I. PENDAHULUAN
Adalah penting sekali memahami kerangka umum Islam bagi kehidupan dan wujud sehingga kita dapat memahami pemikiran dan metodologi Islam serta ruang geraknya dan juga memahami hubungan-hubungan, konsep-konsep dan landasan-landasan pokok yang mengatur dan memberi ciri pemikiran, metodologi dan struktur kehidupan islam.[1]
Gagasan untuk mengkaji Islam sebagai nilai alternatif baik dalam perspektif interpretasi tekstual maupun kajian kontekstual mengenai kemampuan Islam memberikan solusi baru kepada temuan-temuan disemua dimensi kehidupan akhir-akhir ini semakin merebak luas. Penguasaan lebih mendalam mengenai wawasan pemikiran secara filosofis, terutama penjelajahan intelaktual terhadap gagasan-gagasan berpikir Barat yang seakan tak terbendung lagi datangnya bagi kaum muslimin sudah dimulai sejak abad ke-19, dan dipenghujung abad ke-20 serta memasuki abad ke-21, pemikir-pemikir muslim sedang bergelut kuat untuk menemukan jati diri pemikirannya agar bisa memanfaatkan ide-ide yang yang merayap tak terhingga sebagai akibat modernisasi berpikir radikal yang diterapkan Barat.[2]
Islam adalah pandangan dunia yang berorientasi kemasa depan. Suatu sistem pemikiran dan tindakan yang mengandung keabsahan abadi pasti memiliki pula komponen-komponen yang dirancang untuk menghadapi tantangan dimasa yang akan datang. Suatu ideologi universal yang terus menerus berupaya untuk mewujudkan sepenuhnya ajaran-ajarn dasarnya harus memusatkan perhatiannya pada pembentukan masa depan. Suatu peradaban dengan sejarah yang gemilang harus memandang ke masa depan untuk meraih kembali kejayaan-kejayaan masa silamnya. Karenanya, sebagai sebuah agama, ideologi, dan peradaban, Islam memberikan suatu pandangan dunia yang terutama ditujukan untuk pembangunan masa depan baik di dunia maupun diakhirat nanti.[3]
Kalau kita telaah perkembangan pemikiran Islam di tanah Air sejak satu dekade terakhir, maka “situasi Guthenberg” seperti yang pernah terjadi pada dunia Kristen itu benar-benar nyata kita lihat gejalanya dalam lingkungan masyarakat Islam. Seiring dengan maraknya industri penerbitan buku di Tanah Air, perkembangan pemikiran Islam bergejolak tanpa henti dan dan menimbulkan gelombang kontroversi yang tak habis-habisnya. Keadaan semacam ini tentu tak mungkin terjadi jika tak ada kombinasi tiga faktor sekaligus: munculnya kelas terdidik Islam dengan derajat keterdedahan yang tinggi pada ragam informasi yang berjenis-jenis, tumbuhnya industri penerbitan yang bersemangat, dan lingkungan diskursif yang makin terlembaga untuk memperdebatkan pelbagai ragam penafsiran yang muncul.[4]
II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Pemikiran Islam Fundamentalisme Di Indonesia?
B. Bagaimana Pemikiran Islam Liberal Di Indonesia?
C. Bagaimana Pemikiran Islam Moderat Di Indonesia?
III. PEMBAHASAN
A. Pemikiran Islam Fundamentalisme Di Indonesia
Istilah fundamentalisme[5] yang dikaitkan dengan agama bukan muncul dari dan dalam kalangan Islam sendiri, melainkan dari dan dalam kalangan Kristen.[6] Kemudian baju tersebut mereka kenakan pada kalangan tertentu umat Islam yang mempunyai ciri-ciri tertentu pula. Di kalangan umat Islam memang terdapat kelompok yang pada satu segi berupaya untuk mengembalikan umat ini kepada fundamental Islam, dan pada segi lainnya mereka juga cenderung memfundamentalkan segala masalah, termasuk hal-hal yang dapat taktis dan teknis semata.[7]
Dalam membicarakan soal Islam dan fundamentalisme perlu ditegaskan terlebih dahulu bahwa ajaran-ajaran Islam sebenarnya tersusun atas dua kategori, ajaran-ajaran dasar yang bersifat absolut, kekal, dan tidak bisa berubah, dan ajaran-ajaran yang didasarkan atas ajaran-ajaran tersebut, yang bersifat nisbi, tidak kekal, dan dapat berubah menurut perubahan tempat dan perkembangan zaman. Ajaran-ajaran dasar yang bersifat absolut, kekal, dan tidak berubah itu terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis. Sedangkan ajaran-ajaran yang bersifat nisbi dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan tempat, merupakan hasil ijtihad atau pemikiran para ulama’ atas ajaran-ajaran dasar tersebut, dan ia dapat ditemukan dalam buku-buku seperti tafsir, hadis, fiqih, atau hukum Islam, ilmu tauhid atau teologi Islam, ilmu Tasawuf atau mistisisme Islam, dan lain-lain.
Kalau yang dimaksud dengan Fundamentalisme adalah kembali ke ajaran-ajaran dasar agama, seperti yang terkandung dalam arti kata itu, maka fundamentalisme dalam Islam berarti kembali ke ajaran-ajaran kategori pertama, yaitu ajaran-ajaran dasar yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis, dan bukan kembali ke ajaran-ajaran kedua, yaitu ajaran-ajaran yang merupakan hasil ijtihad ulama’. Karena itu konsep fundamentalisme kalau digunakan dalam konteks Islam akan sama dengan paham dan gerakan yang timbul di dunia Islam pada abad ke sembilan belas dan berkembang di abad kedua puluh sekarang ini, yang berprinsip kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadis dengan tujuan mengadakan interpretasi atau ijtihad baru, dan bukan kembali pada buku-buku tafsir, hadis, fiqih, ilmu tauhid, ilmu tasawuf, dan sebagainya yang mengandung ajaran-ajaran hasil ijtihad ulama’.[8]
Gejala fundamentalisme Islam dapat dilihat dari beberapa prinsip:
1. Fundamentalisme adalah “oppsitionalism” (paham perlawanan). Fundamentalisme dalam agama manapun mengambil bentuk perlawanan yang bukannya tak sering bersifat radikal terhadap ancaman yang dipandang akan membahayakan eksistensi agama, apakah dalam bentuk modernitas atau modernisme, sekularisasi, dan tata nilai barat pada umumnya.
2. Penolakan terhadap hermenetika. Dengan kata lain, kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Teks Al-Qur’an harus dipahami secara literal sebagaimana adanya, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks.
3. Penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Pluralisme merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci.
4. Penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan, bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci.[9]
Azurmadi Azra membuat dua tipe fundamentalisme dalam Islam, Yaitu:
1. Fundamentalisme Pra-Modern
Fundamentalisme pra-modern dapat dilacak jauh ke belakang pada masa awal sejarah Islam. Gerakan kaum Khawarij yang muncul pada masa akhir pemerintahan Ali bin Abi Thalib, dengan prinsip-prinsip radikal dan ekstrim, dapat dilihat sebagai gerakan fundamentalisme klasik yang mempengaruhi gerakan fundamentalisme sepanjang sejarah. Pada masa berikutnya mengambil bentuk seperti gerakan di Semenanjung Arabia, di bawah pimpinan Muhamad bin Abdul Wahhab (1703-1792), dengan mengusung term memurnikan Islam dari tahayul, bid’ah, dan khurafat telah mendorong gerakan fundamentalisme Islam radikal.
2. Fundamentalisme Kontemporer
Fundamentalisme kontemporer lebih banyak sebagai respon atas barat. Ada dua masalah besar yang menjadi perhatian kelompok ini. Pertama, mereka menolak sekuleralisme masyarakat barat yang memisahkan agama dari politik, gereja dari negara. Kedua, banyak umat Islam yang menginginkan agar masyarakat mereka diperintah dengan menggunakan Al-Qur’an dan syari’at Islam sebagai aturan hukum bernegara.[10]
B. Pemikiran Islam Liberal Di Indonesia
Islam liberal merupakan sisi lain dari gerakan Islam Indonesia kontemporer. Hingga dewasa ini gerakan ini masih menjadi arus kecil dalam peta gerakan Islam di Indonesia. Kendati demikian, kemampuannya untuk bersuara nyaring dengan menggunakan media dan forum-forum strategis telah menjadikan gerakan inti menarik banyak perhatian. Sejumlah ide yang dilontarkannya mengenai Islam dan keharusan penyegaran kembali pemahaman atasnya telah menyulut kontroversi yang bukan saja muncul dikalangan elit intelektual, tetapi juga dikalangan masyarakat luas sebagaimana tercermin lewat reaksi mereka pada saat khutbah Jum’at dan pengajian-pengajian agama.[11]
Seperti istilah fundamentalis, istilah liberal juga tidak mudah didefinisikan, apalagi ketika istilah liberal ini melekat pada kata Islam, maka serta-merta memiliki daya sensitif yang kaut sekali. Masyarakat Muslim memandang istilah Islam Liberal serba negatif dan serba berbahaya. Pemikiran Islam Liberal di Indonesia sebenarnya mulai muncul pada 1970-an yang digerakkan oleh Harun Nasution. Taufik Abdullah menilai bahwa Nasution dapat disebut sebagai pemikir Islam Liberal paling terkemuka di Indonesia kontemporer. Dia adalah murid tokoh pembaharu Islam Muhamad Abduh. Nasution menyerukan kebangkitan kembali semangat modernis yang telah membebaskan kaum muslim dari keletihan intelektual mereka. Jejak Nasution banyak diikuti oleh Nurcholis Majid, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, dan Abdurrahman Wahid. Mereka telah melancarkan pemikiran-pemikiran yang dinilai Greg Barton sebagai pemikiran-pemikiran atau gagasan-gagasan Islam Liberal.
Islam liberal adalah suatu bentuk penafsiran baru atas agama Islam dengan wawasan berikut:
1. Keterbukaan pintu ijtihad pada semua bidang
2. Penekanan pada semangat religio-etik, bukan pada makna literal sebuah teks
3. Kebenaran yang relatif, terbuka, dan plural
4. Pemihakan pada yang minoritas dan tertindas
5. Kebebasan beragama dan berkepercayaan
6. Pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.[12]
Munculnya gelombang liberalisme Islam di Indonesia sekurang-kurangnya disebabkan karena tiga faktor dominan:
1. Faktor internal umat Islam yang semakin terdidik dengan ilmu-ilmu baru (imu sosial dan Humaniora)
2. Faktor perubahan sosial yang demikian cepat sehingga membutuhkan cara-cara baru dalam memahaminya, baik dalam memahami kitab suci maupun dalam memahami fenomena perubahan sosial tersebut
3. Faktor eksternal umat Islam, yakni faktor dari umat Kristen yang telah lebih dahulu berpikiran maju dan kontekstual dalam memahami kitab suci seperti yang diperlihatkan dalam teologi pembebasan.
Oleh karena itu, visi yang hendak dikembangkan oleh kaum liberal adalah keterbukaan terhadap hal-hal baru yang dulu tidak pernah atau belum terjadi, sementara kitab suci maupun hadis nabi tidak membicarakannya sehingga membutuhkan ijtihad dari Umat Islam agar umat Islam mampu berkembang sesuai dengan konteks zamannya.[13] Denny JA menjelaskan lebih jauh tentang Islam Liberal ini. Menurutnya, Islam Liberal adalah kelompokyang menginterpretasi Islam yang pararel dengan modernitas dan demokrasi. “dan Demokrasi sebagaimana yang diteorikan dan dipraktekkan diseluruh dunia adalah bersifat sekuler, di mana negara mengambil jarak yang sama atas pluralitas agama ataupun pluralitas interpretasi agama,” lebih lanjut ia menyatakan, mengutip William Liddle (1995), bahwa kaum Islam Liberal bisa diberikan label Islam subtansial. Menurut Liddle, ada empat ciri kaum subtansialis ini di Indonesia.
1. Mereka percaya bahwa isi dan subtansi ajaran agama Islam jauh lebih penting daripada bentuk dan lebelnya
2. Mereka percaya, walau Islam (Al-Qur’an) itu bersifat universal dan abadi, namun ia tetap harus terus menerus di interpretasi ulang untuk merespon zaman yang terus berubah dan berbeda
3. Mereka percaya karena keterbatasan pikiran manusia, mustahil mereka mampu tahu setepat-tepatnya kehendak tuhan
4. Mereka menerima bahwa bentuk negara Indonesia sekarang yang bukan merupakan negara Islam adalah bentuk final.[14]
C. Pemikiran Islam Moderat Di Indonesia
Moderat[15] dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pertengahan atau mudah diterima di semua kalangan.[16] Kata moderat yang dimaksud dalam istilah ini di-claim sebagai penafsiran dari kata al-wasatiyah’. Kata ini terdapat dalam ayat Al-Qur’an yang mengatakan bahwa Islam itu adalah al-wasatiyah atau Islam itu adalah pertengahan.[17] Namun, ternyata makna pertengahan antara kedua bahasa ini sebenarnya sangat berbeda. Tidak seperti yang dimaknai secara biasa, yaitu pertengahan.
Memaknai kata pertengan dari kata moderat dan makna kata pertengahan dari bahasa agama sangatlah berbeda. Al-Wasatiyah atau petengahan dalam bahasa agama berarti mengambil jalan tengah yaitu mempertimbangkan segala sesuatunya tanpa ada kehendak mengikuti hawa nafsu disana. Jadi, Islam adalah agama pertengahan yaitu agama yang terbebas daripada mengikuti kehendak hawa nafsu lawwamah, tetapi Islam adalah agama yang dituntun oleh ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
Tarmizi Taher (Mantan Menteri Agama Republik Indonesia tahun 1993-1998 M), memberikan ciri-ciri ummatan wasathan sebagai berikut:
1. Adanya hak kebebasan yang harus selalu diimbangi dengan kewajiban
2. Adanya keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, serta material dan spritual
3. Keseimbangan yang terwujud pada pentingnya kemampuan akal dan moral.[18]
Dalam menghadapi kelompok Islam Fundamentalis dan Islam Liberal yang sama-sama ekstrim itu, di Indonesia terdapat dua kelompok besar yaitu NU dan Muhamadiyah yang menjadi panutan dari sisi doktrin organisasinya dan menjadi pijakan kehidupan sosial keagamaan, khususnya kehidupan keislaman. Doktrin inilah yang dijadikan parameter dalam merespons kedua kelompok yang berseberangan itu, bukan pada tokoh-tokoh tertentu secara parsial yang tidak bisa mewakili umatnya sendiri. M. Syafi’i Anwar menegaskan, “secara umum, NU maupun Muhamadiyah sangat menekankan pendekatan dakwah yang inklusif dan moderat.”
Menurut Anwar, teologi Nu bersumber pada doktrin tawashut (moderat) dan tasamuh (toleran) dalam pandangan dan sikap keagamaan. Sementara itu basis sosial NU adalah pesantren yang sejak awal mendakwahkan Islam yang ramah dan akomodatif terhadap tradisi lokal dan watak budaya Nusantara. Bahkan dalam bermasyarakat, NU memiliki sikap atau doktrin yang lebih terperinci lagi, yaitu tawasut dan i’tidal, tasamuh, tawazun, dan amar ma’ruf nahi munkar.[19]
Adapun penjaga gawang moderasi berikutnya adalah muhamadiyah. Muhamadiyah sebagai organisasi sosial kegamaan, meskipun banyak dipengaruhi Wahabi dan lebih jauh lagi Ibnu Taimiyah dalam menghadapi takhayul, bid’ah, dan khurafat sehingga menentangnya, penentangan muhamadiyah itu masih diimbangi oleh semangat rasional dan modernisasi dari pengaruh Muhamad Abduh, sehingga tidak sampai bertindak radikal yang dapat mengakibatkan kerusakan-kerusakan. Apalagi organisasi yang didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan ini dikenal gigih sekali mengatur strategi untuk melakukan pemberdayaan umat, baik melalui pendidikan, ekonomi, maupun sosial, maka kecenderungan kearah radikalisme semakin sirna. Jadi, perimbangan antara pengaruh wahabi dan Ibnu Taimiyah di satu sisi dengan pengaruh Muhamad Abduh serta konsentrasi pembaruan strategi pemberdayaan di sisi lain mengantarkan Muhamadiyah bersikap relatif moderat.[20]
[1] Abdul Hamid Abu Sulayman, Azmah Al-Aql Al Muslim, Terj oleh Rifyal Ka’bah, (Jakarta: Media Da’wah, 1994), hlm 161.
[2] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 235.
[3] Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape ofIdeas to Came, terj oleh Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 1
[4] Luthfi Assyaukanie, Wajah Liberal Islam di Indonesia, (Jakarta: Akbar Media, 2002), hlm. 76.
[5] Fundamentalisme adalah paham yg cenderung untuk memperjuangkan sesuatu secara radikal, dalam literatur lain diistilahkan sebagai kaum konservatif dan tradisionalis. Fundamentalisme memiliki kesamaan dengan berbagai istilah, yaitu fanatisme, Islam garis keras, revivalisme ekstrim (Roxanne L. Euben: 2002), ekstremisme (Gilles Kepel), radikalisme (Emmanuel Sivan: 1990), bahkan yang paling menyudutkan adalah terorisme. Konsekuensi dari istilah-istilah itu tidak selalu sama, tatapi memiliki kemiripan-kemiripan karakter, yaitu kekerasan, baik kekerasan pemikiran maupun kekerasan tindakan atau gerakan.
[6] Adalah suatu istilah Inggris kuno kalangan protestan yang secara kusus diterapkan kepada orang-orang yang berpandangan bahwa al-kitab harus diterima dan ditafsirkan secara harfiah. Istilah sepadan yang paling dekat dalam bahasa perancis adalah integrisme yang merujuk kepada kecenderungan senada tetapi tidak dalam pengertian kecenderungan yang sama dikalangan kaum katolik Romawi. Dalam Islam, kaum fundamentalis Sunni menerima Al-Qur’an secara harfiah, sekalipun dalam beberapa kasus dengan syarat-syarat tertentu, tetapi mereka juga memilki sisi lain yang berbeda. Kaum Syiah Iran, yang dalam suatu pengertian umum adalah para Fundamentalis, tidak terikat kepada penafsiran harfiah. Lihat William Montgomery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity, Terj oleh Taufik Adnan Amal, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), hlm. 3-4.
[7] Muhamad Amin Rais, Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, (Jakarta: CV Rajawali, 1986), hlm. 85.
[8] Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 122.
[9] Qodri Azizy dkk, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 191-192.
[10] Sumanto Al-Qurtuby dkk, Dekonstruksi Islam Madzhab Ngaliyan: Pergulatan Pemikiran Keagamaan Anak-anak Muda Semarang, (Semarang: Rasail, 2005), hlm. 15-16.
[11] Mukhsin Jamil, Revitalisasi Islam Kultrural: Arus Baru Relasi Agama dan Negara, (Semarang: Walisongo Prees, 2009), hlm. 97.
[12] Mujamil Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia? Kajian Komprehensif atas Arah Sejarah dan Dinamika Intelektuaal Islam Nusantara, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2012), hlm. 132-136.
[13] Zuly Qodir, Islam Liberal: Varian-varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002, (Yogyakarta: PT LKIS Printing Cemerlang, 2010), hlm. 116.
[14] Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal: sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawaban, Cet ke V, (Depok: Gema Insani, 2006), hlm. 8-9.
[15] H. Luthfi Bashori (Ketua Komisi Hukum dan Fatwa MUI Kab. Malang) lebih senang mengistilahkan dengan Kelompok Konsisten Karena jika disebut dengan istilah kaum Moderat dewasa ini, maka akan dipahami oleh masyarakat awam, lebih berorientasi kepada kelompok liberal, karena arti MODERAT, kini sudah bergeser kepada arti kelompok yang dapat menerima hal-hal di luar konteks syariat, termasuk dapat menerima segala macam aliran pemikiran bahkan menerima perilaku dan ritual non muslim. Kelompok Konsisten ini adalah mayoritas umat Islam yang masih mengikuti ajaran syariat yang telah diterima secara estafet dengan panduan kitab yg standar yang diterima secara estafet pula dari para ulama dan orang tua, dari generasi pendahulunya yang lebih tua lagi hingga sampai kepada para pembawa dan penyebar agama Islam yang pertama kali datang ke Indonesia, yaitu para Walisongo dan ulama sejamannya. Kelompok Konsisten ini, selalu berupaya untuk menerapkan syariat Islam secara utuh, namun tetap disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang secara riil dihadapi.
[16] Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm..178.
[17] Meminjam pemikiran yang dikemukakan oleh Yusuf Qordawy bahwa Wasatiyah (pemahaman moderat) adalah salah satu karakteristik Islam yang tidak dimiliki oleh Ideologi-ideologi lain. Dalam alquran di jelaskan:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً
“Dan demikianlah aku jadikan kalian sebagai Umat yang pertengahan”. (QS. Al Baqarah: 143).
Ayat diatas menyeru kepada dakwah Islam yang moderat dan menentang segala bentuk pemikiran yang liberal dan Radikal. Liberal dalam arti memahami Islam dengan standar hawa nafsu dan murni logika yang cenderung mencari pembenaran yang tidak ilmiah. Radikal dalam arti memaknai Islam dalam tataran tekstual yang menghilangkan fleksibilitas ajarannya. Sehingga terkesan kaku dan tidak mampu membaca realitas hidup. Padahal Rasulullah menegaskan :
إياكم والغلو في الدين ؛ فإنما أهلك الذين من قبلكم غلوهم في دينهم. رواه البخاري
“Hindarilah sifat berlebihan dalam agama. Karena Umat sebelum kalian hancur hanya karena sifat tersebut.” (HR. Bukhari)
[18] Tarmizi Taher, Berislam Secara Moderat, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), hlm. 144-146.
[19] Mujamil Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia? Kajian Komprehensif atas Arah Sejarah dan Dinamika Intelektuaal Islam Nusantara, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2012), hlm. 155-156.
[20] Ibid...hlm. 158.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar