Minggu, 01 Mei 2016

TAN MALAKA GERILYAWAN REVOLUSIONER YANG LEGENDARIS

Tan Malaka lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka menurut keturunannya ia termasuk suku bangsa Minangkabau. Pada tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang Sumatra Barat Tan Malaka dilahirkan. Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang sangat luar biasa, bahkan dapat dikatakan sejajar dengan tokoh-tokoh nasional yang membawa bangsa Indonesia sampai saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh.Yamin dan lain-lain.

Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris.

Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Syarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan  aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.

Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran (hobby) mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum kromo (lemah/miskin). Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.

Perjaungan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Seperti dikatakan Tan Malaka pad apidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti mengalami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.

Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskow diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.

Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang saangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digul Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan  dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.

Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibukota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis “Menuju Republik Indonesia”. Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925. Prof. Moh. Yamin sejarawan dan pakar hukum kenamaan kita, dalam karya tulisnya “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia” memberi komentar: “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….”

Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner.

Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme  yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.

Semua karya Tan Malaka danpermasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang  sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text book thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”.

Jika kita membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (“Gerpolek”-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan kita temukan benang putih keilmiahan dan keIndonesiaan serta benang merah kemandirian, sikap konsekwen dan konsisten yang direnda jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangan implementasinya.

Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.

Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi republik Indonesia akibat Perjanjian Linggarjati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta. Dan pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka gugur, hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan “Gerilya Pembela Proklamasi” di Pethok, Kediri, Jawa Timur.

Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional. (Bek)

BERGELAP-GELAPLAH DALAM TERANG, BERTERANG-TERANGLAH DALAM GELAP ! (TAN MALAKA)


Diketik ulang dari Brainwashed, Jakarta Extreme Fanzine, June’99, Issue #7.

ANTONIO GRAMSCI SEORANG REVOLUSIONER ITALIA

Antonio Gramsci lahir pada tanggal 22 Januari 1891, di kota Ales, pulau Sardinia.
Enam tahun kemudian, ayahnya dicopot dari posisinya sebagai pegawai dan dijebloskan di penjara karena dituduh korupsi, sehingga Antonio bersama ibunya harus perpindah ke kota lain dan hidup mereka menjadi agak sulit. Selama masih anak, dia jatuh dan menjadi cacat, dan seumur hidup dia kurang sehat.

Sewaktu mahasiswa di Cagliari dia menemui golongan buruh dan kelompok sosialis untuk pertama kalinya. Tahun 1911 dia mendapatkan beasiswa untuk belajar di Universitas Turino. Kebetulan sekali Palmiro Togliatti, yang kelak menjadi Sekertaris Jendral Partai Komunis Italia (PCI), mendapatkan beasiswa yang sama. Di Universitas tersebut Gramsci juga berkenalan dengan Angelo Tasca dan sejumlah mahasiswa lainnya yang kemudian berperan besar dalam gerakan sosialis dan komunis di Italia.

Pada tahun 1915 Gramsci mulai bergabung dalam Partai Sosialis Italia (PSI) sekaligus menjadi wartawan. Komentar-komentarnya di koran "Avanti" dibaca oleh masyarakat luas dan sangat berpengaruh. Dia sering tampil berbicara di lingkar-lingkar studi para buruh dengan topik yang beraneka-ragam seperti sastra Perancis, sejarah revolusioner dan karya Karl Marx. Dalam Perang Dunia I, Gramsci tidak seteguh Lenin atau Trotsky dalam melawan perang tersebut, namun pada hakekatnya orientasinya adalah untuk mebelokkan sentimen rakyat ke arah revolusioner.

Aktivis dan intelektual muda ini sangat terkesan oleh Revolusi Rusia tahun 1917. Seuasai Perang Dunia Gramsci ikut mendirikan koran mingguan "Ordine Nuovo" yang memainkan peranan luar biasa dalam perjuangan kelas buruh di kota Torino. Saat itu kaum buruh sedang berjuang secara sangat militan serta membangun dewan-dewan demokratis di pabrik-pabrik. Gramsci beranggapan bahwa dewan-dewan itu memiliki potensi untuk menjada lembaga revolusioner semacam "soviet-soviet" di Rusia.

Sehubungan dengan keterlibatannya dalam gerakan buruh, Gramsci memihak minoritas komunis dalam PSI. Partai Komunis yang muncul waktu itu merupakan pecahan dari PSI, dan Gramsci menjadi anggota Komite Pusat partai tersebut. Selama 18 bulan (tahun 1922-23) dia merantau di Moskow. Tahun 1924 dia terpilih menjadi anggota parlemen. 

Pada tanggal 8 Nopember 1926 Gramsci tertangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah fasis Mussolini. Jaksa menegaskan bahwa: "Kita harus menghentikan otak ini untuk bekerja selama 20 tahun." Sejak saat itu selama 10 tahun dia meringkuk di penjara, dengan sangat menderita karena keadaan fisiknya yang kurang sehat. Namun bertentangan dengan harapan si jaksa fasis itu, masa sulit ini akan menjadi kesempatan untuk Gramsci menulis karya Marxis tentang masalah-masalah politik, sejarah dan filsafat yang luar biasa berbobot, dan yang terbit setelah Perang Dunia II dengan judul "Buku-buku Catatan dari Penjara" (Prison Notebooks).

Sayangnya, rumusan-rumusan dalam buku ini terkadang sulit ditafsirkan, karena Gramsci harus memakai bahasa yang tidak langsung, bahkan memakai kata-kata sandi yang dapat diartiakan secara berbeda-beda. Oleh karena itu, buku tersebut pernah diinterpretasikan sebagai karya non-Leninis bahkan anti-Leninis. Pemikiran Gramsci didistorsikan oleh kepemimpinan stalinis dari Partai Komunis untuk membenarkan strategi parlementer mereka, dengan argumentasi bahwa Gramsi mempunyai sebuah strategi yang beranjak dari sudut pandangan kelas buruh dan diktatur proletariat menuju suatu orientasi lebih "kaya" dan lebih "luas". Kemudian argumentasi yang sama digunakan bermacam-macam partai dan kelompok reformis di seluruh dunia, yang suka mempertentangkan Gramsci dengan Lenin. Argumentasi ini adalah salah.
*****
Sudah pada tahun 1918 Gramsci menggambarkan para politisi reformis sebagai "sekawan lalat yang mencari semangkok poding" dan setahun kemudian menegaskan: "kami tetap yakin, negara sosialis tidak bisa terwujud dalam lembaga-lembaga aparatur negara kapitalis … negara sosialis harus merupakan suatu penciptaan baru."

Ini sebabnya dia berpisah dengan Partai Sosialis dan ikut mendirikan Partai Komunis. Meskipun dia masuk parlemen sebagai taktik, pendapat Gramsci ini sama sekali tidak berubah seumur hidupnya. Tulisannya terakhir sebelum masuk penjara adalah Tesis-tesis untuk konferensi Partai Komunis di Lyons pada tahun 1926. Di sini cukup jelas bahwa Gramsci tetap menganut jalan revolusioner, melalui pemberontakan bersenjata kaum buruh. Dia menganalisis kekalahan kelas buruh dalam perjuangan historis tahun 1919-20, dengan menyatakan bahwa kekalahan tersebut terjadi karena "kaum proletariat tidak berhasil menempatkan diri di kepala insureksi mayoritas masyarakat dalam jumlah yang besar… malah sebaliknya kelas buruh terpengaruhi oleh kelas-kelas sosial lainnya, sehingga kegiatannya terlumpuhkan." Tugas Partai Komunis adalah mengajak kaum buruh untuk "insureksi melawan negara borjuis serta perjuangan untuk diktatur proletariat".

Sudah sejak awal, Gramsci melihat proletariat sebagai faktor kunci dalam revolusi sosialis. Itu sebabnya dia terlibat dalam dewan-dewan pabrik di Torino pada tahun 1919-20. Fokus ini marak pula dalam Tesis-tesis Lyons. Organisasi partai "harus dibangun berdasarkan proses produksi, maka harus berdasarkan tempat kerja", karena partai harus mampu memimpin gerakan massa kelas buruh, "yang disatukan secara alamiah oleh perkembangan sistem kapitalisme sesuai dengan proses produksi." Partai itu harus juga menyambut unsur-unsur dari golongan sosial lainnya, tetapi "kita harus menolak, sebagai kontra-revolusioner, setiap konsep yang membuat partai itu menjadi sebuah 'sintesis' dari pelbagai unsur yang beraneka-ragam".

Tetapi bukankah Gramsci telah mengembangkan sebuah analisis sosial tentang masyarakat kapitalis di barat yang lebih canggih dan halus dibandingkan teori-teori Lenin? Memang begitu. Seperti Rosa Luxemburg, Antonio Gramsci lebih mengerti seluk-beluk dunia politik dan perjuangan sosial di Eropa Barat, sedangkan Lenin selalu berfokus pada perkembangan-perkembangan di Rusia, sehingga kita dapat banyak belajar dari tulisan-tulisan Gramsci.
*****
Namun kaum Stalinisis dan reformis menjungkirbalikkan hal ini pula. Mereka memusatkan perhatian pada sebuah kiasan yang dilakukan Gramsci antara strategi revolusioner dan militer. Dalam "Buku-buku Catatan dari Penjara" dia membedakan antara dua macam perang: "perang manuver" yang melibatkan pergerakan maju atau mundur yang cepat; dan "perang posisi", sebuah perjuangan panjang di mana kedua belah pihak bergerak secara pelan-pelan, seperti di dalam parit-parit perlindungan selama Perang Dunia I. Rumusan-rumusan ini diartikan para Stalinis dan reformis sebagai berikut: pemberontakan Oktober 1917 di Rusia adalah perang manuver, yang memang diperlukan dalam kondisi-kondisi primitif di sana; tetapi kondisi-kondisi di Eropa Barat sudah lebih matang dan kompleks, sehingga diperlukan sebuah strategi "perang posisi" -- baca strategi parlementer dan perubahan gradual.

Semua ini omong kosong. Kedua strategi itu bukan bertentangan melainkan komplementer. Di Rusia antara tahun 1905 dan 1917, kaum Bolshevik juga melakukan "perang posisi", dan pendekatan yang sama dianjurkan mereka bagi partai-partai Komunis muda pada tahun 1921, dalam bentuk "front persatuan". Atau jika kita mau mengambil contoh Indonesia, para aktivis demokrasi telah menjalankan sebuah perang posisi selama bertahun-tahun, tetapi begitu krismon meletus dan rezim Suharto mulai bergoyang, mereka harus melakukan intervensi-intervensi radikal, sampai akhirnya kaum mahasiswa menduduki gedung DPR. Dan di barat sebuah "perang posisi" juga dibutuhkan sampai terjadinya krisis revolusioner; tapi begitu krisis itu meledak, kita harus beralih ke "perang manuver". 

Rumusan-rumusan Gramsci tentang "perang posisi" bersangkutan dengan teorinya tentang mekanisme-mekanisme kekuasaan ideologis dalam masyarakat kapitalis. Kaum penguasa tidak hanya berkuasa melalui alat-alat represif (polisi, tentara, pengadilan). Sebenarnya alat-alat itu hanya bergerak dalam keadaan luar biasa, seperti kriminalitas, kerusuhan, demonstrasi atau pemberontakan. Sedangkan seorang buruh biasanya masuk tempat kerja saban hari, menurut undang-undang yang ada, bahkan sering menghormati kaum penguasa … kurang-lebih tanpa paksaan langsung. Dia dipaksa oleh kebutuhan ekonomis, tetapi juga menerima ide-ide mendasar dari tatanan sosial yang ada, sehingga mematuhi undang-undangnya secara "sukarela".

Gramsci mengembangkan sebuah analisis yang canggih tentang mekanisme-mekanisme "hegemonis" ini, yang memang lebih halus dan efektif di negeri-negeri maju. Sehingga "perang posisi" bisa saja berjalan selama bertahun-tahun. Tapi ada juga mekanisme-mekanisme hegemonis di Indonesia dan negeri dunia ketiga lainnya; bukankah para aktivis kiri sering mengeluh tentang "kesadaran palsu" massa rakyat Indonesia? Sehingga di sini pula, perbedaan antara negeri-negeri maju dan dunia ketiga bukan sesuatu yang mutlak melainkan relatif saja.

Jaksa fasis yang ingin "menghentikan otak ini untuk bekerja selama 20 tahun" telah gagal. Pemikiran Gramsci masih hidup dan berkembang. Namun pemikiran itu tidak boleh disalahartikan: Antonio Gramsci bukanlah seorang reformis melainkan seorang Marxis revolusioner.

KRITIK GRAMSCI TERHADAP CROCE

Sementara kritik terhadap Croce dan intelektual Italia merupakan titik awal intelektual dari Catatan dari Penjara, fasisme dan revolusi kelas buruh Italia merupakan subjek politik Catatan yang utama. Mengapa fasisme berjaya di Italia? Atau, mengapa usaha kelas buruh Italia merebut kekuasaan pada tahun 1919-1920 gagal? Ini merupakan dua pertanyaan yang dicoba dijawab Gramsci. awaban Gramsci terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat disimpulkan secara luas demikian:

1. Keterbelakangan historis kapitalisme Italia merupakan penyebab utama fasisme. Fasisme merupakan usaha kapitalisme Italia untuk menyelesaikan masalah keterbelakangannya dengan bergantung pada kelas menegah Italia untuk menjalankan strategi "revolusi pasif" atau    reformasi terbatas dari atas.

2. Keberadaan Gereja Katolik di Italia merupakan sebab utama keterbelakangan historis kapitalisme Italia. Gereja berhasil menghalangi revolusi borjuis Italia, mencegah timbulnya negara bangsa borjuis Italia.    Bahkan meskipun gereja Katolik pada abad ke-20 telah kehilangan hegemoninya terhadap kebudayaan Eropa, seperti pada Abad pertengahan, dengan kekalahan feodalisme, ia tetap merupakan Kekuatan reaksioner yang kuat dalam politik dan kebudayaan Italia yang    menghalangi perkembangan Italia menjadi sebuah negara kapitalis yang modern dan sekuler. 

3. Karena alasan ini borjuasi dan intelektual Italia tidak pernah mengembangkan sebuah tradisi Yakobin revolusioner yang merakyat dan nasionalis (Gramsci merujuk pada revolusi Perancis). Sebagai akibatnya, intelektual Italia terisolasi secara historis, kebudayaan dan politis dari massa buruh.

4. Seluruh sejarah dan kebudayaan Italia menderita kekurangan tradisi Yakobin yang nasional-kerakyatan di antara intelektual dan kaum borjuis.Elitisme "non-Nasional-Kerakyatan" dari kebudayaan kelas menengah ini  (yang oleh Croce dibela dan disanjung dalam tulisan sejarah dan filsafatnya) merupakan faktor penting munculnya fasisme. Suatu kali, Gramsci menuding fasisme merupakan kesalahan paham nasional-kerakyatan dan mengutuk Yakobinisme seperti halnyarevolusipasif.

5. Untuk mengalahkan fasisme dan memenangkan kekuasaan negara,kelas pekerja harus memenangkan hegemoni, atau otoritas intelektual dan moral terhadap masyarakat dusun yang miskin dan lapisan massa dari kalangan intelektual kelas menengah.Untuk melakukannya, Gramsci menyodorkan bahwa kelas pekerja harus membangun "Pangeran Modern", yakni semacam partai komunis massa yang memuat program     nasional dan kerakyatan yang revolusioner.

6. Figur sental dari "Pangeran Modern" ini haruslah merupakan tujuan otonomi intelektual kelas pekerja melalui formasi kader-kader intelektual kelas pekerja. Hanya independensi pekerja intelektual yang dapat menjamin jangka panjang hegemoni kelas pekerja.

Sedikit keterangan atas gagasan hegemoni Gramsci. 
Gramsci mendefinisikan negara sebagai pemaksaan (koersif)+hegemoni.Menurut Gramsci, hegemoni merupakan kekuatan politik yang mengalir dari kepemimpinan moral dan intelektual, otoritas atau konsensus seperti yang ditunjukkan dari angkatan bersenjata. Kelas penguasa membentuk dan mempertahankan hegemoninya dalam masyarakat sipil, misalnya dengan menciptakan konsensus politik dan kebudayaan melalui serikat-serikat, partai politik, sekolah, media, gereja dan sejumlah perkumpulan sukarela lainnya. Hegemoni yang dilakukan oleh kelas penguasa selalu melampaui kelas-kelas dan kelompok sosial. Paksaan selalu digunakan oleh kelas penguasa hanya untuk mendominasi atau melikuidasi kelas musuh menurut Gramsci. Sejarah mengatakan, di bawah kapitalisme, intelektual kelas menengah merupakan "administrator" hegemoni, misalnya menjadi pengelola dan pembangun konsensus dalam kultur kapitalis; oleh karena itulah mempelajari intelektual Itali bernama Gramsci menjadi penting.Figur pusat dalam revolusi nasionalis-kerakyatan Gramsci adalah agar terjadi reformasi intelektual dan moral di Italia, revolusi kebudayaan pertama-tama diarahkan melawan gereja Katolik. Tujuan utama dari revolusi kebudayaan ini ialah kultur sosialis yang baru dari kelas pekerja yang diorganisasikan di sekitar hubungan produksi sosialis yang menjadi basis modernitas dan sekularitas Italia. Kelas pekerja tak dapat memenangkan kekuasaan secara nyata tanpa menciptakan para intelektualnya sendiri. Tak bisa selamanya hal ini digantungkan pada intelektual borjuis kecil untuk membuat kultur sosialis bagi mereka.

Hal ini harus otonomi secxara intelektual. Jadi, bagi Gramsci, menciptakan "jenis baru intelektual organik"; intelektual proletar, menjadi tahap kunci menuju kemenangan kelas pekerja baik dalam jangka pendek maupun panjang. Pengalaman pengkhianatan para pemimpin reformis sosialis dari kelas menengah terhadap revolusi kelas pekerja tahun 1919-1920 dan pengalihan massa kelas menengah Italia menjadi fasisme mendorong Gramsci untuk memfokuskan --malah kelihatan obsesif-- intelektual Italia dan masalah otonomi intelektual kelas pekerja. Terpesona oleh artikel Lenin yang terakhir, ia bergelut pada pertanyaan yang sama: bagaimana caranya partai komunis dapat menolong kelas pekerja untuk memerdekakan dirinya dari ketergantungan kultur dan politik terhadap intelektual borjuiskecil. 

Dari sejumlah catatan atas Croce, filsafat, dan Marxisme menunjukkan upaya Gramsci untuk menyilangkan antara perjuangan filsafatik dari rencananya terhadap revolusi kebudayaan di Italia. Catatan-catatan ini  kompeks, abstrak, dan sangat sulit untuk diikuti dan tak mudah untuk disimpulkan.

Tapi yang penting digaris-bawahi, kelas pekerja, untuk meraih hegemoni membutuhkan kemampuan intelektual untuk memperjuangkan filsafat baru atau cara pandang bagi dirinya. Jadi, bagaimana membantu pekerja-pekerja untuk meraih otonomi intelektual merupakan satu pokok utama tujuan politik dari catatan-catatan ini bagi Gramsci. Hingga akhir, Gramsci menempatkan tiga musuh filsafat: Croce, gereja Katolik, dan intelektual Marxist yang vulgar. Ia juga menulis catatan panjang bagaimana para marxis seharusnya mendekati masalah pelatihan intelektual kelas pekerja (lihatlah "Pengenalan Atas Studi Filsafat dan Kebudayaan")

Akhirnya, catatan Gramsci kelihatan berpindah ke teori baru Marxis tentang Negara dan semangat revisionis ke dalam "Filsafat Praksis". Dalam catatannya tentang negara, tampak sekali bahwa dalam negara tumbuh aparat hegemoni dan sifat pemaksaan. Terhadap definisi negara mendorongnya untuk menambahkan pentingnya mengembangkan satu teori marxis tentang revolusi kebudayaan. Teori ini, pada gilirannya, menuntut Marxisme menjadi filsafat "yang selesai", yang dapat menjadi titik pandang dunia atau "filsafat Praksis" yang sukses menggantikan Katolikisme dan Croceanisme. 

Kesimpulan

Kebodohan Italia, yang merupakan kesalahan terbesar gereja Katolik, mendorong ke arah Fasisme. Pengkhianatan kelas menengah terhadap kelas pekerja menjadi kunci pelajaran sejarah dari Fasisme dan sosialisme kaum reformis bagi Gramsci. Di samping itu, Croce memainkan peran kuci dalam menyiapkan tahap kebudayaan bagi Fasisme. Jawaban Gramsci atas Fasisme, Reformisme, Katolikisme, dan Croceanisme adalah revolusi nasional-kerakyatan yang dipimpin oleh tipe baru partai komunis, si Pangeran Modern, melalui transformasi intelektual dan moral kelas pekerja menjadi pemimpin revolusi kebudayaan proletar bagi Italia. Revolusi ini akan menggantikan kebudayaan Katolik terhadap petani dan massa buruh dan kultur borjuis liberal para intelektual. Jawaban ini mendorong Gramsci untuk membuat teori marxisme baru, atau filsafat praksis sebagai figur kuncinya adalah teori tentang negara sebagai aparat hegemoni dan pemaksaan. Marxisme ini juga membutuhkan teori sistematik atas revolusi kebudayaan untuk membangun kultur baru yang integral. Dua figur kunci dalam revolusi kebudayaan Gramsci adalah penciptaan inti kader-kader intelektual kelas pekerja dan mentransformasikan intelektual kelas menengah menjadi intelektual nasionalis-kerakyatan atau revolusioner.

ANTONIO GRAMSCI : IDEOLOGI, HEGEMONI, DAN KONTRA HEGEMONI

Tak dapat dipungkiri, kita hidup terasing dan tertindas dalam Abad Kapitalisme. Pergeseran tahun ke abad yang baru, yakni abad ke-21, tidak berarti banyak bagi kita, kecuali kehidupan yang kian susah dan berat bagi kelas pekerja. Bayang-bayang akan naiknya harga listrik, BBM, biaya pendidikan, tarif kesehatan berderet-deret menakutkan hingga terasa mencekik leher kita. Memang, sehari-harinya kita cuma bisa menyaksikan iblis Kapitalisme menjerat dan mencengkeram kaum pekerja: buruh, petani-nelayan, kaum miskin kota, dan masyarakat tertindas lainnya. Tak cukup dengan mengembosi pemasukan mereka (UMR/gaji), tetapi agen-agen Kapitalis juga berupaya mencuci otak dan membodohi kaum pekerja dengan ilusi-ilusi akan kehidupan yang mewah, tertib, seragam. Dengan sistematis, musuh-musuh kaum pekerja itu telah berupaya menutupi konflik-konflik kelas yang terjadi dengan bumbu-bumbu yang indah-indah untuk didengar, dilihat, dan dibaca. 

Kaum pergerakan/progresif-revolusioner, sebagai yang telah disadarkan, selalu berupaya agar kelas-kelas pekerja yang tertindas bangkit melawan; melaksanakan revolusi demokratik agar tercapai diktator proletariat yang sejati. Namun, saksikanlah! Revolusi tak menjadi semudah yang diucapkan. Pada kenyataannya, kesadaran semata tidak cukup mendorong terjadinya revolusi. Perjuangan kelas haruslah melibatkan ideologi dan gagasan-gagasan; terutama gagasan akan bagaimana masyarakat terbebas dari penindasan. Ideologi dan gagasan-gagasan ini harus hidup untuk mengalahkan supremasi kaum borjuis yang mendominasi ekonomi dan kepemimpinan intelektual dan moral. Tapi kondisi ideal ini tak mudah ditemukan. Yang ada, ideologi dan gagasan-gagasan itu karam. Kita telah dikalahkan oleh mesin-mesin ideologi dan gagasan yang dimiliki oleh musuh-musuh kita. Mesin-mesin pencetak keseragaman itu paling nyata dalam masyarakat Kapitalis berwujud media komunikasi. Media komunikasi merupakan alat ampuh untuk menyeret wacana lain agar tunduk di bawah wacana yang digunakan oleh kelas penguasa/kaum borjuis. 

Dalam gerak-gerak perjuangan kelas, tampak sekali bahwa perjuangan kita seringkali dipicu justru oleh isu-isu yang dilontarkan oleh kelas penguasa/kaum borjuis. Kendali akan wacana tak berada di sisi kelas-kelas pekerja, tetapi dimiliki oleh para pemilik modal. Kondisi ironis ini membuat perjuangan kelas-kelas pekerja untuk mencapai revolusi demokratik tak maksimal karena ketidaksiapan membalas wacana kelas penguasa. Ketidakmampuan merebut ruang publik membuat wacana- wacana yang dikeluarkan oleh pelopor revolusi demokratik menjadi kontra-produktif. Apa sebabnya? 

2. Hegemoni & Kontra-Hegemoni: Tataran Teoritis
Tradisi Marx -mungkin lebih tepat Engels- hanya menyebut sedikit kata kunci tentang situasi di atas, yakni konsep "kesadaran palsu". Ideologi sebagai 'kesadaran palsu' pada awalnya dipahami oleh kaum Marxist sebagai suatu yang bernilai negatif, karena ia memungkiri realitas, menafikan konflik-konflik kelas dengan menyelubunginya dengan wacana-wacana yang menindas. Barulah di tahap perkembangan selanjutnya, ideologi dipakai untuk membekali perjuangan kelas. Caranya, dengan menetapkan kontra wacana terhadap sejumlah wacana menindas yang digunakan oleh kelas penguasa/kaum borjuis. Barangkali dari pemikiran akan adanya wacana yang menindas dari kelas penguasa/kaum borjuis terhadap kelas pekerja/kaum proletariat, istilah hegemoni digunakan. 

Meski bukan orang pertama yang menggunakan kata "hegemoni" - pertama kali digunakan sebagai slogan gerakan Sosial Demokrat Rusia antara 1890-1917 - adalah Gramsci, seorang Marxist dari Italia, yang kerja-kerja politiknya dilingkupi oleh kekaguman akan keberhasilan revolusi Bolshevik di Rusia untuk menggulingkan Tsar Nicolai II. Pemikiran Gramsci tentang hegemoni menjadi penting untuk dipelajari karena ia sanggup menghubungkan persoalan ekonomi dengan kemampuan institusi superstruktur dalam mencapai/mempertahankan kekuasaan. 

Pokok pemikiran Gramsci yang penting untuk disarikan adalah:
1. Perjuangan kelas haruslah selalu melibatkan ideologi dan gagasan; gagasan bagaimana revolusi dicapai atau dicegah.
2. Ia menekankan bahaya supremasi kaum borjuis akan dominasi ekonomi dan kepemimpinan moral dan intelektual yang harus ditumbangkan. 

Kepemimpinan moral dan intelektual inilah yang ditegaskan oleh Gramsci sebagai intisari hegemoni, yang didefinisikan secara panjang dengan: 

"Kelompok dominan di dalam masyarakat, termasuk kelas penguasa yang fundamental tapi tak eksklusif, mempertahankan dominasi mereka dengan cara menjaga 'kesadaran spontan' kelompok subordinatnya, termasuk kelas pekerja, melalui konstruksi yang dinegosiasikan dari hasil konsensus politik dan ideologi yang melibatkan baik kelompok dominan dan yang didominasi." 

Asumsi di balik teks di atas ialah: Kelas dominan telah berhasil meyakinkan kelas pekerja untuk menerima kepemimpinan moral, politik, dan kebudayaan tanpa reserve, Mereka yang berkuasa mengarahkan mayoritas populasi pada suatu kesadaran yang mereka susun 

Penerapan kesadaran ini tak selalu berjalan halus, kadangkala bisa mengkombinasikan antara paksaan fisik hingga indoktrinasi intelektual, moral, kebudayaan. Oleh karena itu, hegemoni merupakan serangkaian gagasan yang digunakan sebagai alat kelompok dominan untuk menguasai kesadaran dan kepemimpinan atas kelompok-kelompok subordinat. 

Hegemoni dibangun atas dasar negosiasi-negosiasi kaum borjuis/kelas penguasa, dan selama ini fungsi kepemimpinan hegemonik bekerja dalam dua model:
1. Kontrol dengan pemaksaan: termanifestasi melalui sejumlah paksaan fisik atau ancaman (selalu digunakan apabila kepemimpinan hegemonik rendah atau rentan)
2. Kontrol dengan kesepakatan: akan muncul manakala individu secara sukarela menyatu dengan pandangan kelompok dominan. 

Bagaimana hegemoni yang menindas itu dilawan? Bagi Gramsci yang penting, upaya revolusi intelektual (kontra Hegemoni) seharusnya berasal dari kelas pekerja daripada dimasukkan dari luar. Apabila kelas pekerja mau berhasil menghegemoni, ia harus berhasil mendorong munculnya intelektual-intelektual yang menciptakan ideologi baru. 

3. Pers dalam Perspektif Gramsci
Yang paling pokok dalam perspektif ini, pers dapat menjadi alat hegemoni baik kelas penguasa maupun dari kelas pekerja. Pertarungan antarinstitusi pers adalah di tingkatan kepemimpinan wacana dan perebutan ruang publik. Dalam masyarakat Kapitalis, seringkali ruang publik legal dimonopoli oleh kaum kapitalis/borjuis. Dengan kemenangan monopoli hak edar, dengan leluasa mereka mendistorsi informasi, memutar yang hitam jadi putih, membodohi massa Rakyat. Ruang-ruang publik yang tersisa bagi pers yang dijadikan alat hegemoni kelas pekerja menjadi terpenjara dalam kelompok-kelompok kecil dengan jumlah eksemplar yang terbatas dan terus-menerus dihantui kendala pendanaan. Pada praktiknya, karena kelemahan tersebut, pers menjadi salah satu alat ampuh penguasa untuk mendapatkan kepemimpinan moral dan politik. 

Namun, hendaklah kaum progresif-revolusioner/pergerakan tidak berputus asa! Karena, menurut Gramsci, strategi hegemonik tak semuanya dimiliki oleh kaum borjuis. Belajar dari kegagalan hegemoni Thatcherisme di Inggris, nyata benar bahwa hegemoni hanyalah berhasil mengikat kelompok dominan akan satu wacana, sedang kelompok subordinat tak selamanya terikat mutlak. Oleh karena itu, manakala masih ada kebocoran, ruang-ruang publik haruslah segera direbut. Hingga suatu saat, kelas pekerja dapat mengembangkan hegemoni sebagai strategi untuk mengontrol negara. Caranya, dengan melibatkan kepentingan kekuatan sosial dan kelompok-kelompok pergerakan lain untuk menemukan titik temu kepentingan. Apabila kelas pekerja ingin mencapai hegemoni, perlu dibangun aliansi dengan kelompok minoritas. Koalisi baru ini harus menghormati otonomi gerakan, sehingga setiap kelompok dapat menyumbangkan perannya menuju masyarakat sosialis. 

Tak selalu cara merebut ruang publik dilakukan dengan kekerasan, yang penting adalah aktivitas-aktivitas politik kaum pergerakan tak kenal lelah. Aktivitas-aktivitas itu bermain di dalam dua medan tempur, yakni:
1. Perang manuver: secara frontal, tujuannya untuk meraih kemenangan secepatnya, dan direkomendasikan untuk dilakukan dalam kekuasaan yang tersentralisasi dan ketidakmampuan untuk mengembangkan hegemoni yang kuat agar terbentuk masyarakat madani (mis. Revolusi Rusia 1917).
2. Perang posisi: perjuangan panjang, lintasorgan dalam masyarakat madani, kekuatan sosialis dapat memimpin ideologis dan kebudayaan, dan sebaiknya dilakukan apabila punya sejumlah strategi 

4. Kontra-Hegemoni Atau Anti-Hegemoni?
Apa perbedaan agenda antara Anti-Hegemoni dan Kontra-Hegemoni? Kata Anti-Hegemoni dipahami sebagai upaya menentang segala bentuk hegemoni tanpa batas hingga tak ada lagi hegemoni. Konsekuensi, tidak ada kerja terstruktur dan konseptual. Sedangkan, kontra-hegemoni adalah upaya untuk menentang hegemoni yang menindas. Bedanya, di tataran strategi yang melibatkan kematangan berorganisasi dan melakukan aktivitas politik. Kerja kontra-hegemoni akan otomatis terhenti apabila telah tercapai masyarakat yang terbebas dari segala bentuk penindasan.

TINJAUAN TERHADAP CATATAN DARI PENJARA ANTONIO GRAMSCI

"Revolusi proletarian tidak bisa tidak harus merupakan revolusi total. Revolusi ini merupakan terbentuknya moda-moda produksi perburuhan baru, moda-moda produksi dan distribusi baru yang bersifat unik bagi kelas buruh dalam determinasi sejarahnya dalam arus proses kapitalis. Revolusi ini juga mendorong terbentuknya seperangkat standar baru, sebuah psikologi baru, cara berperasaan, berpikir dan hidup yang baru yang harus spesifik bagi kelas buruh, yang ia ciptakan, dan akan menjadi "dominan" ketika kelas buruh menjadi kelas yang dominan.

Revolusi proletarian pada hakekatnya merupakan pembebasan kekuatan-kekuatan produksi yang telah ada dalam masyarakat borjuis. Kekuatan-kekuatan ini dapat diidentifikasikan dalam lingkup ekonomi dan politik; namun mungkinkah mulai mengidentifikasi elemen-elemen laten yang akan mendasari terciptanya peradaban atau kebudayaan proletarian?

Apakah elemen-elemen untuk seni, filsafat dan (standar) moralitas yang spesifik bagi kelas buruh telah ada? Pertanyaan ini harus ditanyakan dan dijawab. Bersama-sama dengan masalah merebut kekuasaan politik dan ekonomi, proletariat juga harus menghadapi masalah pemenangan kekuasaan intelektual. Sebagaimana ia telah berpikir untuk mengorganisir dirinya dalam bidang  politik dan ekonomi, ia harus pula berpikir untuk mengorganisir dirinya dalam bidang kebudayaan."

Antonio Gramsci - Pertanyaan-Pertanyaan tentang Kebudayaan, Avanti, 14Juni 1920 "PERTANYAAN SELATAN" DAN CROCE - SEBUAH STRATEGI REVOLUSIONER Ketika Antonio Gramsci, pemimpin Partai Komunis Italia, ditangkap oleh kaum fasis pada bulan November 1926, ia sedang mengerjakan sebuah artikel panjang yang menggariskan strategi revolusionernya untuk mengalahkan fasisme. Berdasarkan analisis kelas yang cermat terhadap Italia utara dan selatan, ia berkesimpulan bahwa usaha merubuhkan fasisme takkan berhasil tanpa pemberontakan petani penggarap di daerah selatan yang setengah terjajah. Artikel tersebut, "Beberapa Aspek Pertanyaan Selatan", saya percayai, merupakan kunci pemahaman politis Catatan Gramsci. Dengan pengamatan yang mendalam terhadap esai ini dan ide-ide terpenting dalam Catatan, saya berharap untuk menunjukkan bahwa Catatan pada hakekatnya merupakan sebuah proyek penelitian yang luar biasa besar yang mengalir langsung dari strategi politik yang digariskan dalam artikel ini. Jika benar, maka esai ini bisa dianggap sebagai pengantar politis umum untuk Catatan dan menjadi panduan yang sangat berguna untuk membacanya. 

Strategi Gramsci menyerukan untuk adanya aliansi revolusioner antara buruh pabrik di utara dan petani penggarap miskin di selatan, berusaha untuk memenangkan dukungan dari intelektual kelas menengah yang radikal di selatan untuk membantu Partai mengorganisir pemberontakan rakyat jelata. Gramsci berpendapat bahwa petani-petani penggarap termiskin di selatan, meskipun selalu berada dalam kondisi "setengah revolusi", tidak terorganisir atau terpimpin, dan tidak memiliki organisasi revolusionernya yang independen. Mereka mengambil arah politik  mereka dari intelektual borjuis menengah dan kecil pemilik tanah di selatan: ahli hukum, dokter, notaris, pejabat, pegawai kecil dan pastor desa-desa dan kota-kota kecil. Pastor-pastor merupakan sebuah kelompok yang amat penting di antara intelektual pedesaan selatan. Tuan tanah terbesar dan terkuat di Italia Selatan pada dekade 1920-an adalah gereja Katolik. Sebagai agen ekonomi gereja, pastor-pastor mengumpulkan uang sewa dari penggarap (mezzadri) tanah-tanah milik gereja, meminjamkan uang kepada rakyat jelata dengan nilai bunga yang luar biasa tinggi, dan sebagaimana dikatakan Gramsci, "memanipulasi elemen religius untuk meyakinkan dibayarkannya sewa atau bunga".

Gramsci juga mengamati dengan rasa ketertarikan yang besar bahwa intelektual pedesaan selatan merupakan lebih dari 60 % birokrasi negara Italia. Seluruh intelektual selatan tersebut terikat pada tuan-tuan tanah besar dan membantu menahan rakyat jelata pada posisi subordinasi
di bidang politik. "Intelektual menengah" selatan, sebaliknya, didominasi secara ideologis oleh "intelektual besar", intelektual individual selatan yang sangat terpelajar dan berbudaya, sering kali merupakan aristokrat pemilik tanah. Gramsci mengidentifikasikan Giustino Fortunato dan Benedetto Croce (filsuf liberal Napoli, sejarawan dan tuan tanah besar) sebagai intelektual terbesar selatan yang mengikat intelektual selatan (dan juga rakyat jelata selatan yang miskin) secara ideologis pada tuan tanah besar dan kapitalisme. Croce dan Fortunato merupakan musuh ideologis terbesar revolusi rakyat jelata di selatan dan sebagaimana dikatakan Gramsci, "dua tokoh utama reaksionerisme Italia".
Subordinasi politik dan ekonomi penggarap terhadap tuan tanah dan gereja melalui intelektual pedesaan yang dipimpin Croce dan Fortunato disebutkan Gramsci sebagai "sebuah blok agraria yang berukuran amat besar". Blok agraria ini, beriringan dengan kelas menengah kota, merupakan dasar sosial utama fasisme. Tuan-tuan tanah dan borjuis kecil pedesaan dari blok agraria inilah yang (dengan sejumlah bantuan strategis dari industrialis utara juga) menyediakan sebagian besar dana, senjata, kepemimpinan dan orang untuk kelompok teroris fasis yang mengalahkan revolusi kelas buruh pada tahun 1919-1920.

Strategi Gramsci untuk memecahkan blok agraria ini dan meruntuhkan fasisme bergantung pada menjauhkan pemikiran intelektual pedesaan selatan dari Croce. Sebagaimana dikatakannya, "Berkaitan dengan blok agraria, terdapat di Selatan sebuah blok intelektual yang selama ini praktis berfungsi untuk mencegah keretakan dalam Blok ini menjadi sedemikian berbahaya dan menimbulkan keruntuhannya. Giustino Fortunato dan Benedetto Croce merupakan tokoh blok intelektual ini, maka mereka dapat dianggap sebagai reaksioner paling aktif di seluruh semenanjung." Namun, tidaklah mudah untuk mengalahkan Croce. Ia, menurut Gramsci, telah mendominasi kebudayaan Italia antara tahun 1900-1920, membentuk pemikiran sebuah generasi intelektual. Sebagian besar kepemimpinan intelektual gerakan fasis, sosialis dan komunis yang bangkit di Italia antara masa itu berangkat dari sebuah generasi intelektual radikal borjuis kecil muda dari selatan (Gramsci salah satunya). Croce memberikan kepemimpinan filsafat bagi intelektual-intelektual muda dan kecewa tersebut, menyerukan sekulerisasi dan modernisasi kebudayaan dan masyarakat Italia. Gramsci sendiri mengawali kehidupan intelektualnya sebagai seorang Crocean, tertarik seruannya untuk reformasi moral dan intelektual Italia yang terbelakang dan terdominasi gereja.

Dua pertanyaan sosial, moral dan politik besar menghadapi negara Italia yang baru berusia 30 tahun pada tahun 1900; "Pertanyaan Selatan" dan "Pertanyaan Sosial". Yang pertama adalah bagaimana mengintegrasikan wilayah Italia Selatan (termasuk Sardinia dan Sisilia) yang miskin, berpotensi pemberontakan namun kaya hasil pertanian dan tambang ke dalam negara Italia. Sebagai koloni ekonomi dan politik daerah Utara yang lebih terindustrialisasi, Selatan mendayai pembangunan kapitalis Italia, namun tidak mendapatkan hasil apa pun. Penggarap di Selatan merupakan kelas yang paling tertindas namun juga paling tidak terorganisir di Italia. Dan intelektual Selatan, sebagai anggota borjuasi kecil semi-kolonial merupakan kekuatan yang memiliki potensi revolusioner.

Pertanyaan kedua yang dihadapi Italia adalah bagaimana mengurangi penderitaan buruh pabrik yang miskin dan tak berdaya di Utara.  Gerakan serikat buruh di Utara telah berkembang pada garis ekonomis, reformis, rasis anti selatan, menimbulkan aristokrasi buruh yang mengembangkan aliansi politik dan ekonomi dengan Kapitalis Utara. Nasionalis kelas menengah dan banyak intelektual sindikalis mendorong ekspansi imperialis Italia ke Afrika Utara dan Timur Tengah sebagai cara menekan kemiskinan Selatan. Gramsci dan berbagai intelektual radikal selatan lainnya menyarankan aliansi revolusioner antara buruh pabrik di Utara dan rakyat jelata miskin baik di utara maupun selatan sebagai alternatif terhadap reformsi pro-imperialis, nasionalis dan sindikalis.

Croce, sebagai anggota kelas pemilik tanah di Selatan memiliki kepentingan langsung dalam mensabotase aliansi yang berbahaya tersebut. Gramsci kemudian menjelaskan peran kritis yang dimainkan Croce dan Fortunato dalam mencegah Selatan menjadi revolusioner,

"Orang-orang Selatan yang telah berusaha meninggalkan blok agraria dan menanyakan Pertanyaan Selatan dalam bentuk radikalnya telah menemukan penerimaan dan mengelompokkan dirinya pada tinjauan-tinjauan yang dicetak di luar Selatan. Bahkan, dapat dikatakan bahwa seluruh inisiatif kebudayaan yang dilakukan intelektual menengah yang berlangsung pada abad ini di Italia Tengah dan Utara dicirikan oleh "keselatanan", karena mereka sangat terpengaruh intelektual selatan: semua jurnal intelektual Firenze, seperti Voce dan Unita, jurnal Kristen Demokrat seperti Azione di Cesena, jurnal liberal muda Emilia dan Milan yang diterbitkan G. Borelli, seperti Patria di Bologna atau Azione di Milan, dan terakhir, Rivoluzione Liberale Gobetti. 

Yah, penguasa politik dan intelektual tertinggi seluruh inisiatif tersebut adalah Giustino Fortunato dan Benedetto Croce. Dalam lingkup yang lebih luas daripada blok agraria yang mengekang, mereka mengusahakan agar masalah Selatan akan dijabarkan dalam cara yang tidak melampaui batasan tertentu: tidak akan menjadi revolusioner. Orang-orang yang memiliki kebudayaan dan kepandaian tinggi, yang bangkit di wilayah tradisional Selatan, namun berkaitan dengan kebudayaan Eropa dan wilayah dunia lainnya, memiliki seluruh bakat yang diperlukan untuk memuaskan kebutuhan intelektual wakil-wakil pemuda yang berbudaya dan jujur di Selatan; untuk meredam dorongan mereka yang tanpa henti untuk melakukan revolusi melawan kondisi yang ada, untuk mengarahkan mereka melalui jalan tengah kebijakan klasik dalam pikiran dan tindakan. Mereka yang disebut sebagai "neo-protestan" atau Kalvinis gagal memahami bahwa di Italia, karena kondisi modern peradabannya tidak memungkinkan reformasi keagamaan besar-besaran, reformasi yang secara historis dapat terlaksana telah terjadi bersama filsafat Benedetto Croce. Arah dan metode pemikiran telah berubah dan sebuah konsepsi baru tentang dunia telah disusun, melintasi batasan kekatolikan dan semua agama mitologis lainnya. Dalam hal ini, Benedetto Croce telah menjalankan peran "nasional" yang amat penting. Ia telah memisahkan intelektual radikal selatan dengan massa rakyat jelata, memaksa mereka mengambil bagian dalam kebudayaan nasional dan Eropa; dan melalui kebudayaan ini, memasukkan mereka ke dalam borjuasi nasional dan blok agraria."

Dalam sebuah masa yang singkat pada dekade 1890-an, Croce Subject: mengaitkan dirinya dengan Marxisme legal, dan menjadi pemimpin revisionisme Marxis. Namun ketika gerakan sosialis kelas buruh massal tumbuh di Italia, Perancis, Jerman, Rusia dan permusuhan nasionalis kelas menengah terhadap sosialisme semakin intensif, Croce menjadi semakin memusuhi Marxisme. Ia sangat mendukung keikutsertaan Italia dalam Perang Dunia Pertama, dengan keras mengutuk Partai Sosialis untuk pasifisme dan "ketiadaan patriotisme". Ia juga sangat menentang bangkitnya Uni Soviet dan gerakan komunis di Italia. Ia mendukung Fasisme pada tahun-tahun pertamanya sebagai sebuah kekuatan yang menstabilisasi dan memodernisasi, yang dapat menghalangi sebuah revolusi komunis kelas buruh yang lebih radikal. Namun, ketika fasisme dengan penuh kekerasan memantapkan kediktatorannya terhadap borjuis liberal sepertinya, tidak hanya terhadap buruh sosialis dan rakyat jelata, ia beralih ke perlawanan "filosofik" pasif terhadap regim. Namun, ia menolak mendukung langkah politik massa apa pun terhadap fasisme dan tetap menjadi anggota Senat Italia yang dikendalikan fasis. Ia terus berbicara dan menulis selama 22 tahun kekuasaan fasis tanpa tindakan apa pun dari regim. Baik dalam surat-suratnya dari penjara maupun dalam Catatan, Gramsci dengan jelas menyatakan bahwa ia menganggap Croce sebagai kawan tak ternilai fasisme, meskipun secara formal ia merupakan oposisi filosofik liberal. Pasivitas politik, anti komunisme, anti kelas buruh, politik dan filsafat kelas atas elitisnya membantu menjaga intelektual selatan pasif di bidang politik dan memusuhi massa. Dengan tetap berada dalam Senat Fasis sebagai lawan formal regim, ia memberikan negara fasis tersebut legitimasi demokratik dan meningkatkan prestise intelektualnya. Bagi Gramsci, Croce adalah lawan filsafat Marxis dan revolusi kelas buruh yang paling canggih, berpengaruh dan berbahaya di Italia dan Eropa.

Bertentangan dengan tokoh-tokoh reaksioner macam Croce dan Fortunato, Gramsci mengajukan Piero Gobetti sebagai contoh intelektual demokrat yang bisa dibujuk untuk beralih ke revolusi yang dipimpin kelas buruh. Gobetti, yang dipengaruhi buruh pabrik mobil komunis dari gerakan Ordine Nuovo di Turin memisahkan diri dari Croce dan mulai menganggap kelas buruh utara sebagai kekuatan sosial yang dapat memodernisasi Italia di bidang kebudayaan dan sosial.

Terhadap kritikan sektarian dalam partai komunis bahwa Gobetti merupakan seorang liberal borjuis dan harus dilawan, Gramsci mengajukan pandangannya mengenai pentingnya beraliansi dengan intelektual demokratik, ".tidak memahami [mengapa partai membutuhkan Gobetti sebagai sekutu], berarti tidak memahami pertanyaan tentang intelektual dan fungsi yang mereka perankan dalam perjuangan kelas. Gobetti dalam praktiknya berfungsi sebagai penghubung antara kita dengan (1) intelektual yang lahir dalam teknik kapitalis [teknisi dan insinyur pabrik] yang antara tahun 1919-1920 mengambil posisi kiri, mendukung kediktatoran proletariat; (2) sekelompok intelektual selatan yang melalui hubungan yang lebih rumit mempertanyakan pertanyaan Selatan dengan sudut pandang yang berbeda dari yang tradisional, dengan mengajukannya kepada proletar Utara.Intelektual berkembang dengan lambat, jauh lebih lambat daripada kelompok sosial lainnya, akibat sifat alamiah dan peran historisnya. Mereka mewakili seliruh tradisi kebudayaan suatu masyarakat, berusaha menyimpulkan dan menciptakan seluruh sejarahnya. Ini dapat dikatakan terutama mengenai intelektual jenis lama: intelektual yang lahir pada wilayah rakyat jelata. Pemikiran bahwa intelektual semacam itu, dalam jumlah besar sekaligus, dapat memutuskan dirinya dari masa lalu dan menempatkan diri mereka seluruhnya pada wilayah ideologi baru, adalah absurd. Ini absurd bagi intelektual tersebut secara kelompok, dan mungkin pula absurd bagi sebagian besar intelektual secara individual pula - tanpa mengurangi rasa hormat pada usaha yang mereka lakukan atau ingin lakukan. Kini, kita tertarik pada massa intelektual, bukan pada individu. Memang penting dan berguna bagi proletariat bahwa satu atau lebih intelektual, secara individual, mengambil program dan pemikirannya, bergabung dengan proletariat, menjadi dan merasa sebagai bagian integral darinya [Gramsci sendiri merupakan satu contoh]. Proletariat, sebagai sebuah kelas, payah dalam mengorganisir elemennya. Ia tidak memiliki lapisan intelektualnya sendiri, dan hanya dapat menciptakannya dengan amat lambat dan amat menyakitkan setelah dimenangkannya kekuasaan negara. Namun penting dan berguna pula bila terjadi perpecahan dalam massa intelektual: sebuah perpecahan organik, yang memiliki ciri historik. Karena diperlukan keberadaan sebagai sebuah formasi massa, suatu kecenderungan kiri, dalam artiannya yang modern, yaitu yang berorientasi terhadap proletariat yang revolusioner. Aliansi antara proletariat dan massa rakyat jelata memerlukan
pembentukan formasi ini. Terutama, formasi ini sangat penting bagi aliansi antara proletariat dan rakyat jelata di selatan. Proletariat akan menghancurkan blok agraria selatan sejauh mungkin, melalui partai, dengan mengorganisir massa rakyat jelata yang miskin menjadi formasi yang otonom dan independen serta semakin kuat. Namun, keberhasilan atau kegagalannya dalam tugas yang penting ini akan juga bergantung pada kemampuannya memecahkan blok intelektual yang merupakan lapisan pertahanan yang fleksibel namun amat kukuh dari blok agraria.

Proletariat dibantu dalam tugas ini oleh Piero Gobetti." Strategi untuk mengalahkan Croce secara intelektual dan mendorong intelektual selatan radikal untuk mengambil jalan revolusi merupakan titik awal politik dan intelektual Catatan. Ini mendorongnya melakukan studi yang masif tentang intelektual Italia, asal kelas mereka, politik, kebudayaan dan sejarah mereka. Ini mendorongnya menulis sepanjang 155 halaman mengenai bagaimana melakukan serangan filsafat dan politik terhadap Croce, yang ia sebut "Anti-Croce". Dan kemudian, Anti-Croce ini dan studinya mengenai intelektual Italia memberikan dasar kritis untuk program politiknya untuk revolusi sosial, politik dan kebudayaan Italia. Dan akhirnya, ini mendorongnya untuk mengarah ke sebuah teori revolusi kebudayaan kelas buruh yang terbangun di sekeliling pemikiran untuk menciptakan kelompok kepemimpinan yang dibangun dari intelektual kelas buruh yang otonom dan intelektual "nasional-kerakyatan" atau revolusioner.
-----------------------------------------------------------------------

Hancurkan Kapitalisme,Imperialisme,Neo-Liberalisme, Bangun 
Sosialisme !

Date : Thursday, March 02 2000