Minggu, 01 Mei 2016

TAN MALAKA GERILYAWAN REVOLUSIONER YANG LEGENDARIS

Tan Malaka lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka menurut keturunannya ia termasuk suku bangsa Minangkabau. Pada tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang Sumatra Barat Tan Malaka dilahirkan. Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang sangat luar biasa, bahkan dapat dikatakan sejajar dengan tokoh-tokoh nasional yang membawa bangsa Indonesia sampai saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh.Yamin dan lain-lain.

Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris.

Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Syarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan  aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.

Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran (hobby) mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum kromo (lemah/miskin). Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.

Perjaungan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Seperti dikatakan Tan Malaka pad apidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti mengalami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.

Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskow diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.

Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang saangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digul Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan  dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.

Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibukota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis “Menuju Republik Indonesia”. Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925. Prof. Moh. Yamin sejarawan dan pakar hukum kenamaan kita, dalam karya tulisnya “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia” memberi komentar: “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….”

Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner.

Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme  yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.

Semua karya Tan Malaka danpermasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang  sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text book thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”.

Jika kita membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (“Gerpolek”-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan kita temukan benang putih keilmiahan dan keIndonesiaan serta benang merah kemandirian, sikap konsekwen dan konsisten yang direnda jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangan implementasinya.

Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.

Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi republik Indonesia akibat Perjanjian Linggarjati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta. Dan pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka gugur, hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan “Gerilya Pembela Proklamasi” di Pethok, Kediri, Jawa Timur.

Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional. (Bek)

BERGELAP-GELAPLAH DALAM TERANG, BERTERANG-TERANGLAH DALAM GELAP ! (TAN MALAKA)


Diketik ulang dari Brainwashed, Jakarta Extreme Fanzine, June’99, Issue #7.

ANTONIO GRAMSCI SEORANG REVOLUSIONER ITALIA

Antonio Gramsci lahir pada tanggal 22 Januari 1891, di kota Ales, pulau Sardinia.
Enam tahun kemudian, ayahnya dicopot dari posisinya sebagai pegawai dan dijebloskan di penjara karena dituduh korupsi, sehingga Antonio bersama ibunya harus perpindah ke kota lain dan hidup mereka menjadi agak sulit. Selama masih anak, dia jatuh dan menjadi cacat, dan seumur hidup dia kurang sehat.

Sewaktu mahasiswa di Cagliari dia menemui golongan buruh dan kelompok sosialis untuk pertama kalinya. Tahun 1911 dia mendapatkan beasiswa untuk belajar di Universitas Turino. Kebetulan sekali Palmiro Togliatti, yang kelak menjadi Sekertaris Jendral Partai Komunis Italia (PCI), mendapatkan beasiswa yang sama. Di Universitas tersebut Gramsci juga berkenalan dengan Angelo Tasca dan sejumlah mahasiswa lainnya yang kemudian berperan besar dalam gerakan sosialis dan komunis di Italia.

Pada tahun 1915 Gramsci mulai bergabung dalam Partai Sosialis Italia (PSI) sekaligus menjadi wartawan. Komentar-komentarnya di koran "Avanti" dibaca oleh masyarakat luas dan sangat berpengaruh. Dia sering tampil berbicara di lingkar-lingkar studi para buruh dengan topik yang beraneka-ragam seperti sastra Perancis, sejarah revolusioner dan karya Karl Marx. Dalam Perang Dunia I, Gramsci tidak seteguh Lenin atau Trotsky dalam melawan perang tersebut, namun pada hakekatnya orientasinya adalah untuk mebelokkan sentimen rakyat ke arah revolusioner.

Aktivis dan intelektual muda ini sangat terkesan oleh Revolusi Rusia tahun 1917. Seuasai Perang Dunia Gramsci ikut mendirikan koran mingguan "Ordine Nuovo" yang memainkan peranan luar biasa dalam perjuangan kelas buruh di kota Torino. Saat itu kaum buruh sedang berjuang secara sangat militan serta membangun dewan-dewan demokratis di pabrik-pabrik. Gramsci beranggapan bahwa dewan-dewan itu memiliki potensi untuk menjada lembaga revolusioner semacam "soviet-soviet" di Rusia.

Sehubungan dengan keterlibatannya dalam gerakan buruh, Gramsci memihak minoritas komunis dalam PSI. Partai Komunis yang muncul waktu itu merupakan pecahan dari PSI, dan Gramsci menjadi anggota Komite Pusat partai tersebut. Selama 18 bulan (tahun 1922-23) dia merantau di Moskow. Tahun 1924 dia terpilih menjadi anggota parlemen. 

Pada tanggal 8 Nopember 1926 Gramsci tertangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah fasis Mussolini. Jaksa menegaskan bahwa: "Kita harus menghentikan otak ini untuk bekerja selama 20 tahun." Sejak saat itu selama 10 tahun dia meringkuk di penjara, dengan sangat menderita karena keadaan fisiknya yang kurang sehat. Namun bertentangan dengan harapan si jaksa fasis itu, masa sulit ini akan menjadi kesempatan untuk Gramsci menulis karya Marxis tentang masalah-masalah politik, sejarah dan filsafat yang luar biasa berbobot, dan yang terbit setelah Perang Dunia II dengan judul "Buku-buku Catatan dari Penjara" (Prison Notebooks).

Sayangnya, rumusan-rumusan dalam buku ini terkadang sulit ditafsirkan, karena Gramsci harus memakai bahasa yang tidak langsung, bahkan memakai kata-kata sandi yang dapat diartiakan secara berbeda-beda. Oleh karena itu, buku tersebut pernah diinterpretasikan sebagai karya non-Leninis bahkan anti-Leninis. Pemikiran Gramsci didistorsikan oleh kepemimpinan stalinis dari Partai Komunis untuk membenarkan strategi parlementer mereka, dengan argumentasi bahwa Gramsi mempunyai sebuah strategi yang beranjak dari sudut pandangan kelas buruh dan diktatur proletariat menuju suatu orientasi lebih "kaya" dan lebih "luas". Kemudian argumentasi yang sama digunakan bermacam-macam partai dan kelompok reformis di seluruh dunia, yang suka mempertentangkan Gramsci dengan Lenin. Argumentasi ini adalah salah.
*****
Sudah pada tahun 1918 Gramsci menggambarkan para politisi reformis sebagai "sekawan lalat yang mencari semangkok poding" dan setahun kemudian menegaskan: "kami tetap yakin, negara sosialis tidak bisa terwujud dalam lembaga-lembaga aparatur negara kapitalis … negara sosialis harus merupakan suatu penciptaan baru."

Ini sebabnya dia berpisah dengan Partai Sosialis dan ikut mendirikan Partai Komunis. Meskipun dia masuk parlemen sebagai taktik, pendapat Gramsci ini sama sekali tidak berubah seumur hidupnya. Tulisannya terakhir sebelum masuk penjara adalah Tesis-tesis untuk konferensi Partai Komunis di Lyons pada tahun 1926. Di sini cukup jelas bahwa Gramsci tetap menganut jalan revolusioner, melalui pemberontakan bersenjata kaum buruh. Dia menganalisis kekalahan kelas buruh dalam perjuangan historis tahun 1919-20, dengan menyatakan bahwa kekalahan tersebut terjadi karena "kaum proletariat tidak berhasil menempatkan diri di kepala insureksi mayoritas masyarakat dalam jumlah yang besar… malah sebaliknya kelas buruh terpengaruhi oleh kelas-kelas sosial lainnya, sehingga kegiatannya terlumpuhkan." Tugas Partai Komunis adalah mengajak kaum buruh untuk "insureksi melawan negara borjuis serta perjuangan untuk diktatur proletariat".

Sudah sejak awal, Gramsci melihat proletariat sebagai faktor kunci dalam revolusi sosialis. Itu sebabnya dia terlibat dalam dewan-dewan pabrik di Torino pada tahun 1919-20. Fokus ini marak pula dalam Tesis-tesis Lyons. Organisasi partai "harus dibangun berdasarkan proses produksi, maka harus berdasarkan tempat kerja", karena partai harus mampu memimpin gerakan massa kelas buruh, "yang disatukan secara alamiah oleh perkembangan sistem kapitalisme sesuai dengan proses produksi." Partai itu harus juga menyambut unsur-unsur dari golongan sosial lainnya, tetapi "kita harus menolak, sebagai kontra-revolusioner, setiap konsep yang membuat partai itu menjadi sebuah 'sintesis' dari pelbagai unsur yang beraneka-ragam".

Tetapi bukankah Gramsci telah mengembangkan sebuah analisis sosial tentang masyarakat kapitalis di barat yang lebih canggih dan halus dibandingkan teori-teori Lenin? Memang begitu. Seperti Rosa Luxemburg, Antonio Gramsci lebih mengerti seluk-beluk dunia politik dan perjuangan sosial di Eropa Barat, sedangkan Lenin selalu berfokus pada perkembangan-perkembangan di Rusia, sehingga kita dapat banyak belajar dari tulisan-tulisan Gramsci.
*****
Namun kaum Stalinisis dan reformis menjungkirbalikkan hal ini pula. Mereka memusatkan perhatian pada sebuah kiasan yang dilakukan Gramsci antara strategi revolusioner dan militer. Dalam "Buku-buku Catatan dari Penjara" dia membedakan antara dua macam perang: "perang manuver" yang melibatkan pergerakan maju atau mundur yang cepat; dan "perang posisi", sebuah perjuangan panjang di mana kedua belah pihak bergerak secara pelan-pelan, seperti di dalam parit-parit perlindungan selama Perang Dunia I. Rumusan-rumusan ini diartikan para Stalinis dan reformis sebagai berikut: pemberontakan Oktober 1917 di Rusia adalah perang manuver, yang memang diperlukan dalam kondisi-kondisi primitif di sana; tetapi kondisi-kondisi di Eropa Barat sudah lebih matang dan kompleks, sehingga diperlukan sebuah strategi "perang posisi" -- baca strategi parlementer dan perubahan gradual.

Semua ini omong kosong. Kedua strategi itu bukan bertentangan melainkan komplementer. Di Rusia antara tahun 1905 dan 1917, kaum Bolshevik juga melakukan "perang posisi", dan pendekatan yang sama dianjurkan mereka bagi partai-partai Komunis muda pada tahun 1921, dalam bentuk "front persatuan". Atau jika kita mau mengambil contoh Indonesia, para aktivis demokrasi telah menjalankan sebuah perang posisi selama bertahun-tahun, tetapi begitu krismon meletus dan rezim Suharto mulai bergoyang, mereka harus melakukan intervensi-intervensi radikal, sampai akhirnya kaum mahasiswa menduduki gedung DPR. Dan di barat sebuah "perang posisi" juga dibutuhkan sampai terjadinya krisis revolusioner; tapi begitu krisis itu meledak, kita harus beralih ke "perang manuver". 

Rumusan-rumusan Gramsci tentang "perang posisi" bersangkutan dengan teorinya tentang mekanisme-mekanisme kekuasaan ideologis dalam masyarakat kapitalis. Kaum penguasa tidak hanya berkuasa melalui alat-alat represif (polisi, tentara, pengadilan). Sebenarnya alat-alat itu hanya bergerak dalam keadaan luar biasa, seperti kriminalitas, kerusuhan, demonstrasi atau pemberontakan. Sedangkan seorang buruh biasanya masuk tempat kerja saban hari, menurut undang-undang yang ada, bahkan sering menghormati kaum penguasa … kurang-lebih tanpa paksaan langsung. Dia dipaksa oleh kebutuhan ekonomis, tetapi juga menerima ide-ide mendasar dari tatanan sosial yang ada, sehingga mematuhi undang-undangnya secara "sukarela".

Gramsci mengembangkan sebuah analisis yang canggih tentang mekanisme-mekanisme "hegemonis" ini, yang memang lebih halus dan efektif di negeri-negeri maju. Sehingga "perang posisi" bisa saja berjalan selama bertahun-tahun. Tapi ada juga mekanisme-mekanisme hegemonis di Indonesia dan negeri dunia ketiga lainnya; bukankah para aktivis kiri sering mengeluh tentang "kesadaran palsu" massa rakyat Indonesia? Sehingga di sini pula, perbedaan antara negeri-negeri maju dan dunia ketiga bukan sesuatu yang mutlak melainkan relatif saja.

Jaksa fasis yang ingin "menghentikan otak ini untuk bekerja selama 20 tahun" telah gagal. Pemikiran Gramsci masih hidup dan berkembang. Namun pemikiran itu tidak boleh disalahartikan: Antonio Gramsci bukanlah seorang reformis melainkan seorang Marxis revolusioner.

KRITIK GRAMSCI TERHADAP CROCE

Sementara kritik terhadap Croce dan intelektual Italia merupakan titik awal intelektual dari Catatan dari Penjara, fasisme dan revolusi kelas buruh Italia merupakan subjek politik Catatan yang utama. Mengapa fasisme berjaya di Italia? Atau, mengapa usaha kelas buruh Italia merebut kekuasaan pada tahun 1919-1920 gagal? Ini merupakan dua pertanyaan yang dicoba dijawab Gramsci. awaban Gramsci terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat disimpulkan secara luas demikian:

1. Keterbelakangan historis kapitalisme Italia merupakan penyebab utama fasisme. Fasisme merupakan usaha kapitalisme Italia untuk menyelesaikan masalah keterbelakangannya dengan bergantung pada kelas menegah Italia untuk menjalankan strategi "revolusi pasif" atau    reformasi terbatas dari atas.

2. Keberadaan Gereja Katolik di Italia merupakan sebab utama keterbelakangan historis kapitalisme Italia. Gereja berhasil menghalangi revolusi borjuis Italia, mencegah timbulnya negara bangsa borjuis Italia.    Bahkan meskipun gereja Katolik pada abad ke-20 telah kehilangan hegemoninya terhadap kebudayaan Eropa, seperti pada Abad pertengahan, dengan kekalahan feodalisme, ia tetap merupakan Kekuatan reaksioner yang kuat dalam politik dan kebudayaan Italia yang    menghalangi perkembangan Italia menjadi sebuah negara kapitalis yang modern dan sekuler. 

3. Karena alasan ini borjuasi dan intelektual Italia tidak pernah mengembangkan sebuah tradisi Yakobin revolusioner yang merakyat dan nasionalis (Gramsci merujuk pada revolusi Perancis). Sebagai akibatnya, intelektual Italia terisolasi secara historis, kebudayaan dan politis dari massa buruh.

4. Seluruh sejarah dan kebudayaan Italia menderita kekurangan tradisi Yakobin yang nasional-kerakyatan di antara intelektual dan kaum borjuis.Elitisme "non-Nasional-Kerakyatan" dari kebudayaan kelas menengah ini  (yang oleh Croce dibela dan disanjung dalam tulisan sejarah dan filsafatnya) merupakan faktor penting munculnya fasisme. Suatu kali, Gramsci menuding fasisme merupakan kesalahan paham nasional-kerakyatan dan mengutuk Yakobinisme seperti halnyarevolusipasif.

5. Untuk mengalahkan fasisme dan memenangkan kekuasaan negara,kelas pekerja harus memenangkan hegemoni, atau otoritas intelektual dan moral terhadap masyarakat dusun yang miskin dan lapisan massa dari kalangan intelektual kelas menengah.Untuk melakukannya, Gramsci menyodorkan bahwa kelas pekerja harus membangun "Pangeran Modern", yakni semacam partai komunis massa yang memuat program     nasional dan kerakyatan yang revolusioner.

6. Figur sental dari "Pangeran Modern" ini haruslah merupakan tujuan otonomi intelektual kelas pekerja melalui formasi kader-kader intelektual kelas pekerja. Hanya independensi pekerja intelektual yang dapat menjamin jangka panjang hegemoni kelas pekerja.

Sedikit keterangan atas gagasan hegemoni Gramsci. 
Gramsci mendefinisikan negara sebagai pemaksaan (koersif)+hegemoni.Menurut Gramsci, hegemoni merupakan kekuatan politik yang mengalir dari kepemimpinan moral dan intelektual, otoritas atau konsensus seperti yang ditunjukkan dari angkatan bersenjata. Kelas penguasa membentuk dan mempertahankan hegemoninya dalam masyarakat sipil, misalnya dengan menciptakan konsensus politik dan kebudayaan melalui serikat-serikat, partai politik, sekolah, media, gereja dan sejumlah perkumpulan sukarela lainnya. Hegemoni yang dilakukan oleh kelas penguasa selalu melampaui kelas-kelas dan kelompok sosial. Paksaan selalu digunakan oleh kelas penguasa hanya untuk mendominasi atau melikuidasi kelas musuh menurut Gramsci. Sejarah mengatakan, di bawah kapitalisme, intelektual kelas menengah merupakan "administrator" hegemoni, misalnya menjadi pengelola dan pembangun konsensus dalam kultur kapitalis; oleh karena itulah mempelajari intelektual Itali bernama Gramsci menjadi penting.Figur pusat dalam revolusi nasionalis-kerakyatan Gramsci adalah agar terjadi reformasi intelektual dan moral di Italia, revolusi kebudayaan pertama-tama diarahkan melawan gereja Katolik. Tujuan utama dari revolusi kebudayaan ini ialah kultur sosialis yang baru dari kelas pekerja yang diorganisasikan di sekitar hubungan produksi sosialis yang menjadi basis modernitas dan sekularitas Italia. Kelas pekerja tak dapat memenangkan kekuasaan secara nyata tanpa menciptakan para intelektualnya sendiri. Tak bisa selamanya hal ini digantungkan pada intelektual borjuis kecil untuk membuat kultur sosialis bagi mereka.

Hal ini harus otonomi secxara intelektual. Jadi, bagi Gramsci, menciptakan "jenis baru intelektual organik"; intelektual proletar, menjadi tahap kunci menuju kemenangan kelas pekerja baik dalam jangka pendek maupun panjang. Pengalaman pengkhianatan para pemimpin reformis sosialis dari kelas menengah terhadap revolusi kelas pekerja tahun 1919-1920 dan pengalihan massa kelas menengah Italia menjadi fasisme mendorong Gramsci untuk memfokuskan --malah kelihatan obsesif-- intelektual Italia dan masalah otonomi intelektual kelas pekerja. Terpesona oleh artikel Lenin yang terakhir, ia bergelut pada pertanyaan yang sama: bagaimana caranya partai komunis dapat menolong kelas pekerja untuk memerdekakan dirinya dari ketergantungan kultur dan politik terhadap intelektual borjuiskecil. 

Dari sejumlah catatan atas Croce, filsafat, dan Marxisme menunjukkan upaya Gramsci untuk menyilangkan antara perjuangan filsafatik dari rencananya terhadap revolusi kebudayaan di Italia. Catatan-catatan ini  kompeks, abstrak, dan sangat sulit untuk diikuti dan tak mudah untuk disimpulkan.

Tapi yang penting digaris-bawahi, kelas pekerja, untuk meraih hegemoni membutuhkan kemampuan intelektual untuk memperjuangkan filsafat baru atau cara pandang bagi dirinya. Jadi, bagaimana membantu pekerja-pekerja untuk meraih otonomi intelektual merupakan satu pokok utama tujuan politik dari catatan-catatan ini bagi Gramsci. Hingga akhir, Gramsci menempatkan tiga musuh filsafat: Croce, gereja Katolik, dan intelektual Marxist yang vulgar. Ia juga menulis catatan panjang bagaimana para marxis seharusnya mendekati masalah pelatihan intelektual kelas pekerja (lihatlah "Pengenalan Atas Studi Filsafat dan Kebudayaan")

Akhirnya, catatan Gramsci kelihatan berpindah ke teori baru Marxis tentang Negara dan semangat revisionis ke dalam "Filsafat Praksis". Dalam catatannya tentang negara, tampak sekali bahwa dalam negara tumbuh aparat hegemoni dan sifat pemaksaan. Terhadap definisi negara mendorongnya untuk menambahkan pentingnya mengembangkan satu teori marxis tentang revolusi kebudayaan. Teori ini, pada gilirannya, menuntut Marxisme menjadi filsafat "yang selesai", yang dapat menjadi titik pandang dunia atau "filsafat Praksis" yang sukses menggantikan Katolikisme dan Croceanisme. 

Kesimpulan

Kebodohan Italia, yang merupakan kesalahan terbesar gereja Katolik, mendorong ke arah Fasisme. Pengkhianatan kelas menengah terhadap kelas pekerja menjadi kunci pelajaran sejarah dari Fasisme dan sosialisme kaum reformis bagi Gramsci. Di samping itu, Croce memainkan peran kuci dalam menyiapkan tahap kebudayaan bagi Fasisme. Jawaban Gramsci atas Fasisme, Reformisme, Katolikisme, dan Croceanisme adalah revolusi nasional-kerakyatan yang dipimpin oleh tipe baru partai komunis, si Pangeran Modern, melalui transformasi intelektual dan moral kelas pekerja menjadi pemimpin revolusi kebudayaan proletar bagi Italia. Revolusi ini akan menggantikan kebudayaan Katolik terhadap petani dan massa buruh dan kultur borjuis liberal para intelektual. Jawaban ini mendorong Gramsci untuk membuat teori marxisme baru, atau filsafat praksis sebagai figur kuncinya adalah teori tentang negara sebagai aparat hegemoni dan pemaksaan. Marxisme ini juga membutuhkan teori sistematik atas revolusi kebudayaan untuk membangun kultur baru yang integral. Dua figur kunci dalam revolusi kebudayaan Gramsci adalah penciptaan inti kader-kader intelektual kelas pekerja dan mentransformasikan intelektual kelas menengah menjadi intelektual nasionalis-kerakyatan atau revolusioner.

ANTONIO GRAMSCI : IDEOLOGI, HEGEMONI, DAN KONTRA HEGEMONI

Tak dapat dipungkiri, kita hidup terasing dan tertindas dalam Abad Kapitalisme. Pergeseran tahun ke abad yang baru, yakni abad ke-21, tidak berarti banyak bagi kita, kecuali kehidupan yang kian susah dan berat bagi kelas pekerja. Bayang-bayang akan naiknya harga listrik, BBM, biaya pendidikan, tarif kesehatan berderet-deret menakutkan hingga terasa mencekik leher kita. Memang, sehari-harinya kita cuma bisa menyaksikan iblis Kapitalisme menjerat dan mencengkeram kaum pekerja: buruh, petani-nelayan, kaum miskin kota, dan masyarakat tertindas lainnya. Tak cukup dengan mengembosi pemasukan mereka (UMR/gaji), tetapi agen-agen Kapitalis juga berupaya mencuci otak dan membodohi kaum pekerja dengan ilusi-ilusi akan kehidupan yang mewah, tertib, seragam. Dengan sistematis, musuh-musuh kaum pekerja itu telah berupaya menutupi konflik-konflik kelas yang terjadi dengan bumbu-bumbu yang indah-indah untuk didengar, dilihat, dan dibaca. 

Kaum pergerakan/progresif-revolusioner, sebagai yang telah disadarkan, selalu berupaya agar kelas-kelas pekerja yang tertindas bangkit melawan; melaksanakan revolusi demokratik agar tercapai diktator proletariat yang sejati. Namun, saksikanlah! Revolusi tak menjadi semudah yang diucapkan. Pada kenyataannya, kesadaran semata tidak cukup mendorong terjadinya revolusi. Perjuangan kelas haruslah melibatkan ideologi dan gagasan-gagasan; terutama gagasan akan bagaimana masyarakat terbebas dari penindasan. Ideologi dan gagasan-gagasan ini harus hidup untuk mengalahkan supremasi kaum borjuis yang mendominasi ekonomi dan kepemimpinan intelektual dan moral. Tapi kondisi ideal ini tak mudah ditemukan. Yang ada, ideologi dan gagasan-gagasan itu karam. Kita telah dikalahkan oleh mesin-mesin ideologi dan gagasan yang dimiliki oleh musuh-musuh kita. Mesin-mesin pencetak keseragaman itu paling nyata dalam masyarakat Kapitalis berwujud media komunikasi. Media komunikasi merupakan alat ampuh untuk menyeret wacana lain agar tunduk di bawah wacana yang digunakan oleh kelas penguasa/kaum borjuis. 

Dalam gerak-gerak perjuangan kelas, tampak sekali bahwa perjuangan kita seringkali dipicu justru oleh isu-isu yang dilontarkan oleh kelas penguasa/kaum borjuis. Kendali akan wacana tak berada di sisi kelas-kelas pekerja, tetapi dimiliki oleh para pemilik modal. Kondisi ironis ini membuat perjuangan kelas-kelas pekerja untuk mencapai revolusi demokratik tak maksimal karena ketidaksiapan membalas wacana kelas penguasa. Ketidakmampuan merebut ruang publik membuat wacana- wacana yang dikeluarkan oleh pelopor revolusi demokratik menjadi kontra-produktif. Apa sebabnya? 

2. Hegemoni & Kontra-Hegemoni: Tataran Teoritis
Tradisi Marx -mungkin lebih tepat Engels- hanya menyebut sedikit kata kunci tentang situasi di atas, yakni konsep "kesadaran palsu". Ideologi sebagai 'kesadaran palsu' pada awalnya dipahami oleh kaum Marxist sebagai suatu yang bernilai negatif, karena ia memungkiri realitas, menafikan konflik-konflik kelas dengan menyelubunginya dengan wacana-wacana yang menindas. Barulah di tahap perkembangan selanjutnya, ideologi dipakai untuk membekali perjuangan kelas. Caranya, dengan menetapkan kontra wacana terhadap sejumlah wacana menindas yang digunakan oleh kelas penguasa/kaum borjuis. Barangkali dari pemikiran akan adanya wacana yang menindas dari kelas penguasa/kaum borjuis terhadap kelas pekerja/kaum proletariat, istilah hegemoni digunakan. 

Meski bukan orang pertama yang menggunakan kata "hegemoni" - pertama kali digunakan sebagai slogan gerakan Sosial Demokrat Rusia antara 1890-1917 - adalah Gramsci, seorang Marxist dari Italia, yang kerja-kerja politiknya dilingkupi oleh kekaguman akan keberhasilan revolusi Bolshevik di Rusia untuk menggulingkan Tsar Nicolai II. Pemikiran Gramsci tentang hegemoni menjadi penting untuk dipelajari karena ia sanggup menghubungkan persoalan ekonomi dengan kemampuan institusi superstruktur dalam mencapai/mempertahankan kekuasaan. 

Pokok pemikiran Gramsci yang penting untuk disarikan adalah:
1. Perjuangan kelas haruslah selalu melibatkan ideologi dan gagasan; gagasan bagaimana revolusi dicapai atau dicegah.
2. Ia menekankan bahaya supremasi kaum borjuis akan dominasi ekonomi dan kepemimpinan moral dan intelektual yang harus ditumbangkan. 

Kepemimpinan moral dan intelektual inilah yang ditegaskan oleh Gramsci sebagai intisari hegemoni, yang didefinisikan secara panjang dengan: 

"Kelompok dominan di dalam masyarakat, termasuk kelas penguasa yang fundamental tapi tak eksklusif, mempertahankan dominasi mereka dengan cara menjaga 'kesadaran spontan' kelompok subordinatnya, termasuk kelas pekerja, melalui konstruksi yang dinegosiasikan dari hasil konsensus politik dan ideologi yang melibatkan baik kelompok dominan dan yang didominasi." 

Asumsi di balik teks di atas ialah: Kelas dominan telah berhasil meyakinkan kelas pekerja untuk menerima kepemimpinan moral, politik, dan kebudayaan tanpa reserve, Mereka yang berkuasa mengarahkan mayoritas populasi pada suatu kesadaran yang mereka susun 

Penerapan kesadaran ini tak selalu berjalan halus, kadangkala bisa mengkombinasikan antara paksaan fisik hingga indoktrinasi intelektual, moral, kebudayaan. Oleh karena itu, hegemoni merupakan serangkaian gagasan yang digunakan sebagai alat kelompok dominan untuk menguasai kesadaran dan kepemimpinan atas kelompok-kelompok subordinat. 

Hegemoni dibangun atas dasar negosiasi-negosiasi kaum borjuis/kelas penguasa, dan selama ini fungsi kepemimpinan hegemonik bekerja dalam dua model:
1. Kontrol dengan pemaksaan: termanifestasi melalui sejumlah paksaan fisik atau ancaman (selalu digunakan apabila kepemimpinan hegemonik rendah atau rentan)
2. Kontrol dengan kesepakatan: akan muncul manakala individu secara sukarela menyatu dengan pandangan kelompok dominan. 

Bagaimana hegemoni yang menindas itu dilawan? Bagi Gramsci yang penting, upaya revolusi intelektual (kontra Hegemoni) seharusnya berasal dari kelas pekerja daripada dimasukkan dari luar. Apabila kelas pekerja mau berhasil menghegemoni, ia harus berhasil mendorong munculnya intelektual-intelektual yang menciptakan ideologi baru. 

3. Pers dalam Perspektif Gramsci
Yang paling pokok dalam perspektif ini, pers dapat menjadi alat hegemoni baik kelas penguasa maupun dari kelas pekerja. Pertarungan antarinstitusi pers adalah di tingkatan kepemimpinan wacana dan perebutan ruang publik. Dalam masyarakat Kapitalis, seringkali ruang publik legal dimonopoli oleh kaum kapitalis/borjuis. Dengan kemenangan monopoli hak edar, dengan leluasa mereka mendistorsi informasi, memutar yang hitam jadi putih, membodohi massa Rakyat. Ruang-ruang publik yang tersisa bagi pers yang dijadikan alat hegemoni kelas pekerja menjadi terpenjara dalam kelompok-kelompok kecil dengan jumlah eksemplar yang terbatas dan terus-menerus dihantui kendala pendanaan. Pada praktiknya, karena kelemahan tersebut, pers menjadi salah satu alat ampuh penguasa untuk mendapatkan kepemimpinan moral dan politik. 

Namun, hendaklah kaum progresif-revolusioner/pergerakan tidak berputus asa! Karena, menurut Gramsci, strategi hegemonik tak semuanya dimiliki oleh kaum borjuis. Belajar dari kegagalan hegemoni Thatcherisme di Inggris, nyata benar bahwa hegemoni hanyalah berhasil mengikat kelompok dominan akan satu wacana, sedang kelompok subordinat tak selamanya terikat mutlak. Oleh karena itu, manakala masih ada kebocoran, ruang-ruang publik haruslah segera direbut. Hingga suatu saat, kelas pekerja dapat mengembangkan hegemoni sebagai strategi untuk mengontrol negara. Caranya, dengan melibatkan kepentingan kekuatan sosial dan kelompok-kelompok pergerakan lain untuk menemukan titik temu kepentingan. Apabila kelas pekerja ingin mencapai hegemoni, perlu dibangun aliansi dengan kelompok minoritas. Koalisi baru ini harus menghormati otonomi gerakan, sehingga setiap kelompok dapat menyumbangkan perannya menuju masyarakat sosialis. 

Tak selalu cara merebut ruang publik dilakukan dengan kekerasan, yang penting adalah aktivitas-aktivitas politik kaum pergerakan tak kenal lelah. Aktivitas-aktivitas itu bermain di dalam dua medan tempur, yakni:
1. Perang manuver: secara frontal, tujuannya untuk meraih kemenangan secepatnya, dan direkomendasikan untuk dilakukan dalam kekuasaan yang tersentralisasi dan ketidakmampuan untuk mengembangkan hegemoni yang kuat agar terbentuk masyarakat madani (mis. Revolusi Rusia 1917).
2. Perang posisi: perjuangan panjang, lintasorgan dalam masyarakat madani, kekuatan sosialis dapat memimpin ideologis dan kebudayaan, dan sebaiknya dilakukan apabila punya sejumlah strategi 

4. Kontra-Hegemoni Atau Anti-Hegemoni?
Apa perbedaan agenda antara Anti-Hegemoni dan Kontra-Hegemoni? Kata Anti-Hegemoni dipahami sebagai upaya menentang segala bentuk hegemoni tanpa batas hingga tak ada lagi hegemoni. Konsekuensi, tidak ada kerja terstruktur dan konseptual. Sedangkan, kontra-hegemoni adalah upaya untuk menentang hegemoni yang menindas. Bedanya, di tataran strategi yang melibatkan kematangan berorganisasi dan melakukan aktivitas politik. Kerja kontra-hegemoni akan otomatis terhenti apabila telah tercapai masyarakat yang terbebas dari segala bentuk penindasan.

TINJAUAN TERHADAP CATATAN DARI PENJARA ANTONIO GRAMSCI

"Revolusi proletarian tidak bisa tidak harus merupakan revolusi total. Revolusi ini merupakan terbentuknya moda-moda produksi perburuhan baru, moda-moda produksi dan distribusi baru yang bersifat unik bagi kelas buruh dalam determinasi sejarahnya dalam arus proses kapitalis. Revolusi ini juga mendorong terbentuknya seperangkat standar baru, sebuah psikologi baru, cara berperasaan, berpikir dan hidup yang baru yang harus spesifik bagi kelas buruh, yang ia ciptakan, dan akan menjadi "dominan" ketika kelas buruh menjadi kelas yang dominan.

Revolusi proletarian pada hakekatnya merupakan pembebasan kekuatan-kekuatan produksi yang telah ada dalam masyarakat borjuis. Kekuatan-kekuatan ini dapat diidentifikasikan dalam lingkup ekonomi dan politik; namun mungkinkah mulai mengidentifikasi elemen-elemen laten yang akan mendasari terciptanya peradaban atau kebudayaan proletarian?

Apakah elemen-elemen untuk seni, filsafat dan (standar) moralitas yang spesifik bagi kelas buruh telah ada? Pertanyaan ini harus ditanyakan dan dijawab. Bersama-sama dengan masalah merebut kekuasaan politik dan ekonomi, proletariat juga harus menghadapi masalah pemenangan kekuasaan intelektual. Sebagaimana ia telah berpikir untuk mengorganisir dirinya dalam bidang  politik dan ekonomi, ia harus pula berpikir untuk mengorganisir dirinya dalam bidang kebudayaan."

Antonio Gramsci - Pertanyaan-Pertanyaan tentang Kebudayaan, Avanti, 14Juni 1920 "PERTANYAAN SELATAN" DAN CROCE - SEBUAH STRATEGI REVOLUSIONER Ketika Antonio Gramsci, pemimpin Partai Komunis Italia, ditangkap oleh kaum fasis pada bulan November 1926, ia sedang mengerjakan sebuah artikel panjang yang menggariskan strategi revolusionernya untuk mengalahkan fasisme. Berdasarkan analisis kelas yang cermat terhadap Italia utara dan selatan, ia berkesimpulan bahwa usaha merubuhkan fasisme takkan berhasil tanpa pemberontakan petani penggarap di daerah selatan yang setengah terjajah. Artikel tersebut, "Beberapa Aspek Pertanyaan Selatan", saya percayai, merupakan kunci pemahaman politis Catatan Gramsci. Dengan pengamatan yang mendalam terhadap esai ini dan ide-ide terpenting dalam Catatan, saya berharap untuk menunjukkan bahwa Catatan pada hakekatnya merupakan sebuah proyek penelitian yang luar biasa besar yang mengalir langsung dari strategi politik yang digariskan dalam artikel ini. Jika benar, maka esai ini bisa dianggap sebagai pengantar politis umum untuk Catatan dan menjadi panduan yang sangat berguna untuk membacanya. 

Strategi Gramsci menyerukan untuk adanya aliansi revolusioner antara buruh pabrik di utara dan petani penggarap miskin di selatan, berusaha untuk memenangkan dukungan dari intelektual kelas menengah yang radikal di selatan untuk membantu Partai mengorganisir pemberontakan rakyat jelata. Gramsci berpendapat bahwa petani-petani penggarap termiskin di selatan, meskipun selalu berada dalam kondisi "setengah revolusi", tidak terorganisir atau terpimpin, dan tidak memiliki organisasi revolusionernya yang independen. Mereka mengambil arah politik  mereka dari intelektual borjuis menengah dan kecil pemilik tanah di selatan: ahli hukum, dokter, notaris, pejabat, pegawai kecil dan pastor desa-desa dan kota-kota kecil. Pastor-pastor merupakan sebuah kelompok yang amat penting di antara intelektual pedesaan selatan. Tuan tanah terbesar dan terkuat di Italia Selatan pada dekade 1920-an adalah gereja Katolik. Sebagai agen ekonomi gereja, pastor-pastor mengumpulkan uang sewa dari penggarap (mezzadri) tanah-tanah milik gereja, meminjamkan uang kepada rakyat jelata dengan nilai bunga yang luar biasa tinggi, dan sebagaimana dikatakan Gramsci, "memanipulasi elemen religius untuk meyakinkan dibayarkannya sewa atau bunga".

Gramsci juga mengamati dengan rasa ketertarikan yang besar bahwa intelektual pedesaan selatan merupakan lebih dari 60 % birokrasi negara Italia. Seluruh intelektual selatan tersebut terikat pada tuan-tuan tanah besar dan membantu menahan rakyat jelata pada posisi subordinasi
di bidang politik. "Intelektual menengah" selatan, sebaliknya, didominasi secara ideologis oleh "intelektual besar", intelektual individual selatan yang sangat terpelajar dan berbudaya, sering kali merupakan aristokrat pemilik tanah. Gramsci mengidentifikasikan Giustino Fortunato dan Benedetto Croce (filsuf liberal Napoli, sejarawan dan tuan tanah besar) sebagai intelektual terbesar selatan yang mengikat intelektual selatan (dan juga rakyat jelata selatan yang miskin) secara ideologis pada tuan tanah besar dan kapitalisme. Croce dan Fortunato merupakan musuh ideologis terbesar revolusi rakyat jelata di selatan dan sebagaimana dikatakan Gramsci, "dua tokoh utama reaksionerisme Italia".
Subordinasi politik dan ekonomi penggarap terhadap tuan tanah dan gereja melalui intelektual pedesaan yang dipimpin Croce dan Fortunato disebutkan Gramsci sebagai "sebuah blok agraria yang berukuran amat besar". Blok agraria ini, beriringan dengan kelas menengah kota, merupakan dasar sosial utama fasisme. Tuan-tuan tanah dan borjuis kecil pedesaan dari blok agraria inilah yang (dengan sejumlah bantuan strategis dari industrialis utara juga) menyediakan sebagian besar dana, senjata, kepemimpinan dan orang untuk kelompok teroris fasis yang mengalahkan revolusi kelas buruh pada tahun 1919-1920.

Strategi Gramsci untuk memecahkan blok agraria ini dan meruntuhkan fasisme bergantung pada menjauhkan pemikiran intelektual pedesaan selatan dari Croce. Sebagaimana dikatakannya, "Berkaitan dengan blok agraria, terdapat di Selatan sebuah blok intelektual yang selama ini praktis berfungsi untuk mencegah keretakan dalam Blok ini menjadi sedemikian berbahaya dan menimbulkan keruntuhannya. Giustino Fortunato dan Benedetto Croce merupakan tokoh blok intelektual ini, maka mereka dapat dianggap sebagai reaksioner paling aktif di seluruh semenanjung." Namun, tidaklah mudah untuk mengalahkan Croce. Ia, menurut Gramsci, telah mendominasi kebudayaan Italia antara tahun 1900-1920, membentuk pemikiran sebuah generasi intelektual. Sebagian besar kepemimpinan intelektual gerakan fasis, sosialis dan komunis yang bangkit di Italia antara masa itu berangkat dari sebuah generasi intelektual radikal borjuis kecil muda dari selatan (Gramsci salah satunya). Croce memberikan kepemimpinan filsafat bagi intelektual-intelektual muda dan kecewa tersebut, menyerukan sekulerisasi dan modernisasi kebudayaan dan masyarakat Italia. Gramsci sendiri mengawali kehidupan intelektualnya sebagai seorang Crocean, tertarik seruannya untuk reformasi moral dan intelektual Italia yang terbelakang dan terdominasi gereja.

Dua pertanyaan sosial, moral dan politik besar menghadapi negara Italia yang baru berusia 30 tahun pada tahun 1900; "Pertanyaan Selatan" dan "Pertanyaan Sosial". Yang pertama adalah bagaimana mengintegrasikan wilayah Italia Selatan (termasuk Sardinia dan Sisilia) yang miskin, berpotensi pemberontakan namun kaya hasil pertanian dan tambang ke dalam negara Italia. Sebagai koloni ekonomi dan politik daerah Utara yang lebih terindustrialisasi, Selatan mendayai pembangunan kapitalis Italia, namun tidak mendapatkan hasil apa pun. Penggarap di Selatan merupakan kelas yang paling tertindas namun juga paling tidak terorganisir di Italia. Dan intelektual Selatan, sebagai anggota borjuasi kecil semi-kolonial merupakan kekuatan yang memiliki potensi revolusioner.

Pertanyaan kedua yang dihadapi Italia adalah bagaimana mengurangi penderitaan buruh pabrik yang miskin dan tak berdaya di Utara.  Gerakan serikat buruh di Utara telah berkembang pada garis ekonomis, reformis, rasis anti selatan, menimbulkan aristokrasi buruh yang mengembangkan aliansi politik dan ekonomi dengan Kapitalis Utara. Nasionalis kelas menengah dan banyak intelektual sindikalis mendorong ekspansi imperialis Italia ke Afrika Utara dan Timur Tengah sebagai cara menekan kemiskinan Selatan. Gramsci dan berbagai intelektual radikal selatan lainnya menyarankan aliansi revolusioner antara buruh pabrik di Utara dan rakyat jelata miskin baik di utara maupun selatan sebagai alternatif terhadap reformsi pro-imperialis, nasionalis dan sindikalis.

Croce, sebagai anggota kelas pemilik tanah di Selatan memiliki kepentingan langsung dalam mensabotase aliansi yang berbahaya tersebut. Gramsci kemudian menjelaskan peran kritis yang dimainkan Croce dan Fortunato dalam mencegah Selatan menjadi revolusioner,

"Orang-orang Selatan yang telah berusaha meninggalkan blok agraria dan menanyakan Pertanyaan Selatan dalam bentuk radikalnya telah menemukan penerimaan dan mengelompokkan dirinya pada tinjauan-tinjauan yang dicetak di luar Selatan. Bahkan, dapat dikatakan bahwa seluruh inisiatif kebudayaan yang dilakukan intelektual menengah yang berlangsung pada abad ini di Italia Tengah dan Utara dicirikan oleh "keselatanan", karena mereka sangat terpengaruh intelektual selatan: semua jurnal intelektual Firenze, seperti Voce dan Unita, jurnal Kristen Demokrat seperti Azione di Cesena, jurnal liberal muda Emilia dan Milan yang diterbitkan G. Borelli, seperti Patria di Bologna atau Azione di Milan, dan terakhir, Rivoluzione Liberale Gobetti. 

Yah, penguasa politik dan intelektual tertinggi seluruh inisiatif tersebut adalah Giustino Fortunato dan Benedetto Croce. Dalam lingkup yang lebih luas daripada blok agraria yang mengekang, mereka mengusahakan agar masalah Selatan akan dijabarkan dalam cara yang tidak melampaui batasan tertentu: tidak akan menjadi revolusioner. Orang-orang yang memiliki kebudayaan dan kepandaian tinggi, yang bangkit di wilayah tradisional Selatan, namun berkaitan dengan kebudayaan Eropa dan wilayah dunia lainnya, memiliki seluruh bakat yang diperlukan untuk memuaskan kebutuhan intelektual wakil-wakil pemuda yang berbudaya dan jujur di Selatan; untuk meredam dorongan mereka yang tanpa henti untuk melakukan revolusi melawan kondisi yang ada, untuk mengarahkan mereka melalui jalan tengah kebijakan klasik dalam pikiran dan tindakan. Mereka yang disebut sebagai "neo-protestan" atau Kalvinis gagal memahami bahwa di Italia, karena kondisi modern peradabannya tidak memungkinkan reformasi keagamaan besar-besaran, reformasi yang secara historis dapat terlaksana telah terjadi bersama filsafat Benedetto Croce. Arah dan metode pemikiran telah berubah dan sebuah konsepsi baru tentang dunia telah disusun, melintasi batasan kekatolikan dan semua agama mitologis lainnya. Dalam hal ini, Benedetto Croce telah menjalankan peran "nasional" yang amat penting. Ia telah memisahkan intelektual radikal selatan dengan massa rakyat jelata, memaksa mereka mengambil bagian dalam kebudayaan nasional dan Eropa; dan melalui kebudayaan ini, memasukkan mereka ke dalam borjuasi nasional dan blok agraria."

Dalam sebuah masa yang singkat pada dekade 1890-an, Croce Subject: mengaitkan dirinya dengan Marxisme legal, dan menjadi pemimpin revisionisme Marxis. Namun ketika gerakan sosialis kelas buruh massal tumbuh di Italia, Perancis, Jerman, Rusia dan permusuhan nasionalis kelas menengah terhadap sosialisme semakin intensif, Croce menjadi semakin memusuhi Marxisme. Ia sangat mendukung keikutsertaan Italia dalam Perang Dunia Pertama, dengan keras mengutuk Partai Sosialis untuk pasifisme dan "ketiadaan patriotisme". Ia juga sangat menentang bangkitnya Uni Soviet dan gerakan komunis di Italia. Ia mendukung Fasisme pada tahun-tahun pertamanya sebagai sebuah kekuatan yang menstabilisasi dan memodernisasi, yang dapat menghalangi sebuah revolusi komunis kelas buruh yang lebih radikal. Namun, ketika fasisme dengan penuh kekerasan memantapkan kediktatorannya terhadap borjuis liberal sepertinya, tidak hanya terhadap buruh sosialis dan rakyat jelata, ia beralih ke perlawanan "filosofik" pasif terhadap regim. Namun, ia menolak mendukung langkah politik massa apa pun terhadap fasisme dan tetap menjadi anggota Senat Italia yang dikendalikan fasis. Ia terus berbicara dan menulis selama 22 tahun kekuasaan fasis tanpa tindakan apa pun dari regim. Baik dalam surat-suratnya dari penjara maupun dalam Catatan, Gramsci dengan jelas menyatakan bahwa ia menganggap Croce sebagai kawan tak ternilai fasisme, meskipun secara formal ia merupakan oposisi filosofik liberal. Pasivitas politik, anti komunisme, anti kelas buruh, politik dan filsafat kelas atas elitisnya membantu menjaga intelektual selatan pasif di bidang politik dan memusuhi massa. Dengan tetap berada dalam Senat Fasis sebagai lawan formal regim, ia memberikan negara fasis tersebut legitimasi demokratik dan meningkatkan prestise intelektualnya. Bagi Gramsci, Croce adalah lawan filsafat Marxis dan revolusi kelas buruh yang paling canggih, berpengaruh dan berbahaya di Italia dan Eropa.

Bertentangan dengan tokoh-tokoh reaksioner macam Croce dan Fortunato, Gramsci mengajukan Piero Gobetti sebagai contoh intelektual demokrat yang bisa dibujuk untuk beralih ke revolusi yang dipimpin kelas buruh. Gobetti, yang dipengaruhi buruh pabrik mobil komunis dari gerakan Ordine Nuovo di Turin memisahkan diri dari Croce dan mulai menganggap kelas buruh utara sebagai kekuatan sosial yang dapat memodernisasi Italia di bidang kebudayaan dan sosial.

Terhadap kritikan sektarian dalam partai komunis bahwa Gobetti merupakan seorang liberal borjuis dan harus dilawan, Gramsci mengajukan pandangannya mengenai pentingnya beraliansi dengan intelektual demokratik, ".tidak memahami [mengapa partai membutuhkan Gobetti sebagai sekutu], berarti tidak memahami pertanyaan tentang intelektual dan fungsi yang mereka perankan dalam perjuangan kelas. Gobetti dalam praktiknya berfungsi sebagai penghubung antara kita dengan (1) intelektual yang lahir dalam teknik kapitalis [teknisi dan insinyur pabrik] yang antara tahun 1919-1920 mengambil posisi kiri, mendukung kediktatoran proletariat; (2) sekelompok intelektual selatan yang melalui hubungan yang lebih rumit mempertanyakan pertanyaan Selatan dengan sudut pandang yang berbeda dari yang tradisional, dengan mengajukannya kepada proletar Utara.Intelektual berkembang dengan lambat, jauh lebih lambat daripada kelompok sosial lainnya, akibat sifat alamiah dan peran historisnya. Mereka mewakili seliruh tradisi kebudayaan suatu masyarakat, berusaha menyimpulkan dan menciptakan seluruh sejarahnya. Ini dapat dikatakan terutama mengenai intelektual jenis lama: intelektual yang lahir pada wilayah rakyat jelata. Pemikiran bahwa intelektual semacam itu, dalam jumlah besar sekaligus, dapat memutuskan dirinya dari masa lalu dan menempatkan diri mereka seluruhnya pada wilayah ideologi baru, adalah absurd. Ini absurd bagi intelektual tersebut secara kelompok, dan mungkin pula absurd bagi sebagian besar intelektual secara individual pula - tanpa mengurangi rasa hormat pada usaha yang mereka lakukan atau ingin lakukan. Kini, kita tertarik pada massa intelektual, bukan pada individu. Memang penting dan berguna bagi proletariat bahwa satu atau lebih intelektual, secara individual, mengambil program dan pemikirannya, bergabung dengan proletariat, menjadi dan merasa sebagai bagian integral darinya [Gramsci sendiri merupakan satu contoh]. Proletariat, sebagai sebuah kelas, payah dalam mengorganisir elemennya. Ia tidak memiliki lapisan intelektualnya sendiri, dan hanya dapat menciptakannya dengan amat lambat dan amat menyakitkan setelah dimenangkannya kekuasaan negara. Namun penting dan berguna pula bila terjadi perpecahan dalam massa intelektual: sebuah perpecahan organik, yang memiliki ciri historik. Karena diperlukan keberadaan sebagai sebuah formasi massa, suatu kecenderungan kiri, dalam artiannya yang modern, yaitu yang berorientasi terhadap proletariat yang revolusioner. Aliansi antara proletariat dan massa rakyat jelata memerlukan
pembentukan formasi ini. Terutama, formasi ini sangat penting bagi aliansi antara proletariat dan rakyat jelata di selatan. Proletariat akan menghancurkan blok agraria selatan sejauh mungkin, melalui partai, dengan mengorganisir massa rakyat jelata yang miskin menjadi formasi yang otonom dan independen serta semakin kuat. Namun, keberhasilan atau kegagalannya dalam tugas yang penting ini akan juga bergantung pada kemampuannya memecahkan blok intelektual yang merupakan lapisan pertahanan yang fleksibel namun amat kukuh dari blok agraria.

Proletariat dibantu dalam tugas ini oleh Piero Gobetti." Strategi untuk mengalahkan Croce secara intelektual dan mendorong intelektual selatan radikal untuk mengambil jalan revolusi merupakan titik awal politik dan intelektual Catatan. Ini mendorongnya melakukan studi yang masif tentang intelektual Italia, asal kelas mereka, politik, kebudayaan dan sejarah mereka. Ini mendorongnya menulis sepanjang 155 halaman mengenai bagaimana melakukan serangan filsafat dan politik terhadap Croce, yang ia sebut "Anti-Croce". Dan kemudian, Anti-Croce ini dan studinya mengenai intelektual Italia memberikan dasar kritis untuk program politiknya untuk revolusi sosial, politik dan kebudayaan Italia. Dan akhirnya, ini mendorongnya untuk mengarah ke sebuah teori revolusi kebudayaan kelas buruh yang terbangun di sekeliling pemikiran untuk menciptakan kelompok kepemimpinan yang dibangun dari intelektual kelas buruh yang otonom dan intelektual "nasional-kerakyatan" atau revolusioner.
-----------------------------------------------------------------------

Hancurkan Kapitalisme,Imperialisme,Neo-Liberalisme, Bangun 
Sosialisme !

Date : Thursday, March 02 2000

Kamis, 28 April 2016

ANTONIO GRAMSCI

Riwayat hidup dan perkembangan intelektual Gramsci, terbagi ke dalam beberapa fase. Bellamy misalnya, membaginya dalam  lima fase : Pertama, masa kanak-kanak dan remajanya di Sardinia antara tahun 1891-1911. Kedua, masa ketika  studinya di Turin University, serta awal karirnya sebagai komentator untuk Grido Popolo antara tahun 1911-1918. Ketiga, masa di mana Gramsci mengalami pengalaman "tahun-tahun merah" serta  dewan pabrik sambil menjadi  redaktur L' Ordine Nuovo antara  tahun   1918-1920. Keempat, masa ketika terjadi kritik yang dihasilkan terhadap Partai Sosialis Italia dan  pembentukan Partai Komunis Italia (PCI) antara  tahun  1921-1926.  Kelima, adalah   masa-masa  Gramsci  di  penjara sejak tahun 1926 sampai wafatnya pada tahun 1937.

Sementara Yoseph Femia, membedakan ke dalam empat tahap perkembangan kehidupan politik dan pemikiran Gramsci. Periode pertama, merentang tahun 1914-1919, merupakan tahun-tahun pembentukan wawasan politik  dan intelektual. Dalam periode ini, meskipun Gramsci adalah seorang sosialis muda yang militan  dan  revolusioner, orientasi  filsafatnya menurut Femia lebih idealis ketimbang praxis-marxistis. Tulisan-tulisannya  kebanyakan terdapat di dalam surat kabar sosialis Avanti dan L’  Grido  del  Popolo mengungkapkan kondisi-kondisi budaya maupun keinginannya untuk menanamkan kesadaran terhadap kaum buruh melalui pendidikan. Periode kedua, berlangsung sekitar 1919-1920, suatu bentang waktu ketika Italia dilanda oleh banyak keributan pabrik dan aksi-aksi mogok. 

Dari  pembentukan partai Komunis Italia (PCI--  Partito  Comunista Italiano) tahun 1921 sampai masuknya Gramsci ke beberapa tahanan fasis di bawah Mussolini, digolongkan  oleh Femia sebagai periode ketiga dari hidup Gramsci. Fase  terakhir adalah mulai dari tahun 1926.  Pada tahun  1928 Gramsci dijatuhi hukuman selama 20 tahun sampai  meninggal 1937 karena pendarahan otak. 

Dalam masa inilah Gramsci merencanakan penyelidikan  mendalam terhadap pengalaman politiknya dalam kerangka historis maupun filosofis yang lebih luas. Antara  tahun  1929-1935  dia menyelesaikan 32 catatannya yang berjumlah sekitar  3000 halaman. Tulisan-tulisan inilah yang disebut Quaderni (Prison Notebooks), di sinilah Gramsci menyusun tema-tema, kepentingan, prinsip-prinsip maupun konsepnya. Dalam tulisan itu, Gramsci berupaya untuk mengadaptasikan senjata kritis marxisme (keniscayaan revolusi) ke dalam kondisi kapitalisme Italia.

A. LATAR BELAKANG INTELEKTUAL SINGKAT ANTONIO GRAMSCI
Antonio Gramsci lahir di Ales, sebuah kota kecil di Sardinia (Italia) pada 22 Januari 1891.  Dia hidup dan  menetap di sana selama 20 tahun.  Dia  adalah  anak keempat dari tujuh bersaudara. Gramsci berasal dari keluarga yang sangat miskin. Ayahnya adalah seorang juru ketik yang berasal dari kota Naples.  Sedangkan Ibunya berasal dari kota kecil Ghilarza, Sardinia.  Ibu Gramsci tidak memiliki penghasilan yang tetap, pekerjaannya adalah hanya seorang tukang jahit. 

Ketika Gramsci berusia 7 tahun (1897), ayahnya dipecat dari pekerjaannya dengan tuduhan penggelapan dengan tanpa pesangon sepeser pun.  Mulai  saat  itu, Gramsci, Ibu dan keenam saudaranya yang lain hidup dalam kemelaratan. 

Selain kondisi ekonomi keluarga yang cukup memprihatinkan di masa kanak-kanak ini, Gramsci juga didera masalah kesehatan tubuhnya. Gramsci adalah seorang yang memiliki cacat tubuh. Para dokter  berupaya  mengobati Gramsci dengan membuat kayu-kayu penyangga pada tubuhnya. Secara fisik, Gramsci tumbuh menjadi anak-anak yang bungkuk dan tingginya hanya lima  kaki.  Selain itu, Gramsci juga menderita tekanan psikologis, dia memiliki sifat introvert dan paranoid.

Pada tahun 1898, Gramsci mulai sekolahnya di Ghilarza,  tetapi  pendidikannya itu terpaksa putus beberapa tahun karena kesulitan biaya. Ketika  Gramsci berumur  11 tahun, Gramsci meninggalkan sekolah di desanya dan kemudian bekerja di kantor Agraria setempat sebagai seorang pesuruh kantor, atas saran ayahnya, Gramsci melanjutkan sekolahnya di kota Sautulussurgiu dalam satu sekolah yang dikategorikan sekolah kelas bawah.  Meskipun, dengan segala keterbatasan, Gramsci mampu menyelesaikan sekolahnya pada tahun 1908. Kemudian  Ia masuk sekolah lanjut pada tahun itu juga di Cagliari (pusat Sardinia), dan hidup bersama kakaknya yang sudah bekerja di  sana. Saudara laki-lakinya itu adalah Gennaro. Saudaranya inilah yang kemudian untuk pertama kali mengenalkan politik pada Gramsci.  Karena sebelumnya, di tahun  1906 Gennaro sering mengirimkan pamflet-pamflet dan terbitan sosialis kepada adik-adiknya.

Di kota Cagliari, situasi politik terutama gerakan-gerakan protes atas penindasan imperialis yang memaksa munculnya nasionalisme Sardinia.  Gramsci, di kota ini sudah mulai aktif dalam perjuangan politik. Lewat sebuah terbitan di sekolahnya, Gramsci mulai menunjukkan semangat perjuangannya. 

B. PEMBENTUKAN INTELEKTUAL DAN AKTIVITAS POLITIK.
Perubahan terpenting yang terjadi dalam hidup Gramsci adalah pada 1911, ketika ia berhasil mendapat bea siswa untuk melanjutkan belajar di  Universitas Turin  bersama  sahabatnya  dari Sardinia  yang kelak menjadi  rekan Gramsci di Bidang politik yaitu  Palmiro Togliatti. Bea siswa tersebut diberikan  bagi siswa Sardinia yang miskin guna melanjutkan perjalanan studinya.

Meskipun demikian, bea siswa yang diberikan sangat minim. Kebutuhan  peralatan studi dan untuk persediaan makanan dan gizi tidak terpenuhi oleh bea siswa tersebut. Kekurangan gizi ini, ditambah kondisi udara  yang sangat dingin, membuat kesehatan Gramsci menjadi terganggu. Antara tahun 1913 sampai tahun 1915, Gramsci menderita sakit. Dalam kondisi demikian, Gramsci  sempat  putus asa dan berkeinginan meninggalkan kuliahnya. Namun, berkat dorongan bakat khususnya dalam ilmu bahasa dan linguistik serta atas dorongan beberapa gurunya, maka Gramsci mengurungkan niatnya. Dia tetap melanjutkan kuliahnya. 

Selama di Universitas Turin, Gramsci untuk pertama kalinya secara intelektual mengenal lingkungan pendekatan marxis melalui beberapa intelektual sosialis maupun dari  profesor  yang memiliki hubungan dengan gerakan sosialis.  Intelektual yang dikenal dan dekat dengan Gramsci adalah Umberto Uno dan  Dante Scholar yang merupakan sastrawan dan juga sejarawan. Tokoh lain adalah Annibale Pastore yang mengenalkan filosofi praxis Hegelian. Sebelumnya, filosofi praxis diperkenalkan di Italia lewat seorang ahli bahasa dan sejarah yaitu Antonio Labriola. Tokoh lain yang juga mengenalkan dan bahkan mempengaruhi sikap intelektual Gramsci adalah Mandolfo dan Benedetto Croce yang secara  intelektual paling berpengaruh di Italia sekitar tahun 1895-1900, yang kemudian menjadi Godfather dalam lingkungan intelektual Italia.

Di luar aktivitas kuliah, kedatangan Gramsci di Turin menandai perjumpaan pertamanya dengan kehidupan kota industri modern. Gemerlapnya kemewahan kota dan juga dangkalnya pertunjukan-pertunjukan budaya  membuat Gramsci  (sebagai mahasiswa  jurusan  sastra) sering menulis banyak kritik teater. Semua itu membuka matanya tentang betapa tajamnya jurang kehidupan kota dan desa, interaksi keduanya, dan hubungan politik antara kelas buruh di kota dan petani di desa. Kontras yang tajam tersebut itu terjadi karena jurang kehidupan sosial yang semakin menganga di  Italia. Secara umum ini terlihat dari konflik antara daerah industri  'Utara' dan kawasan pedesaan  'Selatan' yang cenderung menyimpan pertanyaan-pertanyaan tersembunyi tentang basis kelas. 

Sejak 1887, tumbuhnya industri di Utara telah diwarnai dengan kebijakan proteksionis dari modal asing, guna menjamin dominasi dari pasar domestik.  Tetapi,  itu mambuat dampak  jelek  bagi kehidupan pertanian  Italia. Kecuali  bagi produsen gandum di Italia Tengah dan Utara, kaum tani tidak dapat lagi mengeksport produksi mereka. Sementara, pada saat  yang sama,  mereka dipaksa untuk membeli produk dari  negara industri  maju  lainnya,  yang  harganya  lebih  murah. Inilah yang menjadi dasar pokok dari apa yang  menjadi„'Gugatan  Selatan'  ('Southern  Question'). 

Semangat “Selatanisme” seperti ini merupakan  ketetapan posisi politik  Gramsci  ketika kedatangannya di Turin pada 1911. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata pengalaman hidup Gramsci di Sardinia sangat mendalam, bukan  hanya pengalamannya  yang  terlalu dini akan kemiskinan dan ketidakadilan sosial di daerahnya tetapi juga minatnya terhadap budaya di sana. Pengalaman-pengalaman  inilah yang juga memberi andil besar bagi pembentukan Gramsci sebagai seorang revolusioner. 

Gramsci, bukanlah sekadar seorang tokoh intelektual. Dia juga terlibat aktif dalam dunia politik. Saat di Turin, Gramsci mulai aktif melakukan perjuangan  politik.  Gramsci  saat  itu  mulai  mengenal organisasi-organisasi sosialis militan. Adalah Angelo Tosca  yang kemudian menjadi pemimpin sayap kanan PCI yang pertama-tama mengenalkan aktivitas politik kepada Gramsci  pada tahun 1912. Pada tahun itulah Gramsci bergabung  dengan Partai Sosialis Italia. 

Pada  tahun 1914, Gramsci menjadi staf dari  mingguan Partai Sosialis, L’ Grido del Popolo dan kemudian dia menjadi wartawan tetap di sana. Selama menjadi staf dalam mingguan ini Gramsci selalu menulis setiap aspek dari  masyarakat Turin dan kondisi ekonomi  politiknya. Gramsci juga kerap menulis, menganalisis sejumlah pemogokan dan demonstrasi buruh di Turin, serta  peristiwa-peristiwa politik lainnya baik di Italia maupun secara internasional.  Sementara pada tahun 1916 Gramsci  juga menjadi  kolumnis pada terbitan Partai Sosialis  lainnya yaitu Avanti. 

Pada  bulan  Agustus 1917, terjadi  pemberontakan spontan rakyat Turin. Seperempat dari jumlah para buruh berdemonstrasi dan mendirikan barikade-barikade. Pusat kota Turin dikepung Buruh. Pemberontakan ini berlangsung  selama 4 hari. Sekitar 50 orang buruh meninggal dalam peristiwa tersebut, sedangkan 100 orang  lainnya dipenjarakan.  Peristiwa pemberontakan Agustus   ini memberi  arti politik yang luar biasa. Karena, hal  ini menunjukkan bahwa  rakyat Turin  masih memperlihatkan jiwa dan semangat revolusi yang sangat luar biasa. Pengalaman  Gramsci dalam gerakan dewan pabrik di Turin dari tahun 1919-1920. Setelah berakhirnya perang, merupakan periode keresahan sosial tidak ada  taranya  di seluruh  Itali. Pekerja baja Turin yang  diradikalisasi oleh perang, bereaksi dengan mengorganisasikan oposisi mereka di sekitar asosiasi-asosiasi staf pabrik  (commission interne). Gerakan itu kemudian meluas ke usaha-usaha  lain, seperti pabrik mobil fiat dan melangkahi serikat buruh reformis yang pada umumnya dikuasai oleh Gerakan dewan  pabrik ini menyebabkan Gramsci mempertimbangkan kembali pandangannya terhadap Lenin dan revolusi Rusia. Dia melihatnya sebagai pengalihan kekuasaan yang murni kepada pekerja, dan  mempercayai slogan "SEMUA KEKUASAAN UNTUK SOVIET-- SOVIET  MENCERMINKAN REALITAS RUSIA. 

Pemberontakan Turin ini, sangat berarti bagi karier politik Gramsci. Sebelum peristiwa itu, Gramsci tidak menduduki jabatan apa pun di dalam  partai.  Akibat penangkapan pemimpin-pemimpin partai dalam peristiwa tersebut,  Gramsci menjadi salah satu pimpinan komite sementara yang mengatur  kegiatan-kegiatan  partai. Gramsci  juga  mulai saat itu  menduduki  posisi  kunci pada I’ Grido Del Popolo. Pada bulan Mei 1919, Gramsci dan beberapa kawannya seperti  Tasca,  Togliatti  dan  Terracini  mendirikan Ordine Nuovo, sebuah jurnal dengan tujuan untuk memberikan analisis dan rekomendasi atas pemberontakan-pemberontakan buruh militan di Italia Utara. Ordine Nuovo sangat berjasa dalam memegang peranan dan kegiatan langsung dalam proses revolusi. Pada tahun  1921, PCI secara terbuka didirikan. Antara tahun 1921-1923 PCI berada di bawah kepemimpinan Bordiga yang kemudian menjadi seteru politik Gramsci. 

Pada tahun 1923, perbedaan antara Gramsci dan Bordiga semakin  meruncing. Menurut Nigel Todd, konflik yang paling fundamental antara Gramsci dan Bordiga adalah persoalan penilaian atas menguatnya kekuatan Fasisme di Italia. Kelompok Bordiga menyatakan bahwa fasisme hanyalah  semata-mata gerakan bentuk lain dari politik borjuis dan secara politik tidak membahayakan gerakan revolusioner. Sementara Gramsci secara tegas berkeyakinan bahwa fasisme sangat berbahaya bagi pertumbuhan gerakan komunis Italia. 

Fascisme adalah gerakan politik yang dibentuk oleh pemimpin ex-sosialis,  Benito  Mussolini  (1883-1945). Mussolini sebelumnya adalah seorang  sosialis revolusioner yang meninggalkan partai pada awal Perang  Dunia II. Partai Sosialis ketika itu mendukung non-intervensi terhadap perang, sementara Mussolini menuntut Italia ikut terlibat dan berpihak pada Sekutu. Setelah  perang, Mussolini yang selama perang berpangkat kopral, membentuk fascis di  combattimento atau kelompok tempur untuk melindungi veteran perang yang pulang dan juga untuk menentang usaha-usaha "anti-patriotik" dari kalangan kiri. Dengan begitu  fascismo pada  awalnya  merujuk pada pasukan  paramiliter yang dibentuk  Mussolini. Banyak orang yang memandang  gerakannya sebagai usaha menghindari revolusi komunis dan cure terhadap paralysis politik dari partai-partai moderat. Pada bulan Oktober 1922, setelah apa yang disebut Mars di Roma, Mussolini ditunjuk sebagai perdana menteri dengan cara yang kurang lebih legal. Tahun 1928 sisa-sisa pemerintah konstitusional dihapus dari Italia, dan keadaan ini bertahan sampai lima  belas  tahun selanjutnya. Fasis Italia  sering menyebut   pengambilalihan kekuasaan yang mereka lakukan sebagai "revolusi" dan menyebut sistem mereka "negara  totaliter".  Istilah-istilah ini sebenarnya lebih bersifat bombastis ketimbang menggambarkan kenyataan. Namun, fasisme yang bertahan sampai duapuluh tahun itu telah mencetuskan perubahan politik dan ekonomi, yang  dibenarkan  oleh ideologi  yang  memang menyediakan alasan  yang  masuk akal. 

Pada tahun 1924 Gramsci diangkat menjadi pimpinan PCI, setelah  sebelumnya Dia merupakan wakil PCI di Moskwa 1922-1923 didukung komintern. Antara tahun 1924-1926 inilah masa yang sangat penting untuk memahami dasar politik yang dikumpulkan Gramsci dalam tulisannya di penjara.  Pada musim gugur di tahun 1926, Fasisme Italia yang dipimpin Mussolini memberhangus publikasi-publikasi kalangan kiri yang juga disertai penangkapan-penangkapan secara besar-besaran, termasuk di dalamnya Gramsci, yang baru dua tahun menjadi Sekretaris Umum Partai Komunis Italia. 8 November 1926, adalah  saat pertama kali Gramsci ditahan oleh Rezim Fasis. Pemenjaraan oleh fasis ini  secara pasti mengisolasikan dirinya dari kegiatan-kegiatan luar. Meskipun  Gramsci sebagai anggota terpilih dari Parlemen, sesuai dengan hukum, diberi hak istimewa dengan kekebalan dari tuntutan Mussolini yang membawanya ke dalam suatu  pemeriksaan juga dengan kawan-kawan komunis lainnya dalam sebuah  organisasi penyerangan pada pemberontakan  bersenjata. 

C. Di Penjara Fasis
Gramsci sempat diasingkan ke pulau Ustica, Pantai Utara Sicily, selama 6 minggu Dia berada dalam tahanan, Dia praktis kehilangan kemerdekaan dalam bergerak  dan melanjutkan hubungan dengan kawan aktivis partai lainnya. Salah seorang teman sepenjaranya adalah Bordiga yang dulunya pernah menjadi seteru politik dalam PCI. Pada tanggal 20 Januari 1927, Gramsci dipindahkan ke Milan. Pemindahan ke Milan ini, adalah dimulainya upaya isolasi politik oleh Rezim  Fasis secara permanen. 

Di Milan, aktivitas Gramsci benar-benar terbatas karena  pengawalan yang ketat. Di penjara, rezim fasis  juga menempatkan  seorang  agen provokatur  untuk  mengawasi Gramsci. Kondisi ini diperparah dengan minimnya fasilitas serta bacaan untuk aktivitas menulis Gramsci. Setelah  Milan, Gramsci  kemudian dipindahkan ke Roma di tahun 1928. Di kota inilah secara hukum Gramsci  diadili bersama beberapa aktivis partai lainnya seperti Terracini, Scoccimaro dan 20  orang lainnya. Dalam pengadilan ini Gramsci dan kawan-kawannya dituduh mengorganisasi sebuah pemberontakan bersenjata. Oleh pengadilan, tanggal 4 Juni, Gramsci  diputuskan  untuk dihukum dalam tahanan selama 20 tahun. Pada  tanggal 19 Juli, Gramsci dibawa  ke  penjara Turi,  di ujung  kota  Italia sekitar  20 mil dari kota Bari. 

Dalam tahanan inilah --meskipun  kondisi  kesehatan   yang  memburuk, Gramsci mulai mengerjakan Prison Notebooksnya. Hal ini dimungkinkan, mengingat perlakuan di Turi sedikit lebih baik ketimbang di  Milan. Di penjara Turi, Gramsci diperbolehkan menulis dan menerima buku-buku bacaan meskipun sangat terbatas, demikian juga keterbatasan itu dia alami dalam hubungannya dengan teman-teman sepenjaranya. Di tengah situasi  keterbatasnnya,  Gramsci   benar-benar secara serius  membaca kiriman-kiriman bacaan baginya, baik buku maupun terbitan-terbitan berkala. Kebiasaan berrefleksi, kepandaian membaca  perkembangan  politik  dan kecerdasan  menulis  adalah modal utama Gramsci untuk menghasilkan banyak tulisan. Bahkan bukan  itu  saja, dia pun mampu berkirim  surat  dengan kawan-kawannya  seperti Tatiana, Yulia dan  kepada  dua anaknya   (khusus anaknya yang bungsu,  Gramsci  tidak sempat  melihatnya) serta kepada ibu  dan  saudara-saudaranya.  Surat-surat  itulah  yang  kemudian   menjadi dokumen  penting  dan menjadi literatur modern  Italia yang terkumpul dalam Letters From Prison. Teoria Della Storia Della Storiografia dari Croce adalah  karya  atau buku pertama yang  diminta  Gramsci  dalam  penjara.  Ia juga mulai menerjemahkan  sejumlah karya  Marx  yang diisikan dalam ontologi Reclam yang begitu banyak. Karya-karya Marx antara lain : Theses on Feurbach,  ringkasan The Communist Manifesto, The Holy Family, Wage Labour and Capital, The Jewish Question dan sebuah  pengantar pada Contribution to the Critique  of Political Economy. Karya lain yang diterjemahkannya dipenjara : Das Capital Volume 1, sumbangan terhadap kritik Philosophy of Right Hegel, Theories of Surplus Value, The Poverty of Philosophy, The Eighteenth Brumaire dari Louis  Bonaparte, Sebuah Perang Sipil di Perancis, Critique of the Gotha  Program,  The  Holy Family  dan  sedikit  bagian penting dari disertasi doktoral Marx . 

Karya lain yang mengilhami pemikirannya di penjara adalah dari Lenin. Karya Lenin dipahami sedikit-sedikit mengingat  kesulitan bahasa, karya Lenin  dalam  bahasa Rusia. Pemeriksaan atas karya-karya di atas, menunjukkan bahwa  Gramsci memiliki latar belakang yang luas dalam marxis klasik dan dalam pembawaan tradisi filsafatnya. Tahun-tahun akhir Gramsci di tahanan Turi, merupakan  saat-saat  yang  memprihatinkan  bagi  kesehatan jiwanya. Sehingga kondisi ini memaksa Gramsci  menghentikan  aktivitas membaca dan menulisnya. Di dalam  penjara Gramsci selain terganggu karena tubuhnya bongkok, Gramsci juga mengalami penderitaan lain seperti  tanggalnya gigi satu per satu, sistem pencernaan yang rusak sehingga  dia tidak dapat memakan makanan  yang padat, insomnia, kejang-kejang, muntah darah, sakit kepala yang begitu  keras sehingga yang terakhir ini seringkali memaksa dia untuk membentur-benturkan  kepalanya  ke dinding penjara. Di luar penjara, kondisi serta penahanan Gramsci tersiar secara terbuka. Di tingkatan kampanye internasional tentang anti fasis,  pembebasan Gramsci menjadi salah satu agenda khusus. Kampanye yang diorganisasikan sahabat karib Gramsci yaitu Piere Staffa, ternyata cukup berhasil. 

Di akhir tahun 1933, Gramsci dipindahkan dari Turi ke klinik di kota Formia, yaitu sebuah kota kecil antara Roma dan Naples. Di Formia, perlahan-lahan kondisi kesehatan Gramsci mulai membaik dan memungkinkannya untuk  melanjutkan  menulis. Meskipun demikian, rezim fasis masih terus mengawasi Gramsci seperti orang tahanan, ruangan perawatan Gramsci dibuat seperti sel tahanan. Pada bulan Agustus 1935 kondisi kesehatan Gramsci kembali  memburuk. Sehingga, Gramsci dipindahkan  lagi ke klinik Quizsisana di kota  Roma untuk dirawat secara intensif. Di kota inilah penyakit Gramsci terdeteksi secara medis. 

Gramsci mengidap penyakit sclerosis urat nadi, infeksi paru-paru atau penyakit potts, tekanan darah tinggi, penyakit tulang dam gangguan pencernaan yang akut. Semangat Gramsci untuk hidup dan melakukan perjuangan politik  meski di penjara,  ternyata  tidak mampu  mengalahkan penyakit yang cukup  kompleks dalam dirinya. Tanggal 27 April 1937, tepat berumur 46 tahun, Gramsci menyusul Karl Marx di tempat peristerahatannya yang  terakhir.  HASIL BESAR YANG IA  PERSIAPKAN TIDAK DAPAT MENCAPAI BENTUK AKHIR. 

D. Karya-Karya Gramsci.
Merujuk pada Femia dan William Boelhower, maka karya-karya  Gramsci dapat dibagi menjadi dua bagian: Pertama, Karya-karya Gramsci dalam edisi Italia (bahasa Italia). Sedangkan yang kedua adalah edisi  terjemahan ke dalam bahasa Inggris. 

Edisi Italia.
a. Opere di Antonio Gramsci (Turin, Einaudi, 19947-72) - Vol 1. Lettere dal Carcere, 1947. Revised edition 1965, edited by S. Caprioglio and E. Fubini. - Vol 2. Il materialisme sorico e la filosofia di Benedeto Croce, 1919. - Vol  3.  Gli  intellettuali el  organizzazione  della cultura, 1949- Vol 4. Il Risorgimento, 1949. - Vol  5.  Note sul Machiavelli, sulla  politica,  esullo stato moderno, 1949. -  Vol 6. Letteratura e vita nazionale, 1950. -  Vol 7. Passato presente, 1951.-  Vol 8. Scritti giovanili, 1914-1918, 1958 - Vol 9. L' Ordine Nuovo, 19199-1920,1954  -  Vol 10. Sotto la Mole, 1916-1920, 1960. -  Vol 11. Socialismo e fascismo, L' Ordine Nuovo, 1921-1922, 1967- Vol 12. La costruzione del Partitto communistta,  1923-1926, 1972.
b. Quaderni del Carcere, edited by Valentino  Gerratana 4 Volumes) Turin, Einaudi, 1975.
c. Quaderni del Carcere, edited by valentino  Gerratana 6 Volumes, 1971.
d. Scrittti polittici, edited by P. Spriano  (Coolecttion of Gramsci pre-prison writings), 1967.

Edisi Inggris
a. Selections  From the Prison Notebooks,  edited  and translated By Quintin Hoare and Geoffrey  
        Nowell-Smith, Lawrence and Wishart, London 1971. 
b. Selection  From  Political  Writings   (1910-1920), selectted  and edited by Quintin Hoare, 
        translated  by John Mathews, Lawrence and Wishart, London 1977. 
c. Selection  from  Political  Writings   (1921-1926), translate and edited by Quinttin Hoare, 
        Lawrence  and Wishart, London 1978.
d. Letters  from  Prison,  selected,  translated  and introduced by Lynne Lawner, Cape, London 
        1973.
e. Selections from Cultural writings, edited by  David Forgacs  and Geoffrey Nowell-Smith, 
        translated by  William Boelhower, Lawrence and Wishart, London 1985
f. The Modern Prince and Other Writings, translated  by Dr.  Louis Marks, 1957

E. Marxisme Ala Gramsci.
Kecenderungan Gramsci untuk menekankan segi-segi superstruktur  ideologis dalam bangunan teorinya  telah melahirkan perdebatan panjang dalam khasanah  Marxisme setelah kematian Marx. Posisi teoretis demikian menjadikan  Gramsci sebagai aktivis partai komunis  di  luar Rusia yang menolak "Marxisme versi Stalin", dan  menempatkan  dirinya  sekubu  dengan  para  neomarxis   awal lainnya seperti Lukacs dan Korsch (3 Lihat Mclellan, opcit hal 175-176), Ia   selalu menekankan dimensi-dimensi politik Marxisme dan pentingnya perjuangan  ideologis dalam proses transformasi sosialis. 

Sebagaimana Lukacs dan Korsch, Gramsci juga mendalami dialektika Marx melalui Hegel. Dengan berpikir  dialektika Gramsci memodifikasi teori "basis" dan "bangunan atas"-nya Marx termasuk istilah intelektual. Bagi Gramsci, para teoretisi atau intelektual dan peranannya disebut sebagai "bangunan atas" masyarakat. Pada Marx istilah intelektual muncul dalam gagasannya mengenai kerja mental (mental-labor) dan kerja-kasar (manual-labor). Yang disebut sebelumnya bisa artis, pelukis termasuk para pemikir intelektual.  

"Basis" menurut Gramsci adalah proletariat dan tujuan-tujuannya. Menurut Garmsci, warisan Hegel begitu kuat pengaruhnya dalam pemikiran-pemikiran Marx. Bagi Gramsci, marxisme adalah sebuah pengembangan dari  Hegelianisme dan "sebuah filsafat yang telah dibebaskan (atau sedang mencoba membebaskan dirinya) dari elemen ideologis yang sepihak dan  fanatik : di mana kesadarannya yang penuh kontradiksi dipahami secara filosofis baik individual maupun sebagai anggota masyarakat, tidak hanya memahami kontradiksi itu saja, namun meletakkan dirinya sebagai bagian dari kontradiksi tersebut serta mendorong elemen ini kepada sebuah prinsip pengetahuan dan kemudian aksi".)

Gramsci menolak apa yang disebutnya sebagai  kecenderungan "ekonomisme" dan "ideologisme", yang menurutnya menjadi kelemahan kaum marxis pada umumnya. Hal  ini dikarenakan pemahaman yang lemah terhadap "materialisme historis". Dia  menunjuk  kesalahan  ini  pada   karya N. Bukharin  (Historical  Materialism: New System of Sociology), yang membuat Bukharin mengembangkan materialisme sebagai sosiologi positivis evolusioner. Padahal Marx jelas memahami materialisme dalam  pengertian humanis dan revolusioner.

Dalam konteks ini, secara singkat dapat dikatakan bahwa Gramsci  cenderung menganalisis "basis" melalui "bangunan  atas",  berbeda dari Marx  yang menganalisis "bangunan atas" melalui "basis". Hal inilah yang  membedakannya dengan tradisi marxis ortodoks. Dalam tradisi marxian (ortodoks) kondisi-kondisi material obyektif mendapat  tempat sentral, sedangkan   kesadaran otomatis dilihat sebagai hasil  proses sosial ekonomi. Dalam  pemikiran Gramsci faktor kesadaran (superstruktur) mendapat tempat dan peranan penting. Karena itu, corak pemikirannya  sering digugat orisinalitasnya.

Ada pula tuduhan bahwa pemikiran Gramsci itu idealistik-voluntaristik.  Tetapi faktor apa yang menggiring Gramsci ke arah pemikiran seperti itu? Dikatakan  oleh  Femia, bahwa penekanan Gramsci pada faktor budaya dan intelektual  dipengaruhi  oleh situasi sosial politik Italia sendiri (seperti negara-negara kapitalis lain) di mana sistem borjuis memiliki sumber stabilitas yang  kuat. Faktor lain adalah pengaruh filsafat Croce (1866-1952) yang sangat mendominasi pemikiran-pemikiran Italia waktu itu. 

Benedetto Croce mengeritik baik  Hegel  maupun  Marx, namun  ia lebih simpatik terhadap Hegel bahwa  sejarah merupakan sejarah perkembangan jiwa manusia alam kondisi-kondisi historisnya. Dia tentu berpengaruh terhadap  pemikiran Gramsci, walaupun Gramsci juga melontarkan kritik terhadapnya. Hubungan  antara superstruktur  dan  sosiokultural itu kemudian kaitannya dengan proses-proses "obyektif" yang menjadi basis ekonomi, memang menjadi tema sentral dalam Quaderni. Gramsci menolak klaim positivis  bahwa yang  pertama adalah sekadar cerminan yang terakhir.  Dalam sebuah polemik dengan Bukharin, dia menolak gagasan bahwa Marxisme menyediakan seperangkat hukum "ilmiah"  tentang  perkembangan  ekonomi  yang  membuat semua perilaku manusia bisa direduksi menjadi "mistisme" atau "tahyul". Artinya, Gramsci mengkritik kelaziman penggunaan determinisme historis dalam banyak tulisan kaum Marxis. Dia mengeritik gagasan "hukum besi" (Iron Law) sejarah sebagai sesuatu yang "tidak dapat dihindari" (inevitably) yang akan membawa kekuatan proletariat secara otomatis, bagaikan  malam  mengikuti siang.  

Seperti  yang  telah dikemukakan  di atas, Gramsci, menurut Nigel Todd mengarahkan kritiknya terhadap karya N. Bukharin (Historical  Materialism :   A New System of Sociology 1929). Sebuah buku yang mencoba untuk  mengembalikan marxisme ke dalam ilmu ramalan seperti ilmu-ilmu alam. Mengikuti Croce, Gramsci percaya bahwa para anggota suatu masyarakat atau kelompok mempunyai "pandangan dunia" sama, yang memberikan koherensi pada keyakinan dan tujuan mereka, serta yang menunjang praktik kolektif  mereka. Tetapi, dia menuduh Croce memisahkan konsep-konsep yang memungkinkan pemahaman dunia oleh  manusia yang menggunakan konsep-konsep itu. Croce melakukan ini dengan menetapkan otonomi gagasan, yang  dianggapnya sebagai produk perkembangan roh, bukannya produk perjuangan kehidupan nyata manusia dalam sejarah. Jadi, sejarah  yang ditulis Croce "jatuh kepada  sejenis  sosiologi 'idealis' yang baru dan aneh, yang tidak kurang absurd dan tidak konklusif dengan sosiologi positivis". 

Menurut Gramsci, filsafat Croce tetap spekulatif. Marxisme dalam  pemikiran Gramsci adalah "filsafat praksis"  (philosophy of praxis), filsafat  yang  mendasarkan pada aktivitas praktis tanpa meninggalkan  unsur kritis. Filsafat  Praxis "berbeda  dari idealisme dan materialisme mekanik" karena berdasarkan sebuah teori rasionalitas yang mengasumsikan bahwa manusia bisa mempunyai penilaian yang sama terhadap  situasi-situasi tertentu, dan bertindak. Rasionalitas bukan lagi  masalah koherensi keyakinan atau konsensus tentang  keabsahannya, tetapi masalah daya praktiknya. Teori rasionalitas Gramsci  memang lebih dekat kepada Croce daripada yang diketahui atau hendak diakui sendiri oleh Gramsci, meskipun ia  merumuskannya dengan kejelasan yang lebih tajam. Gramsci juga memandang marxisme sebagai pewaris sejati idealisme  Jerman, dan mengambil kata pengantar A Contribution to  the Critique  of  Political  Economy  karya Marx sebagai sumbernya, Gramsci menguraikan kembali dengan  bahasanya sendiri bagian-bagian yang terpenting : 
1. Manusia hanya menghadapkan dirinya dengan persoalan-persoalan yang bisa ia pecahkan;… 
        tugas itu sendiri muncul ketika kondisi-kondisi material untuk penyelesaiannya sudah ada atau 
        setidaknya  sedang dalam proses pembentukan.
2. Sebuah formasi sosial tidak lenyap  sebelum semua  kekuatan produktif telah  dikembangkan,  
        dan hubungan-hubungan  produksi  baru yang lebih tinggi tak akan  menggantikannya sebelum 
        kondisi-kondisi untuk keberadaannya telah  dikembangkan dalam rahim  masyarakat yang lama. 

Kedua pokok ini, yang sering dirujuk dalam Quaderni, harus dibaca bersama dengan tesis, yang juga diambil dari Kata Pengantar Marx : "bahwa  semua  orang menjadi sadar (tentang konflik antara kekuatan-kekuatan produksi material) pada tingkat ideologis  bentuk-bentuk yuridis, politik, religius, artistik, dan  filosofis". 

Kedua kutipan mengandung inti filsafat sosial Gramsci. Hal itu  menunjukkan sumber-sumber pemikirannya yang secara esensial Marxis; penekanan pada "kondisi-kondisi material" sebagai realitas mendasar dari formasi-formasi sosial. Tetapi basis  itu tidaklah menentukan superstruktur--ia menyediakan kondisi-kondisi  "riel"  yang  dapat  ditangkap  secara tepat   oleh sebuah teori yang "rasional". Hal  ini menunjukkan bahwa ada bentuk-bentuk kesadaran irrasional, dan adalah tugas seorang intelektual marxis untuk menelanjanginya. 

Kalau ditelusuri lewat sudut ini, jelaslah bahwa Gramsci bukanlah seorang idealis-voluntaristik, melainkan justru seorang yang  menekankan praksis. 

SURAT TERBUKA PRAMOEDYA ANANTA TOER KEPADA KEITH FOULCHER

SURAT TERBUKA PRAMOEDYA ANANTA TOER KEPADA KEITH FOULCHER
Jakarta, 5 Maret 1985
Demi Demokrasi 2 (1985); an English translation is in Indonesia Reports, cultural and social supplement (August 1986)

Salam,
Surat 26 Februari 1985 saya terima kemarin, juga surat terbuka Achdiat K. Mihardja untuk teman-teman (sarjana) Australia yang dilampirkan. Terimakasih. Lampiran itu memang mengagetkan, apalagi menyangkut-nyangkut diri saya, dan tetap dalam kesatuan semangat kaum manikebuis pada taraf sekarang: membela diri dan membela diri tanpa ada serangan sambil merintihkan kesakitannya masa lalu, yang sebenarnya lecet pun mereka tidak menderita sedikit pun. Total jendral dari semua yang dialami oleh kaum manikebuis dalam periode terganggu kesenangannya, belum lagi mengimbangi penganiayaan, penindasan, penghinaan, perampasan dan perampokan yang dialami oleh satu orang Pram. Setelah mereka berhasil ikut mendirikan rezim militer, dengan meminjam kata-kata dalam surat terbuka tsb.: "All forgotten and forgiven" dan revisiannya: "We've forgiven but not forgotten." Saya hanya bisa mengelus dada. Kemunafikan dan keangkuhan dalam paduan yang tepat, seimbang dengan kekecilan nyalinya dalam masa ketakutan. Dan Bung sendiri tahu, perkembangan sosial- budaya-politik--di sini Indonesia--bukan semata-mata ulah perorangan, lebih banyak satu prosedur nasional dalam mendapatkan identitas nasional dan mengisi kemerdekaan. Tak seorang pun diantara para manikebuis pernah menyatakan simpati--jangan bayangkan protes--pada lawannya yang dibunuhi, kias atau pun harfiah. Sampai sekarang. Misalnya terhadap seniman nasional Trubus. Japo[?] Lampong. Apalagi seniman daerah yang tak masuk hitungan mereka. Di mana mereka sekarang. Di mana itu pengarang lagu Genjer-genjer? Soekarno mengatakan: Yo sanak, yo kadang, yen mati m[?a]lu kelangan. Yang terjadi adalah-- masih menggunakan suasana Jawa: tego larane, tego patine.

Masalah pokok pada waktu itu sederhana saja: perbenturan antara dua pendapat; revolusi sudah atau belum selesai. Yang lain-lain adalah masalah ikutan daripadanya. Saya sendiri berpendapat, memang belum selesai. Buktinya belum pernah muncul sejarah revolusi Indonesia. Karena memang belum ada distansi dengannya. Belum merupakan kebulatan yang selesai. Maka para sejarawan takut. Malah kata revolusi nasional cenderung dinamai dan dibatasi sebagai perang kemerdekaan. Pertentangan manikebu dan pihak kami dulu tidak lain cuma soal polemik. Memang keras, tapi tak sampai membunuh, kan? Kan itu memang satu jalan untuk mendapatkan kebenaran umum, yang bisa diterima oleh umum? Bahwa pada waktu itu terjadi teror yang dilakukan oleh orang-orang Lekra sebagaimana dituduhkan sekarang, betul- betul saya belum bisa diyakinkan. Beb Vuyk dalam koran Belanda menuduh: teror telah dilakukan orang-orang Lekra terhadap beberapa orang, antaranya Bernard IJzerdraad. Waktu ia datang ke Indonesia dan menemuinya sendiri, IJzerdraad menjawab tidak pernah diteror. Dan Beb Vuyk tidak pernah mengkoreksi tulisannya. Beb Vuyk sendiri meninggalkan Indonesia setelah kegagalan pemberontakan PRRI-Permesta, kemudian minta kewarganegaraan Belanda. Mungkin ia merasa begitu pentingnya bagi Indonesia sehingga dalam usianya yang sudah lanjut merasa berkepentingan untuk mendirikan kebohongan terutama untuk menyudutkan saya. pada hal dalam polemik-polemik tsb. saya hanya menggunakan hak saya sebagai warganegara merdeka untuk menyatakan pendapat. Dan saya sadari hak saya. Seperti sering kali saya katakan: kewarganegaraan saya peroleh dengan pergulatan bukan hadiah gratis.

Dan apa sesungguhnya kudeta gagal G-30S/PKI itu? Saya sendiri tidak tahu. Sekitar tanggal 24 bulan lalu saya menerima fotokopi dari seorang wartawan politik Eropa dari Journal of Contemporary Asia, tanpa nomor dan tanpa tahun, berjudul: "Who's Plot--New Light on the 1965 Events," karangan W.F. Wertheim. Itulah untuk pertama kali saya baca uraian dari orang yang tak berpihak. Juga itu informasi pertama setelah 20 tahun belakangan ini. Rupa-rupanya karena ketidaktahuan saya itu saya harus dirampas dari segala-galanya selama 14 tahun 2 bulan + hampir 6 tahun tahanan kota (tanpa pernyataan legal), tanpa pernah melihat dewan hakim yang mendengarkan pembelaan saya. Memang sangat mahal harga kewarganegaraan yang harus saya bayar. Maka juga kewarganegaraan saya saya pergunakan semaksimal mungkin. Itu pun masih ada saja orang yang tidak rela. Juga surat pada Bung ini saya tulis dengan menjunjung tinggi harga kewarganegaraan saya. Sekarang akan saya tanggapi tulisan A.K.M. Ia tidak ada di Indonesia waktu meletus peristiwa 1965 itu. Tetapi saya sendiri mengalami. Saya akan ceritakan sejauh saya alami sendiri, untuk tidak membuat terlalu banyak kesalahan.

Pada 1 Oktober 1965 pagihari saya dengar dari radio adanya gerakan Untung. Kemudian berita tentang susunan nama Dewan Revolusi. Sebelum itu pengumuman naik pangkat para prajurit yang ikut dalam gerakan Untung dan penurunan pangkat bagi mereka yang jadi perwira di atas letkol. Sudah pada waktu itu saya terheran-heran, kok belum-belum sudah mengurusi pangkat? Ini gerakan apa, oleh siapa? Saya lebih banyak di rumah daripada tidak. Kerja rutine ke luar rumah adalah dalam rangka menyiapkan Lentera dan mengajar pada Res Publika. Dan sangat kadang-kadang ke pabrik pensil di mana saya "diangkat" jadi "penasihat." Jadi di rumah itu saja saya "ketahui" beberapa hal yang terjadi dari suara-suara luar yang datang. Mula-mula datang Abdullah S.P., itu penantang Hamka, waktu itu baru saja bekerja di sebuah surat kabar Islam yang baru diterbitkan, dan yang sekarang saya lupa namanya. Ia mengatakan merasa tidak aman dan hendak mengungsi ke tempatku. Saya keberatan, karena memang tidak tahu situasi yang sesungguhnya. Seorang pegawai tatausaha Universitas Res Publika datang ke rumah menyerahkan honor, dan mengatakan Universitas ditutup karena keadaan tidak aman. Ia menyerahkan honor lipat dari biasanya. Beberapa hari kemudian datang pegawai dari pabrik pensil, juga menyerahkan honor, juga lipat dari biasanya, karena pabrik terpaksa ditutup, keadaan gawat. Kemudian datang seorang teman yang memberitakan, rumah Aidit dibakar, demikian juga beberapa rumah lain. Ia juga memberitakan tentang cara massa bergerak. Mereka menyerang rumahtangga orang, kemudian datang para petugas berseragam yang tidak melindungi malah menangkap yang diserang. "Saya yakin Bung akan diperlakukan begitu juga," katanya. Soalnya apa dengan saya? tanyaku. "Kesalahan bung, karena bung tokoh." Itu saja? Tempatku di sini, kataku akhirnya.

Seorang penjahit, yang pernah dibisiki larangan menjahitkan pakaian saya oleh tetangga anggota PNI-- penjahit itu juga tetangga--menawarkan tempat aman pada saya nun di Brebes (kalau saya tidak salah ingat). Saya ucapkan terimakasih. Mengherankan betapa orang lain dapat melihat, keamananku dalam ancaman. Seorang teman lain datang dan menganjurkan agar saya lari. Mengapa lari? tanya saya. Apa yang saya harus larikan? Diri saya? dan mengapa? Kemudian datang seorang pengarang termuda yang saya kenal. Biasanya ia langsung masuk ke belakang dan membuka sendiri lemari makan. Ia tidak mengulangi kebiasaannya. Tingkahnya menimbulkan kecurigaan. Saya masih ingat kata- kata yang saya ucapkan kepadanya: saya seorang diri dari dulu, kalau pengeroyok memang hendak datangi saya akan saya hadapi seorang diri; tempat saya di sini.

Keadaan makin lama makin gawat. Isteri saya baru dua bulan melahirkan. Adalah tepat bila ia dan anak-anak untuk sementara menginap di rumah mertua. Papan nama saya, dari batu marmer, bertahun-tahun hanya tergeletak, sengaja saya pasang di tembok depan dengan lebih dahulu memahat tembok. Sebagai pernyataan: saya di sini, jangan nyasar ke alamat yang salah. Di tempat lain isteri kedua mertua saya mengadakan selamatan untuk keselamatan saya. Sementara itu saya tetap tinggal di rumah menyiapkan ensiklopedi sastra Indonesia. Dalam keadaan lelah saya saya beralih mempelajari Hadits Bukori. di malam hari semua lampu saya padamkan dan saya duduk seorang diri di beranda. Teman saya hanya seorang, adik saya yang pulang ke Indonesia untuk menyiapkan disertasinya, Koesalah Soebagyo Toer. Kemudian datang tanggal 13 Oktober 1965 jam 23.00. Tahu-tahu rumah saya sudah dikepung. Lampu pagar dari 200 watt--waktu tegangan hanya 110, namun dapat dianggap terlalu mewah untuk kehidupan kampung--saya nyalakan. Di depan pintu saya lihat orang lari menghindari cahaya. Mukanya bertopeng. Tangannya membawa pikar. Malam-malam, dengan topeng pula, langsung terpikir oleh saya, barang itu tentu habis dirampoknya dari rumah yang habis diserbu. Saya tahu itu pikiran jahat. apa boleh buat karena suara- suara gencar memberitakan ke rumah, pihak militer mengangkuti anak-anak sekolah ke atas truk dan disuruh berteriak-teriak menentang Soekarno. Saya tidak pernah melihat sendiri. Saya percaya, karena pelda (atau peltu?) yang tinggal di depan rumah saya, sudah dua malam berturut- turut bicara keras di gang depan rumah, bahwa militer punya politik sendiri, Soekarno sudah tidak ada artinya. Konon ia bekas KNIL. Malah pada malam kedua ia buka mulut keras-keras sambil mondar-mandir, dan saya merasa itu ditujukan pada saya, rokok kretek saya cabut dari bibir dan saya lemparkan padanya. Terdengar ia melompat sambil memekik. Jadi kalau saya punya pikiran jahat seperti itu bukan tidak pada tempatnya. Nah, setiap lampu pagar saya matikan, muncul gerombolan di depan pintu. Bila saya nyalakan lagi mereka lari. Jelas mereka muka-muka yang saya telah kenal. Tak lama kemudian batu-batu kali tetangga samping, yang dipersiapkan untuk membangun rumah, berlayangan ke rumah saya. Itu tidak mungkin dilemparkan oleh tenaga satu orang. Paling tidak dua orang dengan jalan membandulnya dengan sarung atau dengan lainnya. Kalau anak-anak saya masih di rumah, terutama bayi 2 bulan itu, saya tak dapat bayangkan apa yang bakal terjadi. Batu besar berjatuhan di dalam rumah menerobosi genteng dan langit-langit. Jadi benar-benar orang menghendaki kematian saya. Saya ambil tongkat pengepel dari kayu keras, juga mempersenjatai diri dengan samurai kecil (pemberian Joebaar Ajoeb sekembalinya dari Jepang). Ini hari terakhir saya, di sini, di tempat saya. Saya tahu, takkan mungkin dapat melawan satu gerombolan, tapi saya toh harus membela diri? Jalan kedua untuk bertahan adalah memberi gerombolan itu sesuatu yang mereka ingat seumur hidup: kata-kata yang lebih ampuh dari senjata.

Dengan suara cukup keras saya memekik: Ini yang kalian namai berjuang? Kalau hanya berjuang aku pun berjuang sejak muda. Tapi bukan begini caranya. Datang ke sini pemimpin kalian! Berjuang macam apa begini ini? Ingar-bingar terhenti. Juga lemparan batu. Tiba-tiba sebongkah besar batu kali menyambar paha saya dan melesat mengenai pintu depan yang sekaligus hancur. Lemparan batu menjadi hebat kembali. Lampu pagar sengaja dihancurkan dengan lemparan juga. Saya dengar suara: Mana minyaknya. Sini, bakar saja. Tetapi saya dengar juga suara orang tua tetangga sebelah kiri saya, seorang dukun cinta: jangan, jangan dibakar, nanti rumah saya ikut terbakar. Tak lama kemudian terdengar suara lagi: jangan lewat di tanah saya. Waktu saya lihat ke dalam rumah adik saya sudah tidak ada. Rupanya ia meloloskan diri dari pintu pagar belakang dan langsung memasuki tanah sang dukun cinta.

Dan betul saja kata teman itu: kemudian datang orang- orang berseragam. Metode kerja yang kelak akan terus- menerus dapat dilihat. Mereka terdiri dari polisi dan militer. Saya belum lagi sempat menggunakan tongkat dan samurai saya, mereka belum lagi memasuki pekarangan rumah saya. Komandan militer operasi dan gerombolannya saya bukakan pintu. Mereka masuk dan langsung menyalahkan saya: sia- sia melawan rakyat. Kontan saya jawab: Gerombolan, bukan rakyat. Setelah mereka memeriksa seluruh rumah ia bilang lagi: Siapkan, pak mari kami amankan, segera pergi dari sini. Saya berteriak memanggil adik saya. Dia muncul, entah dari mana. Dijanjikan akan diamankan, saya siapkan naskah saya Gadis Pantai untuk diselesaikan dan mesin tulis. Pada seorang polisidalam team itu saya bertanya: kenal saya? Kenal, pak. Tolong selamatkan semua kertas dan perpustakaan saya. di situ adalah perkerjaan Bung Karno (waktu itu saya belum sampai selesai menghimpun cerpen-cerpen Bung Karno, dan korespondensi Soekarno-Sartono-Thamrin masih belum memadai untuk diterbitkan). Dia berjanji untuk menyelamatkan.

Mereka giring kami berdua melalui gang. Gerombolan itu berjalan mengepung di samping dan belakang. Ada yang membawa tombak, keris, golok, belati. Benar, alat negara itu tidak menangkap gerombolan penyerbu, malah menangkap yang diserbu. Dan sebanyak itu dikerahkan untuk menumpas satu-dua orang. Hebat benar membikin momentum qua perjuangan. Sampai di sebuah lapangan gang jurusan belakang rumah, sebelum dinaikkan ke atas Nissan mereka ikat tanganku ke belakang dan menyangkutkan ke leher, sehingga rontaan pada tangan akan menjerat leher. Tali mati. Bukan simpul mati yang diajarkan di kepanduan. Tali mati. Macam ikatan yang dipergunakan untuk tangkapan yang akan dibunuh semasa revolusi dulu. Tentu saja saya menyesal akan mati dalam keadaan seperti ini. Lebih indah bila dengan bertarung di atas tanah tempat saya tinggal. Melewati jembatan depan rumahsakit umum pusat Koptu Sulaiman menghantamkan gagang besi stennya pada mataku. Cepat saya palingkan kepala dan besi segitiga itu tak berhasil mencopot bola mata tetapi meretakkan tulang pipi. Saya memahami kemarahannya, bukan padaku sebenarnya, tapi pada atasannya, karena tak boleh ikut memasuki rumah saya. Mereka bawa kami ke Kostrad, kalau saya tidak keliru. Yang sedang piket adalah seorang Letkol. Kami diturunkan di situ, dan pada perwira itu saya minta agar kertas dokumentasi dan perpustakaan diselamatkan. Kalau Pemerintah memang menghendaki agar diambil, tapi jangan dirusak. Ia menyanggupi. Dari situ kami dibawa memasuki sebuah kompleks perumahan yang saya tak tahu kompleks apa. Dari jendela nampak puncak emas Monas. Kemudian saya dapat mengenali rumah itu; hanya masuknya tidak berkelok- kelok melalui kompleks, tetapi langsung dari jalan raya, karena pada 1955 di ruang yang sama saya pernah menemui Erwin Baharuddin, bekas sesama tahanan Belanda di penjara Bukitduri. Piket mengambil semua yang saya bawa di tangan, naskah dan mesin tulis, juga samurai yang tersisipkan dalam kaos kaki. Waktu ia tinggal seorang diri rolex saya dikembalikan, berpesan supaya jangan kelihatan, sembunyikan baik-baik. kami dipersilakan ke sebuah ruangan tempat di mana sudah menggeloyor di lantai beberapa orang. Seorang adalah Daryono dari suatu SB (entah SB apa) dan seorang perjaka jangkung tetangga sendiri. Piket yang mengembalikan jamtangan itu memasuki ruangan tempat kami tergolek di lantai. Di sebuah papantulis besar tertulis dengan kapur: Ganyang PKI. Ia pergi ke situ dan menghapus tulisan itu sambil berguman: apa saja ini! Seorang bocah berpangkat kopral, bermuka manis, menghampiri dan menanyai ini-itu. Saya tanyakan apa pangkatnya. Ia menjawab dengan pukulan dan tempeleng, kemudian pergi. Kurang lebih dua jam kemudian saya lihat Nissan patrol datang dan menurun-nurunkan barang. Beberapa contoh ditaruh di atas meja di ruangan tempat kami menggeletak di lantai. Saya kenal benda-benda itu: kartotik file saya sendiri, dokumentasi potret sejarah, malah juga klise timah yang saya siapkan untuk saya pergunakan dalam jangka panjang. Saya jadi mengerti perpustakaan dan dokumentasi saya, jerih-payah selama lima belas tahun telah dibongkar, 5.000 jilid buku dan beberapa ton koleksi suratkabar. Angka-angka itu saya dapatkan dari sarjana perpustakaan yang sekitar dua tahun membantu saya.

Tangkapan-tangkapan baru terus berdatangan. Ada yang sudah tak bisa jalan dan dilemparkan ke lantai. Kemudian datang tangkapan yang langsung mengenali saya. Ia bertanya mengapa saya berlumuran darah. Baru waktu itu saya sadar kemejaku belang-bonteng kena darah sendiri, demikian juga celana, yang rupanya teriris batu kali yang dilemparkan. Dialah yang bercerita, semua kertas saya diangkuti militer. Massa menyerbu dan merampok apa saja yang ada, sampai-sampai mangga yang sedang sarat berbuah digoncang buahnya. Tak ada satu cangkir atau piring tersisa. Rumah bung tinggal jadi bolongan kosong blong.

Jangan dikira ada perasaan dendam pada saya; tidak. Justru yang teringat adalah satu kalimat dari Njoto, yang A.K.M. juga kenal: Tingkat budaya dan peradaban angkatan perang kita cukup rendah, memprihatinkan, kita perlu meningkatkannya. Saya juga teringat pada kata-kata lain lagi: Kalau kau mendapatkan kebiadaban, jangan beri kebiadaban balik, kalau mampu, beri dia keadilan sebagai balasan. Dalam tahanan di RTM tahun 1960 saya mendapatkan kata baru dari dunia kriminal: brengsek. Sekarang saya dapat kata baru pula: di-aman-kan, yang berarti: dianiaya, sama sekali tidak punya sangkut-paut dengan aman dan keamanan. Sebelum itu saya punya patokan cadangan bila orang bicara denganku: ambil paling banyak 50% dari omongannya sebagai benar. Sekarang saya mendapatkan tambahan patokan: Kalau yang berkuasa bilang A, itu berarti minus A. Apa boleh buat, pengalaman yang mengajarkan. Di antara orang kesakitan di kiri dan kanan saya, di mana orang tidak bisa dan tidak boleh ditolong, terbayang kembali wartawan Afrika--saya sudah tidak ingat dari Mali, Ghana atau Pantai Gading--yang waktu naik mobil pertanyakan: Apa Nasakom itu mungkin? Apa itu bukan utopi? Saya jawab: di Indonesia diperlukan suatu jalan. Setiap waktu bom waktu kolonial bisa meletus. Itu kami tidak kehendaki. Nampaknya Nasakom sebagai kenyataan masih dalam pembinaan. Dia bilang: Kalau Nasakom gagal? Bukankah itu berarti punahnya pemerintah sipil, karena Nasakom tersapu? Jawabku: Kami hanya bisa berusaha. Dia bilang lagi: Kalau Nasakom disapu, tidak akan lagi ada kekuatan nasionalis, agama maupun komunis! Dialog selanjutnya saya sudah tak ingat.

Pagi itu-itu diawali kedatangan serombongan wartawan Antara, tanpa sepatu, semua lututnya berdarah. Di antaranya paman saya sendiri, R. Moedigdo, yang saya tumpangi hampir 3,5 tahun semasa pendudukan Jepang. Dia pun tak terkecuali. Kemudian saya dengar, mereka baru datang dari tangsi CPM Guntur dan habis dipaksa merangkak di atas kerikil jalanan. Menyusul datang power. Orang- orang militer melempar-lemparkan tangkapan baru itu dari atas geladak dan terbanting ke tanah. Ruangan telah penuh- sesak dengan tangkapan baru, sampai di gang-gang. Itu berarti semakin banyak erangan dan rintihan. Diantaranya terdapat sejumlah wanita. Sedang gaung dari pers yang menyokong militer sudah sejak belum ditangkap, tak henti- hentinya menalu gendang untuk membangkitkan emosi rakyat terhadap PKI dan organisasi massanya: Gerwani di Lubangbuaya memotongi kemaluan para jendral dan melakukan tarian cabul dan semacamnya, tipikal buah pikiran orang yang tak pernah mempunyai cita-cita. Bulu kuduk berdiri bukan karena tak pernah menduga orang Indonesia bisa membuat kreasi begitu kejinya.

Kemudian datang waktu pemeriksaan. Saya dibawa ke ruang pemeriksaan, yang sepanjang jam, siang dan malam diisi oleh raungan dan pekikan. Juga dari mulut wanita. Memang ruang yang saya masuki waktu itu tidak seriuh biasanya. Alat-alat penyetrum tidak dikerahkan. Di pojokan seorang KKO bertampang Arab, hitam, tinggi dan langsing, dingan kaki bersepatu bot menginjak kaki telanjang yang diperiksanya. Dan di antara jari-jemari pemuda malang itu disisipi batang pensil dan tangan itu kemudian diremas si pemeriksa sambil tersenyum dan bertanya: Ada apa? Ada apa kok memekik? Di samping pemuda itu adalah saya, diperiksa oleh seorang letnan (atau kapten?) bernama Nusirwan Adil.

Di luar dugaan pemeriksaan terhadap saya tidak disertai penganiayaan seperti dideritakan pemuda malang di samping kiri saya. Pemeriksa itu tenang dan sopan, dan mungkin cukup terpelajar dan beradab. Ia memulai dengan pertanyaan mengapa saya berdarah-darah. Jawab: terjatuh. Tapi itu bukan termasuk dalam acara pemeriksaan. Pertanyaan: Bagaimana pendapat tentang gerakan Untung? Jawab: tidak tahu sesuatu tentangnya. Pertanyaan: Apa membenarkan gerakan itu? Jawab: Kalau mendapat kesempatan mempelajari kenyataan- kenyataannya yang authentik mungkin dalam lima tahun sesudahnya saya akan bisa menjawab pertanyaan itu.

Sebelum meneruskan tentang pemeriksaan ini saya sisipkan dulu beberapa hal sebelum penangkapan saya. Pertama: sejak semula saya sependapat bahwa gerakan Untung, yang kemudian dinamai G-30S/PKI, adalah gerakan dalam tubuh angkatan darat sendiri. Pendapat itu tetap bertahan sampai sekarang, juga sebelum membaca tulisan Wertheim dalam Journal of Contemporary Asia. Berita-berita pengejaran dan pembunuhan semakin hari semakin banyak dan menekan. Kedua: seorang perwira intel pernah datang berkunjung khusus untuk menyampaikan, bahwa militer akan memainkan peranan kucing terhadap PKI sebagai tikus. Tiga: dua mahasiswa UI telah dilynch di jalanan raya yang baru dibangun, masih lengang, di sekitar kampus. Keempat: pemeriksaan terhadap para tangkapan berkisar pada dua hal, pertama keterlibatan dalam peristiwa Lubangbuaya, kedua keanggotaan Pemuda Rakyat dan PKI. Kelima: beberapa hari sebelum penangkapan seorang pegawai Balai Pustaka mengumumkan dalam harian Api Pancasila di Jakarta, bahwa saya adalah tokoh Pemuda Rakyat. Karena sebagai pelapor ia menyebutkan diri pegawai Balai Pustaka, jadi saya datang menemui direktur BP--waktu itu Hutasuhut, kalau saya tidak salah ingat--dan mengajukan protes karena BP dipergunakan sebagai benteng untuk menyebarkan informasi yang salah tentang saya. Direktur BP menolak protes saya. Pegawai yang menulis itu tinggal beberapa puluh langkah dari rumah saya. Dalam peristiwa plagiat Hamka ia pernah mengirimkan surat pembelaan untuk Hamka dan hanya sebagian daripadanya saya umumkan. Dan memang ruangan rumah saya pernah dipinjam untuk pendirian ranting Pemuda Rakyat. Tetapi itu bukan satu- satunya. Kalau sore ruangan belakang juga menjadi tempat taman kanak-kanak (reportase tentangnya pernah ditulis oleh Valentin Ostrovsky, kalau saya tidak meleset mengingat). Setiap Kamis malam ruangan depan dipergunakan untuk tempat diskusi Grup diskusi Simpat Sembilan. Setiap pertemuan didahului dengan pemberitahuan pada kelurahan. Jadi tidak ada sesuatu yang dapat dituduhkan illegal. Keenam: seseorang menyampaikan pada saya, mungkin juga pada sejumlah orang lagi, kalau diperiksa adakan anggota PKI atau ormasnya, akui saja ya--tidak peduli benar atau tidak; soalnya mereka tidak segan-segan membikin orang jadi invalid seumur hidup untuk menjadi tidak berguna bagi dirinya sendiri pun untuk sisa umurnya selanjutnya. Dan, tidak semua orang tsb., dapat saya sebut namanya, karena memang tidak mampu mengingat--hampir 20 tahun telah liwat. Jadi waktu pemeriksa menanyakan apakah saya anggota PKI, saya jawab ya. Pertanyaan: Apakah percaya negara ini akan jadi negara komunis? Jawab: Tidak dalam 40 tahun ini. Sebabnya? Faktor geografi dan konservativitas Indonesia.

Cuma itu sesungguhnya isi pemeriksaan pokok. Tetapi karena selama dalam penahanan itu harian Duta Masyarakat memberitakan reportase tentang penyerbuan gerombolan itu ke rumah saya dan rumah S. Rukiah Kertapati, dimana disebutkan di rumah saya ditemukan buku-buku curian dari musium pusat dan di rumah Rukiah setumpuk permata, jadi pemeriksaan berpusat pada soal pencurian tsb. Memang saya pernah meminjam satu beca majalah, harian dan buku dari musium pusat. Yang belum saya kembalikan adalah Door Duisternis to Licht Kartini dan harian Medan Prijaji tahun 1911 dan 1912. Kalau arsip itu tersusun baik, akan bisa ditemukan, bahwa sumbangan saya ada 10 kali lebih banyak dari pada yang masih saya pinjam. Dengan demikian pemeriksaan selesai. Benar-tidaknya omongan saya ini dapat dicek pada proces verbal, sekiranya masih tersimpan baik pada instansi yang berwenang.

Bila ada selisih, soalnya karena waktunya sudah terlalu lama. Mungkin Bung bertanya dari mana saya tahu ada berita dalam Duta Masyarakat yang menuduh saya mencuri. Ya, pada suatu pagi muncul seorang kapten di ruang tempat serombongan tahanan. Ia langsung mengenali saya, sebaliknya saya mengenal dia sebagai sersan di RTM tahun 1960. Ia bertubuh tinggi, berkulit langsat dan bibir atasnya suwing. Saya tak dapat mengingat namanya. Suatu malam ia kunjungi aku di kamar kapalselam (sel isolasi) di RTM itu. Banyak mengobrol, antara lain ia bercerita pernah ikut pasukan merah dalam Peristiwa Madiun. Pagi itu ternyata ia berpangkat kapten. Langsung ia bertanya di mana Sjam. Itu untuk pertama kali saya dengar nama itu. Tapi ia segera membatalkan pertanyaanya dengan kata-kata: Ah, Pak Pram sastrawan, tentu tidak tahu siapa dia. Ramahnya luarbiasa, bawahannya diperintahkannya untuk mengambilkan kopi dan menyediakan veldbed untuk saya. Dan hanya perintah pertama yang dilaksanakan. Setelah ia pergi seorang sersan gemuk yang terkenal galak, dari Sulawesi, kalau tak salah ingat, juga seorang haji, memanggil saya dengan ramahnya dan menyuruh saya membaca Duta Masyarakat itu.

Nah Bung, setelah pemeriksaan satu rombongan dikirim ke CPM Guntur. Sebelum pergi saya minta pada Nusyirwan Adil untuk membebaskan adik saya, karena baru saja datang ke Indonesia untuk menyiapkan disertasinya. Ia luluskan permintaan saya, diketikkan surat pembebasan. Sebelum pergi ia saya titipi jam tangan saya, untuk dipergunakan belanja istri saya. Di Guntur hanya untuk didaftar dan dirampas apa yang ada dalam kantong para tangkapan. Sepatu sampai sikatgigi dan ikatpinggang. Waktu itu baru saya sadari di dalam kantong saya masih tersimpan honorarium dari Res Publika dan pabrik pensil. Semua dirampas dengan alasan: nanti dalam tahanan agar tidak dicuri temannya. Dari guntur kami dibawa ke Salemba. Tangan tetap di atas tengkuk dan tubuh harus tertekuk, tidak boleh berdiri tegak, setinggi para penangkap. Dalam pelataran-pelataran penjara itu nama dibaca satu-persatu oleh seorang militer. Waktu sampai pada giliran saya ia berhenti dan berseru: Lho, Pak Pram, di sini ketemu lagi? Peltu (atau pelda) itu adalah pengawal bersepedamotor yang mengawal sebuah sedan biru-tua dalam bulan November 1960 dari Peperti Peganggsaan ke RTM Jl. Budi Utomo. Dalam sedan itu saya, setelah diminta "diwawancarai" oleh Sudharmono, mayor BC Hk. Dan peltu atau pelda di depanku Oktober 1965 itu adalah Rompis.

Sejak itu berkelanjutan perampasan hak-hak kewarganegaraan dan hak-hak sipil saya selama hampir 20 tahun ini. Dan Bung Keith, tidak satu orang pun dari kaum manikebuis itu terkena lecet, tidak kehilangan satu lembar kertas pun. Sampai sekarang pun mereka masih tetap hidup dalam andaian, sekiranya kaum kiri menang. Dari menara andaian itu mereka menghalalkan segala: perampasan, penganiayaan, penghinaan, pembunuhan. Tetap hidup dalam kulit telur keamanan dan kebersihan, suci, anak baik-baik para orangtua, dan anak emas dewa kemenangan. Paling tidak sepuluh tahun lamanya saya melakukan kerjapaksa, mereka satu jam pun tidak pernah. Nampaknya mereka masih tidak rela melihat saya hidup keluar dari kesuraman. Waktu saya baru pulang dari Buru, banyak di antaranya yang memperlihatkan sikap manis. Bukan main. Tetapi setelah saya menerbitkan BM, wah, kembali muncul keberingasan.

Tentang A.K.M. sendiri pertama kali saya mengenalnya pada tahun 1946, di sebuah hotel di Garut. Ia tidak mengenal saya. Waktu itu saya sedang dalam sebuah missi militer. Ia datang ke hotel itu dan ngomong-ngomong dengan pemiliknya. Namanya tetap teringat, karena waktu itu ia redaktur majalah Gelombang Zaman yang terbit di Garut. Pertemuan kedua ialah di Balai Pustaka, waktu ia masih jadi pegawai Balai Pustaka yang dikuasai oleh kekuasaan pendudukan Belanda. Setelah penyerahan kedaulatan ia jadi sep saya dalam kantor yang sama--ya saya sebagai pegawai negeri dengan pengalaman semasa revolusi sama sekali tidak diakui, karena semua pegawainya bekas pegawai kekuasaan Belanda. Sewaktu ia hidup aman di Australia, ternyata ia masih dalam hidup dalam andaian, dan sebagaimana yang lain- lain tetap membiakkan pengalaman kecil-mengecil semasa Soekarno untuk jadi gabus apung dalam menyudutkan orang- orang semacam saya. Titik tolaknya tetap andaian. Semua tidak ada yang mencoba menghadapi saya secara berdepan, dari dulu sampai detik saya menulis ini.

Dalam pada itu yang dirampas dari saya sampai detik ini belum dikembalikan. Rumah saya diduduki oleh militer, dari sejak berpangkat kapten sampai mayor atau letkol, bahkan bagian belakang disewakan pada orang lain. Itu pun hanya rumah kampung, namun punya nilai spiritual bagi keluarga dan saya sendiri. Barangkali ada gunanya saya ceritakan. Saya mendirikannya pada tahun 1958 bulan-bulan tua. pajak Honoraria seorang pengarang adalah 15 persen, langsung dipotong oleh penerbit. Waktu saya menyiarkan protes tentang tingginya pajak yang 15 persen, tidak lebih dari seminggu kemudian perdana menteri Djuanda menaikkannya jadi 20 persen, sama dengan pajak lotre. Maka juga pendirian rumah itu melalui ancang-ancang panjang. Kumpul-kumpul dulu kayu dari meter kubik pertama hingga sampai sepuluh dst. Saya merencanakan rumah berdinding bambu sesuai dengan kekuatan. Sepeda motor saya, BSA 500cc.--sepeda motor militer sebenarnya--juga dikurbankan. Tiba-tiba mertua lelaki datang dan mengecam: mengapa mesti bambu? Itu terlalu mahal biayanya. Menyusul perintah: tembok! Ternyata bukan asal perintah. Ia tinggalkan pada saya dua puluh ribu rupiah. Kalau sudah ada, kembalikan, katanya lagi. Maka jadilah rumah tembok yang terbagus di seluruh gang. Ternyata tidak sampai di situ ceritanya. Rekan-rekan yang tidak bisa mengerti, seorang pengarang bisa mendirikan rumah, mulai dengan desas-desusnya. Satu pihak mengatakan, saya telah kena sogok Rusia. ada yang mengatakan RRT. Teman-teman yang dekat mengatakan saya telah kena sogok Amerika. Orang tetap tidak percaya seorang pengarang bisa membangun rumah sendiri. Mereka lupa, dalam Bukan Pasar Malam telah saya janjikan pada ayah saya untuk memperbaiki rumah, dalam tahun pertama saya keluar dari penjara Belanda. yang saya lakukan lebih daripada apa yang saya janjikan, saya bangun baru, dan pada masanya adalah rumah terbagus di seluruh kompleks, sekali pun hanya berdinding kayu jati. (Sekarang memang jati lebih mahal dari tembok). Kami sempat meninggali rumah kampung itu hanya sampai tahun 1965 atau 7 tahun. Orang yang tidak berhak justru selama hampir 20 tahun. Iseng-iseng pernah saya tanyakan; jawabnya seenaknya: apa bisa membuktikan rumah itu bukan pemberian partai? Habis sampai di situ. Pada yang lain mendapat jawaban: jual saja rumah itu, separohnya berikan pada penghuninya. Dan saya bilang: saya tidak ada prasangka orang yang menghuni rumah saya itu dari golongan pelacur. Walhasil sampai sekarang tetap begitu saja.

Baik, kaum manikebuis masih belum puas dengan segala yang saya alami. Saya sama sekali tidak punya sedikitpun perasaan dendam. Setiap dan semua pengalaman indrawi mau pun jiwai, bukan hanya sekedar modal, malah menjadi fondasi bagi seorang pengarang. Apa yang dialamai A.K.M. semasa Soekarno masih belum apa-apa dibandingkan yang saya alami. Peristiwa Kemayoran? Pada 1958 sepulang dari Konferensi Pengarang A- A di Tasykent lewat Tiongkok saya tidak diperkenankan lewat Hongkong dan terpaksa lewat Mandalay, Burma. Artinya, dengan kesulitan tak terduga. Sampai di Rangoon pihak Kedutaan RI tidak mau membantu memecahkan kesulitan saya. Apa boleh buat, tidak ada jalan bagi saya daripada mengancam akan memanggil para wartawan Rangoon dan Jawatan Imigrasi Burma, memberikan pernyataan, bahwa ada kedutaan yang tak mau mengurus warganegaranya yang terdampar. Mereka terpaksa mengurus saya sampai tiba di Jakarta. Dari Rangoon kemudian datang surat yang menuntut macam- macam. Saya hanya menjawab dengan caci-maki dengan tembusan pada menteri luarnegeri, waktu itu Dr. Subandrio. Saya harap surat itu masih tersimpan dalam arsip. Peristiwa itu terjadi berdekatan dengan hari saya menghadap Bung Karno untuk menyerahkan dokumen keputusan Konferensi di samping juga bingkisan dari Ketua Dewan Menteri Uzbekistan, Syaraf Rasyidov, kepadanya, disaksikan oleh beberapa orang, diantaranya Menteri Hanafi. Tak terduga dalam pertemuan itu terjadi sedikit pertikaian dengan Bung Karno. Ia memberi saya suatu instruksi dan saya menolak, karena sebagai pengarang saya punya porsi kerja sendiri. Pertikaian ini kemudian melarut, yang saya anggap wajar, sampai akhirnya atas perintah Nasution saya ditahan di RTM, kemudian ke tempat lebih keras di Cipinang, karena menentang PP 10. Hampir satu tahun dalam penjara, kemudian dilepaskan dalam satu rombongan dan dengan satu nafas dengan para pemberontak PRRI-Permesta sebagai hadiah terbebasnya Irian Barat. Pada hal tidak lebih dari 3 tahun sebelumnya Nasution itu-itu juga memberi saya surat penghargaan no. 0002 untuk bantuan pada angkatan perang dalam melawan PRRI di SumBar.

Penahanan 1960-61 itu merupakan pukulan pahit bagi saya. Bukan saya yang melakukan adalah kekuasaan Pemerintah saya sendiri. Juga sama sekali tidak ada setitik pun keadilan di dalamnya. Saya merasa hanya menuliskan apa yang saya anggap saya ketahui, dan berdasarkan padanya pendapat saya sendiri. Dengan nama jelas, lengkap. Alamat saya pun jelas, bukan seekor keong yang setiap waktu dapat memindahkan rumahnya. Saya membutuhkan pengadilan. Dan itu tidak diberikan kepada saya. Dalam isolasi ketat di Cipinang saya kirimkan surat pada Bung Karno melalui Ngadino, kemudian mengganti nama jadi Armunanto, kepala redaksi Bintang Timur dan anggota DPA. Surat itu bertujuan untuk mendapat hukuman yang justified, entah sebagai pengacau, entahlah sebagai penipu. Setidak-tidaknya bukan yang seperti sekarang. Ia tidak meneruskannya, dengan alasan ada orang lain menyimpan tembusannya. Orang itu adalah H.B. Jassin. Saya yakin surat itu masih tersimpan.

Dapat Bung bandingkan, bahwa andaian kesulitan semasa Soekarno masih tidak berarti dengan kenyataan kesulitan yang saya sendiri alami. Saya heran, bahwa di dalam halaman 2 A.K.M. menyataka keheranannya mengapa namanya dicoret dari daftar pencalonan Front Nasional. Terasa lucu dan naif, selama ia sendiri tidak punya kekuasaan untuk menentukannya. Katanya Lekra membakari bukunya? Saya baru tahu dari halaman itu. Mungkin Boen S. Oemarjati yang berhak memberi penjelasan. Di halaman 3 alinea pertama terdapat kisah yang mengagumkan tentang Taslim Ali. Saya sering datang ke tempatnya di gedung perusahaan Intrabu. Jadi dalam gambaran saya orang yang "selalu menterornya dengan meletakkan pestol di atas meja" -nya itu adalah saya. Pramoedya Ananta Toer. Soalnya surat Goenawan Muhammad tertanggal 28 November 1980 pada Sumartana mengatakan (hlm.3): "Achdiat pernah bercerita, bahwa Pram pernah datang ke Balai Pustaka dengan meletakkan pistol di meja." Kapan itu terjadi? Pestol siapa? Siapa yang saya temui dan saya teror? Kiranya, kalau Goenawan tak berandai-andai, A.K.M. sendiri yang berhak menjawab. Dalam alam kemerdekaan nasional memang pernah saya bersenjata api. Suatu hari dalam 1958. Bukan pestol, tapi parabellum. Tempat: dalam sebuah jeep dalam perjalanan antara Bayah dengan Cikotok. Saksi: seorang letnan angkatan darat. Ia membutuhkan bantuan saya untuk menyelidiki benar- tidaknya ada boulyon-boulyon emas disembunyikan oleh Belanda sebelum meninggalkan Jawa pada 1942 di dasar tambang mas Cikotok, dengan kesimpulan, bahwa semua itu omong kosong belaka. Mengapa bersenjata? Karena sebelumnya sebuah kendaraan umum telah dicegat DI, dibakar. Dan bangkainya masih nongkrong di pinggir jalan. Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik. Dan saya pun tidak pernah bisa diyakinkan ada orang datang untuk menteror Taslim Ali. Apa yang bisa didapatkan dari dia? Sebaiknya A.K.M. menyebut jelas siapa nama penteror itu.

Di halaman 5 tulisan A.K.M. alinea terbawah ditulis bahwa: "di depan rumahnya saya sempat menyusukan selembar 10 ribu rupiah ke dalam kepalannya. Dia agaknya begitu terharu, sehingga nampak matanya basah tergenang," dan "saya tahu Pram tentu butuh duit ketika itu." Memang agak janggal menampilkan saya saya semacam itu. Pada waktu itu saya tidak dapat dikatakan dalam kesulitan keuangan. Segera setelah pulang dari Buru sejumlah bekas tahanan Buru datang pada saya minta dibantu memecahkan kesulitan mereka mencari penghidupan. Memang pihak gereja telah banyak membantu, dan saya menghormati dan menghargai jasanya pada mereka dengan tulus. Tetapi selama status dan namanya bantuan barang tentu tidak mencukupi kebutuhan apalagi untuk keluarganya. Jadi saya dirikan sebuah PT pemborong bangunan, sebuah usaha yang bisa menampung banyak tenaga. Pada waktu A.K.M. datang ke rumah telah 36 orang ditampung, sebagian berkeluarga. Tidak kurang dari 5 rumah dikerjakan, di antara 2 rumah mewah. Ada di antara mereka menumpang ada saya. Usaha ini telah dapat memberi hidup (terakhir) 60 orang dengan keluarganya. Tapi kesulitan itu? Beberapa kali datang intel, yang dengan lisan mengatakan, rumah saya jadi tempat berkumpul tapol. Beberapa orang dari kantor kotapraja memberi ultimatum untuk menyediakan uang sekian ratus ribu dalam sekian hari. Seseorang datang dan mengibar-ngibarkan kartu identitasnya sebagai intel Hankam. Seorang datang mengaku sebagai pegawai sospol Depdag dengan tambahan keterangan, teman-temannya orang Batak banyak, dan orang tidak selamanya waspada. Tak akan saya katakan apa maksud kedatangan mereka. Itu yang datang dari luar. Kesulitan dari dalam pun tak kalah banyaknya. Teman-teman bekas tapol rata-rata sudah surut tenaganya karena tua. Mereka belum terbiasa dengan teknik baru pembangunan rumah sekarang. Mereka tidak terbiasa dengan material baru dan pengerjaannya. Di samping itu kerjapaksa berbelas tahun tanpa imbalan tanpa penghargaan, setiap hari terancam hukuman, telah berhasil merusakkan mental sebagian dari mereka. Dalam pekerjaan yang mereka hadapi mereka tidak berbekal ketrampilan vak. Sedang impian berbelas tahun dalam posisinya sebagai budak-budak Firaun adalah terlalu indah. Seorang yang di Buru mempunyai setiakawan begitu tinggi dan diangkat jadi kepala kerja, kemudian lari membawa uang, dan bukan sedikit. Seorang yang relatif masih muda, suatu malam datang dengan membawa truk dan mengangkuti material bangunan yang telah tersedia dan menjualnya di tempat lain dengan harga rendah untuk dirinya sendiri. Seorang lagi yang juga tergolong muda, sama sekali tanpa ketrampilan tukang, mendadak mengorganisasi pemogokan dengan tuntutan berlipat dari hasil kerjanya. Pick-up Luv Chevrolet, sumbangan teman- teman Savitri, dalam 3 bulan sudah berban gundul dan penyok-penyok.

Pukulan lain yang tak kurang menyulitkan datang. Memang sudah diselesaikan sekitar 8 rumah dengan keadaan seperti itu. Kemudian dua di antara yang dibangunkan rumahnya tidak mau melunasi kewajibannya, mengetahui kedudukan hukum kami lemah. Berkali-kali Savitri minta pertanggungjawaban atas bantuan teman-temannya yang diberikan. Saya tak mampu lakukan itu. Tidak lain dari saya sendiri yang akan merasa malu, dan semua harus saya telan sendiri. Akhirnya saya perintahkan pembubaran PT itu tanpa pernah memberikan pertanggungjawaban pada teman- teman Savitri.

Nah Bung, seperti itu situasi waktu terima selembar sepuluh ribu itu, yang sama sekali tidak pernah saya kira akan dipergunakan oleh A.K.M. untuk memperindah gambaran tentang dirinya. Semua kebaikan tidak akan sia-sia memang bila tidak berpamrih. Dengan pamrih pun tentu saja tidak mengapa, sejauh setiap tindak manusia yang sadar pasti mempunyai motif. Tetapi bila pemberian dipergunakan sebagai investasi, yang setiap waktu dikutip ribanya, sekalipun hanya riba moril, itu memang betul-betul investasi, bukan pemberian. Dan siapa di dunia ini tidak pernah menerima? Waktu saya baru datang dari Buru dan sejumlah orang yang datang hanya untuk bersumbang. Jumlahnya dari 60 sampai 100 ribu, di antaranya 3 mesin tulis, yang tiga-tiganya langsung diteruskan untuk tapol yang lebih memerlukan. Demikian juga halnya dengan uang pemberian. Saya pribadi praktis tidak ada uang dalam kantong. Itu akan kelihatan bila berada di luar rumah. Di Buru pun ada sejumlah pemberi, dari lingkungan dalam dan luar tapol, dari satu sampai sepuluh ribu. Dalam keadaan sulit di Buru pun orang normal tidak bisa tinggal jadi penerima saja. Terutama pihak gereja Katholik pernah memberi keperluan tulis-menulis saya setiap bulan. Bahkan pernah saya terima 2 kali berturut satu kardus besar berisi kacamata, dan pakaian untuk saya pribadi. (Sampai sekarang saya simpan.) Maksud saya hanya untuk menerangkan, pada bangsa-bangsa terkebelakang, atau menurut redaksi baru bangsa-bangsa yang berkembang, memberi adalah keluarbiasaan dan menerima adalah kebiasaan yang perlu dinyatakan.

Jangan dikira saya menulis demikian dengan emosi. Tidak. Suatu dialog bagi saya tetap lebih menyenangkan daripada monolog. Setidak-tidaknya dialog adalah pencerminan jiwa demokratis. Tetapi ucapan all forgiven and forgotten atau we've forgiven but not forgotten, benar- benar produk megalomaniak yang disebabkan mendadak bisa melesat dari kompleks inferiornya, bukan karena kekuatan dalam, tapi luar dirinya. Tentang Pancasila di hlm. 6, saya takkan banyak bicara kecuali menyarankan untuk membuka-buka kembali pers Indonesia semasa Soekarno, khususnya sekitar sebab mengapa presiden RI membubarkan konstituante itu. Golongan mana yang menolak dan mana yang menerima Pancasila sebelum dapat interpretasi atau pun revisi, formal ataupun non- formal.

Dalam hubungan ini saya teringat pada ucapan Nyoto, kalau tidak salah di alun-alun Klaten pada tahun 1964, bahwa nampak ada kecenderungan pada suatu golongan masyarakat (saya takkan mungkin mampu mereproduksi redaksinya) yang membaca kalimat-kalimat Pancasila menjadi: Satu, Ketuhanan yang Maha Esa; Dua, Ketuhanan yang Maha Esa; Tiga, Ketuhanan yang Maha Esa; Empat, Ketuhanan yang Maha Esa; dan Lima, Ketuhanan yang Maha Esa. Dia tidak dalam keadaan bergurau. Selama 14 tahun dalam tahanan ucapan Nyoto bukan saja menjadi kebenaran, lebih dari itu. Dakwah-dakwah yang diberikan, atau lebih tepatnya dengan istilah orde baru santiaji, orang tidak menyinggung sila-sila lain sesudah sila pertama, kalau menyinggung pun hanya sekedar penyumbat botol kosong: beragama dan tidak beragama berarti sembahyang. Tidak bersembahyang berarti tidak pancasilais, bisa juga anti-pancasila. Ya, buntut panjang itu rupanya diperlukan untuk menterjemahkan alam pikiran formalis Pribumi Indonesia, tidak mampu membebaskan diri dari lambang-lambang, upacara, hari peringatan, pangkat dan tanda-tandanya--dan bagi suku Jawa cukup lengkap di dideretkan dalam sastra wayang.

Berdasarkan pengalaman sendiri saya dapat katakan: Revolusi Indonesia tidak digerakkan oleh Pancasila; ia digerakkan oleh patriotisme dan nasionalisme. Baru pada 1946 saya pernah mendapat tugas untuk memberi penerangan tentang Pancasila dan PBB kepada pasukan. Selanjutnya tetap tidak ada pertautan antara Pancasila dengan Revolusi. Saya menghormati pandangan A.K.M. tentang Pancasila yang ia yakini, sekali pun dengan Pancasila itu juga orang- orang sejenis kami di-buru-kan sampai 10 tahun, dan A.K.M. tidak pernah melakukan sesuatu protes. Dan pertanyaan kemudian, apakah ia tetap berpandangan demikian--artinya tak perlu melaksanakannya dalam praktek--pada waktu kepentingan dan keselamatan jiwanya terancam? Bicara di lingkungan aman memang lebih mudah untuk siapapun, dan: tanpa pembuktian.

Dalam hubungan Pancasila dengan demokrasi barat di hlm. 7 sebagai pesan A.K.M. pada rekan-rekannya sarjana Australia saya mempunyai kisah. Pada 1984, Mr. Moh. Roem terkena serangan jantung dan dirawat di RSCM. Seorang dokter menjemput saya, mengatakan, Pak Roem menginginkan kedatangan saya. Saya tak pernah mengkaji apakah itu keinginan Pak Roem atau ambisi si dokter itu saja. Langsung saya berangkat bersama dengannya. Di ruang itu Pak Roem tidur dalam keadaan masih dihubungkan pada alat pengontrol jantung. Penjemput saya langsung menemani perawat sehingga hanya kami berdua di situ tanpa saksi. Menghadapi orang dalam keadaan gawat tentu saja saya tidak bicara apa-apa. hanya beliau yang bicara sampai lelah, sebagai pertanda saya harus mengundurkan diri untuk menghemat tenaga yang beliau perlukan sendiri. Terlalu banyak yang disampaikannya pada saya untuk orang dalam keadaan gawat seperti itu. Satu hal yang berhubungan dengan Pancasila dan demokrasi Barat, dan beliau sebagai ahli hukum, adalah: 50 + 1? Ya, biar begitu perlu dipertimbangkan dengan adil, tidak seperti selama ini dinilai. Dalam sejarah kita telah dibuktikan, bahwa kesatuan Indonesia terwujud hanya karena demokrasi parlementer Barat.

Nah, Bung Keith, inti persoalan dengan kaum manikebu cukup jelas: saya menggunakan hak saya sebagai warganegara Indonesia, hak yang juga ada pada kaum manikebu. Omong kosong bila dikatakan pada waktu itu mereka tak punya media untuk menerbitkan sanggahan. Waktu sekarang, waktu secara formal hak sanggah melalui mass media tidak ada, saya tetap menyanggah dengan berbagai cara yang mungkin, kalau memang ada yang perlu disanggah. Sedang ucapan Pak Roem tsb., ternyata adalah pesan politik terakhir. Beberapa minggu kemudian beliau meninggal dunia.
Saya belum selesai. Masih ada satu hal yang perlu disampaikan, hanya di luar hubungan dengan surat terbuka Achdiat K. Mihardja. Tak lama setelah pertemuan kita terakhir saya menerima surat dari M.L., yang intinya tepat suatu jawaban terhadap saya. Tentu saja saya mendapat kesan kuat, pembicaraan kita Bung teruskan padanya. Terima kasih, bahwa hal-hal yang tidak jelas sudah dibikin terang olehnya. Untuk tidak keliru membikin estimate tentang saya dalam persoalan khusus ataupun umum ada manfaatnya saya sampaikan bahwa saya menyetujui kehidupan bipoler. Saya membenarkan adanya dua superpower, bukan saja sebagai kenyataan, juga sebagai pernyataan makro nurani politik ummat manusia. Kalau hanya ada satu superpower akibatnya seluruh dunia akan jadi bebeknya. Dua superpower mewakili kekuatan ya dan kekuatan tidak, kekuasaan dan opposisi.

Dalam tingkat nasional saya menyetujui kehidupan bipoler. Ada kekuasaan ada opposisi. Kalau tidak, rakyat akan jadi bebek pengambang, dengan kepribadian tidak berkembang. Demokrasi dengan opposisi adalah juga pernyataan makro nurani politik nasional. Dia adalah juga pencerminan mikro nurani pribadi manusia, yang tindakannya ditentukan oleh ya atau tidak. Hewan dengan serba naluri tak memerlukan nurani. Ia tak mengenal ya ataupun tidak.

Semoga surat kelewat panjang ini--lebih tepat usaha pendokumentasian diri sendiri--ada manfaatnya. Saya tidak ada keberatan bila diperbanyak. Salam pada semua yang saya kenal, juga pada M.L. dan Savitri yang pernah saya kecewakan.

Belakangan ini kesehatan saya agak membaik. Soalnya saya menggunakan ramuan tradisional yang ternyata mengagumkan. Dengan pengamatan melalui tes urine dengan benedict kadar gula yang positif dalam 24 jam dapat menjadi negatif, yang tidak dapat saya peroleh melalui sport dan kerja badan selama 2 minggu.

Salam hangat untuk Bung sendiri dan keluarga.
Tetap (tanda tangan).

Makassar, 18 Oktober 2001