Kamis, 21 November 2013

FILSAFAT ISLAM IBNU SINA

I. PENDAHULUAN

Filsafat islam mencapai puncak kecemerlangannya pada zaman hidupnya Syaikh ar-Rais Abu ‘Ali al-Husein bin ‘Abdullah Ibnu Sina. Dialah filosof Islam yang paling banyak menulis buku-buku ilmiah sampai soal-soal yang bersifat cabang dan ranting. Para filosof islam yang datang sesudahnya tidak mencapai kemajuan yang berarti, malah sebagian besar dari mereka itu hanya menguraikan buku-buku yang ditulis oleh Ibnu Sina, seperti Ar-Razi dan Thusi misalnya. Pada zamannya, filsafat Islam mencerminkan kepribadian Ibnu Sina sehingga ia menjadi sasaran serangan kalangan yang mengecam filsafatnya dan menghendaki kehancurannya.

Kalau Al Kindi seorang Arab, dan Al Farabi seorang Turki, maka Ibnu Sina adalah orang Persia. Semuanya itu menunjukkan corak universal peradaban Islam. Hal itu dimungkinkan oleh agama yang melandasi filsafat itu sendiri, islam, dan berkat bahasanya, yaitu bahasa Arab.

Selanjutnya, makalah ini akan membahas lebih lengkap mengenai seorang filosof yang bernama Ibnu Sina.

II. RUMUSAN MASALAH

A. Bagaimanakah biografi Ibnu Sina?
B. Apa saja karya-karya Ibnu Sina?
C. Bagaimanakah Filsafat Ibnu Sina?

III. PEMBAHASAN

A. Biografi Ibnu Sina

Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali Al-Husain ibnu ‘Abdullah ibn Hasan ibnu ‘Ali ibn Sina. Di barat populer dengan sebutan Avicenna akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Ibnu Sina dilahirkan di Afsyana dekat Bukhara pada tahun 980 M dan meniggal dunia pada tahun 1037 M dalam usia 58 tahun. Jasadnya dikebumikan di Hamadzan.[1]

Ibnu Sina banyak mempelajari kitab karangannya Abi ‘Abdillah Al-Natily yang Berjudul “Isagogi”, dan buku karangan Elides dan Al-Magisty. Pada waktu ia menerangkan isi buku-buku tersebut kepada gurunya, ia menunjukan kecerdasan pikirannya yang mengagumkan, karena ia dapat mengungkapkan isinya secara jelas sesuai dengan rumus-rumus dan problematika yang ditulis dalam buku-buku tersebut, dimana gurunya sendiri tidak dapat memahaminya.

Dalam autobiografi Ibnu Sina memulainya dengan mengatakan: “ayahku seorang penduduk Balakh. Ia pindah ke Bukhara pada zaman pangeran Nuh bin Manshur.” Ia menulis autobiografinya dengan baik dan kemudian disempurnakan oleh muridnya, Al-Jurjani. Singkat kata, pada usia 10 tahun ia telah menyelesaikan pelajaran al-Qur’an, sastra, dan bahasa Arab. Kemudian ia belajar ilmu fiqh pada seorang Guru yang bernama Isma’il yang terkenal sebagai orang yang hidup zuhud (menjauhi kesenangan duniawi). Disamping itu, ia juga belajar matematika dan imu ukur pada Ali Abu abdullah an-Natili. Setelah itu ia belajar sendiri dengan membaca berbagai buku, termasuk buku-buku Syarh hingga menguasai ilmu semantik. Tidak ketinggalan pula ia mempelajari buku Ocledus mengenai ilmu ukur (geometri) dan buku-buku lain tentang ilmu kedokteran.

Pada waktu usia 16 tahun kemasyhurannya telaah menyebar luas sampai kepada ahli kedokteran lainnya sehingga mereka tertarik mempelajari pengalaman dan berbagai macam teknik penyembuhan dari padanya.

Ketika usia 18 tahun ia telah dapat menguasai berbagai ilmu pengetahuan, dan ketika menginjak usia 22 tahun ayahnya meninggal dunia. Pada waktu itu timbul kekacauan polotik dalam pemerintahan As-Samiyah ini, terpaks pindah ke Buchara, kemudian pindah lagi ke Georgia, dan pindah lagi ke Rai, akhirnya pindah lagi ke Hamdan di kota inilah ia diangkat menjadi mentri dari Sultan Syamsudin Daulah Abu Tahir bin Fachrid daulah Ali bin Ruknid Daulah Al-Hasan bin Buwaihid Dailami.

Dalam usia 18 tahun ia telah selesai mempelajari semua ilmu tersebut. Sebuah cerita mengatakan bahwa pada masa itu ia hafal isi buku Metaphysica di luar kepala tanpa memahami kandungan maknanya hingga saat ia menemukan buku Al-Farabi yang menerangkan maksud tulisan Aristoteles. Setelah itu barulah ia dapat memahami perumusan kalimatnya. Kenyataan itu membuat Ibnu Sina mengakui kedudukan Al-Farabi sebagai Guru kedua.

Ketika pindah ke Bukhara ia dipanggil oleh Sultan Nuh bin Manshur untuk mengobati penyakitnya, dan ternyata ia berhasil menyembuhkannya. Kejadian ini merupakan awal-mula hubungannya dengan Sultan tersebut, yang kemudian memberi kesempatan kepadanya memeriksa ribuan buku yang tersimpan di dalam perpustakaannya. Dengan kekuatan daya ingatnya yang luar biasa ia dapat mengingat isi sebagian besar buku-buku tersebut. Kemudian ia menulis bukunya yang pertama untuk pangeran Nuh, perihal psikologi menurut metode Aristoteles. Buku tersebut diberi nama Hadiyyatur-Ra’is ilal Amir (hadiah Ibnu Sina kepada Amir). Buku tersebut berisi pembahasan tentang kekuatan-kekuatan psikologis. Buku yang lain tentang psikologi ditulisnya dalam bentuk risalah kecil.[2]

Atas keberhasilan Ibnu Sina dalam mengembangkan pemikiran filsafat sehingga dapat dinilai bahwa filsafat ditangannya telah mencapai puncaknya, dan karena prestasinya itu, ia berhak memperoleh gelar kehormatan dengan sebutan al Syikh al-Ra’is (Kiyahi Utama).

Sebagai pemikir inovatif dan kreatif pada umumnya, Ibnu Sina tidak terlepas dari cobaan yang menimpa dirinya. Ketika pustaka istana, kutub Khana terbakar, ia dituduh membakarnya supaya orang lain tidak dapat menguasai ilmu yang ada disana. Cobaan lain, bahwa ia pernah dipenjarakan oleh putra Al-Syams Al-Dawlah, hanya semata-mata kedengkian atau ketidaksenangan. Setelah beberapa bulan, ia dapat meloloskan diri dari penjara dan lari ke Isfahan dan disambut oleh Amirnya dengan segala kehormatan. Di kota inilah ia mengabdikan dirinya sampai akhir hayatnya.

B. Filsafat Ibnu Sina

1. Pembuktian Adanya Tuhan

Dalam pembuktian adanya Tuhan Ibnu Sina menempuh jalur lain. Pertama membedakan wujud dari esesnsi, dan menempatkan bahwa wujud sesuatu bukan merupakan bagian dari esensinya, kita bisa membayangkannya dengan tanpa bisa mengetahui apakah ia itu ada atau tidak. Sebab, wujud merupakan salah satu aksidensinya bagi substansi bukan sebagai unsur pengadanya. Prinsip demikian berlaku bagi selain Yang Maha Esa SWT, yang wujudnya tidak terpisah dari substansi-Nya, karena ia adalah Yang Pertama dan harus ada dengan sendiri-Nya.

2. Teori Ketuhanan

Konsepsi ini dimulai al-Kindi dan diperdalam oleh al-Farabi dan Ibnu Sina hingga pada puncaknya, karena ia berpendapat bahwa Allah Esa tidak berbilang, sma sekali tidak menyamai makhluk-Nya, kekal tidak akan fana. Ia adalah Yang Esa yang sebenarnya karena ia Esa dengan sendiri-Nya karena tidak mengambil keesaan-Nya dari selain diri-Nya. Ia adalah pencipta yang Maha kuasa dan pencipta yang Maha Bijak.

Ibnu Sina tidak banyak keluar dari garis ini, karena baginya Allah adalah sesuatu yang harus ada dengan sendirinya, tidak ada sesuatu apapun juga yang menyekutui-Nya dalam sustansi-Nya, karena ia tidak memiliki tandingan maupun lawan. Ia mengetahui segala sesuatu dari segi adanya sesuatu itu di dalam rangkaian umum sisitem alam.[3]

Dalam paham Ibnu Sina,essensi terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujud-lah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Kombinasi essensi dan wujud dapat dibagi :

a. Essensi yang tak dapat mempunyai wujud (mumtani’al-wujud) yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being). Contohnya rasa sakit.

b. Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud (mumkin al-wujud) yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.

c. Essensi yang tak boleh dan tidak mesti mempunyai wujud (wijib al-wujud). Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu kesatuan. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi ini mesti dan wajib mempunyai wujud selama lamanya. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.[4]

3. Hubungan Jiwa Raga

Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya hubungan antara jiwa raga; tetapi semua kecenderungan pemikiran Aristoteles menolak suatu pandangan dua substansi, yang oleh Ibnu Sina diyakininya sebagai bentuk dari dualisme radikal. Sejauh mana dua aspek doktrinnya itu bersesuaian merupakan suatu pertanyaan yang berbeda: Ibnu Sina tentu tidak menggunakan dualismenya untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar dan kebetulan tentang hubungan jiwa raga. Meskipun demikian, keterangannya adalah menarik dan mendalam.

Dalam buku psikologinya kitabus syifa, beliau mengatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan dewasa, tetapi dalam kondisi semacam itu ia dilahirkan dalam keadaan lemah dimana tubuhnya tak dapat menyentuh apa-apa dan ia tidak dapat memahami apa-apa tentang dunia lahiriah ini. Kita perhatikan pula bahwa ia tak dapat melihat tubuhnya sendiri, dan bahwa anggota-anggota tubuhnya tercegah dari kesalingsentuhan, sehingga ia tak memiliki persepsi rasa apapun. Orang semacam itu takkan mengetahui dunia ini, bahkan keberadaan dirinya sebagai sebagai wujud spiritual yang murni. Nah, apa yang diketahuinya tentu tidak sama dengan apa yang tidak diketahuinya. Oleh karena itu, jiwa merupakan substansi yang bebas dari tubuhnya.[5]

4. Nubuwat

Menurut Ibnu Sina, ada empat tingkatan untuk membenarkan nubuwat, yakni tingkatan akal, imanjinasi, mu’jizat dan sosio-politik. Tidak disangsikan lagi bahwa seorang Nabi diberkati suatu kemampuan intelektual yang tinggi dan dapat berpikir tanpa “silogisme moral.”

Ibnu Sina juga berpendapat bahwa tidak semua orang memiliki pemahaman moral yang mendalam; hanya para Nabi, karena kontak mereka dengan akal aktif, dapat sampai kepada hasil-hasil tanpa silogisme moral. Selain itu, seorang Nabi percaya kepada dirinya sendiri dan kepada pengetahuan yang diterimanya, dan karena itu, ia dapat menghadapi dunia dengan rasa yakin. Akal aktif adalah tidak lain dari pemahaman yang mendalam yang ada pada diri seorang Nabi, dalam menciptakan pengetahuan dan nilai-nilai.

Namun demikian, adalah keliru bila mengidentikkan nabi dengan akal aktif. Nabi adalah manusia juga dan karena itu, ia adalah akal aktif “secara kebetulaan.” Tidak disangsikan lagi, seorang Nabi mempunyai akal yang luar biasa dan pemahaman yang mendalam mengenai realitas yang paling hakiki, akan tetapi pemahaman yang mendalam saja belum cukup. Seorang Nabi harus merombak masyarakatnya dengan kepribadiannya yang dinamis, dan harus memenuhi hati masyarakat itu dengan hasrat-hasrat dan aspirasi-aspirasi yang baru. Oleh sebab itu, ia harus diberkati dengan suatu kemampuan imajinasi yang sangat kuat. Ia harus dapat mengubah logika yang ingin menjadi realitas yang hidup. Ditangannya, konsep-konsep dan ide-ide intelektual menjadi gambaran-gambaran dan simbol-simbol realitas yang lebih dalam, dan dengan demikian memperoleh kekuatan untuk menggerakkan orang-orang agar bertindak dengan cara tertentu.

Berkat pemahaman yang dikaitkan dengan imajinasi yang kuat, para nabi telah mampu melancarkan program-program sosio-politik, mula-mula dalam masyarakat mereka sendiri, kemudian di dunia sekelilingnya. Yang dimaksudkan oleh Ibnu Sina adalah adalah revolusi sosio-politik dan moral spiritual yang telah dilancarkan oleh Nabinya sendiri, Hazrat Muhammad, yang dalam tempo singkat, yakni 15 tahun, telah mencapai hasil yang benar-benar merupakan mu’jizat dan adi-manusiawi.

Dari analisis Ibnu Sina mengenai nubuwat tersebut, menjadi jelas bahwa seorang Nabi sama sekali bukan manusia biasa, tetapi berada jauh diatas rakyat biasa karena pemahaman intelektualnya, pemahaman dalamnya yang kreatif, imajinasinya, dan kemampuannya menerjemahkan program-programnya ke dalam praktek. Perbedaan mengenai Nubuwat antara Farabi dengan Ibnu sina yaitu, menurut Farabi seorang diangkat menjadi Nabi setelah ia melalui suatu proses pemahaman intelektual yang lama, sementara menurut Ibnu Sina, kenabian merupakan hadiah yang diberikan Allah kepada orang-orang pilihan, secara tiba-tiba, tanpa menunggu selesainya proses intelektual.[6]

C. Karya-karya Ibnu Sina

Sebenarnya hidup Ibnu Sina tidak pernah mengalami ketenangan, danusianya pun tidak panjang. Meskipun banyak kesibukan-kesibnukannya dalam urusan pltik sehingga ia tidak banyak mempunyai kesempatan untuk mengarang, namun ia telah berhasil meniggalkan berpuluh-puluh karangan. Kesuburan hasil ini disebabkan karena beberapa faktor:

1. Ia pandai mengatur waktu, dimana siang disediakan untuk pekerjaan pemerintahan, sedang malamnya untuk mengajar dan mengarang, bahkan lapangan kesenian pun tidak pula ditinggalkannya. Kalau hendak bepergian, maka kertas dan alat-alat tulislah yang pertama-tama diperhatikan dan kalau ia sudah payah dalam perjalanan, maka duduklah ia untuk berpikir dan menulis.

2. Kecerdasan otak dan kekuatan hafalan juga tidak sedikit artinya bagi kepadatan karyanya. Sering-sering ia menulis tanpa memrlukan buku-buku referensi dan pada saat kegiatan-kegiatannya tidak kurang dari 50 lembar yang ditulis sehari-harinya.

3. Sebelum Ibnu Sina telah hidup Al Farabi yang juga mengarang dan mengulas buku-buku filsafat. Ini berarti bahwa Al Faerabi telah meratakan jalan baginya, sehingga tidak banyak lagi kesulitan-kesulitan yang harus dihadapinya terutama dalam soal-soal yang kecil.[7]

Ibnu Sina adalah seorang penulis yang luar biasa produktif sehingga ia tidak sedikit meninggalkan karya tulis yang sangat besar pengaruhnya kepada generasi sesudahnya, baik di dunia barat maupun di dunia timur.[8] Banyak sekali buku karyanya yang memadukan ilmu filsafat dengan ilmu kedokteran.[9] Jumlah karya yang ia ditulis diperkirakan antara 100 sampai 250 buah judul.[10] Diantara karya tulisnya yang terpenting adalah:

1. Tentang filsafat ia menulis buku Kitabusy-Syifa’ (Buku Penyembuhan).  Buku asy-Sifa’ membagi ilmu menjadi empat golongan, yaitu ilmu semantik, ilmu alam, ilmu pasti.
2. Mengenai kedokteran ia menulis buku Al-Qanun. Buku Qanun Ibnu Sina terbagi dalam lima jilid. Masing-masing berisi soal-soal yang berkaitan dengan ilmu kedokteran, seperti pengetahuan tentang fungsi bagian-bagian tubuh, pembedahan dan pengobatan. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan sampai abad ke-17 Masehi masih merupakan buku pegangan bagi berbagai Universitas di Eropa.
3. Kitabusy Syifa’ yang kemudian diringkas dalam sebuah buku berjudul An-Najat (keselamatan). Buku ini terkenal dan masih beredar hingga dewasa ini.
4. Al-isyarat wa al-Tanbihat, isinya mengandung uraian tentang logika dan hikmah.[11]

                         
[1]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof & filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 91
[2]Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 84
[3] Ibrahim Madkour, Aliran Dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995),hlm. 120-124.
[4] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hlm. 39-40.
[5] NN, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 112
[6] C.A Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 1991),hlm. 91
[7] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 116.
[8] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof & filsafatnya..., hlm. 94
[9] Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Filsafat Islam,.. hlm. 84
[10] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka setia, 2009), hlm. 125
[11] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof & filsafatnya..., hlm.94

Tidak ada komentar:

Posting Komentar