I. PENDAHULUAN
Lahirnya ilmu filsafat pada masa silam yang telah dipopulerkan oleh beberapa tokoh filsafat Yunani kuno, yakni diantaranya Heraklitos, Plato, Aristoteles dan sebagainya telah menjadi sebab lahirnya para filosof muslim, diantaranya adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan lain-lain. Mereka adalah orang-orang besar dalam dunia kefilsafatan Islam. Meskipun diantara mereka banyak terjadi perbedaan-perbedaan dalam berargumen, namun pada hakikatnya tujuan mereka tetap sama yakni mencari dan menemukan kebenaran dengan menggunakan akal yang berpedomankan pada Al-Quran dan Sunnah. Bagaimana ketekunan para filosof dalam membangun peradaban tinggi dengan menggali keilmuan yang ada, seperti halnya Ilmu pengetahuan yang dirasakan saat ini, tidak terlepas dari besarnya peran para filosof Muslim waktu itu.
Oleh karena itu pada pembahasan kali ini, pengkajian mengenai filosof muslim, difokuskan pada sejarah pemikiran salah seorang filosof muslim besar yang terkenal dengan sebutan “Guru Besar Kedua setelah Aristoteles”, beliau adalah Abu Nasr atau Al-Farabi. Namun harus disadari bahwa makalah ini merupakan acuan dasar yang perlu mendapatkan kajian ulang baik terkait data yang disajikan maupun konten dari makalah.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimanakah Biografi Al-Farabi?
B. Bagaimanakah pemikiran Al-Farabi dalam berfilsafat?
C. Apa saja Karya-karya Al-Farabi?
III. PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Farabi
Al-Farabi memiliki nama lengkap Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan bin Al-Uzalagh. Al-Farabi, lahir di Wasij di desa Farab (Transoxania) tahun 870 M dan wafat di Damskus pada tahun 950 M.[1]
Menurut keterangan, ia berasal dari turki dan orang tuanya adalah seorang jendral. Pendidikan dasar al-farabi dimulai dengan mempelajari dasar-dasar ilmu agama dan bahasa, ia juga mempelajari matematika dan filsafat serta melakukan pengembaraan untuk mendalami ilmu-ilmu yang lain. Sejak muda hingga dewasa ia bergelut dengan dunia ilmu.
Dalam perjalanan hidupnya, Al-Farabi juga pernah menjadi hakim. Dalam memperkaya Ilmu, Al-Farabi pindah dari Farab ke Baghdad, pusat ilmu pengetahuan pada saat itu. disana ia belajar pada Abu Bisr Matta Ibn Yunus (penerjemah) dan tinggal di Baghdad selama 20 tahun. Kemudian ia pindah ke Aleppo dan tinggal di istana Syaif al-Daulah, memusatkan perhatian pada ilmu pengetahuan dan filsafat. Istana Syaif al-Daulah adalah tempat pertemuan ahli-ahli ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu. dalam umur 80 tahun al-Farabi wafat di Aleppo pada tahun 980 M.
Ia berkeyakinan bahwa filsafat tidak boleh di bocorkan dan sampai ke tangan pada orang awam. Oleh karena itu, filosof-filosof harus menuliskan pendapat-pendapat atau filsafat mereka dalam gaya bahasa yang samar, agar tidak dapat diketahui oleh sembarang orang, dengan demikian iman serta keyakinannya tidak menjadi kacau. Ia juga berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, malahan sama-sama membawa pada kebenaran.[2]
B. Pemikiran Al-Farabi dalam berfilsafat
1. Falsafat Emanasi / Pancaran
Filsafat emanasi Al-Farabi menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi Al-Farabi.[3]
Proses emanasi tersebut yakni, Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama, dan dari pemikiran ini timbulah wujud ketiga, yang disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama.
Ringkasnya:
Pada pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh munculah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api, udara, air dan tanah.[4]
Eksplorasi dari sikap ini nampak dari wacana tentang ketauhidan. Tentang Tuhan misalnya al-Kindi sebelumnya sudah membicarakan tentang Tuhan sebagai sebab pertama, akan tetapi ia tidak menerangkan bagaimana alam ini dijadikan. Sedangkan Al-Farabi menjelaskan hal ini dengan teori emanasi.[5]
Adapun keputusan pikiran (judgment-tasdiq), maka diantaranya ada yang tidak bisa diketahui, sebelum diketahui hal-hal sebelumnya. Seperti pengetahuan bahwa alam ini baru. Untuk itu diperlukan terlebih dahulu adanya putusan bahwa alam ini tersusun. Ini adalah hukum-hukum pikiran dasar dan yang jelas dalam akal. Juga hukum-hukum tersebut memberikan keyakinan dan juga merupakan dasar aksioma.[6]
2. Falsafat Kenabian
Filosof-filosof dapat mencapai hakekat-hakekat karena melalui komunikasi dengan Akal Kesepuluh. Begitupun Nabi dan Rosul, dapat menerima wahyu karena memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh. Namun Rosul dan Nabi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari filosof, karena Rosul dan Nabi telah dipilih dan bukan atas usaha sendiri dalam berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh, namun atas pemberian dari Tuhan. Sedangkan filosof mengadakan komunikasi atas usahanya sendiri, melalui latihan dan kontemplasi, kemudian komunikasi dapat dilakukan melalui akal, yaitu akal mustafad. Rosul dan Nabi tidak perlu mencapai hingga Akal Mustafad untuk berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh, mereka dapat melakukannya yakni dengan daya pengetahuan yang disebut dengan imaginasi, yang dapat melepaskan mereka dari pengaruh-pengaruh pancaindera dan dari tuntutan-tuntutan badan, sehingga ia dapat memusatkan perhatian dan mengadakan hubungan dengan Akal Kesepuluh.
Falsafat kenabian ini di jelaskan Al-Farabi untuk menentang aliran yang tak percaya kepada Nabi atau Rasul seperti yang dibawa Al-Razi dan lainnya di zaman itu.[7]
3. Teori Politik
Filsafat kenabian erat hubungannya dengan teori politik Al-Farabi. Uraian mengenai hal ini terdapat dalam bukunya yang berjudul Ara’ Ahla al-Madinah al-Fadilah (Model City). Kota digambarkan oleh al-Farabi seperti badan manusia yang mempunyai bagian-bagian tertentu. Antara anggota badan yang satu dengan yang lain memiliki hubungan yang erat dan mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang harus dijalankan untuk kepentingan keseluruhan badan.[8]
Al-Farabi mengklasifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan, yaitu (1) masyarakat sempurna, (2) masyarakat yang tidak sempurna. Masyarakat sempurna dibaginya ke dalam tiga tingkatan: (a) masyarakat besar, yaitu seluruh dunia, (b) masyarakat pertengahan yaitu sebagian dunia atau suatu teritorial, dan (c) masyarakat kecil yang hanya terdiri dari satu kota. Al-Farabi menerangkan bahwa masyarakat sempurna ialah masyarakat yang mengandung keseimbangan di anatara unsur-unsurnya.
Pokok filsafat kenegaraan Al-Farabi ialah autokrasi dengan seorang yang berkuasa mutlak mengatur Negara. Menurut al-Farabi, Negara yang utama (al-Madinatul fadilah) ialah kota (negara) yang warga-warganya tersusun menurut susunan alam besar (makrokosmos) atau menurut susunan kecil (mikrokosmos). Di dalam Negara yang terpenting adalah kepala Negara. Dimisalkan dengan hati, yaitu yang terpenting dalam diri manusia. Karena hati adalah unsur badan manusia yang paling sempurna, maka kepala Negara juga haruslah dipilih orang yang paling sempurna dari semua warga Negara (kota).[9]
Manusia bersifat sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri. Kebutuhan manusia dapat dicapai dengan berinteraksi, berproses, dan berkembang bersama dengan manusia lainnya. Kita tidak dapat membayangkan kehidupan individu tanpa masyarakat, dan juga tidak dapat membayangkan kehidupan masyarakat tanpa individu.[10]
Dilihat dari tujuan hidup bermasyarakat untuk memperoleh kebahagiaan, maka Al-Farabi membagi Negara kepada:
a. Negara Utama
Konsep Negara ini berasal dari Plato yang mempersamakan Negara dengan tubuh manusia. Tidak semua warga berhak menjadi Kepala Negara Utama. Ia harus telah mempunyai akal mustafad (Acquired Intellect) yang mampu berhubungan dengan akal aktif (‘aql fa’al). Untuk menjadi Kepala Negara Utama diharuskan memiliki dua belas sifat yang merupakan wataknya, yaitu: (1)Sehat anggotanya, (2)Baik pemikiran, pemahaman serta hafalannya, (3)Cerdik lagi cerdas, (4)Bagus ibarat (bahasa), (5)Mencintai ilmu dan pengajaran, (6)Tidak rakus kepada makan, minum dan kawin, (7)Mencintai kebenaran serta membenci kebohongan, (8)Besar jiwa, mencintai kemuliaan, (9)Tidak berharga padanya dinar dan dirham, (10)Mencintai keadilan, membenci kedzaliman, (11)Kuat cita-cita, tidak penakut dan tidak lemah mental, (12)Adil, tidak sukar memimpin dan tidak ambisius.
b. Negara Jahil
Dalam Negara ini, warga Negara tidak mengetahui sama sekali tentang kebahagiaan sejati. Mereka hanya tahu kebahagiaan itu pada kesehatan badan, kemudahan hidup dan kelezatan jasmani.
c. Negara Fasik
Dalam Negara ini, warga Negara mengetahui kebahagiaan dan jalan untuk mencapainya seperti halnya warga Negara Utama, tetapi amal mereka sama seperti warga Negara Jahil
d. Negara Sesat
Dalam Negara ini, warga negaranya mempunyai kepercayaan sesat dan buruk sangka terhadap Allah dan Akal Aktif. Kepala Negaranya menipu manusia dengan menyatakan dirinya menerima wahyu (wangsit).
e. Negara Berubah (Mutabaddilah)
Pada mulanya, warga negaranya memiliki kepercayaan dan perbuatan yang serupa dengan warga Negara Utama, tapi kemudian berganti dengan masuknya kepercayan yang sesat dan perbuatan yang keji.[11]
C. Karya-karya Al-Farabi
Mengenai karya Al-Farabi, Tampaknya dia menulis seluruh karyanya dengan menggunakan bahasa Arab. Sebagian besar karyanya itu difokuskan pada kajian mengenai logika. Dalam bidang ini dia menulis komentar atas seluruh bagian Organon-nya Aristoteles, disamping komentar atas Isagoge, karya porphyry. Dia juga menulis risalah-risalah pendek tentang aspek-aspek tertentu logika.
Karya-karyanya yang lain meliputi cabang filsafat yang lain, yakni fisika atau filsafat alam (Natural Philosophy), termasuk psikologi. Dalam kajian matematika al-Farabi menulis komentar atas karya Phythagoras dan Ptolemeus.[12] Tentang mathematika, al-Farabi membaginya menjadi tujuh ilmu, yaitu: Arithmatika, Geometri, Optika, Astronomi, Musik, Hisab Haqi (arte ponderum) dan mekhanika.[13] Namun karyanya yang terpenting di bidang ini justru mengenai musik. Yang terpenting diantarnya adalah Al-Musiqa Al-Kabir. Karya al-Farabi yang satu ini oleh banyak kalangan dianggap sebagai karya terbaik di bidang musik yang pernah ditulis orang di abad pertengahan.[14] Bahkan ada beberapa sejarawan Arab yang berpendapat, bahwa al-Farabi disebut sebagai guru kedua karena ia orang pertama yang meletakkan sejumlah dasar pelajaran tentang suara.[15]
Kategori penting lainnya dari karya al-Farabi adalah beberapa tulisannya tentang ilmu-ilmu metafisika. Disamping logika diantara ilmu-ilmu teoretis, di bidang inilah al-Farabi diangggap menyumbang paling besar bagi wacana filsafat abad pertengahan. Diantara karyanya dibidang ini, terdapat suatu judul, Fushus Al-Hikam, yang dianggap controversial karena kandungannya berbeda dengan kebanyakan karyanya. Jika karya-karyanya yang lain bisa disebut sebagai bersifat eksoteris (zhahiriyah) dan Aristotelian, sedangkan karyanya yang satu ini lebih bersifat Esoteris (bathiniyah) dan sufistik. Karya-karya metafisika al-Farabi yang selebihnya mencakup Al-Jam’ bain Ra’yai Al-Hakimain Aflatun Al-Ilahi Wa Aristuthalis (kitab keselarasan pikiran Plato dan Aristoteles).
Dibidang ilmu-ilmu teoretis ini, karya Al-Farabi masih dilengkapi oleh beberapa buku tentang astrologi, persisnya tentang hukum-hukum astrologi (Ahkam an-Nujum), alkemi, dan penafsiran mimpi serta aspek-aspek linguistik dan ilmu-ilmu teologi. Diluar ilmu-ilmu teoretis seperti tersebut diatas, ketenaran Al-Farabi terutama bersumber pada karya-karya dibidang ilmu-ilmu praktis, yakni dalam ilmu-ilmu kemasyarakatan (Al-Ulum Al-Madani), khusunya ilmu politik. Diantara karya yang lainnya adalah Ara Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah (pendapat-pendapat para warga kota utama), Al-Siyasah Al-Madaniyyah (pemerintahan negara kota), Fushul Al-Madani (aforisme-aforisme negarawan), dan Tahshil Al-Sa’adah (pencapaian kebahagiaan).
[1] Jalaluddin Rakhmat¸ Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 51
[2] Maftuhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 97
[3] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 27
[4] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam…hlm. 28
[5] Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam Sejarah dan Perkembangannya dalam Dunia Internasional (Jakarta: Bulan Bintang, 1964), hlm. 103
[6] Nadim Al-Jisr, Qissatul Iman, Terj. A. Hanafi, Kisah Mentjari Tuhan (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), hlm. 59
[7] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam…hlm. 31-32
[8] Maftuhin, Filsafat Islam…hlm. 103
[9] Poerwantana, dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1991), hlm. 138-139
[10] Maftuhin, Filsafat Islam… hlm. 104-106
[11] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989), hlm. 51-53
[12] Mulyadhi Kartanegara, dkk, Antara Al-Farabi dan Khomaeni: Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 57-58
[13] Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam…hlm. 92
[14] Mulyadhi Kartanegara, dkk, Antara Al-Farabi dan Khomaeni: Filsafat Politik Islam…hlm. 58
[15] Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 80
Tidak ada komentar:
Posting Komentar