilmu, peringatan bagi pemimpin yang bodoh, peringatan bahwa yang berhak mengeluarkan fatwa adalah pemimpin yang benar-benar menguasai ilmu pengetahuan, dan larangan bagi orang yang berani mengeluarkan fatwa tanpa berdasarkan ilmu pengetahuan.[9]

Orang alim atau ulama adalah orang yang memahami dan menguasai ilmu Al-Qur’an dan hadits, yang merupakan pedoman hidup umat manusia. Seorang ulama adalah panutan bagi kaumnya, karena baik buruknya sekelompok kaum tergantung ulamanya. Karena ulama adalah pewaris nabi.

Sungguh para ulama merupakan pelita bagi umat. Keberadaan mereka sangat penting dalam membimbing dan mengarahkan umat ini ke jalan hidayah, dengan berpedoman kepada Al-Qur’an dan As sunnah berdasarkan pemahaman para generasi As-Salafushshalih. Mereka adalah orang-orang terpercaya, pewaris para nabi yang mengemban tugas besar menjaga agama ini dari berbagai penyelewengan dan penyimpangan.

Ketika para ulama wafat, saat itulah ilmu hilang karena manusia diibaratkan domba-domba yang dibawa ke padang rumput jika si pengembala meninggal maka domba-domba tersebut akan tersesat dan berpencar karena tidak ada yang menuntunnya. Begitulah keadaan ilmu jika pemiliknya telah tiada. Kecuali jika ilmu itu diamalkan sebaik-baiknya sebagaimana yang diwariskan oleh ulama sebelumnya.

Ibnu Mas’ud berkata, “ hendaklah kamu sekalian mempunyai banyak ilmu sebelum ilmu tersebut diangkat (hilang) dan hilangnya ilmu itu dengan wafatnya para perawinya (para ulama). Demi zat tempat jiwaku tergenggam, bahwa orang-orang yang mati memperjuangkan agama sebagai syahid sungguh menginginkan dibangkitkan sebagai ulama, karena mereka melihat kemuliaan para ulama.dan tidak seorang manusia pun yang lahir berilmu, sebab ilmu harus dipelajari.[10]

Apabila orang yang berpengetahuan telah habis, maka orang yang mengangkat orang-orang bodoh menjadi pemukanya. Mereka (orang-orang yang bodoh) itulah tempat bertanya dan mereka berfatwa tidak dengan ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan orang. Kemajuan suatu umat tergantung kepada banyaknya ulama dan orang terpelajarnya, karena merekalah yang memberi penerangan dalam segala hal. Pemimpin yang bodoh itu memimpin orang menuju kebinasaan.[11]

Ketika peristiwa haji wada’ Rasulullah SAW, kedepan dan memulai khutbahnya. Dalam khutbah Nabi, beliau bersabda”wahai sekalian manusia ambillah sebagian dari orang yang berilmu sebelum seluruh ilmu ditarik dan diangkat.”

Hadist ini menguatkan hadist diatas bahwa umat muslim dianjurkan bahkan diwajibkan untuk mempelajari ilmu sebelum ilmu-ilmu itu ditarik. Hal ini telah disebutkan dalam Al-qur’an dan Hadist, bahwa salah satu tanda kiamat adalah lenyapnya ilmu di dunia.

Pelajaran yang terdapat dari hadis diatas antara lain:

1. Sesungguhnya ulama merupakan sumber keamanan manusia di dalam bumi ini serta sumber keutamaan dan kebaikan.
2. Berita gembira untuk para ulama, berkaitan dengan kesempurnaan anugerah Allah SWT kepada mereka, bahwa Allah tidak akan mencabut ilmu mereka.
3. Dorongan untuk mencari ilmu, untuk memperbanyak ulama dan memberikan manfaat yang besar kepada manusia dengan kehadiran mereka beserta keutamaan dan penglihatan mereka di dalam perkara agama.
4. Orang yang berdakwah kepada umat dan memberikan fatwa kepada manusia dengan tanpa didasari ilmu, maka akan sangat membahayakan dirinya, karena melakukan kebohongan atas nama Allah, dan juga merugikan orang lain karena telah membodohi mereka.
5. Peringatan untuk berhati-hati dalam memberikan fatwa dengan kebodohan atau fatwa tanpa mengetahui ilmunya.
6. Sedikitnya pengetahuan agama merupakan bagian pertanda dekatnya hari kiamat.
7. Jaga baik-baik ilmu agama.
8. Pelajari ilmu dari orang yang benar-benar ahli.
9. Pengangkatan seorang pemimpin harus memperhatikan juga ilmu agamanya.
10. Fatwa tidak boleh dikeluarkan sembarangan.[12]

C. Hasad Yang Diperkenankan

Hasad artinya merasa tidak senang jika orang lain mendapatkan kenikmatan dan berusaha agar kenikmatan tersebut cepat berakhir dan berpindah kepada dirinya, serta merasa senang kalau orang lain mendapat musibah.

Dari hadis diatas kita tahu bahwa hasad yang diperbolehkan ada 2, yaitu seorang laki-laki yang diberikan harta dan ia sibuk menginfaqkan hartanya sepanjang hari (siang malam) dan seorang laki-laki yang datang padanya Alqur’an dan ia sibuk mengamalkannya sepanjang hari.

Sebab-sebab hasad :

Ada banyak sebab hasad yang sebagian besar berasal dari rasa rendah diri ( minder ), persis sebagaimana takabur berasal dari rasa tinggi diri. Dapat dikatakan bahwa dengki adalah kekerdilan jiwa dan kerendahan diri yang terwujud dalam bentuk keinginan akan musnahnya atau hilangnya kelebihan atau keberuntungan orang lain. Sebagian ulama seperti ‘Allamah Al-Majlisi membatasi sebab-sebab dengki pada tujuh hal berikut:

1. Rasa permusuhan.
2. Perasaan akan kelebihan diri sendiri.
3. Takabur (kesombongan).
4. Ujub (heran melihat karunia besar yang dimiliki orang yang menjadi sasaran kedengkiannya).
5. Takut.
6. Cinta kekuasaan.
7. Watak jahat.

Keburukan-keburukan hasad

Hasad itu sendiri merupakan salah satu penyakit hati yang merusak. Darinya, lahir banyak penyakit hati lain, seperti takabur dan rusaknya amal perbuatan. Semua sifat batiniah dan lahiriah dalam keimanan dihilangkan oleh akibat-akibat dengki yang terwujud di dalam dan diluar kepribadian seseorang. Manusia yang beriman bersifat optimis dan memiliki sikap penuh harap kepada Tuhan dan merasa puas atas cara Allah membagi dan menetapkan anugerah-Nya di antara makhluk-Nya. Orang yang dengki merasa tidak rela kepada Tuhan dan marah pada nasib yang ditetapkan oleh-Nya.[13]


                                
[1]Achmad Sunarto, Terjemah Riyadhus Shalihin, ( Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. 318.
[2] Imam Zaenudin Ahmad bin Abdul Latif Zubaidi, Mukhtashar Shahih Bukhari, ( Bairut: Darul Qutub Ilmiah, t,th).hlm 36.
[3] Imam Syihabudin Abi Abas Ahmad Bin Muhamad syafii Al Qastalani, Iryadus Sari Syarah Shahih Bukhari, ( Bairut: Darul Kitab Al Ilmiah, t.th), hlm.254.
[4] Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Riyadhus Shalihin, ( Bairut: Darul Kitab Al Ilmiah, t.th), hlm. 369.
[5] Djama’uddin Ahmad Al Buny, Mutu Manikam dari Kitab Al Hakim, (Surabaya: Mutiara ilmu, 1995), hlm. 515.
[6]Muhamad Qutub, Percikan Sinar Rasulullah, ( Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996 ), hlm. 36-37
[7] Aid al Qarni, Memahami Semangat Zaman, ( Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm. 269.
[8] Juwariyah, Hadis Tarbawi, ( Yogyakarta: Teras, 2010 ), hlm. 140-142.
[9] Ahmad bin Ali bin Hajar Al Asqalani, Fathul Baari bi Syarah Shahih Bukhari, juz 2, ( Beirut: Darul Fikr, t.th.), hlm. 375.
[10] Tarmana Abdul Qasim, Barometer Pribadi Insan Kamil 79 Kriteria Keimanan, ( Bandung: PT Trigenda Karya, 1994), hlm. 80.
[11] Zainudin Hamidi dkk, Terjemah Shahih Bukhari, jilid 1, ( Jakarta: Wijaya, 1969), hlm. 62.
[12] Ahmad Muhamad Yusuf, Ensiklopedia Tematis Ayat Al-Qur’an dan Hadis, ( Jakarta: Widya Cahaya, 2009), hlm. 44-45.
[13] Imam Khomeini, 40 Hadis Telaah atas Hadis Mistis dan Akhlak, ( Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), hlm. 120-131.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar