Minggu, 01 Mei 2016

ANTONIO GRAMSCI : IDEOLOGI, HEGEMONI, DAN KONTRA HEGEMONI

Tak dapat dipungkiri, kita hidup terasing dan tertindas dalam Abad Kapitalisme. Pergeseran tahun ke abad yang baru, yakni abad ke-21, tidak berarti banyak bagi kita, kecuali kehidupan yang kian susah dan berat bagi kelas pekerja. Bayang-bayang akan naiknya harga listrik, BBM, biaya pendidikan, tarif kesehatan berderet-deret menakutkan hingga terasa mencekik leher kita. Memang, sehari-harinya kita cuma bisa menyaksikan iblis Kapitalisme menjerat dan mencengkeram kaum pekerja: buruh, petani-nelayan, kaum miskin kota, dan masyarakat tertindas lainnya. Tak cukup dengan mengembosi pemasukan mereka (UMR/gaji), tetapi agen-agen Kapitalis juga berupaya mencuci otak dan membodohi kaum pekerja dengan ilusi-ilusi akan kehidupan yang mewah, tertib, seragam. Dengan sistematis, musuh-musuh kaum pekerja itu telah berupaya menutupi konflik-konflik kelas yang terjadi dengan bumbu-bumbu yang indah-indah untuk didengar, dilihat, dan dibaca. 

Kaum pergerakan/progresif-revolusioner, sebagai yang telah disadarkan, selalu berupaya agar kelas-kelas pekerja yang tertindas bangkit melawan; melaksanakan revolusi demokratik agar tercapai diktator proletariat yang sejati. Namun, saksikanlah! Revolusi tak menjadi semudah yang diucapkan. Pada kenyataannya, kesadaran semata tidak cukup mendorong terjadinya revolusi. Perjuangan kelas haruslah melibatkan ideologi dan gagasan-gagasan; terutama gagasan akan bagaimana masyarakat terbebas dari penindasan. Ideologi dan gagasan-gagasan ini harus hidup untuk mengalahkan supremasi kaum borjuis yang mendominasi ekonomi dan kepemimpinan intelektual dan moral. Tapi kondisi ideal ini tak mudah ditemukan. Yang ada, ideologi dan gagasan-gagasan itu karam. Kita telah dikalahkan oleh mesin-mesin ideologi dan gagasan yang dimiliki oleh musuh-musuh kita. Mesin-mesin pencetak keseragaman itu paling nyata dalam masyarakat Kapitalis berwujud media komunikasi. Media komunikasi merupakan alat ampuh untuk menyeret wacana lain agar tunduk di bawah wacana yang digunakan oleh kelas penguasa/kaum borjuis. 

Dalam gerak-gerak perjuangan kelas, tampak sekali bahwa perjuangan kita seringkali dipicu justru oleh isu-isu yang dilontarkan oleh kelas penguasa/kaum borjuis. Kendali akan wacana tak berada di sisi kelas-kelas pekerja, tetapi dimiliki oleh para pemilik modal. Kondisi ironis ini membuat perjuangan kelas-kelas pekerja untuk mencapai revolusi demokratik tak maksimal karena ketidaksiapan membalas wacana kelas penguasa. Ketidakmampuan merebut ruang publik membuat wacana- wacana yang dikeluarkan oleh pelopor revolusi demokratik menjadi kontra-produktif. Apa sebabnya? 

2. Hegemoni & Kontra-Hegemoni: Tataran Teoritis
Tradisi Marx -mungkin lebih tepat Engels- hanya menyebut sedikit kata kunci tentang situasi di atas, yakni konsep "kesadaran palsu". Ideologi sebagai 'kesadaran palsu' pada awalnya dipahami oleh kaum Marxist sebagai suatu yang bernilai negatif, karena ia memungkiri realitas, menafikan konflik-konflik kelas dengan menyelubunginya dengan wacana-wacana yang menindas. Barulah di tahap perkembangan selanjutnya, ideologi dipakai untuk membekali perjuangan kelas. Caranya, dengan menetapkan kontra wacana terhadap sejumlah wacana menindas yang digunakan oleh kelas penguasa/kaum borjuis. Barangkali dari pemikiran akan adanya wacana yang menindas dari kelas penguasa/kaum borjuis terhadap kelas pekerja/kaum proletariat, istilah hegemoni digunakan. 

Meski bukan orang pertama yang menggunakan kata "hegemoni" - pertama kali digunakan sebagai slogan gerakan Sosial Demokrat Rusia antara 1890-1917 - adalah Gramsci, seorang Marxist dari Italia, yang kerja-kerja politiknya dilingkupi oleh kekaguman akan keberhasilan revolusi Bolshevik di Rusia untuk menggulingkan Tsar Nicolai II. Pemikiran Gramsci tentang hegemoni menjadi penting untuk dipelajari karena ia sanggup menghubungkan persoalan ekonomi dengan kemampuan institusi superstruktur dalam mencapai/mempertahankan kekuasaan. 

Pokok pemikiran Gramsci yang penting untuk disarikan adalah:
1. Perjuangan kelas haruslah selalu melibatkan ideologi dan gagasan; gagasan bagaimana revolusi dicapai atau dicegah.
2. Ia menekankan bahaya supremasi kaum borjuis akan dominasi ekonomi dan kepemimpinan moral dan intelektual yang harus ditumbangkan. 

Kepemimpinan moral dan intelektual inilah yang ditegaskan oleh Gramsci sebagai intisari hegemoni, yang didefinisikan secara panjang dengan: 

"Kelompok dominan di dalam masyarakat, termasuk kelas penguasa yang fundamental tapi tak eksklusif, mempertahankan dominasi mereka dengan cara menjaga 'kesadaran spontan' kelompok subordinatnya, termasuk kelas pekerja, melalui konstruksi yang dinegosiasikan dari hasil konsensus politik dan ideologi yang melibatkan baik kelompok dominan dan yang didominasi." 

Asumsi di balik teks di atas ialah: Kelas dominan telah berhasil meyakinkan kelas pekerja untuk menerima kepemimpinan moral, politik, dan kebudayaan tanpa reserve, Mereka yang berkuasa mengarahkan mayoritas populasi pada suatu kesadaran yang mereka susun 

Penerapan kesadaran ini tak selalu berjalan halus, kadangkala bisa mengkombinasikan antara paksaan fisik hingga indoktrinasi intelektual, moral, kebudayaan. Oleh karena itu, hegemoni merupakan serangkaian gagasan yang digunakan sebagai alat kelompok dominan untuk menguasai kesadaran dan kepemimpinan atas kelompok-kelompok subordinat. 

Hegemoni dibangun atas dasar negosiasi-negosiasi kaum borjuis/kelas penguasa, dan selama ini fungsi kepemimpinan hegemonik bekerja dalam dua model:
1. Kontrol dengan pemaksaan: termanifestasi melalui sejumlah paksaan fisik atau ancaman (selalu digunakan apabila kepemimpinan hegemonik rendah atau rentan)
2. Kontrol dengan kesepakatan: akan muncul manakala individu secara sukarela menyatu dengan pandangan kelompok dominan. 

Bagaimana hegemoni yang menindas itu dilawan? Bagi Gramsci yang penting, upaya revolusi intelektual (kontra Hegemoni) seharusnya berasal dari kelas pekerja daripada dimasukkan dari luar. Apabila kelas pekerja mau berhasil menghegemoni, ia harus berhasil mendorong munculnya intelektual-intelektual yang menciptakan ideologi baru. 

3. Pers dalam Perspektif Gramsci
Yang paling pokok dalam perspektif ini, pers dapat menjadi alat hegemoni baik kelas penguasa maupun dari kelas pekerja. Pertarungan antarinstitusi pers adalah di tingkatan kepemimpinan wacana dan perebutan ruang publik. Dalam masyarakat Kapitalis, seringkali ruang publik legal dimonopoli oleh kaum kapitalis/borjuis. Dengan kemenangan monopoli hak edar, dengan leluasa mereka mendistorsi informasi, memutar yang hitam jadi putih, membodohi massa Rakyat. Ruang-ruang publik yang tersisa bagi pers yang dijadikan alat hegemoni kelas pekerja menjadi terpenjara dalam kelompok-kelompok kecil dengan jumlah eksemplar yang terbatas dan terus-menerus dihantui kendala pendanaan. Pada praktiknya, karena kelemahan tersebut, pers menjadi salah satu alat ampuh penguasa untuk mendapatkan kepemimpinan moral dan politik. 

Namun, hendaklah kaum progresif-revolusioner/pergerakan tidak berputus asa! Karena, menurut Gramsci, strategi hegemonik tak semuanya dimiliki oleh kaum borjuis. Belajar dari kegagalan hegemoni Thatcherisme di Inggris, nyata benar bahwa hegemoni hanyalah berhasil mengikat kelompok dominan akan satu wacana, sedang kelompok subordinat tak selamanya terikat mutlak. Oleh karena itu, manakala masih ada kebocoran, ruang-ruang publik haruslah segera direbut. Hingga suatu saat, kelas pekerja dapat mengembangkan hegemoni sebagai strategi untuk mengontrol negara. Caranya, dengan melibatkan kepentingan kekuatan sosial dan kelompok-kelompok pergerakan lain untuk menemukan titik temu kepentingan. Apabila kelas pekerja ingin mencapai hegemoni, perlu dibangun aliansi dengan kelompok minoritas. Koalisi baru ini harus menghormati otonomi gerakan, sehingga setiap kelompok dapat menyumbangkan perannya menuju masyarakat sosialis. 

Tak selalu cara merebut ruang publik dilakukan dengan kekerasan, yang penting adalah aktivitas-aktivitas politik kaum pergerakan tak kenal lelah. Aktivitas-aktivitas itu bermain di dalam dua medan tempur, yakni:
1. Perang manuver: secara frontal, tujuannya untuk meraih kemenangan secepatnya, dan direkomendasikan untuk dilakukan dalam kekuasaan yang tersentralisasi dan ketidakmampuan untuk mengembangkan hegemoni yang kuat agar terbentuk masyarakat madani (mis. Revolusi Rusia 1917).
2. Perang posisi: perjuangan panjang, lintasorgan dalam masyarakat madani, kekuatan sosialis dapat memimpin ideologis dan kebudayaan, dan sebaiknya dilakukan apabila punya sejumlah strategi 

4. Kontra-Hegemoni Atau Anti-Hegemoni?
Apa perbedaan agenda antara Anti-Hegemoni dan Kontra-Hegemoni? Kata Anti-Hegemoni dipahami sebagai upaya menentang segala bentuk hegemoni tanpa batas hingga tak ada lagi hegemoni. Konsekuensi, tidak ada kerja terstruktur dan konseptual. Sedangkan, kontra-hegemoni adalah upaya untuk menentang hegemoni yang menindas. Bedanya, di tataran strategi yang melibatkan kematangan berorganisasi dan melakukan aktivitas politik. Kerja kontra-hegemoni akan otomatis terhenti apabila telah tercapai masyarakat yang terbebas dari segala bentuk penindasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar