I. PENDAHULUAN
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan. Salah satu bagian dari filsafat adalah filsafat islam. Yang diartikan sebagai suatu ilmu yang dicelup ajaran Islam dalam membahas hkikat kebenaran segala sesuatu.
Ketika membahas mengenai filsafat Islam, maka akan muncul berbagai tokoh filasafat Islam yang biasa disebut dengan filosof muslim. Diantara para filosof yang terkenal yaitu Al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Rusy, Al-Farabi, Ibnu Bajjah, Miskawaih, Al-Ghazali dan seterusnya. Akan tetapi dalam makalah ini hanya akan membahas mengenai filsafat Al-Ghazali.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana biografi tentang Al-Gazali?
B. Apa saja karya-karya Al-Gazali?
C. Bagaimana pemikiran Al-Ghazali?
III. PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Gazali (450/1059 H- 505/1111 M)
Nama lengkapnya Asy-Syaikh Al-Imam Al-Hammam Hujjatu Al-Islam Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali ath-Thusi.ia lahir pada tahun 450H/1059M, di Thus, suatu kota di Khusaran(Iran) dan meninggal dunia pada tahun 505H/1111M di kota ini juga dalam usia 55 tahun.[1]
Ayah Al-Ghazali adalah orang yang fakir harta tetapi kaya spiritual. Ayah Al-Ghazali bekerja keras memproduksi tenun dan selalu berkhidmat kepada tokoh-tokoh agama dan ahli fiqh di berbagai majlis dan khalwat mereka. Ia mempunyai sikap begitu mengagungkan yang mewarnai panca inderanya untuk berbakti kepada tokoh – tokoh agama dan ilmu pengetahuan, hingga ketika mendengar seorang penceramah atau seorang ahli hukum Islam sedang memberikan nasehat beliau memohon kepada Allah agar dianugerahi seorang ayah yang menjadi penceramah yang ahli memberi nasehat atau seorang ilmuan yang ahli ibadah.
Nampaknya, perasaan dan kecintaan psikologis yang menggelora ingin mencapai tingkat keluhuran ilmiah dan pensucian terhadap pakaian agama ini telah diwarisi oleh Al-Ghazali dari ayahnya, tetapi dalam bentuk lain. Karena sang anak mendapat kesempatan yang tidak ada pada sang ayah. Pada diri Al-Ghazali selalu kehausan dan terpacu untuk mencari tambahan dan serius mengkaji berbagai ilmu dan pengetahuan.[2]
Adapun beberapa tempat-tempat Al-Gazali memperoleh ilmu pengetahuan antara lain:
1. Belajar di Thus, sampai pada usia 20 tahun. Dia mempelajari ilmu fiqih secara mendalam dari Razakani Ahmad bin Muhammad, dan kemudian dipelajarinya ilmu tasawuf dari Yusuf en Nassaj, seorang Sufi yang terkenal.
2. Kemudian ke Jurjan pada tahun 479 H. Al-Gazali berpindah ke Jurjan melanjutkan pelajarannya. Guru yang terkenal ialah Nashar el Isma’ili. Tidak puas dengan pelajaran yang diterimanya di Jurjan, maka dia pulang kembali ke Thus selama 3 tahun lamanya.[3]
3. Setelah itu pindah lagi ke Naisabur untuk belajar pada seorang ulama besar yang sangat masyhur, Imam Haramain Al-Juwaini. Disinilah Al-Ghazali belajar bermacam-macam ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu, seperti Fiqh, Jadal, Mantiq, Filsafat, dan sebagainya. Setelah Imam Haramain wafat pada 483 H, Al-Ghazali berkunjung ke Nizham Al-Mulk di kota Mu’askar. Beliau memperoleh penghormatan dan penghargaan yang luar biasa, sehingga majlisnya merupakan tempat berkumpul para Imam dan Ulama. Pada tahun 484 H beliau diangkat menjadi guru pada madrasah Nizhamiyah di Baghdad.[4]
B. Karya-karya Al-Gazali
Keistimewaan yang luar biasa dari Al-Gazali adalah dia seoarang pengarang yang sangat produktif. Menurut catatan Sulayman Dunya, banyaknya karangan Al-Gazali mencapai jumlah 300 buah. Diantara 300 buah karangan Al-Gazali, hanya beberapa buah saja yang dapat diselamatkan dari cengkeraman keganasan para penguasa yang mengobrak-abrik Negara Islam dimasa itu. Berikut beberapa karya dari Al-Gazali:
1. Yaqut ut ta’wiel fi tafsier et tanziel (penafsiran Al-Qur’an menurut sebab-sebab-sebab turunya ayat-ayat Al-Qur’an)
2. Sirrul ‘alamain (rahasia dua dunia)
3. Al Madhnun bihi ‘ala ghairi ahlihi (ilmu yang harus disembunyikan dari orang-orang yang bukan ahlinya).
Adapun karya-karya Al-Gazali yang paling terkenal dalam beberapa bidang menurut Sulayman Dunya yang meliputi:
1. Bidang filsafah
a. Ilmu kalam (theology)
b. Ilmu falsafah umum (‘aqliyah)
c. Aliran kaum Syie’ah Bathiniyah (mazhab ahli ta’liem)
d. Ilmu tashawwuf (metafisika)
2. Bidang keagamaan
a. Ihya’ ‘ulum ed dien (menghidupkan ilmu-ilmu agama)
b. Al Munqiz minad dhalal (terlepas dari kesesatan)
c. Minhaj ul ‘Abidien (jalan mengabdi Tuhan)
3. Bidang akhlak dan tasawuf
a. Miezan ul ‘amal (neraca amal)
b. Keimiya us sa’adah (kimianya kebahagiaan)
c. Kitab ul Arba’ien (empat puluh prinsip agama)
d. At Tibrul masbuk fi nashiehat el muluk (mas yang sudah di tatah untuk menasehati para penguasa)
e. Al Mustashfa fil ushul (keterangan yang sudah dipilih mengenai soal pokok-pokok ilmu hukum).[5]
C. Pemikiran Al-Ghazali
1. Metafisika
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir.
2. Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatNya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.[6]
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap berkuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api itu atau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.[7]
3. Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.[8]
[1] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN jami’ah Ar-Raniry Banda Aceh, Pengantar filsafat islam, (Aceh:Banna Coy, 1982), hlm. 76
[2] Thaha Abdul Baqi Surur, Imam Al-Ghazali: Hujjatul Islam, (Jakarta: Pustaka Mantiq, tth), Hlm. 20-21.
[3] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam Al-Gazali, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hlm. 31-32.
[4] Proyek pembinaan perguruan tinggi agama IAIN jami’ah ar-raniry banda aceh, Pengantar filsafat..., hlm. 76-77.
[5] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup…, hlm. 53-73.
[6] Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: CV ROSDA, 1988), hlm. 172.
[7] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 176.
[8] M. Amin Abdullah, Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.280.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar