Kamis, 12 Desember 2013

BATALNYA PERKAWINAN DAN LARANGAN PERNIKAHAN

I. PENDAHULUAN

Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam pelaksanaan pernikahan harus memenuhi rukun dan syarat pernikahan yang ada. Akan tetapi jika salah satu rukun atau syarat pernikahan tidak terpenuhi maka pernikahan itu tidak syah. Selain tidak syahnya pernikahan secara langsung pernikahan itu juga batal (fasakh).

Fasakh bisa juga terjadi karena hal lain yang melanggar aturan perkawinan. Misalnya menikah dengan saudara kandung. Meskipun rukun dan syaratnya terpenuhi pernikahan ini dianggap batal. Karena Islam telah mengatur beberapa perkawinan yang dilarang. Salah satunya yaitu menikah dengan saudara kandung.

Selain berbagai permasalahan urgent diatas, terdapat pula hal penting lainya yang patut disorot. Yaitu mengenai seks education atau pendidikan seks. Mengingat begitu pentingnya pendidikan seks dalam Islam maka sudah sepatutnya diajarkan kepada anak didik dan lainya. Oleh karena itu dalam makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai pentingnya seks education dalam Islam, batalnya perkawinan, dan larangan perkawinan.

II. RUMUSAN MASALAH

A. Apa Saja yang Menyebabkan Batalnya Perkawinan ?
B. Apa Saja Larangan Perkawinan ?
C. Bagaimana Seks Education dalam Islam ?

III. PEMBAHASAN

A. Batalnya Perkawinan

Batalnya perkawinan yaitu “rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu rukunnya, atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama”. Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan disebut juga dengan fasakh.[1] Kata fasakh (batalnya pernikahan) berarti merusakkan atau membatalkan. Jadi, fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.[2]

Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.

1. Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.

a. Setelah akad nikah ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau saudara sesusuan pihak suami.

b. Suami isti masih kecil, kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan pernikahannya atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar baligh, jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh baligh.

2. Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad

a. Jika seorang suami murtad atau keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan.

b. Jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya, yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istrinya ahli kitab. Maka akadnya tetap sah sepertisemula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semula dipandang sah.

Golongan Hanafiyah membuat rumusan umum guna membedakan pengertian pisahnya suami istri sabab talak dan sebab fasakh. Kata mereka: “Pisahnya suami istri karena suami dan sama sekali tidak ada pengaruh istri disebut talak, dan setiap perpisahan suami istri karena istri, bukan karena suami atau karena suami, tapi dengan pengaruh dari istri disebut fasakh.”[3]

Selain hal-hal tersebut ada juga hal-hal lain yang menyebabkan terjadinya fasakh, yaitu sebagai berikut:

1. Karena ada balak (penyakit belang kulit). Dalam kaitan ini, Rasulullah bersabda:

عَنْ كَعْبِ بْنِ زَيْدٍ رَضِي الله عنه أَنَّ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم تَزَوَّجَ اِمْرَ أَةً مِنْ بَنِيْ غِفَارٍ، فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهَا فَوَضَعَ ثَوْبَهُ وَقَعَدَ عَلَى الْفِرَاشِ أَبْصَرَ بِكَشْحِهَا بَيَا ضًا فَا نْحَا زَ عَنِ الْفِرَاشِ ثُمَّ قَالَ : خُذِى عَلَيْكَ ثِيَابَكَ وَلَمْ يَأْ خُذْ مِمَّا أَتَا هَا شَيْئًا (رواه أحمد و البيهقى

“Dari Ka’ab Bin Zaid radhiallahu ‘anh bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menikahi seorang perempuan bani Ghifar. Maka, tatkala beliau masuk menemuinya dan perempuan itu telah meletakkan kainnya dan ia duduk di atas tempat tidur terlihatlah putih (balak) di lambungnya, lalu beliau berpaling seraya berkata: ambillah kainmu, tutuplah badanmu, dan beliau tidak menyuruh mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan itu.” (HR. Ahmad dan Baihaqi)

2. Karena gila

3. Karena penyakit kusta.

4. Karena ada penyakit menular, seperti sipilis, TBC, AIDS dan sebagainya. Dijelaskan dalam suatu riwayat.

عَنْ سَعِيْدِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ رضي الله عنه قَالَ : اَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ بِا مْرَأَةٍ وَهُوَ جُنُوْنٌ أَوْ ضَرَرٌ فَإِنَّهَا تَخَيَّرُ فَإِ نْ شَاءَتْ قَرَّتْ وَإِنْ شَاءَتْ فَارَقَتْ ( رواه الما لك )

“Dari Sa’id bin Musayyab radhiallahu ‘anh ia berkata: Barangsiapa di antara laki-laki yang menikah dengan seorang perempuan, dan pada laki-laki itu terdapat tanda-tanda gila, atau tanda-tanda yang membahayakan, sesungguhnya perempuan itu boleh memilih jika mau ia tetap dalam perkawinannya dan jika berkehendak cerai maka perempuan itu boleh bercerai.” (HR. Malik)

5. Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan (bersetubuh).

6. Karena ‘unnah, yaitu zakar laki-laki impoten sehingga tidak mencapai apa yang dimaksudkan dengan nikah. Dalam suatu riwayat dari Sa’id bin Musayyab radhiallahu ‘anh ia berkata. “Umar bin Khathab telah memutuskan bahwasanya laki-laki yang ‘unnah diberi tenggat satu tahun sebelum dijatuhkan fasakh.” Seperti itu juga pendapat Ibnu Mas’ud. Diriwayatkan dari ‘Utsman bahwa laki-laki yang ‘unnah tidak diberi tenggat, dari al-Harits bin ‘Abdillah bahwa laki-laki yang ‘unnah diberi tenggat sepuluh bulan. Imam Ahmad, al-Hadi dan ulama’ lain menyatakan bahwa pada keadaan seperti itu tidak terjadi fasakh.[4]

Disamping itu, fasakh juga bisa terjadi oleh sebab-sebab sebagai berikut :

a. Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya.

b. Suami tidak mau memulangkan istrinya, dan tidak pula memberikan belanja sedangkan istrinya itu tidak rela.

c. Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya oleh beberapa orang saksi yang dapat di percaya, sehingga ia tidak sanggup lagi memberi nafkah, baik pakaian yang sederhana, tempat, ataupun maskawinnya belum dibayarkannya sebelum campur.

Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh itu jelas, dan dibenarkan syara’, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan putusan pengadilan. Misalnya terbukti bahwa suami istri masih saudara kandung, atau saudara sesusuan.

Akan tetapi jika terdapat hal-hal seperti berikut, maka pelaksanaannya adalah:

1. Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya, sedangkan hakim telah pula memaksa dia untuk itu, maka dalam hal ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang, seperti qadi nikah di Pengadilan Agama, supaya yang berwenang dapat menyelesaikannya sebagaimana mestinya.

2. Setelah hakim memberi janji kepada suami sekurang-kurangnya tiga hari, mulai dari hari istri itu mengadu. Jika masa perjanjian itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat menyelesaikannya, barulah hakim memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfasakhkan di muka hakim setelah diizinkan olehnya.

Mengenai sebab-sebab batalnya perkawinan dan permohonan pembatalan perkawinan di Indonesia, dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 70-76.[5]

B. Larangan Pernikahan

Yang dimaksud dengan larangan perkawinan dalam bahasan ini adalah orang-orang yang tidak boleh melakukan perkawinan. Yang dibicarakan disini adalah perempuan-perempuan mana saja yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki, atau sebaliknya laki-laki mana saja yang tidak boleh mengawini seorang perempuan.

Secara garis besar larangan kawin antara seorang pria dan wanita yang diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits, dibagi menjadi dua macam yaitu mahram muabbad dan mahram ghairu muabbad

1. Mahram Muabbad

Mahram muabbad, yaitu orang-orang yang haram melakukan pernikahan untuk selamanya. Diantara mahram muabbad ada yang telah disepakati dan ada pula yang masih diperselisihkan. Yang telah disepakati yaitu :

a. Larangan perkawinan karena hubungan kekerabatan (nasab)

Perempuan yang haram dikawini oleh seorang laki-laki untuk selamanya disebabkan oleh hubungan kekerabatan atau nasab yaitu ibu, anak, saudara, saudara ayah, saudara ibu, anak dari saudara laki-laki, dan anak dari saudara perempuan.

Larangan kawin tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat An- Nisa’ ayat 23 :

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ....

b. Larangan perkawinan karena adanya hubungan perkawinan

Perempuan-perempuan yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki untuk selamanya karena hubungan mushaharah itu adalah sebagai berikut:

1. Perempuan yang telah dikawini oleh ayah atau ibu tiri

2. Perempuan yang telah dikawini oleh anak laki-laki atau menantu

3. Ibu istri atau mertua

4. Anak dari istri dengan ketentuan istri atau telah digauli.

Keharaman ini disebutkan dalam lanjutan ayat 23 surat An-Nisa' :

Dan (diharamkan) ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)...[6]

c. Larangan perkawinan karena hubungan sesusuan

Hubungan sesusuan menjadikan orang menjadi mempunyai hubungan kekeluargaan yang sedemikian dekatnya. Mereka yang sesusuan itu telah menjadi saudara dalam pengertian hukum perkawinan ini, dan disebut saudara sesusuan. Tetapi pendekatan ke dalam saudara sesusuan itu tidak menjadikan hubungan persaudaraan sedarah untuk terjadinya saling mewaris karena sedarah dalam hukum kewarisan.[7]

Larangan kawin karena hubungan sesusuan berdasarkan pada lanjutan surat An-Nisa’ ayat 23 di atas :

(Diharamkan atas kamu mengawini) ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan...

Hadits yang terkait:

اَنَّ رَسُوْلَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم كاَنَ عِنْدَ عاَ ئِشَةَ وَاَنَّهاَ سَمِعَتْ صَوْتَ رَجُلٍ يَسْتَأْذِنُ فىِ بَيْتِ حَفْصَةَ . قاَ لَتْ عاَ ئِشَةُ : فَقُلْتُ ياَ رَسُوْلَ اللّهِ! أُرَاهُ فُلاَ ناً (لِعَمِّ حَفْصَةَ مِنَ الرَّضَا عَةِ ) فَقَا لَتْ عَا ئِشَةُ : يَا رَسَوْلَ اللّهِ! هَذَا رَجُلٌ يَسْتَأْذِنُ فىِ بَيْتِكَ ، قَا لَتْ : فَقَالَ يَارَسَوْلَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم: "أُرَاهُ فُلاَناً" (لِعَمِّ حَفْصَةَمِنَ الرَّضَاعَةِ ) فَقَالَتْ عَائِشَةُ : لَوْكاَ نَ فُلاَنٌ حَيًّا (لِعَمِّهَا مِنَالرَّضَاعَةِ) دَخَلَ عَلَيَّ ؟ فَقَا لَ رَسُوْلَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم "نَعَمْ" اَنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلاَدَةِ "

“pada suatu hari Rasulullah berada di kamar Aisyah dan Aisyah mendengar suara seorang laki-laki meminta izin masuk di rumah Hafshah. Aisyah berkata : Ya Rasulullah, saya pikir si fulan (seorang paman susuan Hafshah). Kemudian Aisyah berkata: Ya Rasulullah, dia meminta izin masuk kerumahmu. Kata Aisyah; maka Rasulullah menjawab: saya pikir yang meminta izin itu si fulan (seorang paman susuan Hafshah). Aisyah berkata: sekiranya si fulan itu masih hidup (seorang paman susuan Aisyah, tentu juga dia boleh masuk ke tempatku)? Rasulullah menjawab: benar, sesungguhnya susuan itu mengharamkan apa yang di haramkan lantaran hubungan keluarga.” (Al Bukhory 52:7; Muslim 17;1; Al Lu-lu-u wal Marjan 2:114).[8]

Sedangkan yang masih diperselisihkan oleh ulama tentang pemberlakuan selamanya, yaitu :

a. Istri yang putus perkawinan karena li’an
b. Perempuan yang di kawini waktu iddah

2. Mahram Ghairu Muabbad

Mahram ghairu muabbad, yaitu larangan kawin yang berlaku untuk sementara waktu disebabkan oleh hal tertentu; bila hal tersebut sudah tidak ada, maka larangan itu tidak berlaku lagi. Larangan kawin sementara itu berlaku dalam hal-hal seperti berikut :

a. Mengawini dua orang saudara dalam satu masa

Keharaman mengumpulkan wanita dalam satu waktu perkawinan itu disebutkan dalam lanjutan surat An-Nisa’ 23 :

(Dan diharamkan atas kamu)menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara...

Hadits yang terkait:

عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ فَيْرُوزَ الدَّيْلَمِيِّ عَنْ أَبِيْهِ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ : قُلْتُ يَا رَسُولَ اللّه، إِنِّي أَسْلَمْتُ وَ تَحْتِي أُخْتَا نِ، فَقَالَ رَسُوْلَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم : طَلَّقْ أَيَتَهُمَا شِئْتَ. )رَوَاهُ أَحْمَدُ وَ اْلأَ رْبَعَةُ إِلاَّ النَّسَا ئِيَّ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالدَّا رَ قُطْنِيُّ ، وَأَعَلَّهُ الْبُخَا رِيُّ

“Dari Adh-Dhahhak bin Fairuz Ad-Dailani, dari ayahnya Radhiyallahu Anhu berkata, “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah masuk Islam sedang aku mempunyai dua istri kakak beradik, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ceraikanlah salah seorang dari keduanya yang kamu kehendaki.” (HR. Ahmad dan Al-Arba’ah kecuali An-Nasa’i. Hadits Shahih menurut Ibnu HIBBAN, Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi, dan ma’lul menurut Al-Bukhari)”[9]

b. Poligami diluar batas

Seorang laki-laki dalam perkawinan poligami paling banyak mengawini empat orang dan tidak boleh lebih dari itu, kecuali bila salah seorang dari istrinya yang berempat itu telah diceraikannya dan habis pula masa iddahnya. Dengan begitu perempuan kelima itu haram dikawininya dalam masa tertentu, yaitu selama salah seorang di antar istrinya yang empat itu belum diceraikan.

c. Larangan karena ikatan perkawinan

Seorang perempuan yang sedang terikat dalam tali perkawinan haram dikawini oleh siapapun. Keharaman itu berlaku selama suaminya masih hidup atau belum dicerai oleh suaminya. Setelah suami mati atau ia diceraikan oleh suaminya dan selesai masa iddahnya ia boleh dikawini oleh siapa saja.

Keharaman mengawini perempuan bersuami itu terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 24 :

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.....[10]

d. Larangan karena talak tiga

Wanita yang ditalak tiga, haram kawin lagi dengan bekas suaminya, kecuali kalau sudah kawin lagi dengan orang lain dan telah berhubungan kelamin serta dicerai oleh suami terakhir itu dan telah habis masa ‘iddahnya.

Hadits yang terkait:

وَزَادَ ابْنُ رُمْحٍ فِى رِوَا يَتِهِ وَكَانَ عَبْدُ اللّهِ إِذَا سُئِلَ عَنْ ذَلِكَ قَالَ: لِأَ حَدِهِمْ أَمَّا أَنْتَ طَلَّقْتَ امْرَأَتَكَ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ، فَإِنَّ رَسُوْلَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم آَمَرَنِى بِهَذَا ، وَاِنْ كُنْتَ طَلَّقْتَهَّا ثَلاَثًا فَقَدْ حَرُمَتْ عَلَيْكَ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَكَ وَعَصَيْتَ اللّه فِيْمَا أَمَرَكَ مِنْ طَلَاقِ امْرَأَتِكَ. قَالَ مُسْلِمٌ : جَوَّدَ الَّليْثُ فِى قَوْلِهِ : تَطْلِيْقَةً وَاحِدَةٌ.

“Ibnu Ruhm menambahkan dalam riwayatnya : apabila Abdullah di tanya tentang hal itu (seorang suami yang menceraikan istrinya yang sedang haidh), maka dia mengatakan kepada salah seorang dari mereka (yang bertanya), “jika kamu menceraikan istrimu denganb talak satu atau talak dua, maka sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan hal ini kepadaku. Tetapi jika kamu menceraikan istrimu denganb talak tiga, maka mantan istrimu itu telah haram bagimu sampai dia menikahi lelaki selain kamu, dan engkau telah bermaksiat kepada Allah terkait dengan apa yang di perintahkanNya kepadamu dalam hal menceraikan istrimu.”[11]

e. Larangan karena ihram

Wanita yang sedang melakukan ihram, baik ihram umrah maupun haji, tidak boleh dikawini. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Usman bin Affan :

سَمِعْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ يَقُوْلُ : قَالَ رَسَوْلَ رَسُوْلَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم لَا يَنْكِحُ الْمَحْرَمُ وَلَايُنْكِحَ وَلَايَخْطُبُ (رواه مسلم عن عثمان بن عفان)

“Saya mendengar Ustman bin Affan berkata:Rasulullah SAW bersabda: Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan, dan tidak boleh pula meminang. (Diriwayatkan Muslim dari Ustman bin Affan).”[12]

f. Larangan karena beda agama

Yang dimaksud dengan beda agama disini ialah perempuan muslimah dengan laki-laki non muslim dan sebaliknya. Dalam istilah fiqh disebut kawin dengan orang kafir. Keharaman laki-laki muslim kawin dengan perempuan musyrik atau perempuan muslimah kawin dnegan laki-laki musyrik terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 221.[13]

Hadits Terkait :

عن أبي هريرة رضى الله عنه قال عن النبى صلى الله عليه و سلم قال : تَنْكِحُ الْمَرْأَةُ لآَرْبَعٍ, لِمَا لِهَا, وَلِنَسَبِهَا , وَلِجَمَلِهَا, وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ (رواه البخاري في كتاب النكا ح)

“Dari Abi Hurairah R.A. Berkata, Rasulullah S.A.W bersabda : "wanita itu boleh dinikahi karena empat hal: 1. karena hartanya. 2. karena asal-usul(keturunan)nya, 3. Karena kecantikannya, 4. Karena agamanya. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk agama Islam, (jika tidak), akan binasalah kedua tangan-mu (hadits riwayat Bukhari di dalam kitab Nikah)”[14]

                             
[1] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenata Media Group, 2003), hlm. 141-142.
[2] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII press, 2010), hlm. 85.
[3]Slamet Abidin dan Aminudin, fiqih munakahat 2, (Bandung: Pustaka setia, 1999), hlm. 73-75.
[4]As-Shon’ani, Subulussalam, (Beirut: Darul kutub ilmiyah/III), hlm. 140.
[5] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat..., hlm. 148-154.
[6] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009) , hlm. 109-111.
[7] Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1974), hlm. 53.
[8]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadits 5 (Nikah dan Hukum Keluarga, Perbudakan, Jual Beli, Nazar dan Sumpah, Pidana dan Peradilan, Jihad), (Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2003), hlm.73.
[9]Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam – Syarah Bulughul Maram, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2013), hlm. 992.
[10] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan..., hlm. 125-128.
[11]Imam An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2011), hlm. 176.
[12]Imam An-Nawawi, Shahih Muslim..., hlm. 544.
[13] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan..., hlm.133.
[14] Ma’ruf Mu’in dkk, Himpunan Fatwa MUI sejak 1975, ( Jakarta: Erlangga,2011), hlm.481

SIGHOT AKAD, WALI DAN MAHAR DALAM PERNIKAHAN

I. PENDAHULUAN

Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah di bumi ini. Maka keberadaannya di bumi sangat dibutuhkan agar kelangsungan hidup manusia tetap lestari. Oleh karena itu, manusia dianjurkan untuk menikah bagi yang sudah mampu dari segi apapun. Selain untuk menghindari perzinaan, nikah juga merupakan Sunnatullah. Dalam masalah pernikahan ini, tentunya ada ketentuan-ketentuan tersendiri.

Pada esensinya, Allah SWT telah menentukan jodoh masing-masing bagi manusia. Tidak pandang berlainan ras, suku, etnik, bangsa dan golongan. Jika telah menjadi jodohnya, maka ibarat “Asam digunung dan garam dilaut, akhirnya bertemu juga“.

Agama Islam juga telah mengatur tentang tata cara pernikahan, di antaranya adalah masalah sighot akad nikah, wali nikah, dan mahar (maskawin). Hal ini mempunyai maksud agar nantinya tujuan dari pernikahan yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dapat tercapai tanpa suatu halangan apapun.

II. RUMUSAN MASALAH

A. Ketentuan Sighot Akad Nikah
B. Ketentuan Wali dalam Pernikahan
C. Mahar dan Ketentuan Mahar

III. PEMBAHASAN

A. Ketentuan Sighot Akad Nikah

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang berakad dalam bentuk ijab qabul. Ijab merupakan penyerahan dari pihak pertama sedangkan qabul merupakan penyerahan dari pihak kedua.Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapan: "Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Al Qur'an ". Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapan :"Saya terima nikahnya anak bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Al Qur'an".[1]

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwasannya akad nikah, ijab qabul boleh dilakukan dengan bahasa, kata-kata atau perbuatan apa saja yang oleh masyarakat umumnya dianggap sudah menyatakan terjadinya nikah.[2]

Syarat- syarat akad adalah :

a. Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Yang melakukan ijab boleh dari pihak laki-laki dan boleh pula dari pihak wali perempuan. Bentuk ijab dari suami umpamanya ucapan suami: "Saya nikahi anak Bapak yang bernama si A dengan mahar satu kitab Al Qur'an". Qabul dari pihak wali perempuan bunyinya: "Saya terima engkau menikahi anak saya yang bernama si A dengan mahar satu kitab Al Qur'an".
b. Materi ijab qabul tidak boleh berbeda
c. ijab qabul harus diucapkan secara bersambungan
d. ijab qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang
e. ijab qabul tidak boleh menggunakan lafaz yang mengandung maksud membatasi perkawinan untuk masa tertentu.[3]

Syarat kedua mempelai diantaranya :

a. Suami disyaratkan seoarng muslim. Apabila non Muslim berakad nikah ,meskipun ia ahli kitab, terhadap perempuan muslimah maka akadnya batil
b. Istri disyaratkan bukan perempuan yang haram untuk dinikahi.[4]

Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,

وأجمعت الامة على أن المشرك لا يطأ المؤمنة بوجه، لما في ذلك من الغضاضة على الاسلام.

“Para ulama kaum muslimin telah sepakat tidak bolehnya pria musyrik (non muslim) menikahi (menyetubuhi) wanita muslimah apa pun alasannya. Karena hal ini sama saja merendahkan martabat Islam.

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,

هذه الآية هي التي حَرّمَت المسلمات على المشركين

“Ayat ini (surat Al Mumtahanah ayat 10) menunjukkan haramnya wanita muslimah menikah dengan laki-laki musyrik (non muslim)”[5]

Dengan demikian, lafadz ijab qabul oleh wali/ayah terhadap calon mempelai pria adalah:

أَنْكَحْتُكَ وزَوَّجْتُكَ بِبِنْتِى . . . بِمَهْرٍ . . . حَالاً.

Artinya; “Aku nikahkan engkau, atau aku kawinkan engkau dengan anakku….(nama) dengan maskawinnya….tunai.” (ijab)

قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيـْجَهَا بِالْمَهْرِ. . . حَالاً.

Artinya; “Aku terima nikahnya dengan maskawinnya….tunai.” (qabul)

Bagi yang bisa bahasa dan mengerti bahasa Arab hendaklah dengan bahasa Arab, tetapi bagi yang tidak bisa dengan artinya.[6]

B. Ketentuan Wali dalam Pernikahan

Wali adalah orang yang mengakadkan nikah itu menjadi sah. Nikah yang tanpa wali adalah tidak sah. Wali dalam suatu pernikahan merupakan suatu hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita, yang bertindak menikahkannya.[7]

Akad nikah dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya, dan keberadaan seorang wali dalam akad nikah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali.

Seorang wali dalam suatu akad nikah sangat diperlukan, karena akad nikah tidak sah kecuali dengan seorang wali (dari pihak perempuan).

Dasarnya ialah firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 232:

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya

Dan Hadits Rasulullah SAW:

عنعَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ أِذْنِ وَلِيُّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ (أخرجه الأربعة إلا النسائ وصححه أبوعوانة وأبن حبان والحاكم)

Dari ‘Aisyah RA., ia berkata: Rasulullah SAW. telah bersabda: “Siapa pun perempuan yang menikah dengan tidak seizin walinya, maka batallah pernikahannya (H.R. Imam yang empat kecuali Nasa’I dan disahkan oleh Abu ‘Awanah dan Ibnu Hibban serta Hakim)

Orang yang berhak menjadi wali :

a. Wali dekat atau wali qarib (الولى القريب)

Yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap anak perempuan yang akan dinikahkannya.

b. Wali jauh atau wali Ab'ad (الولى البعد), yang menjadi wali jauh ini secara berurutan adalah :

1. Saudara laki-laki kandung
2. Saudara laki-laki seayah
3. Anak saudara laki-laki kandung
4. Anak saudara laki-laki seayah
5. Paman kandung
6. Paman Seayah
7. Anak paman kandung
8. Anak paman seayah
9. Ahli waris kerabat lainnya kalau ada
10. Wali hakim[8]

Sedangkan yang berhak menempati kedudukan sebagai wali itu ada tiga kelompok :

a. Wali Nasab yaitu wali berhubungan tali kekeluargaan dengan perempuan yang akan kawin.
b. Wali Mu'thiq yaitu orang yang menjadi wali terhadap perempuan bekas hamba sahaya yang dimerdekakannya.
c. Wali Hakim yaitu wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa.

Orang-orang yang disebutkan di atas baru berhak menjadi wali bila memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali.
b. Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali
c. Muslim. Tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali untuk muslim. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al Imran ayat 28 :

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.

d. Orang Merdeka
e. Tidak berada dalam pengampuan atau mahjur alaih. Alasannya bahwa orang yang berada dalam pengampuan tidak dapat berbuat hukum dengan sendirinya. Kedudukannya sebagai wali merupakan suatu tindakan hukum
f. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah. [9]

C. Mahar dan Ketentuan Mahar

Mahar adalah mas kawin yang diberikan oleh seorang lelaki kepada calon istrinya, baik berupa uang maupun barang, guna membuktikan kesetiaan suami terhadap calon istrinya. Menurut istilah fiqih mahar berarti pembayaran yang wajib diberikan kepada perempuan karena akad nikah, dan sebagai kehalalan terhadap wanita.

Membayar mahar hukumnya wajib, namun tidak termasuk rukun nikah. Karena itu bentuk dan nilai mahar disunnahkan disebutkan dalam sighat akad nikah.[10]

Kewajiban pemberian mahar sesuai dengan Al Qur’an surat An Nisa ayat 4:

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص جَائَتْهُ امْرَأَةٌ وَ قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنِّى قَدْ وَهَبْتُ نَفْسِى لَكَ، فَقَامَتْ قِيَامًا طَوِيْلاً. فَقَالَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، زَوِّجْنِيْهَا اِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ فِيْهَا حَاجَةٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا اِيَّاهُ؟ فَقَالَ: مَا عِنْدِيْ اِلاَّ اِزَارِيْ هذَا. فَقَالَ النَّبِيُّ ص. اِنْ اَعْطَيْتَهَا اِزَارَكَ جَلَسْتَ لاَ اِزَارَ لَكَ، فَالْتَمِسْ شَيْئًا. فَقَالَ: مَا اَجِدُ شَيْئًا. فَقَالَ: اِلْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ. فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: هَلْ مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ شَيْئٌ؟ قَالَ: نَعَمْ. سُوْرَةُ كَذَا وَ سُوْرَةُ كَذَا لِسُوَرٍ يُسَمِّيْهَا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ. احمد و البخارى و مسلم

Dari Sahl bin Sa’ad bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah didatangi seorang wanita lalu berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku untukmu”. Lalu wanita itu berdiri lama. Kemudian berdirilah seorang laki-laki dan berkata, “Ya Rasulullah, kawinkanlah saya dengannya jika engkau sendiri tidak berminat kepadanya”. Kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Apakah kamu mempunyai sesuatu yang dapat kamu pergunakan sebagai mahar untuknya ?”. Ia menjawab, “Saya tidak memiliki apapun melainkan pakaian ini”. Lalu Nabi bersabda, “Jika pakaianmu itu kamu berikan kepadanya maka kamu tidak berpakaian lagi. Maka carilah sesuatu yang lain”. Kemudian laki-laki itu berkata, “Saya tidak mendapatkan sesuatu yang lain”. Lalu Nabi SAW bersabda, “Carilah, meskipun cincin dari besi”. Lalu laki-laki itu mencari, tetapi ia tidak mendapatkannya. Kemudian Nabi SAW bertanya kepadanya, “Apakah kamu memiliki hafalan ayat Al-Qur’an ?”. Ia menjawab, “Ya. Surat ini dan surat ini”. Ia menyebutkan nama-nama surat tersebut, kemudian Nabi SAW bersabda kepadanya, “Sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya dengan apa yang kamu miliki dari Al-Qur’an itu”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim][11]

Mahar merupakan suatu perlambang yang jumlah nilainya tidak ditentukan banyak atau sedikitnya akan tetapi terletak pada perasaan orang yang memberi dan keinginannya untuk memuliakan teman hidupnya yang telah Allah halalkan baginya yang termasuk hak mutlak istri. Karena mahar tidak ditentukan jumlah nilainya mahar harus berbentuk dan mengandung manfaat.

                                
[1] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 87-88
[2] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 6, (Bandung: PT Alma’arif,1980), hlm. 55
[3] Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm. 88
[4] Abdul Majid Mahud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, (Yogyakarta: Era Intermedia, 2005), hlm. 50-51
[5] Muhammad Abduh Tuasikal, Nikah Beda Agama, http://muslim.or.id/aqidah/nikah-beda-agama.html, diakses tanggal 4 Desember 2013 pukul 16:00 WIB
[6] Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama Semarang,1993), hlm.22-24
[7] Ibid, hlm. 65
[8] Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm. 92-93
[9] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di InndonesiaAntara Fiqh Munakahah dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 76-78
[10] Ilham Abdullah, Kado Buat Mempelai Membentuk Keluarga Sakinah Mawadah Warohmah, (Yogyakarta: Absolut, 2004), hal.246-249.
[11] http://1001hadits.blogspot.com/2012/01/9-tidak-ada-ketentuan-besar-kecilnya.html

MACAM-MACAM NIKAH DAN HIKMAH NIKAH

I. PENDAHULUAN

Pernikahan Islami yang dibangun atas dasar keinginan luhur dan jujur serta dibina melalui tahapan-tahapan, yakni lamaran, akad nikah, dan pesta pernikahan. Memelihara kehormatan diri dan keturunan yang baik adalah puncak pemikiran manusia yang beradab dan kesempurnaan petunjuk Ilahi menyangkut relasi antara laki-laki dan perempuan.

Manusia sejak dahulu hingga sekarang sudah mengetahui aneka ragam relasi itu yang keseluruhannya tak mengindahkan keluhuran budi pekerti dan rasa malu, menghancurkan nilai-nilai moral dan kesucian, dan pada gilirannya mencampakkan prinsip kehormatan dan harga diri manusia.[1] Maka dalam makalah ini, pemakalah akan membahas macam-macam nikah serta hikmah nikah.

II. RUMUSAN MASALAH

A. Apa Saja Macam-macam Nikah itu ?

B. Apa Hikmatun Nikah itu ?

III. PEMBAHASAN

A. Macam-macam Nikah

Dalam hal nikah, hukum Islam mengenal lima kategori hukum yang lazim dikenal dengan sebutan al-ahkam al-khamsah (hukum yang lima), yakni:

1. Pernikahan wajib (az-zawaj al-wajib)

Yaitu pernikahan yang harus dilakukan oleh seseorang yang memiliki kemampuan untuk menikah (berumah tangga) serta memiliki nafsu biologis (nafsu syahwat) dan khawatir dirinya melakukan perbuatan zina manakala tidak melakukan pernikahan. Keharusan menikah ini didasarkan atas alasan bahwa mempertahankan kehormatan diri dari kemungkinan berbuat zina adalah wajib. Dan satu-satunya sarana untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina itu adalah nikah, maka menikah menjadi wajib bagi orang yang seperti ini.

2. Pernikahan yang dianjurkan (az-zawaj al-mustahab)

Yaitu pernikahan yang dianjurkan kepada seseorang yang mampu untuk melakukan pernikahan dan memiliki nafsu biologis tetapi dia merasa mampu untuk menghindarkan dirinya dari kemungkinan melakukan zina. Orang yang memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi, serta sehat jasmani dalam artian memiliki nafsu syahwat (tidak impoten), maka dia tetap dianjurkan supaya menikah meskipun orang yang bersangkutan merasa mampu untuk memelihara kehormatan dirinya dan kemungkinan melakukan pelanggaran seksual, khususnya zina. Sebab, Islam pada dasarnya tidak menyukai pemeluknya yang membujang semur hidup (tabattul). Sebagaimana hadits Nabi SAW :

عَنْ عَبْدِ الله قَا لَ قَالَ لَنَا رَسُو لُ الله صلى الله عليه وسلم يَا مَعْشَرَ الشَّبَا بِ مَنِ اسْتَطَا عَ مِنْكُمُ الْبَا ءَ ةَ فَلْيَتَزَ وَّ جُ فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وّاَحْصَنُ لِلْفَرْ جِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِاالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَا ءٌ (اخرجه مسلم في كتا ب النكا ح

Artinya: Dari Abdillah berkata : Rasulullah SAW bersabda kepada kami, “hai para pemuda barang siapa diri kalian mampu untuk menikah maka menikahlah, sesungguhnya nikah itu menundukkan pandangan dan menjaga farji (kehormatan). Dan barang siapa tidak mampu maka berpuasalah, sesungguhnya puasa itu baginya sebagai penahan. (diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Nikah).[2]

3. Pernikahan yang kurang atau tidak disukai (az-zawaj al-makruh)

Yaitu jenis pernikahan yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kemampuan biaya hidup meskipun memiliki kemampuan biologis, atau tidak memiliki nafsu biologis meskipun memiliki kemampuan ekonomi, tetapi ketidakmampuan biologis atau ekonomi itu tidak sampai membahayakan salah satu pihak khususnya istri. Jika kondisi seseorang seperti itu tetapi dia tetap melakukan pernikahan, maka pernikahan kurang (tidak disukai) karena pernikahan yang dilakukannya besar kemungkinan menimbulkan hal-hal yang kurang disukai oleh salah satu pihak.

4. Pernikahan yang dibolehkan (az-zawaj al-mubah)

Yaitu pernikahan yang dilakukan tanpa ada factor-faktor yang mendorong (memaksa) atau yang menghalang-halangi. Pernikahan ibahah inilah yang umum terjadi di tengah-tengah masyarakat luas, dan oleh kebanyakan ulama’ dinyatakan sebagai hukum dasar atau hukum asal dari nikah.[3]

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan bagi orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan pengahambatnya untuk kawin itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan melakukan kawin, seperti mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.[4]

5. Pernikahan yang diharamkan ( larangan keras)

Yaitu pernikahan yang dilakukan bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggungjawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan pernikahan akan terlantarlah dirinya dan istrinya, maka hukum melakukan pernikahan bagi oran tersebut adalah haram. Keharaman nikah ini karena nikah dijadikan alat untuk mencapai yang haram secara pasti, sesuatu yang menyampaikan kepada yang haram secara pasti, maka ia haram juga. Jika seseorang menikahi wanita pasti akan terjadi penganiayaan dan menyakiti sebab kenakalan laki-laki itu, seperti melarang hak-hak istri, berkelahi dan menahannya untuk disakiti, maka menikah menjadi haram untuknya.[5]

Sesungguhnya keharaman nikah pada kondisi tersebut, karena nikah disyari’atkan dalam Islam untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat. Hikmah kemaslahatan ini tidak tercapai jika nikah dijadikan sarana mencapai bahaya, kerusakan, dan penganiayaan. Disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 195 juga telah melarang orang melakukan hal yang akan mendatangkan kerusakan:

195. ...dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan...,

Selain tersebut di atas, haram pula hukumnya suatu pernikahan apabila seseorang menikah dengan maksud untuk menelantarkan orang lain, masalah wanita yang dinikahi itu tidak diurus hanya agar wanita itu tidak dapat menikah dengan orang lain.[6]

Sedangkan macam-macam nikah yang diharamkan menurut syari’at adalah antara lain sebagai berikut :

a. Nikah Badal (tukar menukar istri)

Yaitu seorang laki-laki mengadakan perjanjian untuk menyarahkan istrinya kepada orang lain dan mengambil istri orang lain itu sebagai istrinya dengan memberi sejumlah uang tambahan.[7]

b. Nikah Mut’ah

Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati. Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mut’ah itu.

فَأَمَّا أَنْ يَشْتَرِطَ التَّوْقِيتَ فَهَذَا ” نِكَاحُ الْمُتْعَةِ ” الَّذِي اتَّفَقَ الْأَئِمَّةُ الْأَرْبَعَةُ وَغَيْرُهُمْ عَلَى تَحْرِيمِهِ … وَأَمَّا إذَا نَوَى الزَّوْجُ الْأَجَلَ وَلَمْ يُظْهِرْهُ لِلْمَرْأَةِ : فَهَذَا فِيهِ نِزَاعٌ : يُرَخِّصُ فِيهِ أَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ وَيَكْرَهُهُ مَالِكٌ وَأَحْمَد وَغَيْرُهُمَا

“Jika nikah tersebut ditetapkan syarat hanya sampai waktu tertentu, maka inilah yang disebut nikah mut’ah. Nikah semacam ini disepakati haramnya oleh empat imam madzhab dan selainnya. … Adapun jika si pria berniat nikah sampai waktu tertentu dan tidak diberitahukan di awal pada si wanita (nikah dengan niatan cerai, pen), status nikah semacam ini masih diperselisihkan oleh para ulama. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i memberikan keringanan pada nikah semacam ini. Sedangkan Imam Malik, Imam Ahmad dan selainnya melarang (memakruhkan)-nya.” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 107-108)

Nikah ini dilarang berdasarkan hadist Nabi:

عن عليّ بن ابي طالب رضي الله عنه انّ رسول الله ص م نهى عن متعة النّساء يوم حيبر

Dari Ali bin Abi Tholib, Ia berkata: sesungguhnya Rasul saw melarang nikah mut’ah dengan perempuan-perempuan pada waktu perang khaibar.

c. Nikah Syighar

Menurut bahasa Assyighor berarti mengangkat. Seolah-olah seorang laki-laki berkata “ janganlah engkau angkat kaki anakku perempuan sebelum aku juga mengangkat kaki anak perempuanmu ‘

Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu”

B. Hikmatun Nikah

Islam menganjurkan nikah sebagaimana tersebut karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seuruh umat manusia. Diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Nikah adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks. Dengan nikah badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang halal.

Keadaan yang seperti inilah yang diisyaratkan oleh firman Allah:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS. Ar-Rum : 21)

2. Nikah jalan terbaik bagi kebaikan anak-anak, memperbanyak keturunan, kelestarian hidup serta memelihara nasab dengan baik yang memang sepenuhnya diperhatikan oleh Islam.

3. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling lengkap melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.

4. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang, ia akan cekatan bekerja karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya, sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi. Juga dapat mendorong mengeksploitasi kekayaan alam yang dikaruniai Allah untuk kepentingan hidup manusia.

5. Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab atara suami isteri dalam menanggung tugas-tugasnya.

6. Dengan pernikahan dapat membuahkan diantaranya tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antar keluarga dan mempererat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh Islam direstui, ditopang, dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling tunjang menunjang lagi saling menyayangi akan merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia

7. Dalam salah satu pernyataan PBB yang disiarkan oleh harian “NATIONAL” terbitan Sabtu 6 Juni 1959 mengatakan: “Bahwa orang yang bersuami istri umurnya lebih panjang daripada orang-orang yang tidak bersuami istri baik karena menjanda, tercerai atau sengaja membujang.[8]

Sedangkan menurut Ali Ahmad Al-Jurjawi diantara hikmah-hikmah dari pernikahan adalah:

1. Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan

2. Keadaan hidup manusia tidak akan tenteram kecuali jika keadaan rumah tangganya teratur.

3. Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi mamakmurkan dunia masing-masing dengan ciri khasnya berbuat dengan berbagai macam pekerjaan.

4. Sesuai dengan tabiatnya, manusia itu cenderung mengasihi orang yang dikasihi. Adanya istri akan bisa menghilangkan kesedihan dan ketakutan. Istri berfungsi sebagai teman dalam suka dan penolong dalam mengatur kehidupan. Seperti dalam firman Allah surat Al-A’raaf ayat 189:

Artinya: Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya....

5. Manusia diciptakan dengan memiliki rasa ghirah (kecemburuan) untuk menjaga kehormatan dan kemuliaannya. Pernikahan akan menjaga pandangan yang penuh syahwat terhadap apa yang tidak dihalalkan untuknya.

6. Pernikahan akan memelihara keturunan serta menjaganya. Didalamnya terdapat faedah yang banyak, antara lain memelihara hak-hak dalam warisan.

7. Berbuat baik yang banyak lebih baik daripada berbuat baik sedikit. Pernikahan pada umumnya akan menghasilkan keturunan yang banyak.

8. Manusia itu jika telah mati terputuslah seluruh amal perbuatannya yang mendatangkan rahmat dan pahala kepadanya. Namun apabila masih meninggalkan anak dan istri, mereka akan mendo’akannya dengan kebaikan hingga amalnya tidak terputus dan pahalanya pun tidak ditolak.[9]

               
[1] M. Sayyid Ahmad Al-Musayyar, FIQIH CINTA KASIH RAHASIA KEBAHAGIAAN RUMAH TANGGA, (Kairo: Erlangga, 2008), hlm.2
[2] Imam Abi Husain Muslim bin al-Hajj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shohih Muslim, (Beirut: Darul Kutub al-Alamiyah, tth), hlm. 593
[3] Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004), hlm. 91-93
[4] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010) hlm. 21
[5] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat (Khitbah,Nikah, dan Talak),(Jakarta: Amzah, 2009) hlm. 45
[6] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh Jilid II, (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 47
[8]M. Bukhori,Hubungan Seks Menurut Islam, (Jakarta: BUMI AKSARA,1994), hlm. 7-10
[9] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat,..., hlm. 65-68