I. PENDAHULUAN
Pembicaraan tentang filsafat Islam tidak bisa terlepas dari pembicaraan filsafat secara umum. Berfikir filsafat merupakan hasil usaha manusia untuk berkesinambungan di seluruh jagad raya ini. Akan tetapi, berfikir filsafat dalam arti berfikir bebas dan mendalam atau radikal yang tidak dipengaruhi oleh dogmatis dan tradisi disponsori oleh filosof-filosof Yunani.
Peradaban Islam muncul tidak lepas dari berbagai pemikiran yang berkembang dalam Islam. Berbagai pemikiran yang muncul tersebut biasa disebut filsafat Islam. Pemikiran yang berkembang dalam filsafat Islam memang didorong oleh pemikiran filsafat Yunani yang masuk ke Islam. Namun, hal itu tidak berarti bahwa filsafat Islam adalah nukilan dari filsafat Yunani. Filsafat Islam adalah hasil interaksi dengan filsafat Yunani dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan pemikiran rasional umat Islam telah mapan sebelum terjadinya transmisi filsafat Yunani ke dalam Islam.
Filsafat Islam yang dipelopori oleh para filosof muslim timur telah mengembangkan sayapnya dan menancapkan cakarnya dengan kuat. Dalam filsafat Islam para filosof muslim memadukan antara agama dan filsafat. Para ilmuan muslim terdahulu sesungguhnya memiliki andil yang sangat besar dalam mengembangkan kajian tentang filsafat. Dalam makalah ini akan dibahas tentang salah satu filosof muslim yang sangat berjasa pada masa itu yaitu Ar-Razi. Baik mengenai sejarah lahir dan karya-karyanya maupun tentang filsafat-filsafatnya.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana tentang Biografi Al-Razi?
B. Apa Saja Karya-karya Al-Razi?
C. Bagaimana Pandangan Filsafat Al-Razi?
III. PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Razi
Filosof muslim terkemuka yang muncul sesudah Al-Kindi adalah Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Ar-Razi. Ar-Razi dikenal sebagai dokter, filsuf, kimiawan, dan pemikir bebas, (250-313 H/864-925).[1] Menurut al-Biruni, Abu Bakar Muhammad Ibn Yahya al-Razi lahir di Rayy, pada tanggal 1 Sya’ban, tahun 251 H/865 M. Pada masa mudanya, ia jadi tukang intan (Baihaqi), penukar uang (ibn abi Usaibi’ah), atau lebih mungkin pemain kecapi (ibn Juljul, Sa’id, ibn Khalikan, Usaibi’ah, al-Safadi) yang pertama meninggalkan musik untuk belajar alkimia.[2]
Selain al-Razi sang ahli filsafat, ada lagi beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggilkan al-Razi, yakni Abu Hatim al-Razi, Fakhruddin al-Razi dan Najmuddin al-Razi. Oleh karena itu, agar dapat membedakan al-Razi, sang filosof ini dari tokoh-tokoh lain, perlu ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar, yang merupakan nama kun-yah-nya (gelarnya).[3]
Perlu diingat tentang lingkungan Al-Razi tempat ia berdomisili. Telah dimaklumi bahwa Iran, yang sebelumnya terkenal dengan sebutan Persia, sejak lama sudah dikenal dengan sejarah peradaban manusia. Kota ini merupakan tempat bertemunya berbagai peradaban, terutama peradaban Yunani dan Persia. Oleh karena itu tidak mengherankan kota-kota di Persia (Iran) ini telah mengenal peradaban yang tinggi sebelum bangsa Arab mengenalnya. Agaknya suasana lingkungan ini termasuk yang mendorong bakat Al-Razi tampil sebagai seorang intelektual. [4]
Disiplin ilmu Ar-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran dan filsafat. Ia lebih dkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibandingkan sebagai seorang filosof. Ia sangat rajin menulis dan membaca, agaknya inilah yang menyebabkan penglihatannya berangsur-angsur melemah dan akhirnya buta total. Akan tetapi ia menolak untuk diobati dengan mengatakan pengobatan akan si-sia belaka karena sebentar lagi ia akan meninggal.
Al-Razi terkenal sebagai seorang dokter yang dermawan, penyayang pada pasien-pasiennya, karena itu sering memberikan pengobatan cuma-cuma kepada orang miskin. Karena reputasinya dibidang kedokteran ini, Al-Razi pernah diangkat menjadi kepala rumah sakit Rayy pada masa pemerintahan Gubernur Al-Mansyur ibnu Ishaq. Kemudian ia pindah ke Baghdad dan memimpin rumah sakit disana pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muktafi. Setelah Al-Muktafi meninggal, ia kembali ke kota kelahirannya, kemudian ia pindah-pindah dari satu negeri ke negeri yang lainnya dan meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/27 Oktober 925 M dalam usia 60 tahun.[5]
B. Karya-karya Al-Razi
Buku-buku al-Razi sangat banyak. Dia sendiri mempersiapkan katalog untuk buku-buku yang ditulisnya, dan kemudian diproduksi oleh ibn al-Nadim. Yang kita temukan 118 buku, 19 surat, 4 buku, 6 surat, dan satu maqalah. Jumlah seluruhnya 148 buah.[6] Ibnu Abi Usaibi’ah menyebutkan 236 karyanya, tetapi beberapa diantaranya tidak jelas pengarangnya. Salah satu diantaranya adalah al-Hawi (buku menyeluruh) yang terdiri dari 20 jilid. Karya ini lebih dianggap sebagai buku induk dalam bidang kedokteran. Agaknya “al-Hawi”-lah yang merupakan karyanya yang terbesar dan meluas sesuai dengan namanya. Buku ini pula dianggap intisari ilmu-ilmu Yunani, Syiria dan Arab.[7]
Menurut Al-Biruni, ada sekitar dua puluh satu karya Ar-Razi tentang alkemi, yang terbesar diantaranya adalah Sirr Al-Asrar. Sesuai dengan semangat Al-Razi anti hermetis, rahasia-rahasia disini bukan misteri-misteri mistik, tetapi rahasia-rahasia keahlian seorang alkemis (ahli alkemi), yang dengan bebas dipaparkan Ar-Razi dalam pembahasannya mengenai bahan-bahan, perangkat-perangkat, dan metode-metode alkemi itu. Tujuannya adalah meretas batas-batas yang memilahkan satu bentuk substansi dari substansi lainnya, dengan menggunakan substansi kuat yang akan menembus dan mengubah unsur dasar, dengan menambahkan dan menghilangkan sifat-sifat spesifik, mengubah logam dasar menjadi emas atau batu menjadi permata. Akan tetapi Al-Razi juga menggunakan sebagian dari preparat dalam praktik kedokterannya; dan metode-metodenya sebagai seorang alkemis lebih bernuansa ilmu bedah dari pada klenik atau sihir.
Buku-buku tersebut dikelompokkan sebagai berikut: (a) ilmu kedokteran; (b) ilmu fisika; (c) logika; (d) matematika dan astronomi; (e) komentar, ringkasan, dan ikhtisar; (f) filsafat dan ilmu pengetahuan hipotesis; (g) metafisika; (h) teologi; (i) ateisme; (k) campuran. Diantara buku Al-Razi yang dapat disebutkan disini, sebagai berikut:[8]
1. Ath-Thibb Ar-Ruhani,
2. Ash-Shirat Al-Falsafiyyah,
3. Amarat Iqbal Ad-Daulah,
4. Kitab Al-Ladzdzah
5. Kitab Al-Ilm Al-Ilahi,
6. Maqolah fi Ma’bad Ath-Thabi’ah
7. Al-Hawi fi Ath-Thibb,
8. Manshuri,
9. Kitab Sirr Al-Asrar,
10. Muluki,
11. Kitab Al-Jami Al-Kabir.
C. Filsafat Al-Razi
1. Filsafat lima kekal (Kadim)
Filsafatnya terkenal dengan doktrin lima yang kekal: Tuhan, Jiwa Universal, Materi Pertama, Ruang Absolut dan Zaman Absolut, dalam bahasa arab:
الْبَارِي تـَعَالى وَالنَّفْسُ الكُلّيّةُ وَالهَيُوْلاَ الأوْلى وَالمَكَانُ المُطْلَقُ وَالزَّمَانُ المُطْلَقُ
Mengenai yang terakhir ia membuat perbedaan antara zaman mutlak dan zaman terbatas yaitu antara al-dhar (الدهر duration) dan al-waqt(الوقت time). Yang pertama kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir, dan yang kedua disifati oleh angka. Bagi benda (being) kelima hal ini ada :[9]
a. Materi: merupakan apa yang ditangkap dengan panca indra tentang benda itu.
b. Ruang: karena materi mengambil tempat.
c. Zaman: karena materi berubah-ubah keadaannya.
d. Di antara benda-benda ada yang hidup dan oleh karena itu perlu ada roh. Dan di antara yang hidup ada pula yang berakal yang dapat mewujudkan ciptaan-ciptaan yang teratur.
e. Semua ini perlu pada pencipta yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.
Dua dari yang Lima Kekal itu hidup dan aktif, Tuhan dan roh. Satu dari padanya tidak hidup dan pasif, yaitu materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif, ruang dan masa. Sistematika filsafat lima kekal Ar-Razi dapat dijelaskan sebagai berikut:[10]
1. Al-Bari Ta’ala (Allah): hidup dan aktif (dengan sifat independent). Allah maha pencipta dan pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan Allah bukan dari tidak ada (cretio ex nihilo), tetapi dari bahan yang telah ada. Oleh karena itu, menurutnya alam semesta tidak kadim, meskipun materi asalnya kadim, sebab arti penciptaan disini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada. Timbulnya doktrin adanya yang kekal selain Allah, dalam filsafat Al-Razi ini agaknya disebabkan filsafat adanya Allah yang merupakan sumber yang Esa yang tetap. Namun demikian, kekalnya yang lain tidak sama dengan kekalnya Allah.
2. An-Nafs al-kulliyyah (jiwa universal): hidup dan aktif dan menjadi al-mabda’ al-qadim ats-tsani (sumber kekal kedua). Hidup dan aktifnya bersifat dependent. An-Nafs al-kulliyyah tidak berbentuk. Namun, karena mempunyai naluri untuk bersatu dengan al-hayula al-ula, an-nafs al-kulliyyah memiliki zat yang berbentuk sehingga bisa menerima, sekaligus menjadi sumber penciptaan benda-benda alam semesta, termasuk badan manusia. Ketika masuk benda-benda itulah, Allah menciptakan roh untuk menempati benda-benda alam dan badan manusia di mana jiwa (parsial) melampiaskan kesenangannya. Karena semakin lama jiwa bisa terlena pada kejahatan, Allah kemudian menciptakan akal untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik tersebut.
3. Al-Hayula al-ula (materi pertama): tidak hidup dan tidak pasif. Al-Hayula al-ula adalah substansi yang kekal yang terdiri atas dzarrar, dzarat (atom-atom). Setiap atom terdiri atas volume. Jika dunia hancur, volum juga akan terpecah dalam bentuk atom-atom. Materi yang sangat padat menjadi substansi bumi, yang agak renggang menjadi substansi udara dan yang lebih renggang menjadi api. Al-Hayula al-ula: kekal karena tidak mungkin berasal dari ketiadaan. Buktinya, semua ciptaan Tuhan melalui susunan-susunan (yang berproses) dan tidak dalam sekejap yang sangat sederhana dan mudah.
4. Al-makan al-muthlaq (ruang absolut): tidak aktif dan tidak pasif. Materi yang kekal membutuhkan ruang yang kekal pula sebagai ‘tempat’ yang sesuai. Ada dua macam ruang: ruang partikular (relatif) dan ruang universal. Yang partikular terbatas, sesuai dengan keterbatasan maujud yang menempatinya. Adapun ruang universal tidak terbatas dan tidak terikat pada maujud karena bisa saja terjadi kehampaan tanpa maujud.
5. Az-zaman al-muthlaq (zaman absolut): tidak aktif dan tidak pasif. Zaman atau masa ada dua: relatif terbatas yang bisa disebut al-waqt dan zaman universal yang biasa disebut ad-dahr. Yang terakhir ini tidak terikat pada gerakan alam semesta dan falak atau benda-benda angkasa raya.
2. Roh dan Materi
Menurut al-razi Tuhan pada mulanya tidak berniat membuat alam ini. tetapi pada suatu ketika roh tertarik pada materi pertama, bermain dengan materi pertama itu, tetapi materi pertama berontak. Tuhan datang menolong roh dengan membentuk alam ini dalam susus-nan yang kuat sehingga roh dapat mencari kesenangan materi di dalamnya. Tuhan mewujudkan manusia dan didalamnya roh mengambil tempat. Terikat pada materi, roh lupa pada asalnya dan lupa bahwa kesenangannya yang sebenarnya bukan terletak dalam persatuan dengan materi tetapi dalam melepaskan diri dari materi. Oleh karena itu, Tuhan mewujudkan akal dari dzat Tuhan sendiri. Tugas akal adalah untuk menyadarkan manusia yang telah terpedaya oleh kesenangan materi, bahwa alam materi ini bukanlah alam yang sebenarnya.[11]
3. Akal, Kenabian, dan Wahyu
Akal merupakan substansi sangat penting yang terdapat dalam diri manusia sebagai cahaya (nur) dalam hati. Cahaya ini, menurut Al-Razi, bersumber langsung dari Allah, sebagai utusan untuk menyadarkan manusia dari kebodohannya.
Al-Razi dikenal sebagai rasionalis murni. Akal menurutnya adalah karunia Allah yang terbesar untuk manusia. Dengan akal, manusia bias memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya, bahkan dapat memperoleh pengetahuan tentang Allah. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh menyia-nyiakan dan mengekangnya, tetapi harus memberikan kebebasan padanya. Kendatipun demikian, Al-Razi tidak berati seorang atheis, karena beliau masih menyakini adanya Allah.
Demikian diantara ungkapan Al-Razi yang dinilai telah menyimpang dari agama. Tuduhan ini jelas akan membawa rusaknya reputasi Al-Razi. Bahkan, Harun Nasution menyimpulkan dari gagasan-gagasan Al-Razi tersebut, yakni a. tidak percaya pada wahyu, b. al-quran bukan mukjizat, c. tidak percaya pada nabi-nabi, d. adanya hal-hal yang kekal selain Allah.
Lebih dalam lagi, Badawi menerangkan alasan Al-Razi dalam menolak kenabian sebagai berikut :
a. Akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat, yang berguna dan yang tidak. Dengan akal saja manusia mampu mengetahui Allah dan mengatur kehidupannya dengan sebaik-baiknya.
b. Tidak ada alasan yang kuat bagi pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing semua orang karena semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama. Perbedaan manusia bukan karena pembawaan alamiah, tetapi karena pengembangan pendidikan.
c. Para nabi saling bertentangan. Pertentangan tersebut seharusnya tidak ada jika mereka berbicara atas nama satu Allah.
Kemudian Al-Razi juga mengkritik agama secara umum. Ia juga menjelaskan kontradiksi yahudi, Kristen, mani, dan majuzi secra rinci. Bahkan lebih lanjut ia katakan tidaklah masuk akal Allah mengutus para nabi sebab mereka menimbulkan kemudratan, ia juga mengkritik secara sistematik kitab-kitab wahyu al-quran dan injil. Ia menolak kemukjizatan al-quran, baik gayanya maupun isinya dan menegaskan bahwa adalah mungkin menulis kitab yang lebih baik dalam gaya yang lebih baik. Ia lebih suka membaca buku-buku ilmiah dari pada al-quran. Atas dasar itulah badawi mengatakan bahwa Al-Razi sangaat berani, tidak seorang pemikir muslim pun seberani dia.
Menurut abdul latif Muhammad al-‘abd bahwa tuduhan Al-Razi tidak mempercayai kenabian didasarksn pada buku makhariq al-anbiya’. Buku ini sering dibaca dalam pengajian kaum zindik, terutama qaramithah. Bagian dari buku ini terdapat dalam buku a’lam al-nubuwwah karya abu hatim Al-Razi, yang tidak pernah diketemukan. Oleh karena itu, kebenarannya diragukan. Andaikan buku-buku itu ada tentu saja tidak bertentangan dengan buku-buku Al-Razi sendiri seperti al-thibb al-ruhani, al-sirath al falsafiyyah.
Dalam buku al-thibb ruhani tidak ditemukan keterangan bahwa Al-Razi mengingkari kenabian atau agama, bahkan sebaliknya ia mewajibkan untuk menghormati agama dan berpegang teguh kepadanya agar mendapatkan kenikmatan di akhirat berupa surga dan mendapatkan keuntungan berupa ridho Allah.
Manusia yang utama dan yang melaksanakan syariah secara sempurna, tidak perlu takut terhadap kematian. Hal ini disebabkan syariah telah menjanjikan kemenangan dan kelapangan serta (menjanjikan) bisa mencapai kenikmatan abadi. Bahkan ia dalam buku-bukunya sering menulis sholawat kepada Nabi Muhammad Saw. Sebagai penghormatannya kepada beliau, dan ia juga mewajibkan untuk memuliakan para nabi sebab mereka adalah manusia pilihan yang memiliki pribadi mulia. Berdasarkan uraian diatas sulit diterima bahwa orang yang menghargai agama dicap mulhid/ kafir.
Memang, Al-Razi memberi perhatian dan kepercayaan yang cukup besar kepada akal. Indikasi kearah ini dapat dilihat bahwa ia menulis tentang akal pada bab tersendiri dalam bukunya al-tibb al-ruhani. Namun, tidak sampai ia meletakkan wahyu dibawah akal, apalagi tidak percaya pada wahyu.
Namun Harun Nasution yang dalam bukunya memuat ketidakpercayaan Al-Razi kepada kenabian, agama dan wahyu. Namun setelah ia membaca buku-buku Al-Razi, seperti al-thibb al-ruhani dan lainnya yang Sirajuddin Zar sodorkan saat itu (1989), ia mengatakan bahwa saat menulis buku filsafat dan mistisisme dalam islam yang memuat ketidakpercayaan Al-Razi kepada kenabian, agama, dan wahyu karena belum menemukan buku-buku karya Al-Razi, beliau menganjurkan jika menulis tentang Al-Razi untuk menggunakan buku seperti al-tibb al-ruhani. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tidak benar tuduhan kepada al-razi, dan Al-Razi merupakan intelektual muslim yang percaya pada Tuhan, Nabi, dan Wahyu. [12]
[1] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia. 2010), hlm. 68
[2] M. M. Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Penerbit Mizan. 1963), hlm. 31
[3] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2004), hlm. 113.
[4] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya,…hlm. 114
[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya,…hlm.115
[6] M. M. Syarif, Para Filosof Muslim, …hlm. 36
[7] Husain Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 120.
[8] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, …hlm. 72
[9] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: NV Bulan Bintang. 1973), hlm. 22
[10] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, …hlm. 74
[11] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,…hlm. 23
[12] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya ,...hlm. 121-125
Tidak ada komentar:
Posting Komentar