I. PENDAHULUAN
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam pelaksanaan pernikahan harus memenuhi rukun dan syarat pernikahan yang ada. Akan tetapi jika salah satu rukun atau syarat pernikahan tidak terpenuhi maka pernikahan itu tidak syah. Selain tidak syahnya pernikahan secara langsung pernikahan itu juga batal (fasakh).
Fasakh bisa juga terjadi karena hal lain yang melanggar aturan perkawinan. Misalnya menikah dengan saudara kandung. Meskipun rukun dan syaratnya terpenuhi pernikahan ini dianggap batal. Karena Islam telah mengatur beberapa perkawinan yang dilarang. Salah satunya yaitu menikah dengan saudara kandung.
Selain berbagai permasalahan urgent diatas, terdapat pula hal penting lainya yang patut disorot. Yaitu mengenai seks education atau pendidikan seks. Mengingat begitu pentingnya pendidikan seks dalam Islam maka sudah sepatutnya diajarkan kepada anak didik dan lainya. Oleh karena itu dalam makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai pentingnya seks education dalam Islam, batalnya perkawinan, dan larangan perkawinan.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa Saja yang Menyebabkan Batalnya Perkawinan ?
B. Apa Saja Larangan Perkawinan ?
C. Bagaimana Seks Education dalam Islam ?
III. PEMBAHASAN
A. Batalnya Perkawinan
Batalnya perkawinan yaitu “rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu rukunnya, atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama”. Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan disebut juga dengan fasakh.[1] Kata fasakh (batalnya pernikahan) berarti merusakkan atau membatalkan. Jadi, fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.[2]
Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.
1. Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.
a. Setelah akad nikah ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau saudara sesusuan pihak suami.
b. Suami isti masih kecil, kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan pernikahannya atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar baligh, jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh baligh.
2. Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad
a. Jika seorang suami murtad atau keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan.
b. Jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya, yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istrinya ahli kitab. Maka akadnya tetap sah sepertisemula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semula dipandang sah.
Golongan Hanafiyah membuat rumusan umum guna membedakan pengertian pisahnya suami istri sabab talak dan sebab fasakh. Kata mereka: “Pisahnya suami istri karena suami dan sama sekali tidak ada pengaruh istri disebut talak, dan setiap perpisahan suami istri karena istri, bukan karena suami atau karena suami, tapi dengan pengaruh dari istri disebut fasakh.”[3]
Selain hal-hal tersebut ada juga hal-hal lain yang menyebabkan terjadinya fasakh, yaitu sebagai berikut:
1. Karena ada balak (penyakit belang kulit). Dalam kaitan ini, Rasulullah bersabda:
عَنْ كَعْبِ بْنِ زَيْدٍ رَضِي الله عنه أَنَّ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم تَزَوَّجَ اِمْرَ أَةً مِنْ بَنِيْ غِفَارٍ، فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهَا فَوَضَعَ ثَوْبَهُ وَقَعَدَ عَلَى الْفِرَاشِ أَبْصَرَ بِكَشْحِهَا بَيَا ضًا فَا نْحَا زَ عَنِ الْفِرَاشِ ثُمَّ قَالَ : خُذِى عَلَيْكَ ثِيَابَكَ وَلَمْ يَأْ خُذْ مِمَّا أَتَا هَا شَيْئًا (رواه أحمد و البيهقى
“Dari Ka’ab Bin Zaid radhiallahu ‘anh bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menikahi seorang perempuan bani Ghifar. Maka, tatkala beliau masuk menemuinya dan perempuan itu telah meletakkan kainnya dan ia duduk di atas tempat tidur terlihatlah putih (balak) di lambungnya, lalu beliau berpaling seraya berkata: ambillah kainmu, tutuplah badanmu, dan beliau tidak menyuruh mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan itu.” (HR. Ahmad dan Baihaqi)
2. Karena gila
3. Karena penyakit kusta.
4. Karena ada penyakit menular, seperti sipilis, TBC, AIDS dan sebagainya. Dijelaskan dalam suatu riwayat.
عَنْ سَعِيْدِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ رضي الله عنه قَالَ : اَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ بِا مْرَأَةٍ وَهُوَ جُنُوْنٌ أَوْ ضَرَرٌ فَإِنَّهَا تَخَيَّرُ فَإِ نْ شَاءَتْ قَرَّتْ وَإِنْ شَاءَتْ فَارَقَتْ ( رواه الما لك )
“Dari Sa’id bin Musayyab radhiallahu ‘anh ia berkata: Barangsiapa di antara laki-laki yang menikah dengan seorang perempuan, dan pada laki-laki itu terdapat tanda-tanda gila, atau tanda-tanda yang membahayakan, sesungguhnya perempuan itu boleh memilih jika mau ia tetap dalam perkawinannya dan jika berkehendak cerai maka perempuan itu boleh bercerai.” (HR. Malik)
5. Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan (bersetubuh).
6. Karena ‘unnah, yaitu zakar laki-laki impoten sehingga tidak mencapai apa yang dimaksudkan dengan nikah. Dalam suatu riwayat dari Sa’id bin Musayyab radhiallahu ‘anh ia berkata. “Umar bin Khathab telah memutuskan bahwasanya laki-laki yang ‘unnah diberi tenggat satu tahun sebelum dijatuhkan fasakh.” Seperti itu juga pendapat Ibnu Mas’ud. Diriwayatkan dari ‘Utsman bahwa laki-laki yang ‘unnah tidak diberi tenggat, dari al-Harits bin ‘Abdillah bahwa laki-laki yang ‘unnah diberi tenggat sepuluh bulan. Imam Ahmad, al-Hadi dan ulama’ lain menyatakan bahwa pada keadaan seperti itu tidak terjadi fasakh.[4]
Disamping itu, fasakh juga bisa terjadi oleh sebab-sebab sebagai berikut :
a. Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya.
b. Suami tidak mau memulangkan istrinya, dan tidak pula memberikan belanja sedangkan istrinya itu tidak rela.
c. Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya oleh beberapa orang saksi yang dapat di percaya, sehingga ia tidak sanggup lagi memberi nafkah, baik pakaian yang sederhana, tempat, ataupun maskawinnya belum dibayarkannya sebelum campur.
Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh itu jelas, dan dibenarkan syara’, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan putusan pengadilan. Misalnya terbukti bahwa suami istri masih saudara kandung, atau saudara sesusuan.
Akan tetapi jika terdapat hal-hal seperti berikut, maka pelaksanaannya adalah:
1. Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya, sedangkan hakim telah pula memaksa dia untuk itu, maka dalam hal ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang, seperti qadi nikah di Pengadilan Agama, supaya yang berwenang dapat menyelesaikannya sebagaimana mestinya.
2. Setelah hakim memberi janji kepada suami sekurang-kurangnya tiga hari, mulai dari hari istri itu mengadu. Jika masa perjanjian itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat menyelesaikannya, barulah hakim memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfasakhkan di muka hakim setelah diizinkan olehnya.
Mengenai sebab-sebab batalnya perkawinan dan permohonan pembatalan perkawinan di Indonesia, dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 70-76.[5]
B. Larangan Pernikahan
Yang dimaksud dengan larangan perkawinan dalam bahasan ini adalah orang-orang yang tidak boleh melakukan perkawinan. Yang dibicarakan disini adalah perempuan-perempuan mana saja yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki, atau sebaliknya laki-laki mana saja yang tidak boleh mengawini seorang perempuan.
Secara garis besar larangan kawin antara seorang pria dan wanita yang diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits, dibagi menjadi dua macam yaitu mahram muabbad dan mahram ghairu muabbad
1. Mahram Muabbad
Mahram muabbad, yaitu orang-orang yang haram melakukan pernikahan untuk selamanya. Diantara mahram muabbad ada yang telah disepakati dan ada pula yang masih diperselisihkan. Yang telah disepakati yaitu :
a. Larangan perkawinan karena hubungan kekerabatan (nasab)
Perempuan yang haram dikawini oleh seorang laki-laki untuk selamanya disebabkan oleh hubungan kekerabatan atau nasab yaitu ibu, anak, saudara, saudara ayah, saudara ibu, anak dari saudara laki-laki, dan anak dari saudara perempuan.
Larangan kawin tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat An- Nisa’ ayat 23 :
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ....
b. Larangan perkawinan karena adanya hubungan perkawinan
Perempuan-perempuan yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki untuk selamanya karena hubungan mushaharah itu adalah sebagai berikut:
1. Perempuan yang telah dikawini oleh ayah atau ibu tiri
2. Perempuan yang telah dikawini oleh anak laki-laki atau menantu
3. Ibu istri atau mertua
4. Anak dari istri dengan ketentuan istri atau telah digauli.
Keharaman ini disebutkan dalam lanjutan ayat 23 surat An-Nisa' :
Dan (diharamkan) ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)...[6]
c. Larangan perkawinan karena hubungan sesusuan
Hubungan sesusuan menjadikan orang menjadi mempunyai hubungan kekeluargaan yang sedemikian dekatnya. Mereka yang sesusuan itu telah menjadi saudara dalam pengertian hukum perkawinan ini, dan disebut saudara sesusuan. Tetapi pendekatan ke dalam saudara sesusuan itu tidak menjadikan hubungan persaudaraan sedarah untuk terjadinya saling mewaris karena sedarah dalam hukum kewarisan.[7]
Larangan kawin karena hubungan sesusuan berdasarkan pada lanjutan surat An-Nisa’ ayat 23 di atas :
(Diharamkan atas kamu mengawini) ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan...
Hadits yang terkait:
اَنَّ رَسُوْلَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم كاَنَ عِنْدَ عاَ ئِشَةَ وَاَنَّهاَ سَمِعَتْ صَوْتَ رَجُلٍ يَسْتَأْذِنُ فىِ بَيْتِ حَفْصَةَ . قاَ لَتْ عاَ ئِشَةُ : فَقُلْتُ ياَ رَسُوْلَ اللّهِ! أُرَاهُ فُلاَ ناً (لِعَمِّ حَفْصَةَ مِنَ الرَّضَا عَةِ ) فَقَا لَتْ عَا ئِشَةُ : يَا رَسَوْلَ اللّهِ! هَذَا رَجُلٌ يَسْتَأْذِنُ فىِ بَيْتِكَ ، قَا لَتْ : فَقَالَ يَارَسَوْلَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم: "أُرَاهُ فُلاَناً" (لِعَمِّ حَفْصَةَمِنَ الرَّضَاعَةِ ) فَقَالَتْ عَائِشَةُ : لَوْكاَ نَ فُلاَنٌ حَيًّا (لِعَمِّهَا مِنَالرَّضَاعَةِ) دَخَلَ عَلَيَّ ؟ فَقَا لَ رَسُوْلَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم "نَعَمْ" اَنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلاَدَةِ "
“pada suatu hari Rasulullah berada di kamar Aisyah dan Aisyah mendengar suara seorang laki-laki meminta izin masuk di rumah Hafshah. Aisyah berkata : Ya Rasulullah, saya pikir si fulan (seorang paman susuan Hafshah). Kemudian Aisyah berkata: Ya Rasulullah, dia meminta izin masuk kerumahmu. Kata Aisyah; maka Rasulullah menjawab: saya pikir yang meminta izin itu si fulan (seorang paman susuan Hafshah). Aisyah berkata: sekiranya si fulan itu masih hidup (seorang paman susuan Aisyah, tentu juga dia boleh masuk ke tempatku)? Rasulullah menjawab: benar, sesungguhnya susuan itu mengharamkan apa yang di haramkan lantaran hubungan keluarga.” (Al Bukhory 52:7; Muslim 17;1; Al Lu-lu-u wal Marjan 2:114).[8]
Sedangkan yang masih diperselisihkan oleh ulama tentang pemberlakuan selamanya, yaitu :
a. Istri yang putus perkawinan karena li’an
b. Perempuan yang di kawini waktu iddah
2. Mahram Ghairu Muabbad
Mahram ghairu muabbad, yaitu larangan kawin yang berlaku untuk sementara waktu disebabkan oleh hal tertentu; bila hal tersebut sudah tidak ada, maka larangan itu tidak berlaku lagi. Larangan kawin sementara itu berlaku dalam hal-hal seperti berikut :
a. Mengawini dua orang saudara dalam satu masa
Keharaman mengumpulkan wanita dalam satu waktu perkawinan itu disebutkan dalam lanjutan surat An-Nisa’ 23 :
(Dan diharamkan atas kamu)menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara...
Hadits yang terkait:
عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ فَيْرُوزَ الدَّيْلَمِيِّ عَنْ أَبِيْهِ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ : قُلْتُ يَا رَسُولَ اللّه، إِنِّي أَسْلَمْتُ وَ تَحْتِي أُخْتَا نِ، فَقَالَ رَسُوْلَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم : طَلَّقْ أَيَتَهُمَا شِئْتَ. )رَوَاهُ أَحْمَدُ وَ اْلأَ رْبَعَةُ إِلاَّ النَّسَا ئِيَّ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالدَّا رَ قُطْنِيُّ ، وَأَعَلَّهُ الْبُخَا رِيُّ
“Dari Adh-Dhahhak bin Fairuz Ad-Dailani, dari ayahnya Radhiyallahu Anhu berkata, “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah masuk Islam sedang aku mempunyai dua istri kakak beradik, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ceraikanlah salah seorang dari keduanya yang kamu kehendaki.” (HR. Ahmad dan Al-Arba’ah kecuali An-Nasa’i. Hadits Shahih menurut Ibnu HIBBAN, Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi, dan ma’lul menurut Al-Bukhari)”[9]
b. Poligami diluar batas
Seorang laki-laki dalam perkawinan poligami paling banyak mengawini empat orang dan tidak boleh lebih dari itu, kecuali bila salah seorang dari istrinya yang berempat itu telah diceraikannya dan habis pula masa iddahnya. Dengan begitu perempuan kelima itu haram dikawininya dalam masa tertentu, yaitu selama salah seorang di antar istrinya yang empat itu belum diceraikan.
c. Larangan karena ikatan perkawinan
Seorang perempuan yang sedang terikat dalam tali perkawinan haram dikawini oleh siapapun. Keharaman itu berlaku selama suaminya masih hidup atau belum dicerai oleh suaminya. Setelah suami mati atau ia diceraikan oleh suaminya dan selesai masa iddahnya ia boleh dikawini oleh siapa saja.
Keharaman mengawini perempuan bersuami itu terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 24 :
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.....[10]
d. Larangan karena talak tiga
Wanita yang ditalak tiga, haram kawin lagi dengan bekas suaminya, kecuali kalau sudah kawin lagi dengan orang lain dan telah berhubungan kelamin serta dicerai oleh suami terakhir itu dan telah habis masa ‘iddahnya.
Hadits yang terkait:
وَزَادَ ابْنُ رُمْحٍ فِى رِوَا يَتِهِ وَكَانَ عَبْدُ اللّهِ إِذَا سُئِلَ عَنْ ذَلِكَ قَالَ: لِأَ حَدِهِمْ أَمَّا أَنْتَ طَلَّقْتَ امْرَأَتَكَ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ، فَإِنَّ رَسُوْلَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم آَمَرَنِى بِهَذَا ، وَاِنْ كُنْتَ طَلَّقْتَهَّا ثَلاَثًا فَقَدْ حَرُمَتْ عَلَيْكَ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَكَ وَعَصَيْتَ اللّه فِيْمَا أَمَرَكَ مِنْ طَلَاقِ امْرَأَتِكَ. قَالَ مُسْلِمٌ : جَوَّدَ الَّليْثُ فِى قَوْلِهِ : تَطْلِيْقَةً وَاحِدَةٌ.
“Ibnu Ruhm menambahkan dalam riwayatnya : apabila Abdullah di tanya tentang hal itu (seorang suami yang menceraikan istrinya yang sedang haidh), maka dia mengatakan kepada salah seorang dari mereka (yang bertanya), “jika kamu menceraikan istrimu denganb talak satu atau talak dua, maka sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan hal ini kepadaku. Tetapi jika kamu menceraikan istrimu denganb talak tiga, maka mantan istrimu itu telah haram bagimu sampai dia menikahi lelaki selain kamu, dan engkau telah bermaksiat kepada Allah terkait dengan apa yang di perintahkanNya kepadamu dalam hal menceraikan istrimu.”[11]
e. Larangan karena ihram
Wanita yang sedang melakukan ihram, baik ihram umrah maupun haji, tidak boleh dikawini. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Usman bin Affan :
سَمِعْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ يَقُوْلُ : قَالَ رَسَوْلَ رَسُوْلَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم لَا يَنْكِحُ الْمَحْرَمُ وَلَايُنْكِحَ وَلَايَخْطُبُ (رواه مسلم عن عثمان بن عفان)
“Saya mendengar Ustman bin Affan berkata:Rasulullah SAW bersabda: Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan, dan tidak boleh pula meminang. (Diriwayatkan Muslim dari Ustman bin Affan).”[12]
f. Larangan karena beda agama
Yang dimaksud dengan beda agama disini ialah perempuan muslimah dengan laki-laki non muslim dan sebaliknya. Dalam istilah fiqh disebut kawin dengan orang kafir. Keharaman laki-laki muslim kawin dengan perempuan musyrik atau perempuan muslimah kawin dnegan laki-laki musyrik terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 221.[13]
Hadits Terkait :
عن أبي هريرة رضى الله عنه قال عن النبى صلى الله عليه و سلم قال : تَنْكِحُ الْمَرْأَةُ لآَرْبَعٍ, لِمَا لِهَا, وَلِنَسَبِهَا , وَلِجَمَلِهَا, وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ (رواه البخاري في كتاب النكا ح)
“Dari Abi Hurairah R.A. Berkata, Rasulullah S.A.W bersabda : "wanita itu boleh dinikahi karena empat hal: 1. karena hartanya. 2. karena asal-usul(keturunan)nya, 3. Karena kecantikannya, 4. Karena agamanya. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk agama Islam, (jika tidak), akan binasalah kedua tangan-mu (hadits riwayat Bukhari di dalam kitab Nikah)”[14]
[1] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenata Media Group, 2003), hlm. 141-142.
[2] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII press, 2010), hlm. 85.
[3]Slamet Abidin dan Aminudin, fiqih munakahat 2, (Bandung: Pustaka setia, 1999), hlm. 73-75.
[4]As-Shon’ani, Subulussalam, (Beirut: Darul kutub ilmiyah/III), hlm. 140.
[5] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat..., hlm. 148-154.
[6] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009) , hlm. 109-111.
[7] Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1974), hlm. 53.
[8]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadits 5 (Nikah dan Hukum Keluarga, Perbudakan, Jual Beli, Nazar dan Sumpah, Pidana dan Peradilan, Jihad), (Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2003), hlm.73.
[9]Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam – Syarah Bulughul Maram, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2013), hlm. 992.
[10] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan..., hlm. 125-128.
[11]Imam An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2011), hlm. 176.
[12]Imam An-Nawawi, Shahih Muslim..., hlm. 544.
[13] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan..., hlm.133.
[14] Ma’ruf Mu’in dkk, Himpunan Fatwa MUI sejak 1975, ( Jakarta: Erlangga,2011), hlm.481
Tidak ada komentar:
Posting Komentar