Kamis, 25 Juni 2015

TANGGUNG JAWAB MASYARAKAT TERHADAP PENDIDIKAN



Diantara dasar-dasar yang menjadi landasan tanggung jawab masyarakat dalam meningkatkan kualitas pendidikan  adalah:
1. Tanggung jawab individu masyarakat
Al-Syaibany yang dikutip oleh Zakiyah Daradjat mengemukakan sebagai berikut: “diantara ulama muktahir yang menyentuh persoalan tanggung jawab adalah Abbas Mahmud Al-Akkad yang menganggap rasa tanggung jawab sebagai salah satu ciri pokok bagi manusia pada pengertian al-Qur’an dan Islam, sehingga dapat ditafsirkan manusia sebagai “Makhluk yang bertanggung Jawab”. Sebagaimana dalam Alqur’an,
 
Allah berfirman : Q.S. Ath.-Thur 21
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ (٢١)
dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.(QS. 52.Ath-Thuur: 21)
Allah berfirman: QS. At-Tahrim, 66 : 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (٦)
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. 66. At-Tahrim: 6)
Sekalipun Islam menekankan tanggung jawab perseorangan dan pribadi bagi manusia dan menganggapnya sebagai asas, ia tidaklah mengabaikan tanggung jawab sosial dan menjadikan masyarakat solidaritas, berpadu dan kerjasama membina dan mempertahankan kebaikan. Semua anggota masyarakat memikul tanggung jawab membina, memakmurkan, memperbaiki, dan memerintahkan yang ma’ruf melarang yang mungkar dimana manusia memiliki tanggung jawab manusi melebihi perbuatan-perbuatannya yang khas, perasaannya, pikiran-pikirannya, keputusan-keputusannya dan maksud-maksudnya, sehingga mencakup masyarakat tempat ia hidup dan alam sekitar yang mengelilinginya. Islam tidak membebaskan manusia dari tanggung jawab tentang apa yang berlaku pada masyarakatnya dan apa yang terjadi di sekelilingnya atau terjadi dari orang lain. Terutama jika orang lain itu termasuk orang yang berada dibawah perintah dan pengawasannya seperti istri, anak dan lain-lain.
Allah berfirman :QS. Ali Imran, 3 : 110
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (١١٠)
kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (QS. 3. Ali Imran : 110)
Dengan demikian jelaslah bahwa tanggung jawab dalam Islam bersifat perseorangan dan sosial sekaligus. Selanjutnya siapa yang memiliki syarat-syarat tanggung jawab ini tidak hanya bertanggung jawab terhadap perbuatannya orang-orang yang berada dibawah perintah, pengawasan, tanggungannya dan perbaikan masyarakatnya. Ini berlaku saat diri pribadi, istri, bapak, guru, golongan, lembaga-lembaga pendidikan pemerintah.
A.    Tantangan Pendidikan
Sebelum menjelaskan tentang tanggung jawab masyarakat dalam peningkatan pendidika, ada baiknya diketahui terlebih dahulu tentang apa yang menjadi tantangan pendidikan . Sehingga peranan yang dimainkan oleh masyarakat tersebut pada gilirannya sekaligus menjadi solusi terhadap berbagai persoalan yang saat ini tengah dihadapi pendidikan. Diantara persoalan-persoalan tersebut adalah:
a. Krisis moral-akhlak
Memperhatikan kenyataan merosotnya akhlak sebagian besar bangsa kita, tentunya penyelenggara pendidikan  beserta para guru  dan dosen  tergugah untuk merasa bertanggung jawab guna meningkatkan kualitas pelaksanaan pendidikan  agar mampu membantu mengatasi kemerosotan akhlak yang sudah parah itu.
Pendidikan  adalah termasuk pendidikan nilai. Pendidikan nilai apapun tidak mudah menanamkannya ke dalam pribadi anak didik, karena banyak faktor yang mempengaruhinya, baik faktor penunjang maupun faktor penghambat. Sebagai contoh, ada seorang anak yang di dalam rumah mendapat pendidikan yang baik karena kebetulan bapak-ibunya guru. Tetapi di luar rumah, dia mempunyai kawan yang nakal, yang sering mengajaknya main judi dan melihat film porno. Kalau kebetulan mereka menang dalam judi, mereka bersenang-senang ke tempat mesum. Bapak-ibunya tidak tahu kelakuan anaknya yang sesungguhnya.
Keberhasilan pendidikan tidak dapat diandalkan pada pendidikan formal di sekolah saja, tetapi diharapkan adanya sinkronisasi dengan pendidikan di luar sekolah, yaitu pendidikan dalam keluarga (informal) dan masyarakat (nonformal). Pengaruh faktor luar sekolah terhadap pendidikan ini merupakan masalah yang serius pada dewasa ini. Misalnya, para siswa di sekolah dididik menjadi anak yang jujur, tetapi kenyataan dalam masyarakat, mereka menjumpai perilaku suap-menyuap, korupsi, pungli, dan selingkuh merajalela.
Di sekolah mereka dididik berbusana sopan dan menjauhi minuman keras, tetapi dalam tayangan televisi ataupun perilaku turis asing yang datang ke Indonesia banyak yang berpakaian mempertontonkan aurat dan minuman keras merupakan kebiasaan mereka sehari-hari.
Perlu diingat, kemerosotan akhlak tidak dapat dicarikan kambing hitamnya dengan menyatakan, bahwa hal itu karena pelaksanaan pendidikan agama di sekolah yang kurang berhasil. Mengapa? Karena, kemerosotan akhlak bangsa disebabkan oleh banyak faktor, seperti pengaruh globalisasi, krisis ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lain-lain. Misalnya, karena terjadinya krisis ekonomi menyebabkan banyak orang sulit mencari sesuap nasi.
Akhirnya mereka nekat mencuri, menipu, memeras, menggarong, melacur, dan lain-lain. Contoh lain, karena pengaruh globalisasi, orang ingin mencontoh gaya hidup mewah, maka karyawan atau pegawai rendah pun ingin bisa memiliki kendaraan bermotor. Akhirnya mereka berupaya mencari uang dengan cara apapun asal bisa memiliki kendaraan bermotor.
Kiranya perlu kita sadari pula bahwa merebaknya kenakalan remaja, perkelahian antar pelajar terutama di kota-kota besar, munculnya “premanisme” dan berbagai bentuk kejahatan lainnya merupakan tantangan bagi para pendidik, tokoh masyarakat, guru agama, dan kita semua.
Tetapi kita juga ingin menegaskan bahwa dalam menghadapi kasus-kasus kejahatan tersebut guru-guru agama tidak dapat dipersalahkan begitu saja atau dijadikan “kambing hitam”. Guru  tidak dapat dipersalahkan secara pukul rata lantaran ada kejahatan, tidak berakhlak, brutal, alkoholis, berkelahi dan bersikap kurangajar! Banyak faktor lain yang lebih dominan dalam pembentukan perilaku dan watak mereka. Karenanya kita menolak kalau ada pihak yang menilai bahwa semakin “merebaknya“ kejahatan dan kenakalan remaja itu merupakan indicator kuat terhadap kegagalan pendidikan agama disekolah-sekolah. Tetapi meski demikian kita juga tidak boleh bersikap apatis sambil berkata: “apa yang terjadi, terjadilah!
”Tokoh-tokoh Islam, Ulama’ dan guru-guru  kiranya tetap menaruh rasa prihatin dan perlu proaktif untuk ikut menangulangi kejahatan dan kenakalan remaja dan premanisme tersebut. Perlu kita sadari juga, bahwa para preman, remaja dan pelajar yang suka berkelahi, anak-anak yang suka mabuk-mabukan, mereka yang melakukan kejahatan di kota-kota besar, sebagian besar berasal dari keluarga muslim, baik dari kalangan yang berada maupun dari kalangan yang tidak punya. Tetapi sekali lagi, hal tersebut bukan indikator kegagalan atau merosotnya kualitas penghayatan dan pengamalan keagamaan umat Islam Indonesia.
b. Disorientasi fungsi keluarga
Fungsi keluarga yang dikenal sebagi tempat pendidikan utama dan pertama, nampaknya saat ini sudah berubah seiring dengan era globalisasi dalam setiap lini kehiduapan. Fungsi keluarga yang semula menjadi basecamp pendidikan pertama bagi anggota keluarga (anak, ibu dan bapak), saat ini mulai bergeser ke luar, yakni bisa berpindah ke lingkungan sekolah dan masyarakat.
Ibu yang sering disebut sebagai “madrosatul ula” saat ini sudah banyak yang berkerja, berprofesi di luar rumah. Sehingga pada gilirannya anggota keluarga, terutama anak-anak sering menjadi korban, kurang terperhatikan, terutama dalam kebutuhan psikologisnya, tingkat kedekatan dan kasih sayangnya. Akhirnya mereka banyak yang sering melampiaskan kegiatannya di luar rumah, dan terjerumus ke jurang kenistaan dan kehinaan.

c. Lemahnya learning society
Seiring dengan era globalisasi, dimana sikap individualitas semakin menguat dan gaya interaksi antar individu tersebut sangat fungsional. Maka hal tersebut telah berakibat pada lemahnya peran serta masyarakat dalam pembelajaran di lingkungan keluarga. Learning society secara praktek sudah dilakukan oleh masyarakat Indonesia- meski belum secara maksimal- namun secara konsep masih meraba-raba. Dalam batasan ini, adapun yang dimaksud dengan learning society adalah pemberdayaan peran masyarakat dalam keluarga dalam bidang pendidikan, termasuk dalam bidang pendidikan agama. Selama ini peran pendidikan formal, dalam arti sekolah, yang baru mendapatkan perhatian. Sementara pendidikan non formal dan informal di Indonesia belum mendapatkan perhatian hanya dalam porsi yang sedikit.
d. Menguatnya faham sekuler dan liberal
Diantara tantangan yang cukup serius yang dihadapi pendidikan agama adalah menguatnya faham sekular dan liberal. Kedua faham tersebut tak jarang menjadikan kebingungan di kalangan masyarakat; Sekularisme atau ( الما نية ) adalah sebuah gerakan yang menyeru kepada kehidupan duniawi tanpa campur tangan agama. Ini berarti bahwa dalam aspek politik dan pemerintahan juga harus berdasar pada sekularisme.  Sementara Liberalisme adalah faham kebebasan dalam memahami syari’at, yaitu dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad yang menekankan aspek kontekstualitas historis, rasio, sehingga hukum Islam menjadi relatif dan tidak ada kepastian.
Padahal agama Islam yang merupakan agama wahyu, selama ini diyakini sebagai agama yang universal dan integral (shaalihun likulli zaman wa makan), mempunyai pandangan yang serasi antara akal dan wahyu, mengambil jalan tengah dalam setiap persoalan (manhaj al-wustho)
e. Masih Kuatnya Manajeman Patriarki
Dalam ruang lingkup lembaga pendidikan agama/keagamaan masih sering kita dapatkan manajemen patriarki (kekeluargaan). Artinya semua unsur pemangku kebijakan di lembaga tersebut adalah terdiri dari satu keluarga-kerabat, misalnya dari unsur ketua yayasan, Pembina,, Pengawas, Pengurus, Kepala Sekolah, bahkan Guru dan staf. Pendekatan manajemen seperti ini dalam banyak hal akan menimbulkan disfungsi manajemen organisasi kelembagaan pendidikan yang ada. Yang sudah barang tentu akan mengganggu pada profesionalitas manajemen pengelolaan lembaga tersebut. Termasuk dalam pengembangan pendidikan agama, apabila manajemen yang digunakan masih berpusat pada manajemen keluarga (patriarki), maka dapat dikatakan tingkat akuntabilitasnya sulit dipertanggung jawabkan.
B.     Tanggung Jawab Masyarakat dalam Pendidikan
1. Revitalisasi dan reorientasi pendidikan agama di keluarga
Anggota keluarga yang terdiri dari individu-individu masyarakat, memiliki peranan yang strategis dalam memberikan penguatan terhadap pendidikan agama. Tanggung jawab orang tua  dalam memberikan pendidikan agama terhadap anggota keluarga akan memberi dampak yang paling nyata dalam peningkatan pendidikan agama. Dengan contoh suri teladan yang baik dalam perilaku keagamaan keluarga, akan lebih efektif dalam proses pencapaian tujuan pendidikan agama, yaitu menjadikan peribadi yang sempurna (berkeperibadian islami).
Di tengah-tengah terjadinya disfungsi keluarga sebagai lingkungan pendidikan partama dan utama, adalah peranan nyata anggota masyarakat saat ini untuk mengembalikan fungsinya sebagai “madrosatul ula”. Fungsi-fungsi anggota keluarga harus kembali mendapat penguatan, apakah itu sebagai ayah, ibu maupun anak, yang merupakan lingkungan terkecil dari suatu masyarakat.
2. Pembiayaan, Pemberian bahan dan sarana pendidikan agama dan keagamaan
Salah satu peluang untuk peran serta masyarakat dalam meningkatkan pendidikan agama dan keagamaan adalah dalam hal pembiayaan pendidikannya. Sebagaimana dimaklumi bahwa terutama pendidikan formal yang bercorak keislaman yang dibawah naungan Kementerian Agama RI, seperti: RA, MI, M.Ts, MA atau sejenisnya masih cukup memperihatinkan, apabila dibandingkan dengan pendidikan umum di bawah naungan kemendiknas RI, rata-rata pembiayaan satuan pendidikan agama (unit cost) tersebut, hanya 38 % yang ditanggung pemerintah, selebihnya (62 %) masih ditanggung anggota masyarakat (orang tua). Hal tersebut menunjukkan contoh konkret peran serta masyarakat sekaligus kemandirian madrasah yang harus dipertahankan, sekaligus ditingkatkan. Sementara itu mayoritas madrasah (91 %) dikelola oleh swasta dengan jumlah keseluruhan satuan pendidikan madrasah sebanyak 40.258 buah.
Peran serta masyarakat juga dapat berupa wakaf tanah untuk penambahan bangunan madrasah, sarana penunjang pendidikan agama, seperti masjid Madrasah, dan saran penunjang lainnya. Sebagaimana pernah dilakukan pula oleh masyarakat pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid, dimana sarjana Baitul Hikmah melakukan gerakan wakaf tanah untuk fasilitas pendidikan, seperti perpustakaan, dll.
Wakaf pada asalnya adalah bertujuan mengekalkan yang asal dan memanfaatkannya untuk kebaikan, atau harta yang dapat digunakan hasilnya tetapi asalnya kekal.
3. Penguatan Learning Society dalam Pendidikan
Salah satu sarana potensial dalam penguatan learning society adalah Masjid, Musholla, Langgar dan sejenisnya. Dapat dipastikan hampir tiap RW memiliki Masjid atau Musholla, yang secara umum mempunyai jama’ah masing-masing (yang terdiri dari anggota masyarakat). Dalam kontek ini Masjid telah berfungsi sebagai tempat belajar masyarakat untuk meningkatkan wawasan keagamaan/keislaman. Pusat-pusat pembelajaran masyarakat tentang agama telah berdiri di Masjid selama berabad-abad sehingga sampai sekarang. Namun di era teknologi informasi-globalisasi ini yang meng-hegemony hampir seluruh lapisan kehidupan, maka tradisi mengaji di masjid, musholla dan langgar pada saat ini berkurang. Jutaan mata masyarakat muslim yang biasa belajar agama selepas shalat magrib sambil menunggu shalat Isya. Sekarang telah beralih di depan televisi, menonton sinetron dan atau jalan-jalan ke Mall.
Dalam kondisi yang seperti tersebut di atas, maka peran serta masyarakat dalam mengembalikan kualitas pendidikan agama dengan penguatan learning society melalui pengajian-pengajian di musholla, masjid, langgar dll., menjadi sangat penting untuk dilakukan secara terprogram, aktif dan kreatif. Selain itu untuk meminimalistir distorsi pemahaman agama masyarakat, dapat dipelopori juga gerakan TV dan internet sehat, dll.
4. Berpartsipasi aktif dalam Komite Sekolah
Salah satu sarana untuk berperan serta dalam meningkatkan kualitas pendidikan agama adalah masyarakat dapat berperan aktif di Komite Sekolah/Madrasah .
5. Mendorong dan mendukung semua program Pendidikan  di sekolah
Peran serta masyakat untuk meningkatkan pendidikan  juga dapat dilakukan dengan mendorong dan mendukung semua kebijakan Sekolah/madrasah yang terkait peningkatan mutu pendidikan agama, baik melalui program kurikuler, misalnya, dengan adanya jam tambahan khusus jam pelajaran agama (Membaca Alqur’an setiap hari pada awal pembelajaran, seperti di Al-Azhar, dan Islamic Fullday School, atau beberapa sekolah umum lainnya, membiasakan berbusana Muslim di Sekolah umum. Dan juga dapat mendukung dalam program ekstrakurikuler, seperti Studi Islam Intensif, Kuliah Dluha, Pesantren Kilat, dll.
6. Mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan  yang berbasis mutu
Diakui atau tidak, lembaga pendidikan agama (Islam), secara umum masih dianggap lembaga pendidikan nomor dua jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum lainnya. Dan hal ini pula yang menjadi keprihatinan para pengamat pendidikan Islam. Maka salah satu peran serta aktif masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan agama adalah dengan mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan agama yang berbasis mutu.
7. Penguatan Manajemen Pendidikan
Salah satu titik kelemahan lembaga pendidikan agama/keagamaan yang mayoritas dikelola swasta, antara lain masih kuatnya manajemen patriarki-ashabiyah. Maksudnya bahwa para pengelola biasanya terdiri dari keluarga, dari mulai ketua Yayasan, Pembina, Pengawas, Pengurus, Kepala Sekolah, Guru, dan lainnya adalah mayoritas terdiri dari unsur keluarga, sehingga yang didahulukan adalah unsur kebersamaan, dan terkadang mengabaikan mutu dan profesionalitas. Misalnya yang banyak terjadi adalah antara Kepala Madrasah/Sekolah dengan Bendahara sekolah adalah suami isteri, gurunya juga adalah anak dari kepala Madrasah/Sekolah tersebut, dan kerabat lainnya.
Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kurang berfungsi-nya unsur-unsur manajemen secara baik, dan memungkinkan akan terhambatnya akselerasi pencapaian program-progam sekolah yang ada, termasuk dalam bidang pendidikan agama. Karena akuntabilitas dan realibilitas unsur-unsur yang ada sulit ditegakkan secara ideal. Maka dalam konteks inilah peran serta masyarakat dapat saling mengawasi terhadap manajemen lembaga pendidikan agama yang ada. Kalaupun ada unsur kekeluargaan sebaiknya tetap memperhatikan profesionalitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar