Selasa, 26 November 2013

EVALUASI NON TES DAN BENTUKNYA

I. PENDAHULUAN
Evaluasi merupakan suatu pengamatan langsung terhadap siswa dengan memperhatikan tingkah lakunya. Hasil belajar dan proses belajar tidak hanya dinilai oleh tes, baik melalui bentuk tes uraian maupun tes objektif.
Kegiatan mengukur, menilai, dan mengevaluasi sangatlah penting dalam dunia pendidikan. Hal ini tidak terlepas karena kegiatan tersebut merupakan suatu siklus yang dibutuhkan untuk mengetahui sejauhmana pencapaian pendidikan telah terlaksana. Contohnya dalam evaluasi penilaian hasil belajar siswa, kegiatan pengukuran dan penilaian merupakan langkah awal dalam proses evaluasi tersebut. Kegiatan pengukuran yang dilakukan biasanya dituangkan dalam berbagai bentuk tes dan hal ini yang paling banyak digunakan. Namun, tes bukanlah satu-satunya alat dalam proses pengukuran, penilaian, dan evaluasi pendidikan sebab masih ada teknik lain yakni teknik non tes.
Teknik non tes biasanya dilakukan dengan cara wawancara, pengamatan secara sistematis, menyebarkan angket, ataupun menilai/mengamati dokumen-dokumen yang ada. Pada evaluasi penilaian hasil belajar, teknik ini biasanya digunakan untuk mengukur pada ranah afektif dan psikomotorik, sedangkan teknik tes digunakan untuk mengukur pada ranah kognitif. Berikut ini akan dijelaskan tentang resume pengertian, bentuk-bentuk non-tes, dan beberapa contoh dalam pelaksanaan teknik non tes.
Teknik non tes jarang dilakukan mengingat waktu yang diperlukan juga banyak dan juga persiapan yang lebih daripada evaluasi menggunakan tes. Namun kepentingan yang ada membuta teknik evaluasi non tes ini juga penting.

II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa Yang Dimaksud Dengan Evaluasi Non-Tes?
B. Bagaimanakah Bentuk-Bentuk Evaluasi No-Tes?

III. PEMBAHASAN
A. Apa Yang Dimaksud Dengan Evaluasi Non-Tes
Evaluasi non-tes merupakan penilaian atau evaluasi hasil belajar peserta didik yang dilakukan dengan tanpa ”menguji” peserta didik, melainkan dilakukan dengan menggunakan pengamatan secara sistematis (observation), melakukan wawancara (interview), menyebarkan angket (questionnaire) dan memeriksa atau meniliti dokumen-dokumen (documentary analysis).[1]
Instrument untuk memperoleh hasil belajar non-tes terutama dilakukan untuk mengukur hasil belajar yang berkenaan dengan soft skill, terutama yang berhubungan dengan apa yang dapat dibuat atau dikerjakan oleh peserta didik dari apa yang diketahui atau dipahaminya. Dengan kata lain, instrument seperti itu terutama berhubungan dengan penampilan yang dapat diamati dari pada pengetahuan dan proses mental lainnya yang tidak dapat diamati dengan panca indra. Selain itu, instrument seperti ini memang merupakan satu kesatuan dengan instrument lainnya, karena tes pada umumnya mengukur apa yang diketahui, dipahami atau yang dapat dikuasai oleh peserta didik dalam tingkatan proses mental yang lebih tinggi. Akan tetapi, belum ada jaminan bahwa mereka memiliki mental itu dalam mendemonstrasikan dalam tingkah lakunya. Dengan demikian, instrument non-tes merupakan bagian dari alat ukur hasil peserta didik.[2]

B. Bentuk-bentuk Evaluasi Non-Tes
Untuk menilai aspek tingkah laku, jenis non-tes lebih sesuai digunakan sebagai alat evaluasi. Seperti menilai aspek sikap, minat, perhatian, karakteristik, dan lainnya yang mencakup segi afektif dan psikimotorik. Sedangkan bentuk-bentuk teknik non-tes yang bisa digunakan adalah:

1. Wawancara ( Interview )
Wawancara adalah teknik pengumpulan data melalui komunikasi langsung(tatap muka) antara pihak penanya (interviewer) dengan pihak yang ditanya atau penjawab (interviewee).[3]
Secara umum, yang dimaksud dengan wawancara adalah cara menghimpun bahan keterangan yang dikakukan dengan melakukan tanya jawab lisan secara sepihak, berhadapan muka dan dengan arah serta tujuan yang telah ditentukan.
Ada dua jenis wawancara yang dapat dipergunakan sebagai alat evaluasi, yaitu:
a. Wawancara terpimpin (guided interview), yang juga sering dikenal dengan istilah wawancara berstruktur (structured interview) atau wawancara sistematis (systematic interview), yaitu wawancara yang dilakukan oleh evaluator dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu. Jadi, dalam hal ini responden pada waktu menjawab pertanyaan tinggal memilih jawaban yang sudah disediakan oleh evaluator.[4]
b. Wawancara tidak terpimpin (un-guided interview), yang sering dikenal dengan istlah wawancara sederhana (simple interview) atau wawancara tidak sistematis (non-systematic interview) atau wawancara bebas, diamana responden mempunyai kebebasan untuk mengutarakan pendapatnya, tanpa dibatasi oleh patokan-patokan yang telah dibuat oleh evaluator. Dalam wawancara bebas, pewancara selaku evaluator mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada peserta didik atau orang tuanya tanpa dikendalikan oleh pedoman tertentu, mereka dengan bebas mengemukakan jawabannya. Hanya saja pada saat menganilis dan menarik kesimpulan hasil wawancara bebas ini evaluator akan dihadapkan kesulitan-kesulitan, terutama apabila jawaban mereka beraneka ragam. Mengingat bahwa daya ingat manusia itu dibatasi ruang dan waktu, maka sebaiknya hasil wawancara itu dicatat seketika.[5]

Tujuan wawancara adalah sebagai berikut:
a. Untuk memperoleh informasi secara langsung guna menjelaskan suatu hal atau situasi dan kondisi tertentu
b. Untuk melengkapi suatu penyelidikan ilmiah
c. Untuk memperoleh data agar dapat mempengaruhi situasi atau orang tertentu.

Dalam wawancara terdapat kelebihan dan kelemahan. Diantara kelebihannya adalah:
a. Pewancara sebagai evaluator (dalam hal ini guru, dosen dan lain-lain) dapat berkomunikasi secara langsung, dengan peserta didik, sehingga informasi yang diperoleh dapat diketahui objektivitasnya, juga dapat diperoleh hasil penilaian yang lebih lengkap dan mendalam
b. Pelaksanaan wawancara lebih fleksibel, dinamis, dan personal
c. Data dapat diperoleh baik dalam bentuk kualitatif maupun kuantitatif
d. Memungkinkan bagi penanya untuk memperoleh data penguat lainmelalui mimik atau perilaku responden dalam menjawab pertanyaan.
e. Intensitas respon terhadap pertanyaan yang diperoleh melalui wawancara lebih tinggi dibandingkan dengan respon melalui kuesioner.[6]

Sedang di antara kelemahan dari wawancara:
a. Jika jumlah peserta didik cukup banyak, maka proses wawancara banyak menggunakan waktu, tenaga, dan biaya
b. Adakalanya wawancara terjadi berlarut-larut tanpa arah, sehingga data kurang dapat memenuhi apa yang diharapkan
c. Sering timbul sikap kurang baik dari peserta didik yang diwancarai dan sikap overaction dari guru sebagai pewawancara, karena itu perlu adanya adaptasi diri antara pewancara dengan orang yang diwawancarai.[7]
d. Wawancara tidak dapat menjangkau responden dalam jumlah besar dan dalam wilayah yang luas.[8]

2. Pengamatan (Observation )
Observasi adalah cara menghimpun bahan-bahan keterangan (data) yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis, logis, objektif dan rasional terhadap fenomena-fenomena yang sedang dijadikan sebagai sasaran pengamatan.[9] Alat yang digunakan dalam observasi disebut pedoman observasi.
Cara atau metode tersebut pada umumnya ditandai oleh pengamatan tentang apa yang benar-benar dilakukan oleh individu, dan membuat pencatan-pencatan secara objektif mengenai apa yang diamati.
Cara atau metode tersebut dapat juga dilakukan dengna menggunakan teknik dan alat-alat khusus seperti blangko-blangko, checklist, atau daftar isian yang telah dipersiapkan sebelumnya. Dengan demikian, secara garis besar teknik observasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: observasi yang direncanakan atau terkontrol dan observasi informal atau tidak direncanakan lebih dahulu.[10]

Tujuan utama observasi adalah:
a. Untuk mengumpulkan data dan inforamsi mengenai suatu fenomena, baik yang berupa peristiwa maupun tindakan, baik dalam situasi yang sesungguhnya maupun dalam situasi buatan.
b. Untuk mengukur perilaku kelas (baik perilaku guru maupun peserta didik), interaksi antara peserta didik dan guru, dan faktor-faktor yang dapat diamati lainnya, terutama kecakapan sosial (social skill).
Dalam evaluasi pembelajaran, observasi dapat digunakan untuk menilai proses dan hasil belajar peserta didik pada waktu belajar belajar, berdiskusi, mengerjakan tugas, dan lain-lain. Selain itu, observasi juga dapat digunakan untuk menilai penampilan guru dalam mengajar, suasana kelas, hubungan sosial sesama, hubungan sosial sesama peserta didik, hubungan guru dengan peserta didik, dan perilaku sosial lainnya.

Observasi mempunyai beberapa karakteristik, antara lain:
a. Mempunyai arah dan tujuan yang jelas. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan observasi tidak menyimpang dari permasalahan. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya evaluator harus menggunakan alat yang disebut dengan pedoman observasi.
b. Bersifat ilmiah, yaitu dilakukan secara sistematis, logis, kritis, objektif, dan rasional.
c. Terdapat berbagai aspek yang akan diobservasi.
d. Praktis penggunaannya.

Dilihat dari kerangka kerjanya, observasi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
a. Observasi berstruktur, yaitu semua kegiatan guru sebagai observer telah ditetapkan terlebih dahulu berdasarkan kerangka kerja yang berisi faktor yang telah diatur kategorisasinya. Isi dan luas materi observasi telah ditetapkan dan dibatasi dengan jelas dan tegas.
b. Observasi tak berstruktur, yaitu semua kegiatan guru sebagai obeserver tidak dibatasi oleh suatu kerangka kerja yang pasti. Kegiatan obeservasi hanya dibatasi oleh tujuan observasi itu sendiri.

Apabila dilihat dari teknis pelaksaannya, observasi dapat ditempuh melalui tiga cara, yaitu:
a. Observasi langsung, observasi yang dilakukan secara langsung terhadap objek yang diselidiki.
b. Observasi tak langsung, yaitu observasi yang dilakukan melalui perantara, baik teknik maupun alat tertentu.
c. Observasi partisipasi, yaitu observasi yang dilakukan dengan cara ikut ambil bagian atau melibatkan diri dalam situasi objek yang diteliti.

Sebagai instrumen evaluasi yang lain, observasi secara umum mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan observasi antara lain:
a. Observasi merupakan alat untuk mengamati berbagai macam fenomena.
b. Observasi cocok untuk mengamati perilaku peserta didik maupun guru yang sedang melakukan suatu kegiatan.
c. Banyak hal yang tidak dapat diukur dengan tes, tetapi lebih tepat dengan observasi.
d. Tidak terikat dengan laporan pribadi.

Adapun kelemahan dari observasi adalah:
a. Seringkali pelaksanaan observasi terganggu oleh keadaan cuaca, bahkan ada kesan yang kurang menyenangkan dari observer ataupun observasi itu sendiri.
b. Biasanya masalah pribadi sulit diamati.
c. Jika yang diamati memakan waktu lama, maka observer sering menjadi jenuh.

Adapun langkah-langkah penyusunan pedoman observasi adalah sebagai berikut:
a. Merumuskan tujuan observasi
b. Membuat lay-out atau kisi-kisi observasi
c. Menyusun pedoman observasi
d. Menyusun aspek-aspek yang akan diobservasi, baik yang berkenaan proses belajar peserta didik dan kepribadiaanya maupun penampilan guru dalam pembelajaran
e. Melakukan uji coba pedoman observasi untuk melihat kelemahan-kelemahan pedoman observasi
f. Merifisi pedoman obsevasi berdasarkan hasil uji coba
g. Melaksanakan observasi pada saat kegiatan berlangsung
h. Mengolah dan menafsirkan hasil observasi.[11]

3. Angket ( Questionnare )
Angket juga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam rangka penilaian hasil belajar. Berbeda dengan wawancara, dimana penilai (evaluator) berhadapan secara langsung (face to face) dengan peserta didik atau dengan pihak lainnya, maka dengan menggunakan angket, pengumpulan data sebagai bahan penilai hasil belajar jauh lebih praktis, menghemat waktu dan tenaga. Hanya saja, jawaban yang diberikan seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.[12]
Pada umunya tujuan penggunaan angket atau kuesioner dalam proses pembelajaran terutama adalah untuk memperoleh data mengenai latar belakang peserta didik sebagai salah satu bahan dalam menganilisis tingkah laku dan proses belajar mereka. Disamping itu, juga dimaksudkan untuk memperoleh data sebagai bahan dalam menyusun kurikulum dan progam pembelajaran.
Data yang dapat dihimpun melalui kuesioner, misalnya adalah data yang berkenaan dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para peserta didik dalam proses pembelajaran, cara belajar, fasilitas belajar, bimbingan belajar, motivasi dan minat belajar, sikap belajarnya, sikap terhadap mata pelajaran tertentu, pandangan siswa terhadap mata pelajaran tertentu, pandangan siswa terhadap proses pembelajaran dan sikap mereka terhadap guru.
Kuesioner sering digunakan untuk menilai hasil belajar ranah afektif. Ia dapat berupa kuesioner bentuk pilihan ganda (mutiple choice item) dan dapat pula berbentuk skala sikap. Skala yang mengukur sikap, sangat terkenal dan sering digunakan untuk mengungkap sikap peserta didik adalah skala likert.[13]
Kuesioner sebagai alat evaluasi juga sangat berguna untuk mengungkap latar belakang orang tua peserta didik maupun peserta didik sendiri, dimana data yang telah diperoleh melalui kuesioner itu pada suatu saat akan diperlukan, terutama apabila terjadi kasus-kasus tertentu yang menyangkut dari peserta didik.[14]

4. Study Kasus ( Case Study )
Studi kasus adalah mempelajari individu dalam proses tertentu secara terus menerus untuk melihat perkembangannya.[15] Misalnya peserta didik yang sangat cerdas, sangat lamban, sangat rajin, sangat nakal, atau kesulitan dalam belajar. Untuk itu guru menjawab tiga percayaan inti dalam studi kasus, yaitu:
a. Mengapa kasus tersebut bisa terjadi?
b. Apa yang dilakukan oleh seseorang dalam kasus tersebut?
c. Bagaimana pengaruh tingkah laku seseorang terhadap lingkungan?
Studi kasus sering digunakan dalam evaluasi, bimbingan, dan penelitian. Studi ini menyangkut integrasi dan penggunaan data yang komprehensif tentang peserta didik sebagai suatu dasar untuk melakukan diagnosis dan mengartikan tingkah laku peserta didik tersebut. Dalam melakukan studi kasus, guru harus terlebih dahulu mengumpulkan data dari berbagai sumber dengan menggunakan berbagai teknik dan alat pengumpul data. Salah satu alat yang digunakan adalah depth-interview , yaitu melakukan wawancara secara mendalam, jenis data yang diperlukan antara lain, latar belakang kehidupan, latar belakang keluarga, kesanggupan dan kebutuhan, perkembangan kesehatan, dan sebagainya.
Namun, seperti halnya alat evaluasi yang lain, studi kasus juga mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah dapat mempelajari seseorang secara mendalam dan komprehensif, sehingga karakternya dapat diketahui selengkap-lengkapnya. Sedangkan kelemahannya adalah hasil studi kasus tidak dapat digeneralisasikan, melainkan hanya berlaku untuk peserta didik itu saja.[16]

5. Pemeriksaan Dokumen ( Documentary Analysis )
Evaluasi mengenai kemajuan, perkembangan atau keberhasilan belajar peserta didik tanpa menguji (teknik non-tes) juga dapat dilengkapi atau diperkaya dengan cara melakukan pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen, misalnya: dokumen yang menganut informasi mengenai riwayat hidup (auto biografi), seperti kapan kapan dan dimana peserta didik dilahirkan, agama yang dianut, kedudukan anak didalam keluarga dan sebagainya. Selain itu juga dokumen yang memuat informasi tentang orang tua peserta didik, dokumen yang memuat tentang orang tua peserta didik, dokumen yang memuat tentang lingkungan non-sosial, seperti kondisi bangunan rumah, ruang belajar, lampu penerangan dan sebagainya.
Beberapa informasi, baik mengenai peserta didik, orang tua dan lingkungannya itu bukan tidak mungkin pada saat-saat tertentu sangat diperlukan sebagai bahan pelengkapbagi pendidik dalam melakukan evaluasi hasil belajar terhadap peserta didiknya.[17]


                          
[1] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 76.
[2] S. Eko Putra Widoyoko, Evaluasi Program Pembelajaran: Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Didik, (Yogyakarta: Pustaka Belajar: 2009), hlm. 104.
[3] Djudju Sudjana, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), hlm. 194.
[4] Daryanto, Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008), hlm. 33
[5] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi... hlm. 84
[6] Djudju Sudjana, Evaluasi Program...hlm. 197
[7] Zaenal Arifin, Evaluasi Pembelajaran: Prinsip, Teknik, Prosedur, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 158
[8] Djudju Sudjana, Evaluasi Program...hlm. 199
[9] Djudju Sudjana, Evaluasi Program...hlm. 76
[10] M. Ngalim Purwanto, Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 149.
[11] Zaenal Arifin, Evaluasi Pembelajaran...hlm. 153-156
[12] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi...hlm. 84
[13] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi...hlm. 85
[14] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi...hlm. 88
[15] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), hlm. 223
[16] Zaenal Arifin, Evaluasi Pembelajaran...hlm. 168-169
[17] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi...hlm. 90

DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR

I. PENDAHULUAN
Setiap siswa pada prinsipnya tentu berhak memperoleh peluang untuk mencapai kinerja akademik yang memuaskan. Namun dari kenyataan sehari-hari tampak jelas bahwa siswa itu memiliki perbedaan dalam hal kemampuan intelektual, kemampuan fisik, letar belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat mencolok antara seorang siswa dengan siswa lainnya.
Sementara itu, sekolah-sekolah umumnya hanya ditujukan kepada para siswa yang berkemampuan rata-rata, sehingga siswa yang berkemampuan lebih atau berkemampuan rendah terabaikan. Dengan demikian siswa yang berkategori “diluar rata-rata” itu sangat tidak mendapat kesempatan yang memadai untuk berkembang sesuai kapasitasnya. Dari sini maka timbullah yang dinamakan kesulitan belajar.

II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Pengertian Kesulitan Belajar?
B. Apa sajakah Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesulitan Belajar?
C. Bagaimana Proses Mengatasi Kesulitan Belajar?
D. Bagaimana Usaha Mengatasi Kesulitan Belajar?

III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Kesulitan Belajar
Sebelum menjelaskan pengertian kesulitan belajar perlu ditinjau lebih dahulu apakah yang dmaksud dengan belajar. Dalam hal ini ada bermacam-macam pendapat. Belajar adalah usaha untuk membentuk hubungan antara perangsang dan reaksi, pandangan ini dikemukakan oleh aliran psikologi yang dipelopori oleh Thorndike. Adapun menurut para ahli psikologi Gestalt bahwa belajar adalah suatu proses aktif, yang dimaksud aktif di sini ialah, bukan hanya aktivitas yang nampak seperti gerakan-gerakan badan, akan tetapi juga aktivitas mental, seperti proses berfikir, mengingat dan sebagainya.[1]
Anak didik yang mengalami kesulitan belajar adalah anak didik yang tidak dapat belajar secara wajar, disebabkan adanya ancaman, hambatan, ataupun gangguan dalam belajar, sehingga nampakan gejala-gejala yang bisa diamati oleh orang lain, guru, ataupun orang tua. Gejala-gejala yang dapat diamati tersebut misalnya; Prestasi yang rendah, lambat mengrjakan tugas, sikap yang kurang wajar seperti acuh tak acuh, mudah tersinggung dan pemarah[2]
Setiap kali kesulitan belajar anak didik yang satu dapat diatasi, tetapi pada waktu yang lain mucul lagi kasus kesulitan belajar anak didik kesulitan belajar anak didik yang lain.

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesulitan Belajar
Fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya tampak jelas dari menurunnya kinerja akademik atau prestasi belajarnya. Namun, kesulitan belajar juga dapat dibuktikan dengan munculnya kelainan perilaku siswa. Secara garis besar, faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri atas dua macam:
a. Faktor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalam diri siswa sendiri, yang meliputi faktor fisiologi dan faktor psikologi.
b. Faktor ekstern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang dari luar siswa.[3]

Kedua faktor ini meliputi aneka ragam hal dan keadaan yang antara lain tersebut di bawah ini.
a. Faktor intern siswa
Faktor intern siswa meliputi gangguan atau kekurangmampuan psiko-fisik siswa, yakni:
1) Yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas intelektual/imtelegensi siswa.
2) Yang bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap.
3) Yang bersifat psikomotorik (ranah karsa), antara lain seperti terganggunya alat-alat indra penglihat dan pendengar.[4]
b. Faktor ekstern siswa
Ada tiga macam faktor ekstern, antara lain:
1) Lingkungan keluarga, seperti hubungan tidak harmonis.
2) Lingkunagan masyarakat, seperti lingkunganyang kumuh, teman yang nakal.
3) Lingkungan sekolah, seperti lokasi dekat pasar, guru yang kurang profesional, fasilitas kurang memadai, dan lain-lain.[5]

C. Proses Mengatasi Kesulitan Belajar
1. Diagnosisi kesulitan belajar
Sebelum menetapkan alternatif pemecahan masalah kesulitan belajar siswa, guru terlebih dahulu melakukan identifikasi terhadap fenomena yang menunjukan kemungkinan adanya kesulitan belajar yang melanda siswa tersebut. Upaya seperti ini disebut diagnosis yang bertujuan menetapkan jenis penyakit yakni jenis kesulitan belajar siswa.
Banyak langkah-langkah diagnostik yang dapat ditempuh guru, antara lain yang cukup terkenal adalah prosedur Weener dan Senf (1982) sebagaiamana yang dikutip Wardani (1991) sebagai berikut:
a. Melakukan observasi kelas untuk melihat perilaku menyimpang siswa ketika mengikuti pelajaran.
b. Memeriksa penglihatan dan pendengaran siswa khususnya yang diduga mengalami kesulitan belajar.
c. Mewawancarai orang tua atau wali siswa untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang mungkin menimbulkan kesulitan belajar.
d. Memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan belajar yang dialami siswa.
e. Memberikan tes kemampuan intelegensi (IQ) khususnya kepada siswa yang diduga megalami kesulitan belajar.[6]

2. Alternatif pemecahan kesulitan belajar
Banyak alternatif yang dapat diambil guru dalam mengatasi kesulitan belajar siswanya. Akan tetapi, sebelum pilihan tertentu diambil, guru sangat diharapkan untuk terlebih dahulu melakukan beberapa langkah penting sebagai berikut:
a. menganalisis hasil diagnosis, yakni menelaah bagian-bagian masalah dan hubungan antar bagian tersebut untuk memperoleh pengertian yang benar mengenai kesulitan belajar yang dihadapkan siswa.
b. Mengidentifikasi dan menentukan bidang kecakapan tertentu yang memerlukan perbaikan.
c. Menyusun program perbaikan, khususnya program remidial teaching (perbaikan pengajaran). Sebelumnya guru perlu menetapkan hal-hal sebagai berikut:
1) Tujuan pengajaran remidial.
2) Materi pengajaran remidial.
3) Metode pengajaran remidia.
4) Alokasi waktu pengajaran remidial.
5) Evaluasi kemajuan siswa setelah mengikuti program pengajaran remidial.
Setelah langkah-langkah di atas selesai, barulah guru melaksanakan langkah ke empat, yakni melaksanakan program perbaikan.[7]

D. Usaha Mengatasi Kesulitan Belajar
Mengatasi kesulitan belajar, tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor kesul;itan belajar sebagaimana yang diuraikan di atas. Karena itu mencari sumber penyebab utama dan sumber-sumber penyebab penyerta lainnya, adalah menjadi mutlak adanya dalam rangka mengatasi kesulitan belajar.
Secara garis besar, langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam rangka mengatasi kesulitan belajar, dapat dilakukan melalui enam tahap, antara lain sebagai berikut:

1. Pengumpulan data
Untuk menemukan sumber penyebab kesulitan belajar, diperlukan banyak informasi. Untuk memperoleh informasi tersebut, maka perlu diadakan sesuatu pengamatan langsung yang disebut dengan pengumpulan data. Menurut Sam Isbani dan R Isbani, dalam pengumpulan data dapat dipergunakan berbagai metode, di antaranya ialah; observasi, kunjungan rumah, case study, case history, daftar pribadi, meneliti pekerjaan anak, tugas kelompok, dan melaksanakan tes.

2. Pengolahan data
Data yang terkumpul dari kegiatan tahap pertama tersebut, tidak ada artinya jika tidak diadakan pengolahan data secara cermat. Dalam pengolahan data, langkah yang dapat ditempuh antara lain:
a. Identifikasi kasus.
b. Membandingkan antar kasus.
c. Membandingkan dengan hasil tes.
d. Menarik kesimpulan.

3. Diagnosis
Diagnosis adalah keputusan/ penentuan menganai hasil dari pengolahan data. Diagnosis ini dapat berupa hal-hal sebagai berikut:
a. Keputusan mengenai jenis kesulitan belajar anak (berat dan ringannya).
b. Keputusan mengenai faktor-faktor yang ikut menjadi sumber penyebab kesulitan belajar.
c. Keputusan mengenai faktor utama penyebab kesulitan belajar.

4. Prognosis
Prognosis artinya “ramalan”. Apa yang telah ditetapkan dalam tahap diagnosis, akan menjadi dasar utama dalam menyusun dan menetapkan ramalan mengenai bantuan apa yang harus diberikan kapadanya untuk membantu mengatasi masalahnya.
Pendek kata, prognosis adalah aktifitas penyusunan rencana atau program yang diharapkan dapat membantu mengatasi masalah kesulitan belajar peserta didik.

5. Treatment/perlakuan
Perlakuan di sini maksudnya adalah pemberian bantuan kepada anak yang bersangkutan sesuai dengan program yang telah disusun pada tahap prognosis tersebut. Bentuk treatment yang mungkin dapat diberikan adalah:
a. Melalui bimbingan belajar kelompok.
b. Melalui bimbingna belajar individual.
c. Melalui pengajaran remidial dalam beberapa bidang studi tertentu.
d. Pemberian bimbingan pribadi untuk mengatasi masalah-masalah psikologis.
e. Melalui bimbingan orang tua.

6. Evaluasi
Evaluasi di sini dimaksudkan untuk mengetahui, apakah treatment yang telah diberikan di atas telah berhasil dengan bik, artinya ada kemjuan, atau bahkan gagal sama sekali.[8]

                          
[1]Mustaqim dan Abdul Wahib, Psikologi Pendidikan, (Jakarta:PT Rineka Cipta, 2010),hlm. 60-61.
[2] Noer Rohmah, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 292.
[3] M. Dalyono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 230.
[4] Muhubbin Syah, Psikologi Pebdidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), hlm.173.
[5] Noer Rohmah, Psikologi Pendidikan..., hlm.293.
[6] Noer Rohmah, Psikologi Pendidikan..., hlm 294-295.
[7] Muhubbin Syah, Psikologi Pebdidikan..., hlm. 175-177.
[8] M. Dalyono, Psikologi Pendidikan..., hlm.250-255.

Jumat, 22 November 2013

( AKHIR ZAMAN ) SEMAKIN BANYAK HADIST TANDA KIAMAT TELAH TERBUKTI

( AKHIR ZAMAN ) SEMAKIN BANYAK HADIST TANDA KIAMAT TELAH TERBUKTI - ( Ulama yang haq tidak dihiraukan ) Dari Sahl bin Saad as-Sa 'idi Ra. ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Ya Allah! Jangan Engkau pertemukan aku dan mudah-mudahan kamu (sahabat) tidak bertemu dengan suatu zaman dikala para ulama sudah tidak diikuti lagi, dan orang yang penyantun sudah tidak dihiraukan lagi. Hati mereka seperti hati orang Ajam (pada fasiqnya), lidah mereka seperti lidah orang Arab (pada fasihnya)." (HR. Ahmad).


( Islam tinggal nama dan tulisannya saja )

Dari Ali bin Abi Thalib Ra. ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.: "Sudah hampir tiba suatu zaman, kala itu tidak ada lagi dari Islam kecuali hanya namanya, dan tidak ada dari Al-Qur'an keeuali hanya tulisannya. Masjid-masjid mereka indah, tetapi kosong dari hidayah. Ulama mereka adalah sejahat-jahat makhluk yang ada di bawah kolong langit. Dari merekalah keluar fitnah, dan kepada mereka fitnah itu akan kembali ." (HR. al-Baihaqi).

( Kemaksiatan Bertambah )

Dari Ali bin Abi Thalib Ra. dikatakannya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila umatku telah melakukan limabelas perkara, maka bala' pasti akan turun kepada mereka, yaitu:
1. Apabila harta negara hanya beredar pada orang orang tertentu
2. Apabila amanah dijadikan suatu sumber keuntungan
3. Zakat dijadikan hutang
4. Suami memperturutkan kemauan isteri
5. Anak durhaka terhadap ibunya
6. Sedangkan ia berbuat baik dengan temannya
7. Dia menjauhkan diri dari ayahnya
8. Suara-suara ditinggikan di dalam masjid
9. Yang menjadi ketua satu kaum adalah orang yang terhina di antara mereka
10. Seseorang dimuliakan karena ditakuti kejahatannya
11. Khamar (arak) sudah diminum di segenap tempat
12. Kain sutera banyak dipakai ( oleh kaum lelaki )
13. Para biduanita disanjung-sanjung
14. Musik banyak dimainkan
15. Generasi akhir umat ini melaknat (menyalahkan) generasi pertama (sahabat) Maka ketika itu hendaklah mereka menanti angin merah atau gempa bumi ataupun mereka akan diubah menjadi makhluk lain." (HR.Tirmizi)

( Berbangga dengan kemegahan Masjid saja )

Dari Anas bin Malik Ra. bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak terjadi hari qiamat sehingga umatku bermegah -megahan dengan bangunan masjid." (HR. Abu Daud).

Keterangan Di antara tanda dekatnya hari qiamat ialah Umat Islam bangga dan bermegah-megahan dengan bangunan masjidnya. Di antara mereka bangga dan merasa megah dengan keistimewaan bangunannya. Perhatian mereka hanya kepada keindahan masjid saja, tidak kepada pengisian masjid dengan ibadah dan shalat berjamaah.

( Banyaknya Ujian keimanan )

Dari Abu Hurairah Ra. bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Bersegeralah kamu beramal sebelum menemui fitnah (ujian berat terhadap iman) seumpama malam yang sangat gelap. Seseorang yang masih beriman di waktu pagi, kemudian di waktu sore dia sudah menjadi kafir, atau (Syak Perawi Hadits) seseorang yang masih beriman di waktu sore, kemudian pada keesokan harinya dia sudah menjadi kafir. Dia telah menjual agamanya dengan sedikit harta benda dunia ", (HR. Muslim).

Keterangan Hadits ini menerangkan kepada kita betapa dahsyat dan hebatnya ujian terhadap iman seseorang di akhir zaman. Seseorang yang beriman di waktu pagi, tiba-tiba dia menjadi kafir di waktu sore. Begitu pula dengan seseorang yang masih beriman di waktu sore. Tiba-tiba besok paginya telah menjadi kafir. Begitu cepat perubahan yang berlaku. Iman yang begitu mahal boleh gugur di dalam godaan satu malam atau satu hari saja, sehingga banyak orang yang menggadaikan imannya karena hanya hendak mendapatkan sedikit harta benda dunia.

( Orang Beragama yang Benar terkucilkan )

Dari Anas Ra. berkata RasuJullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: ''Akan datang pada manusia suatu zaman saat itu orang yang berpegang teguh (sabar) di an tara mereka kepada agamanya laksana orang yang memegang bara api. (HR. Tirmidzi).

Keterangan Yang dimaksudkan di sini ialah zaman yang sang at menggugat iman sehingga siapa saja yang hendak mengamalkan ajaran agamanya dia pasti menghadapi kesulitan dan tantangan yang sangat hebat. Kalau dia tidak bersungguh-sungguh, pasti agamanya akan terlepas dari genggamannya. Ini disebabkan keadaan sekelilingnya tidak mendorong untuk menunaikan kewajiban agamanya, bahkan apa yang ada di sekelilingnya mendorong untuk berbuat kemaksiatan yang dapat meruntuhkan aqidah dan keimanan atau paling kurang menyebabkan kefasikan.

( Menamakan indah pada barang2 maksiat )

Dari Abu Malik Al-Asy'ari Ra. katanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda; "Sesungguhnya akan ada sebagian dari umatku yang meminum khamar dan mereka menamakannya dengan nama yang lain. (Mereka meminum) sambi! diiringi dengan alunan musik dan suara biduanita. Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menenggelamkan mereka ke dalam bumi (dengan gempa) dan Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengubah mereka menjadi kera atau babi." (HR. Ibnu Majah). 

( Waktu terasa pendek )

Dari Anas bin Malik Ra. ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Tidak akan terjadi qiamat sehingga waktu terasa pendek, maka setahun dirasakan seperti sebulan, sebulan dirasakan seperti seminggu, seminggu dirasakan seperti sehari, sehari dirasakan seperti satu jam serta satu jam dirasakan seperti satu kilatan api. " ( sebentar saja, hanya seperti kilatan api sekejap). (HR. Tirmizi).

( Aurat Dibuka massal, keharaman menjadi mode dan gaya )

Dari Abu Hurairah Ra. ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,. ''Ada dua golongan yang akan menjadi penghuni Neraka, keduanya belum pemah aku lihat mereka. Pertama, golongan (penguasa) yang mempunyai cambuk bagaikan ekor sapi yang digunakan untuk memukul orang. Kedua, perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, lenggang-lenggok waktu berjalan, mengayun-ayunkan bahu. Kepala mereka (sanggul di atas kepala mereka) bagaikan bonggol (ponok unta yang condong). Kedua golongan ini tidak akan masuk sorga dan tidak akan dapat mencium bau harumnya. Sesungguhnya bau harum sorga itu sudah tercium dari jarak perjalanan yang sangat jauh, (HR. Muslim).

( Islam yang benar malah menjadi asing )

Dari Abu Hurairah Ra. Ia berkata: Bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam; "Islam mulai berkembang dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali asing pula. Maka beruntunglah orang-orang yang asing." (HR. Muslim).

Keterangan Islam mulai tersebar di Mekkah dalam keadaan sangat asing. Sangat sedikit penganut dan pendukungnya kalau dibandingkan dengan penentangnya. Kemudian setelah itu Islam tersebar ke seluruh pelosok dunia sehingga dianut oleh dua pertiga penduduk dunia. Kemudian Islam kembali asing dan dirasa ganjil dari pandangan dunia, bahkan dari pandangan orang Islam sendiri. Sebagian dari orang Islam merasa ganjil dan aneh bila melihat orang Islam yang iltizam (komitmen) dengan Islam dan mengamalkan tuntutan Islam yang sebenamya

( Meniru Yahudi dan Nasrani )

Dari Abu Sa'id Al-Khudri Ra. ia berkata: Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: Kamu akan mengikuti jejak langkah umat-umat sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga jikalau mereka masuk ke lobang biawakpun kamu akan mengikuti mereka". Sahabat bertanya. "Ya Rasulullah! Apakah Yahudi dan Nashrani yang Tuan maksudkan?" Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab, "Siapa lagi?" (kalau bukan mereka). (HR. Muslim).

Keterangan Umat Islam akan mengikuti jejak langkah atau "cara hidup" orang-orang Yahudi dan Nashrani, hingga dalam urusan yang kecil dan yang remeh sekalipun. Contohnya, jikalau orang Yahudi dan Nashrani masuk ke lobang biawak yang kotor dan sempit sekali pun, orang Islam akan terus mengikuti mereka.

( Islam dikerubungi musuh-musuhnya ) 

Dari Tsauban Ra. berkata Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda; "Hampir tiba suatu zaman di mana bangsa-bangsa dari seluruh dunia akan datang mengerumuni kamu bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni talam hidangan mereka". Maka salah seorang sahabat bertanya, "Apakah karena kami sedikit pada hari itu?" Nabi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab, "Bahkan kamu pada hari itu banyak sekali, tetapi kamu umpama buih di waktu banjir, dan Allah akan mencabut rasa gentar terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan melemparkan ke dalam hati kamu penyakit 'wahan'. Seorang sahabat bertanya: "Apakah 'wahan' itu, hai Rasulullah?". Rasulullah menjawab: "Cinta dunia dan takut mati". (HR. Abu Daud).

Kamis, 21 November 2013

FILSAFAT ISLAM AL-GHAZALI

I. PENDAHULUAN

Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan. Salah satu bagian dari filsafat adalah filsafat islam. Yang diartikan sebagai suatu ilmu yang dicelup ajaran Islam dalam membahas hkikat kebenaran segala sesuatu.

Ketika membahas mengenai filsafat Islam, maka akan muncul berbagai tokoh filasafat Islam yang biasa disebut dengan filosof muslim. Diantara para filosof yang terkenal yaitu Al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Rusy, Al-Farabi, Ibnu Bajjah, Miskawaih, Al-Ghazali dan seterusnya. Akan tetapi dalam makalah ini hanya akan membahas mengenai filsafat Al-Ghazali.

II. RUMUSAN MASALAH

A. Bagaimana biografi tentang Al-Gazali?
B. Apa saja karya-karya Al-Gazali?
C. Bagaimana pemikiran Al-Ghazali?

III. PEMBAHASAN

A. Biografi Al-Gazali (450/1059 H- 505/1111 M)

Nama lengkapnya Asy-Syaikh Al-Imam Al-Hammam Hujjatu Al-Islam Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali ath-Thusi.ia lahir pada tahun 450H/1059M, di Thus, suatu kota di Khusaran(Iran) dan meninggal dunia pada tahun 505H/1111M di kota ini juga dalam usia 55 tahun.[1]

Ayah Al-Ghazali adalah orang yang fakir harta tetapi kaya spiritual. Ayah Al-Ghazali bekerja keras memproduksi tenun dan selalu berkhidmat kepada tokoh-tokoh agama dan ahli fiqh di berbagai majlis dan khalwat mereka. Ia mempunyai sikap begitu mengagungkan yang mewarnai panca inderanya untuk berbakti kepada tokoh – tokoh agama dan ilmu pengetahuan, hingga ketika mendengar seorang penceramah atau seorang ahli hukum Islam sedang memberikan nasehat beliau memohon kepada Allah agar dianugerahi seorang ayah yang menjadi penceramah yang ahli memberi nasehat atau seorang ilmuan yang ahli ibadah.

Nampaknya, perasaan dan kecintaan psikologis yang menggelora ingin mencapai tingkat keluhuran ilmiah dan pensucian terhadap pakaian agama ini telah diwarisi oleh Al-Ghazali dari ayahnya, tetapi dalam bentuk lain. Karena sang anak mendapat kesempatan yang tidak ada pada sang ayah. Pada diri Al-Ghazali selalu kehausan dan terpacu untuk mencari tambahan dan serius mengkaji berbagai ilmu dan pengetahuan.[2]

Adapun beberapa tempat-tempat Al-Gazali memperoleh ilmu pengetahuan antara lain:

1. Belajar di Thus, sampai pada usia 20 tahun. Dia mempelajari ilmu fiqih secara mendalam dari Razakani Ahmad bin Muhammad, dan kemudian dipelajarinya ilmu tasawuf dari Yusuf en Nassaj, seorang Sufi yang terkenal.

2. Kemudian ke Jurjan pada tahun 479 H. Al-Gazali berpindah ke Jurjan melanjutkan pelajarannya. Guru yang terkenal ialah Nashar el Isma’ili. Tidak puas dengan pelajaran yang diterimanya di Jurjan, maka dia pulang kembali ke Thus selama 3 tahun lamanya.[3]

3. Setelah itu pindah lagi ke Naisabur untuk belajar pada seorang ulama besar yang sangat masyhur, Imam Haramain Al-Juwaini. Disinilah Al-Ghazali belajar bermacam-macam ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu, seperti Fiqh, Jadal, Mantiq, Filsafat, dan sebagainya. Setelah Imam Haramain wafat pada 483 H, Al-Ghazali berkunjung ke Nizham Al-Mulk di kota Mu’askar. Beliau memperoleh penghormatan dan penghargaan yang luar biasa, sehingga majlisnya merupakan tempat berkumpul para Imam dan Ulama. Pada tahun 484 H beliau diangkat menjadi guru pada madrasah Nizhamiyah di Baghdad.[4]

B. Karya-karya Al-Gazali

Keistimewaan yang luar biasa dari Al-Gazali adalah dia seoarang pengarang yang sangat produktif. Menurut catatan Sulayman Dunya, banyaknya karangan Al-Gazali mencapai jumlah 300 buah. Diantara 300 buah karangan Al-Gazali, hanya beberapa buah saja yang dapat diselamatkan dari cengkeraman keganasan para penguasa yang mengobrak-abrik Negara Islam dimasa itu. Berikut beberapa karya dari Al-Gazali:

1. Yaqut ut ta’wiel fi tafsier et tanziel (penafsiran Al-Qur’an menurut sebab-sebab-sebab turunya ayat-ayat Al-Qur’an)

2. Sirrul ‘alamain (rahasia dua dunia)

3. Al Madhnun bihi ‘ala ghairi ahlihi (ilmu yang harus disembunyikan dari orang-orang yang bukan ahlinya).

Adapun karya-karya Al-Gazali yang paling terkenal dalam beberapa bidang menurut Sulayman Dunya yang meliputi:

1. Bidang filsafah

a. Ilmu kalam (theology)
b. Ilmu falsafah umum (‘aqliyah)
c. Aliran kaum Syie’ah Bathiniyah (mazhab ahli ta’liem)
d. Ilmu tashawwuf (metafisika)

2. Bidang keagamaan

a. Ihya’ ‘ulum ed dien (menghidupkan ilmu-ilmu agama)
b. Al Munqiz minad dhalal (terlepas dari kesesatan)
c. Minhaj ul ‘Abidien (jalan mengabdi Tuhan)

3. Bidang akhlak dan tasawuf

a. Miezan ul ‘amal (neraca amal)
b. Keimiya us sa’adah (kimianya kebahagiaan)
c. Kitab ul Arba’ien (empat puluh prinsip agama)
d. At Tibrul masbuk fi nashiehat el muluk (mas yang sudah di tatah untuk menasehati para penguasa)
e. Al Mustashfa fil ushul (keterangan yang sudah dipilih mengenai soal pokok-pokok ilmu hukum).[5]

C. Pemikiran Al-Ghazali

1. Metafisika

Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.

Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.

Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir.

2. Iradat Tuhan

Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.

Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatNya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.[6]

Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap berkuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api itu atau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.[7]

3. Etika

Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.

Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.

Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.

Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.[8]

                     
[1] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN jami’ah Ar-Raniry Banda Aceh, Pengantar filsafat islam, (Aceh:Banna Coy, 1982), hlm. 76
[2] Thaha Abdul Baqi Surur, Imam Al-Ghazali: Hujjatul Islam, (Jakarta: Pustaka Mantiq, tth), Hlm. 20-21.
[3] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam Al-Gazali, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hlm. 31-32.
[4] Proyek pembinaan perguruan tinggi agama IAIN jami’ah ar-raniry banda aceh, Pengantar filsafat..., hlm. 76-77.
[5] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup…, hlm. 53-73.
[6] Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: CV ROSDA, 1988), hlm. 172.
[7] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 176.
[8] M. Amin Abdullah, Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.280.

FILSAFAT ISLAM IBNU SINA

I. PENDAHULUAN

Filsafat islam mencapai puncak kecemerlangannya pada zaman hidupnya Syaikh ar-Rais Abu ‘Ali al-Husein bin ‘Abdullah Ibnu Sina. Dialah filosof Islam yang paling banyak menulis buku-buku ilmiah sampai soal-soal yang bersifat cabang dan ranting. Para filosof islam yang datang sesudahnya tidak mencapai kemajuan yang berarti, malah sebagian besar dari mereka itu hanya menguraikan buku-buku yang ditulis oleh Ibnu Sina, seperti Ar-Razi dan Thusi misalnya. Pada zamannya, filsafat Islam mencerminkan kepribadian Ibnu Sina sehingga ia menjadi sasaran serangan kalangan yang mengecam filsafatnya dan menghendaki kehancurannya.

Kalau Al Kindi seorang Arab, dan Al Farabi seorang Turki, maka Ibnu Sina adalah orang Persia. Semuanya itu menunjukkan corak universal peradaban Islam. Hal itu dimungkinkan oleh agama yang melandasi filsafat itu sendiri, islam, dan berkat bahasanya, yaitu bahasa Arab.

Selanjutnya, makalah ini akan membahas lebih lengkap mengenai seorang filosof yang bernama Ibnu Sina.

II. RUMUSAN MASALAH

A. Bagaimanakah biografi Ibnu Sina?
B. Apa saja karya-karya Ibnu Sina?
C. Bagaimanakah Filsafat Ibnu Sina?

III. PEMBAHASAN

A. Biografi Ibnu Sina

Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali Al-Husain ibnu ‘Abdullah ibn Hasan ibnu ‘Ali ibn Sina. Di barat populer dengan sebutan Avicenna akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Ibnu Sina dilahirkan di Afsyana dekat Bukhara pada tahun 980 M dan meniggal dunia pada tahun 1037 M dalam usia 58 tahun. Jasadnya dikebumikan di Hamadzan.[1]

Ibnu Sina banyak mempelajari kitab karangannya Abi ‘Abdillah Al-Natily yang Berjudul “Isagogi”, dan buku karangan Elides dan Al-Magisty. Pada waktu ia menerangkan isi buku-buku tersebut kepada gurunya, ia menunjukan kecerdasan pikirannya yang mengagumkan, karena ia dapat mengungkapkan isinya secara jelas sesuai dengan rumus-rumus dan problematika yang ditulis dalam buku-buku tersebut, dimana gurunya sendiri tidak dapat memahaminya.

Dalam autobiografi Ibnu Sina memulainya dengan mengatakan: “ayahku seorang penduduk Balakh. Ia pindah ke Bukhara pada zaman pangeran Nuh bin Manshur.” Ia menulis autobiografinya dengan baik dan kemudian disempurnakan oleh muridnya, Al-Jurjani. Singkat kata, pada usia 10 tahun ia telah menyelesaikan pelajaran al-Qur’an, sastra, dan bahasa Arab. Kemudian ia belajar ilmu fiqh pada seorang Guru yang bernama Isma’il yang terkenal sebagai orang yang hidup zuhud (menjauhi kesenangan duniawi). Disamping itu, ia juga belajar matematika dan imu ukur pada Ali Abu abdullah an-Natili. Setelah itu ia belajar sendiri dengan membaca berbagai buku, termasuk buku-buku Syarh hingga menguasai ilmu semantik. Tidak ketinggalan pula ia mempelajari buku Ocledus mengenai ilmu ukur (geometri) dan buku-buku lain tentang ilmu kedokteran.

Pada waktu usia 16 tahun kemasyhurannya telaah menyebar luas sampai kepada ahli kedokteran lainnya sehingga mereka tertarik mempelajari pengalaman dan berbagai macam teknik penyembuhan dari padanya.

Ketika usia 18 tahun ia telah dapat menguasai berbagai ilmu pengetahuan, dan ketika menginjak usia 22 tahun ayahnya meninggal dunia. Pada waktu itu timbul kekacauan polotik dalam pemerintahan As-Samiyah ini, terpaks pindah ke Buchara, kemudian pindah lagi ke Georgia, dan pindah lagi ke Rai, akhirnya pindah lagi ke Hamdan di kota inilah ia diangkat menjadi mentri dari Sultan Syamsudin Daulah Abu Tahir bin Fachrid daulah Ali bin Ruknid Daulah Al-Hasan bin Buwaihid Dailami.

Dalam usia 18 tahun ia telah selesai mempelajari semua ilmu tersebut. Sebuah cerita mengatakan bahwa pada masa itu ia hafal isi buku Metaphysica di luar kepala tanpa memahami kandungan maknanya hingga saat ia menemukan buku Al-Farabi yang menerangkan maksud tulisan Aristoteles. Setelah itu barulah ia dapat memahami perumusan kalimatnya. Kenyataan itu membuat Ibnu Sina mengakui kedudukan Al-Farabi sebagai Guru kedua.

Ketika pindah ke Bukhara ia dipanggil oleh Sultan Nuh bin Manshur untuk mengobati penyakitnya, dan ternyata ia berhasil menyembuhkannya. Kejadian ini merupakan awal-mula hubungannya dengan Sultan tersebut, yang kemudian memberi kesempatan kepadanya memeriksa ribuan buku yang tersimpan di dalam perpustakaannya. Dengan kekuatan daya ingatnya yang luar biasa ia dapat mengingat isi sebagian besar buku-buku tersebut. Kemudian ia menulis bukunya yang pertama untuk pangeran Nuh, perihal psikologi menurut metode Aristoteles. Buku tersebut diberi nama Hadiyyatur-Ra’is ilal Amir (hadiah Ibnu Sina kepada Amir). Buku tersebut berisi pembahasan tentang kekuatan-kekuatan psikologis. Buku yang lain tentang psikologi ditulisnya dalam bentuk risalah kecil.[2]

Atas keberhasilan Ibnu Sina dalam mengembangkan pemikiran filsafat sehingga dapat dinilai bahwa filsafat ditangannya telah mencapai puncaknya, dan karena prestasinya itu, ia berhak memperoleh gelar kehormatan dengan sebutan al Syikh al-Ra’is (Kiyahi Utama).

Sebagai pemikir inovatif dan kreatif pada umumnya, Ibnu Sina tidak terlepas dari cobaan yang menimpa dirinya. Ketika pustaka istana, kutub Khana terbakar, ia dituduh membakarnya supaya orang lain tidak dapat menguasai ilmu yang ada disana. Cobaan lain, bahwa ia pernah dipenjarakan oleh putra Al-Syams Al-Dawlah, hanya semata-mata kedengkian atau ketidaksenangan. Setelah beberapa bulan, ia dapat meloloskan diri dari penjara dan lari ke Isfahan dan disambut oleh Amirnya dengan segala kehormatan. Di kota inilah ia mengabdikan dirinya sampai akhir hayatnya.

B. Filsafat Ibnu Sina

1. Pembuktian Adanya Tuhan

Dalam pembuktian adanya Tuhan Ibnu Sina menempuh jalur lain. Pertama membedakan wujud dari esesnsi, dan menempatkan bahwa wujud sesuatu bukan merupakan bagian dari esensinya, kita bisa membayangkannya dengan tanpa bisa mengetahui apakah ia itu ada atau tidak. Sebab, wujud merupakan salah satu aksidensinya bagi substansi bukan sebagai unsur pengadanya. Prinsip demikian berlaku bagi selain Yang Maha Esa SWT, yang wujudnya tidak terpisah dari substansi-Nya, karena ia adalah Yang Pertama dan harus ada dengan sendiri-Nya.

2. Teori Ketuhanan

Konsepsi ini dimulai al-Kindi dan diperdalam oleh al-Farabi dan Ibnu Sina hingga pada puncaknya, karena ia berpendapat bahwa Allah Esa tidak berbilang, sma sekali tidak menyamai makhluk-Nya, kekal tidak akan fana. Ia adalah Yang Esa yang sebenarnya karena ia Esa dengan sendiri-Nya karena tidak mengambil keesaan-Nya dari selain diri-Nya. Ia adalah pencipta yang Maha kuasa dan pencipta yang Maha Bijak.

Ibnu Sina tidak banyak keluar dari garis ini, karena baginya Allah adalah sesuatu yang harus ada dengan sendirinya, tidak ada sesuatu apapun juga yang menyekutui-Nya dalam sustansi-Nya, karena ia tidak memiliki tandingan maupun lawan. Ia mengetahui segala sesuatu dari segi adanya sesuatu itu di dalam rangkaian umum sisitem alam.[3]

Dalam paham Ibnu Sina,essensi terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujud-lah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Kombinasi essensi dan wujud dapat dibagi :

a. Essensi yang tak dapat mempunyai wujud (mumtani’al-wujud) yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being). Contohnya rasa sakit.

b. Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud (mumkin al-wujud) yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.

c. Essensi yang tak boleh dan tidak mesti mempunyai wujud (wijib al-wujud). Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu kesatuan. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi ini mesti dan wajib mempunyai wujud selama lamanya. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.[4]

3. Hubungan Jiwa Raga

Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya hubungan antara jiwa raga; tetapi semua kecenderungan pemikiran Aristoteles menolak suatu pandangan dua substansi, yang oleh Ibnu Sina diyakininya sebagai bentuk dari dualisme radikal. Sejauh mana dua aspek doktrinnya itu bersesuaian merupakan suatu pertanyaan yang berbeda: Ibnu Sina tentu tidak menggunakan dualismenya untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar dan kebetulan tentang hubungan jiwa raga. Meskipun demikian, keterangannya adalah menarik dan mendalam.

Dalam buku psikologinya kitabus syifa, beliau mengatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan dewasa, tetapi dalam kondisi semacam itu ia dilahirkan dalam keadaan lemah dimana tubuhnya tak dapat menyentuh apa-apa dan ia tidak dapat memahami apa-apa tentang dunia lahiriah ini. Kita perhatikan pula bahwa ia tak dapat melihat tubuhnya sendiri, dan bahwa anggota-anggota tubuhnya tercegah dari kesalingsentuhan, sehingga ia tak memiliki persepsi rasa apapun. Orang semacam itu takkan mengetahui dunia ini, bahkan keberadaan dirinya sebagai sebagai wujud spiritual yang murni. Nah, apa yang diketahuinya tentu tidak sama dengan apa yang tidak diketahuinya. Oleh karena itu, jiwa merupakan substansi yang bebas dari tubuhnya.[5]

4. Nubuwat

Menurut Ibnu Sina, ada empat tingkatan untuk membenarkan nubuwat, yakni tingkatan akal, imanjinasi, mu’jizat dan sosio-politik. Tidak disangsikan lagi bahwa seorang Nabi diberkati suatu kemampuan intelektual yang tinggi dan dapat berpikir tanpa “silogisme moral.”

Ibnu Sina juga berpendapat bahwa tidak semua orang memiliki pemahaman moral yang mendalam; hanya para Nabi, karena kontak mereka dengan akal aktif, dapat sampai kepada hasil-hasil tanpa silogisme moral. Selain itu, seorang Nabi percaya kepada dirinya sendiri dan kepada pengetahuan yang diterimanya, dan karena itu, ia dapat menghadapi dunia dengan rasa yakin. Akal aktif adalah tidak lain dari pemahaman yang mendalam yang ada pada diri seorang Nabi, dalam menciptakan pengetahuan dan nilai-nilai.

Namun demikian, adalah keliru bila mengidentikkan nabi dengan akal aktif. Nabi adalah manusia juga dan karena itu, ia adalah akal aktif “secara kebetulaan.” Tidak disangsikan lagi, seorang Nabi mempunyai akal yang luar biasa dan pemahaman yang mendalam mengenai realitas yang paling hakiki, akan tetapi pemahaman yang mendalam saja belum cukup. Seorang Nabi harus merombak masyarakatnya dengan kepribadiannya yang dinamis, dan harus memenuhi hati masyarakat itu dengan hasrat-hasrat dan aspirasi-aspirasi yang baru. Oleh sebab itu, ia harus diberkati dengan suatu kemampuan imajinasi yang sangat kuat. Ia harus dapat mengubah logika yang ingin menjadi realitas yang hidup. Ditangannya, konsep-konsep dan ide-ide intelektual menjadi gambaran-gambaran dan simbol-simbol realitas yang lebih dalam, dan dengan demikian memperoleh kekuatan untuk menggerakkan orang-orang agar bertindak dengan cara tertentu.

Berkat pemahaman yang dikaitkan dengan imajinasi yang kuat, para nabi telah mampu melancarkan program-program sosio-politik, mula-mula dalam masyarakat mereka sendiri, kemudian di dunia sekelilingnya. Yang dimaksudkan oleh Ibnu Sina adalah adalah revolusi sosio-politik dan moral spiritual yang telah dilancarkan oleh Nabinya sendiri, Hazrat Muhammad, yang dalam tempo singkat, yakni 15 tahun, telah mencapai hasil yang benar-benar merupakan mu’jizat dan adi-manusiawi.

Dari analisis Ibnu Sina mengenai nubuwat tersebut, menjadi jelas bahwa seorang Nabi sama sekali bukan manusia biasa, tetapi berada jauh diatas rakyat biasa karena pemahaman intelektualnya, pemahaman dalamnya yang kreatif, imajinasinya, dan kemampuannya menerjemahkan program-programnya ke dalam praktek. Perbedaan mengenai Nubuwat antara Farabi dengan Ibnu sina yaitu, menurut Farabi seorang diangkat menjadi Nabi setelah ia melalui suatu proses pemahaman intelektual yang lama, sementara menurut Ibnu Sina, kenabian merupakan hadiah yang diberikan Allah kepada orang-orang pilihan, secara tiba-tiba, tanpa menunggu selesainya proses intelektual.[6]

C. Karya-karya Ibnu Sina

Sebenarnya hidup Ibnu Sina tidak pernah mengalami ketenangan, danusianya pun tidak panjang. Meskipun banyak kesibukan-kesibnukannya dalam urusan pltik sehingga ia tidak banyak mempunyai kesempatan untuk mengarang, namun ia telah berhasil meniggalkan berpuluh-puluh karangan. Kesuburan hasil ini disebabkan karena beberapa faktor:

1. Ia pandai mengatur waktu, dimana siang disediakan untuk pekerjaan pemerintahan, sedang malamnya untuk mengajar dan mengarang, bahkan lapangan kesenian pun tidak pula ditinggalkannya. Kalau hendak bepergian, maka kertas dan alat-alat tulislah yang pertama-tama diperhatikan dan kalau ia sudah payah dalam perjalanan, maka duduklah ia untuk berpikir dan menulis.

2. Kecerdasan otak dan kekuatan hafalan juga tidak sedikit artinya bagi kepadatan karyanya. Sering-sering ia menulis tanpa memrlukan buku-buku referensi dan pada saat kegiatan-kegiatannya tidak kurang dari 50 lembar yang ditulis sehari-harinya.

3. Sebelum Ibnu Sina telah hidup Al Farabi yang juga mengarang dan mengulas buku-buku filsafat. Ini berarti bahwa Al Faerabi telah meratakan jalan baginya, sehingga tidak banyak lagi kesulitan-kesulitan yang harus dihadapinya terutama dalam soal-soal yang kecil.[7]

Ibnu Sina adalah seorang penulis yang luar biasa produktif sehingga ia tidak sedikit meninggalkan karya tulis yang sangat besar pengaruhnya kepada generasi sesudahnya, baik di dunia barat maupun di dunia timur.[8] Banyak sekali buku karyanya yang memadukan ilmu filsafat dengan ilmu kedokteran.[9] Jumlah karya yang ia ditulis diperkirakan antara 100 sampai 250 buah judul.[10] Diantara karya tulisnya yang terpenting adalah:

1. Tentang filsafat ia menulis buku Kitabusy-Syifa’ (Buku Penyembuhan).  Buku asy-Sifa’ membagi ilmu menjadi empat golongan, yaitu ilmu semantik, ilmu alam, ilmu pasti.
2. Mengenai kedokteran ia menulis buku Al-Qanun. Buku Qanun Ibnu Sina terbagi dalam lima jilid. Masing-masing berisi soal-soal yang berkaitan dengan ilmu kedokteran, seperti pengetahuan tentang fungsi bagian-bagian tubuh, pembedahan dan pengobatan. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan sampai abad ke-17 Masehi masih merupakan buku pegangan bagi berbagai Universitas di Eropa.
3. Kitabusy Syifa’ yang kemudian diringkas dalam sebuah buku berjudul An-Najat (keselamatan). Buku ini terkenal dan masih beredar hingga dewasa ini.
4. Al-isyarat wa al-Tanbihat, isinya mengandung uraian tentang logika dan hikmah.[11]

                         
[1]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof & filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 91
[2]Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 84
[3] Ibrahim Madkour, Aliran Dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995),hlm. 120-124.
[4] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hlm. 39-40.
[5] NN, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 112
[6] C.A Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 1991),hlm. 91
[7] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 116.
[8] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof & filsafatnya..., hlm. 94
[9] Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Filsafat Islam,.. hlm. 84
[10] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka setia, 2009), hlm. 125
[11] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof & filsafatnya..., hlm.94