I. Pendahuluan
Pendidikan dalam kehidupan manusia mempunyai peranan yang sangat penting. Pendidikan dapat membentuk kepribadian seseorang yang diakui sebagai kekuatan yang dapat menentukan prestasi dan produktifitas seseorang. Dengan bantuan pendidikan, seseorang dapat memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapinya.
Proses pendidikan sebenarnya telah berlangsung sepanjang sejarah dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya manusia di bumi. Begitu pula dengan pendidikan Islam yang pertama kali diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan berbagai hambatan dan pertentangan dari orang-orang yang tidak mempercayai dan menentang ajaran Islam. Pelaksanaan pendidikan di zaman Rasulullah dapat dibagi ke dalam dua tahap, baik dari segi waktu, tempat, maupun isi dan materi pendidikannya. Yaitu tahap pendidikan yang dilaksanakan di Makkah, dan tahap pendidikan yang dilaksanakan di Madinah.
Dalam makalah ini, akan dijelaskan mengenai pendidikan masa pembinaan Islam periode Makkah dan Madinah serta karakteristik masyarakatnya.
II. Rumusan Masalah
A. Apa yang dimaksud masa pembinaan pendidikan Islam?
B. Bagaimana karakteristik masyarakat Makkah?
C. Bagaimana pendidikan masa pembinaan Islam periode Makkah?
D. Bagaimana karakteristik masyarakat Madinah?
E. Bagaimana pendidikan masa pembinaan Islam periode Madinah?
III. Pembahasan
A. Masa pembinaan pendidikan Islam
Pendidikan Islam terjadi sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul Allah di Makkah dan beliau sendiri yang menjadi gurunya. Pendidikan masa ini merupakan proto type yang terus menerus dikembangkan oleh umat Islam untuk kepentingan pendidikan pada zamannya.[1]
Yang dimaksud masa pembinaan Islam adalah masa dimana proses penurunan ajaran Islam kepada Nabi Muhammad SAW dan proses pembudayaannya (masuknya ke dalam kebudayaan manusiawi, sehingga diterima dan menjadi unsur yang menyatu dalam kebudayaan manusia) berlangsung. Masa tersebut berlangsung sejak Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dan menerima pengangkatannya sebagai Rasul, sampai dengan lengkap dan sempurnanya ajaran Islam menjadi warisan budaya umat Islam, sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Masa tersebut berlangsung selama 22 atau 23 tahun sejak beliau menerima wahyu pertama kali, yaitu 17 Ramadhan 13 tahun sebelum Hijrah (6 Agustus 610 M) sampai dengan wafatnya pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 11 H (8 Juni 632 M).
Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW berfungsi untuk meluruskan perkembangan budaya umat manusia yang ada pada zaman itu dan meletakkan unsur-unsur baru yang akan menjadi dasar memacu perkembangan budaya selanjutnya.[2]
B. Karakteristik masyarakat Makkah
Pada waktu munculnya Rasulullah, bangsa Makkah sedang melewati masa kebodohan. Seluruh kehidupan sosial terjerumus ke dalam kenistaan dan pelanggaran-pelanggaran sosial. Penyembahan berhala dan politeisme merupakan tatanan-tatanan pada waktu itu. Mabuk, judi, dan zina merupakan perbuatan yang umum dari bangsa itu. Pembunuhan bayi perempuan merupakan mode yang digemari oleh bangsa Makkah, dan kaum wanita adalah kaum yang paling rendah derajadnya di dalam masyarakat Makkah. Mereka tidak mempunyai hak sosial atau hak hukum.
Persaingan antara keturunan atau kaum yang ada pada saat itu sangat berpengaruh, terutama pada kaum Quraisy dimana saat itu mereka sangat berpengaruh dan mempunyai kekusaan. Sehingga kaum Quraisy sangat enggan tunduk kepada nabi Muhammad SAW yang secara garis keturunan berasal dari kaum Abdul Muthalib, karena takut akan kehilangan kekuasaan dan kedudukan.
Orang-orang di Makkah sangat kuat memegang teguh kepercayaan nenek moyang mereka. Tradisi tersebut dianggap hal yang mutlak serta membawa keberuntungan dan sangat sulit untuk ditinggalkan. Membuat ataupun memahat patung adalah salah satu sumber ekonomi masyarakat Makkah saat itu disamping berdagang.[3]
C. Pendidikan masa pembinaan Islam periode Makkah
Makkah adalah kota suci umat Islam, tempat berdirinya Ka’bah, tempat umat Islam melaksanakan ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima dan tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW.[4] Sebelum Nabi Muhammad memulai tugasnya sebagai Rasul, yaitu melaksanakan pendidikan Islam terhadap umatnya, Allah telah mendidik dan mempersiapkannya untuk melaksanakan tugas tersebut secara sempurna melalui pengalaman, pengenalan, serta peran sertanya dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan budayanya.
Nabi Muhammad SAW menerima wahyu yang pertama dari Allah SWT di Gua Hira’ pada tahun 610 M sewaktu beliau telah mencapai umur 40 tahun, sebagai petunjuk dan intruksi untuk melaksanakan tugasnya, yaitu QS. Al Alaq ayat 1–5:
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Kemudian disusul dengan wahyu yang berikutnya, yaitu QS. Al Muddatsir ayat 1–7:
1. Hai orang yang berkemul (berselimut), 2. bangunlah, lalu berilah peringatan! 3. dan Tuhanmu agungkanlah! 4. dan pakaianmu bersihkanlah, 5. dan perbuatan dosa tinggalkanlah, 6. dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. 7. dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.
Perintah dan petunjuk tersebut pertama-tama ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW tentang apa yang harus beliau lakukan, baik terhadap dirinya sendiri maupun umatnya. Kemudian bahan materi pendidikan tersebut diturunkan secara berangsur-angsur sedikit demi sedikit. Setiap kali menerima wahyu, segera disampaikan kepada umatnya diiringi penjelasan dan contoh-contoh bagaimana pelaksanaannya.[5]
Pendidikan masa pembinaan Islam periode Makkah, yakni sejak Nabi diutus sebagai Rasul hingga hijrah ke Madinah, kurang lebih sejak 610–622 M atau selama 12 tahun 5 bulan 21 hari.[6] Mula-mula pola pendidikan dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, mengingat kondisi sosial-politik yang belum stabil. Dimulai dari keluarganya sendiri dan keluarga dekatnya, pertama beliau mendidik istrinya, Khadijah untuk beriman kepada dan menerima petunjuk dari Allah, kemudian diikuti oleh Ali Ibn Abi Thalib (anak pamannya) dan Zaid Ibn Haritsah (pembantu rumah tangga yang kemudian diangkat sebagai anak angkatnya). Kemudian sahabat karibnya Abu Bakar ash Shidiq. Secara berangsur-angsur ajakan tersebut disampaikan secara meluas, seperti Usman Ibn Affan, Zubair Ibn Awwan, Sa’ad Ibn Abi Waqas, Abdurrahman Ibn ‘Auf, Thalhah Ibn Ubaidillah, Abu Ubaidillah Ibn Jahrah, Arqam Ibn Abi Arqam, Fathimah binti Khattab, Said Ibn Zaid, dan beberapa orang lainnya. Mereka semua disebut “assabuiqunal awwalun”, artinya orang-orang yang mula-mula masuk Islam. Sebagai lembaga pendidikan dan pusat kegiatan pendidikan Islam yang pertama pada era awal ini adalah rumah Arqam Ibn Abi Arqam.[7]
Setelah selama lebih dari 3 tahun berdakwah secara sembunyi-sembunyi, turunlah perintah agar Nabi menjalankan dakwah secara terbuka, yakni QS. Al Hijr ayat 94:
Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.
Mula-mula Nabi mengundang dan menyeru kepada kerabat karibnya dari bani Abdul Muthalib, “saya tidak melihat seorangpun di kalangan Arab yang dapat membawa sesuatu ketengah-tengah mereka lebih baik dari apa yang saya bawa kepada kalian. Kubawakan kepadamu dunia dan akhirat terbaik. Tuhan memerintahkan saya untuk mengajak kalian semua. Siapakah di antara kalian yang mau mendukung saya dalam hal ini? Mereka semua menolak, kecuali Ali.[8]
Strategi dakwah selanjutnya yang diambil Rasulullah adalah menyeru kepada masyarakat umum, segenap lapisan masyarakat Islam dengan terang-terangan baik golongan bangsawan maupun hamba sahaya, dan umat manusia secara keseluruhan. Pada musim haji Rasulullah mendatangi kemah-kemah jamaah untuk menyampaikan seruan Islam, tidak semua jamaah yang menerimanya, kecuali satu kelompok yang berasal dari Yatsrib dari kabilah Khajraj.[9] Penerimaan masyarakat Yatsrib terhadap ajaran Islam dikarenakan beberapa faktor, yaitu:
1. Adanya kabar dari kaum Yahudi akan lahirnya seorang Rasul.
2. Suku Khajraj dan Aus mendapat tekanan dan ancaman dari kelompok Yahudi.
3. Konflik antara suku Khajraj dan Aus yang berlangsung lama, mereka mengharapkan pemimpin yang mampu melindungi dan mendamaikan mereka.[10]
Pada musim haji ke 12 kenabian, datang dua belas orang laki-laki dan seorang perempuan penduduk Yatsrib menemui Rasulullah di Aqabah untuk menyatakan ba’iah kepada Rasulullah yang dikenal dengan “Ba’iah Aqabah I”.
Setelah musim haji selesai, mereka kembali ke Yatsrib dengan membawa bekal ilmu pengetahuan yang diperoleh dan semangat Islam yang berkobar, mereka diminta Rasulullah untuk menyampaikan Islam kepada penduduk Yatsrib lainnya. Musim haji berikutnya, 73 orang jamaah haji dari Yatsib mendatangi Rasulullah dan menetapkan keimanan kepada Allah di Aqabah, yang kemudian dikenal dengan “Bai’ah Aqabah II”.[11]
Dalam memberikan pembinaan umat Islam di Makkah, ada dua bidang pokok yang digarap oleh Rasulullah, yaitu:
1. Pendidikan tauhid, dalam teori dan praktek
Intisari pendidikan Islam di Makkah adalah ajaran tauhid yang menjadi perhatian utama Rasulullah. Pada saat itu masyarakat Jahiliyah sudah banyak menyimpang dari ajaran tauhid yang telah dibawa oleh Nabi Ibrahim. Karena tauhid merupakan pondasi paling dasar, maka harus ditata terlebih dahulu. Pokok-pokok ajaran tauhid tercermin dalam QS. Al Fatihah, sebagai berikut:
a. Bahwa Allah adalah pencipta alam semesta yang sebenarnya. Itulah sebabnya, maka Dialah yang berhak mendapatkan segala pujian.
b. Bahwa Allah telah memberikan nikmat, segala keperluan bagi makhlukNya, dan khusus manusia ditambah petunjuk dan bimbngan agar mendapatkan kebahagiaan dunia ahirat.
c. Bahwa Allah adalah raja di hari kemudian yang akan memperhitungkan segala amal perbuatan manusia di dunia ini.
d. Bahwa Allah adalah sesembahan yang sebenarnya dan yang satu-satunya. Hanya kepada Allah segala bentuk pengabdian ditujukan.
e. Bahwa Allah adalah penolong yang sebenarnya, dan oleh karena itu hanya kepadaNya lah manusia meminta pertolongan.
f. Bahwa Allah sebenarnya yang membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia dalam mengarungi kehidupan dunia yang penuh rintangan, tantangan dan godaan.
2. Pengajaran Al Qur’an
Al Qur’an merupakan intisari dan sumber pokok dari ajaran Islam yang disampaikan Nabi Muhammad SAW kepada umat agar secara utuh dan sempurna menjadi milik umatnya yang selanjutnya akan menjadi warisan turun temurun, dan menjadi pegangan pedoman hidup bagi kaum Muslimin sepanjang zaman.[12]
Selain itu, dalam kedua wahyu yang mula-mula turun (QS. Al Alaq: 1–5 dan QS. Al Muddatsir: 1–7), pendidikan dalam Islam di Makkah terdiri dari 4 macam, yaitu:
1. Pendidikan keagamaan, yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah semata-mata, jangan mempersekutukannya dengan nama berhala, karena Tuhan itu Maha Besar dan Maha Pemurah, sebab itu hendaklah dienyahkan berhala itu sejauh-jauhnya.
2. Pendidikan ‘akliyah dan ilmiyah, yaitu mempelajari kejadian manusia dari segumpal darah dan kejadian alam semesta.
3. Pendidikan akhlak dan budi pekerti, yaitu Nabi Muhammad SAW mengajar sahabatnya agar berakhlak baik sesuai dengan ajaran tauhid.
4. Pendidikan jasmani (kesehatan), yaitu mementingkan kebersihan pakaian, badan dan tempat kediaman.[13]
Pengajaran dan pendidikan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW menggunakan berbagai metode yang sesuai dengan fitrah manusia, yakni sebagai makhluk yang memiliki berbagai kecenderungan, kekurangan, dan kelebihan. Untuk itu, terkadang beliau menggunakan metode ceramah, diskusi, musyawarah, tanya jawab, bimbingan, teladan, demonstrasi, bercerita, hafalan, penugasan, dan bermain peran. Adapun pendekatan yang digunakan Nabi Muhammad SAW adalah pendekatan fitrah, yakni memberikan ajaran sesuai intelektual, kecerdasan peserta didik, latar belakang, dan situasi kondisi yang menyertainya.[14]
D. Karakteristik masyarakat Madinah
Keadaan masyarakat Madinah sebelum datangnya Nabi Muhammad disana sama halnya dengan keadaan masyarakat Makkah. Pelanggaran hukum merupakan keadaan sehari-hari. Suku-suku yang tinggal disana berperang satu sama lain, yaitu terbagi menjadi dua suku, suku Aus dan suku Khajraj.
Tidak ada pemerintahan yang memaksakan hukum dan ketertiban. Nabi Muhammad, setelah datang disana, menghapuskan semua perbedaan suku dan mengelompokkan penduduk dengan satu nama umum yaitu Anshor. Dia melaksanakan hukum dan ketertiban, membuat perdamaian, dan dengan begitu mengukuhkan itikad baik orang-orang Madinah.[15]
E. Pendidikan masa pembinaan Islam periode Madinah
Karena di Makkah selalu mendapatkan tantangan dari kaum Quraisy yang selalu mengganggu dakwah Islam, Rasulullah akhirnya hijrah ke Madinah (Yatsrib).[16] Kedatangan Rasulullah bersama kaum muslimin Makkah (Muhajirin) disambut oleh penduduk Madinah (Ansor) dengan gembira dan penuh rasa persaudaraan, karena sudah banyak penduduk Madinah yang memeluk agama Islam. Maka Islam mendapat lingkungan baru yang memungkinkan Rasulullah untuk meneruskan da’wah menyampaikan ajaran Islam.[17]
Pada periode ini, tahun 622–632 M atau tahun 1–11 H. Usaha pendidikan yang pertama adalah membangun masjid. Masjid Quba merupkan masjid pertama yang dijadikan Rasulullah sebagai institusi pendidikan. Melalui pendidikan masjid ini, Rasulullah memberikan pengajaran dan pendidikan Islam. Ayat-ayat Al Qur’an yang diterima di Madinah sebanyak 22 surat, sepertiga dari isi Al Qur’an.[18]
Di masjid itulah pusat kegiatan pendidikan Rasulullah SAW bersama kaum muslimin membina masyarakat baru, masyarakat yang disinari oleh tauhid, dan mencerminkan persatuan kesatuan umat. Di masjid itu juga digunakan untuk bermusyawarah mengenai berbagai urusan, mendirikan shalat berjamaah, membacakan Al Qur’an, maupun membacakan ayat-ayat yang baru diturunkan.[19]
Tujuan dan materi pendidikan Islam di Madinah semakin luas dibandingkan pendidikan Islam di Makkah, seiring dengan perkembangan masyarakat Islam dan petunjuk-petunjuk Allah. Pendidikan Islam tidak hanya diarahkan untuk membentuk pribadi kader Islam, tetapi umat Islam juga dibekali dengan pendidikan tauhid, akhlak, amal ibadah, kehidupan sosial kemasyarakatan dan keagamaan, ekonomi, kesehatan, bahkan kehidupan bernegara.[20]
Adapun titik tekan pendidikan Islam pada periode Madinah adalah:
1. Pembentukan dan pembinaan masyarakat baru, menuju satu kesatuan sosial dan politik. Dalam hal ini Rasulullah melaksanakan pendidikan sebagai berikut:
a. Rasulullah SAW mengikis habis sisa-sisa permusuhan dan pertengkaran antar suku (Khajraj dan Aus), dengan jalan mengikat tali persaudaraan di antara mereka.
b. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Rasulullah menganjurkan kepada kaum Muhajirin untuk berusaha dan bekerja sesuai dengan kemampuan dan pekerjaan masing-masing seperti waktu di Makkah.
c. Menjalin kerjasama dan tolong menolong dalam membentuk tata kehidupan masyarakat yang adil dan makmur, turunlah syari’at zakat dan puasa yang merupakan pendidikan bagi warga masyarakat dalam tanggung jawab sosial.
d. Disyariatkannya media komunikasi berdasarkan wahyu, yaitu shalat jumat yang dilaksanakan secara berjamaah dan adzan. Dengan shalat jumat tersebut hampir seluruh warga masyarakat berkumpul langsung mendengar khotbah Rasulullah SAW dan shalat jumat berjamaah.
2. Pendidikan sosial politik dan kewarganegaraan, dilaksanakan melalui:
a. Pendidikan ukhuwah (persudaraan) antar kaum muslimin.
b. Pendidikan kesejahteraan sosial dan tolong menolong.
c. Pendidikan kesejahteraan keluarga kaum kerabat.[21]
3. Pendidikan anak dalam Islam. Rasulullah selalu mengingatkan kepada umatnya, antara lain:
a. Agar kita selalu menjaga diri anggota keluarga dari api neraka.
b. Agar jangan meninggalkan anak dan keturunan dalam keadaan lemah dan tidak berdaya menghadapi tantangan hidup.
c. Orang yang dimuliakan Allah adalah orang yang berdoa agar dikaruniai keluarga dan keturunan yang menyenangkan hati.
Bentuk-bentuk pendidikan anak dalam Islam sebagaimana digambarkan dalam QS. Luqman ayat 13–19 adalah:
a. Pendidikan tauhid.
b. Pendidikan shalat.
c. Pendidikan sopan dan santun dalam keluarga.
d. Pendidikan sopan dan santun dalam mayarakat.
e. Pendidikan kepribadian.
4. Pendidikan hankam (pertahanan dan keamanan) dakwah Islam. Rasulullah meletakkan dasar-dasar kehidupan masyarakat, yaitu:
a. Pembangunan masjid, selain digunakan untuk tempat shalat, sarana mempersatukan umat Islam, bermusyawarah, masjid juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan.
b. Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim), Rasulullah mempersaudarakan antara golongan Muhajirin dan Ansor. Dengan demikian persaudaraan berdasarkan agama, bukan hanya berdasarkan darah.
c. Hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam.[22]
[1]Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta: Logos, 1999), hlm. 12
[2]Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 14
[3]Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 102
[4]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 77 – 78
[5]Zuhairini, dkk., Op Cit., hlm. 18 – 21
[6]Suwendi, Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 7
[7]Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 32
[8]Fatah Syukur NC, Sejarah Pendidikan Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm. 19 – 20
[9]Hanun Asrohah, Op. Cit., hlm. 13 – 14
[10]Samsul Nizar, Op. Cit., hlm. 33 – 34
[11]Hanun Asrohah, Op. Cit., hlm. 14
[12]Fatah Syukur NC, Op. Cit., hlm. 20 – 22
[13]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1992), hlm. 5 – 6
[14]Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 86
[15]Syed Mahmudunnasir, Op. Cit., hlm. 110 – 111
[16]Hanun Asrohah, Loc. Cit.
[17]Zuhairini, dkk., Op Cit., hlm. 32
[18]Suwendi, Op. Cit., hlm. 10
[19]Samsul Nizar, Op. Cit., hlm. 37
[20]Hanun Asrohah, Op. Cit., hlm. 15
[21]Zuhairini, dkk., Op. Cit., hlm. 34 – 37
[22]Fatah Syukur NC, Op. Cit., hlm. 37 – 38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar