I. PENDAHULUAN
Islam merupakan sebuah agama yang istimewa. Agama yang bisa dikatakan sebagai rahmatan lil alamin atau rahmat seluruh alam. Oleh karena itu, agama Islam tidak hanya berkembang dan tumbuh pesat di daerah asalnya saja yakni Jazirah Arab, melainkan juga tumbuh dan berkembang pesat di berbagai penjuru dunia, mulai dari Afrika, Eropa bahkan sampai berkembang pesat di Asia seperti di Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan Islam mampu menyebar, tumbuh, dan berkembang pesat ke berbagai penjuru dunia ini salah satunya karena munculnya banyak pemikir-pemikir Islam yang memiliki pemikiran cemerlang dalam berbagai bidang. Mulai dari bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, fiqh, tasawuf, filsafat, tarikh dan lain sebagainya. Sayangnya pemikir-pemikir tersebut dan pemikiranya hanya tumbuh dan berkembang di masa awal saja ( Masa Rasulullah, Khalifah dan Bani Umayyah serta Abassiyah ).
Khusus pada tahun 750 – 1200an M umat Islam mengalami kemajuan yang sangat besar di berbagai bidang. Di mana pada masa itu tepatnya di Pusat-pusat peradaban Islam seperti Baghdad, Bukhara, Andalusia banyak sekali ilmuan dan ulama muslim yang sukses menciptakan pemikiran-pemikiran Islam yang luar biasa hingga menarik banyak orang untuk mempelajari pemikiran-pemikiran tersebut. Hal ini membuat para sejarawan menggolongkan masa itu sebagai masa kejayaan Islam.
Sayangnya, Begitu memasuki masa pertengahan pada sekitar tahun 1250 M pemikiran-pemikiran cemerlang yang timbul dari umat Islam mulai tumpul dan statis. Corak pemikiran Islam dalam bidang fiqh, tasawuf, filsafat, teologi mulai berbeda dari masa-masa sebelumnya. Hal tersebut mengakibatkan Islam mengalami kemunduran.
Kemunduran Islam yang terjadi pada masa pertengahan ini membuat Islam sulit bangkit dan mulai tertinggal dari umat lain bahkan hingga masa kini. Oleh karena itulah, makalah ini akan membahas mengenai pemikiran Islam pada masa pertengahan.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa saja peristiwa-peristiwa penting yang mempengaruhi pemikiran Islam pada masa pertengahan ?
B. Bagaimanakah corak pemikiran Islam dalam bidang hukum, teologi, filsafat, tasawuf, dan juga sains yang berkembang pada masa pertengahan ?
III. PEMBAHASAN
A. Peristiwa-peristiwa yang Mempengaruhi Pemikiran Islam Masa Pertengahan
Berbicara pemikiran Islam pada masa pertengahan maka hal tersebut tidak dapat terlepas dari peristiwa-peristiwa penting yang terjadi kala itu, sebab peristiwa-peristiwa tersebut sangat mempengaruhi corak pemikiran Islam yang berkembang. Adapun peristiwa-peristiwa penting tersebut diantaranya :
1. Runtuhnya pusat-pusat peradaban Islam
Pada tahun 1258 M, Baghdad sebagai pusat peradaban Islam diserbu dan dihancurkan oleh Hulagu Khan. Seorang pemimpin bangsa Bar-bar. Invasi ini dilakukan secara brutal dengan membantai penduduk. Jumlah penduduk pada waktu itu lebih dari 2.000.000 jiwa. Sebagaimana dinukil oleh Syed Mahmuddunnasir, Ibnu Khaldun mencatat, ”Dalam pembantaian yang berlangsung selama enam minggu itu, 1.600.000 jiwa binasa”. Ini berarti lebih dari tiga perempat penduduk binasa, belum lagi yang mengalami catat seumur hidup, cacat sementara, maupun sakit kejiwaan.
Diantara jumlah yang binasa tersebut, banyak juga dari kalangan Ulama, Pemikir maupun Ilmuan. Tindakan brutal ini telah menghancurkan peradaban Islam baik fisik, psikis, sosial, dan kultural serta merupakan pukulan telak bagi dunia Islam. Hancurnya Baghdad sendiri bukan berarti akhir dari Islam, sebab umat Islam di daerah lain berusaha bangkit dengan tiga dinasti besar yaitu Dinasti Mughal di India, Safawiyah di Persia dan juga Dinasti Utsmani di Turki.[1]
Tidak sampai disitu saja pada kurun waktu tahun 1250-1500 M secara perlahan bangsa Mongol dan eropa yang sudah mulai memasuki era renaissance [2] mulai menghancurkan dan berkuasa di pusat-pusat peradaban lain yang ada.
Dengan hancurnya pusat-pusat peradaban Islam yang ada. Maka sumber Ilmu yang telah diciptakan oleh Ilmuan maupun Ulama terdahulu di berbagai perpustakaan kala itu banyak yang hilang. Hal tersebut mempengaruhi sebagian besar umat Islam untuk memiliki pemikiran yang apatis terhadap ilmu khususnya ilmu-ilmu filsafat karena cukup sulit mencari sumbernya.
2. Berkuasanya Tiga kerajaan Besar
Setelah khilafah Abbassiyah di Bagdad runtuh. Wilayah kekuatan politik islam mengalami kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaanya tercabik cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling memerangi.
Pada kisaran tahun 1500-1800 Islam mulai bisa kembali mengalami sedikit kemajuan melalui munculnya 3 kerajaan besar Islam yaitu Kerajaan Mughal di India, Safawiyah di Persia dan juga Kerajaan Utsmani di Turki. Dari ketiga kerajaan tersebut, kerajaan Utsmani adalah kerajaan pertama yang berdiri, yang paling besar dan paling lama bertahan dibanding dua kerajaan lainya. [3]
Bila dilihat dari segi sejarah dan latar belakang berdirinya ketiga kerajaan. Maka ketiga kerajaan tersebut dipegang oleh keturunan bangsa Turki dan Mongol yang dikenal sebagai bangsa yang suka berperang dibandingkan suka dengan Ilmu.[4] Dari hal tersebut maka Umat Islam kala itu terutama pemerintahanya (Khalifah, Sultan dan Amir-amir) bisa dibilang mulai melalaikan ilmu pengetahuan dan juga kebudayaan. Mereka tidak memberi kesempatan ilmu untuk berkembang hanya sibuk mengurus urusan politik dan militernya sebagai benteng terhadap serangan dari pihak-pihak luar yang hendak menyerang. [5]
Dengan kurangnya perhatian pihak kerajaan / pemerintah kala itu dalam berbagai bidang selain bidang politik dan militer maka cara berfikir umat Islam pun terpengaruh. Bagi umat Islam yang tidak memiliki hubungan dengan pihak kerajaan kala itu akan lebih memiliki pemikiran-pemikiran yang fokus pada mendekatkan diri kepada Allah SWT dibanding urusan keduniaan.
B. Corak Pemikiran Islam pada Masa Pertengahan
Dalam Agama terdapat dua ajaran yang erat kaitanya dengan produktivitas. Pertama agama mengajarkan bahwa sesudah hidup pertama di dunia yang bersifat material ini ada hidup kedua nanti di akhirat yang bersifat spiritual. Apabila kehidupan duniawi dianggap penting maka produktivitas akan meningkat. Namun bila kehidupan akhirat yang diutamakan maka produktivitas akan menurun.
Kedua, mengenai ajaran tentang nasib manusia, apabila nasib manusia ditentukan oleh Tuhan maka produktivitas penganut paham tersebut akan rendah. Namun, bila nasib manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri maka produktivitas akan tinggi.[6] Oleh sebab itu agama Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat sehingga nantinya akan tercipta keselarasan dalam kehidupanya.
Corak pemikiran Islam pada masa pertengahan ini secara garis besar akan semacam itu. Umat islam akan cenderung memilih salah satu dari kedua pilihan yang disebutkan diatas yaitu produktif atau tidak produktif. Namun, kebanyakan umat Muslim kala itu lebih memilih untuk menjadi pribadi yang tidak produktif dangan berbagai alasan dan pendapat. Untuk lebih spesifik mengenai corak pemikiran Islam pada bidang-bidang tertentu pada masa pertengahan akan disampaikan sebagai berikut :
1. Hukum Islam
Pada masa ini berkembang taqlid buta dikalangan umat Islam. Kehidupan mereka sangat statis tidak ada problem-problem baru dalam bidang fiqh yang berusaha untuk dikaji. Apa yang sudah ada dalam kitab fiqh-fiqh lama dianggap sebagai sesuatu yang sudah baku, mantap, benar, harus diikuti serta dilaksanakan sebagaimana adanya.[7] Umat Islam tidak lagi menggunakan pemikiranya untuk melakukan ijtihad sebagaimana pemikir-pemikir sebelumnya untuk menggali sumber yang asli kepada Al Qur’an dan Hadits nabi, praktek bermahdzab dan bid’ah telah subur.[8]
Isu pintu ijtihad telah tertutup mulai meluas dikalangan umat Islam, berpalingnya pemikiran untuk menggali secara langsung pada sumber pertama dan utama (al Qur’an dan hadits) apabila menemukan persoalan baru mulai pudar, pemikiran tersebut hanya dipusatkan untuk kepentingan mahdzab, praktek bermahdzab dan ta’asub terhadap mahdzab tertentu menjadi semakin besar.[9] Para Ulama tidak berusaha dan tidak berani melakukan ijtihad. Implikasinya tidak ada kreatifitas dan produktifitas sebagai kekuatan peradaban yang dihasilkan.[10]
Pada periode ini umat Islam telah menyaksikan tersedianya kitab himpunan materi hukum (fiqh) yang dibuat oleh periode sebelumnya. Ketersediaan kitab-kitab hukum tersebut membawa pengaruh melemahnya gairah dan padamnya nyala api ijtihad, yang pernah berkembang pesat pada periode sebelumnya. Mereka hanya mencukupkan diri untuk melihat dan menggunakan hasil ijtihad para ulama periode sebelumnya, tanpa harus melakukan ijtihad sendiri. [11] Itulah gambaran pemikiran umat Islam dalam bidang hukum yang mulai berkembang pada masa itu bahkan masih terasa hingga sekarang.
2. Teologi
Pada masa pertengahan ini teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah hilang dari dunia Islam dan diganti dengan teologi kehendak mutlak Tuhan ( Jabariyah / Fatalisme). Sedangkan metode berfikir rasional yang dikembangkan oleh mu’tazilah sudah lama padam.[12]
Adapun Ciri-ciri teologi kehendak mutlak Tuhan itu adalah:
a. Kedudukan akal yang rendah
b. Ketidak bebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan
c. Kebebasan befikir yang diikat dengan banyak dogma
d. Ketidakpercayaan pada sunnatullah dan kausalitas
e. Terikat pada arti tekstual alqur’an dan hadis
f. Statis dalm sikap dan berpikir [13]
Paham fatalisme mengajarkan bahwa manusia itu dalam keadaan terpaksa (majrur), mereka tidak memiliki kekuatan apapun, mereka tidak memiliki kebebasan berkehendak maupun berbuat. Semua kekuatan adalah kekuatan Tuhan dan semua perbuatan adalah perbuatan yang diciptakan Tuhan. Manusia ibarat wayang yang selalu menempati posisi objek, sedang Tuhan ibarat dalang yang selalu menempati posisi subjek. Paham semacam inilah yang dianut mayoritas umat Islam kala itu sehingga tidak mampu melahirkan pikiran-pikiran kreatif dan tindakan strategis.[14] Diterima atau tidak memang paham semacam inilah yang berkembang pesat kala itu.
3. Filsafat dan Tasawuf
Pada masa klasik Islam, kebebasan berfikir berkembang dengan masuknya pemikiran filsafat yunani. Namun, kebebasan ini menurun sejak al Ghazali melontarkan kritik tajam terhadap pemikiran filsafat yang tertuang dalam bukunya tahafut al falasifah (kekacauan para filosof). Kritik tersebut memang mendapat bantahan dari filosof besar islam yang lain yaitu ibn Rusyd dalam bukunya tahafut al tahafut (kekacauan buku kekacauan) tetapi nampaknya, kritik al-Ghazali jauh lebih populer dan berpengaruh dari bantahan Ibn Rusyd.[15]
Kritikan yang disampaikan oleh al-Ghazali pada masanya sangat mempengaruhi pemikiran umat islam tentang filsafat setelahnya. Banyak orang yang beranggapan bahwa filsafat bukanlah suatu metode yang baik untuk mendekatkan diri kepada Allah melainkan masih ada metode lain yang mereka anggap lebih efektif yaitu dengan bertasawuf. Jikalaupun ada orang-orang yang hendak berfilsafat kendala yang dialami adalah sulitnya menemukan sumber-sumber belajar entah itu guru maupun sumber rujukan lainya karena memang kala itu aliran tasawuf lah yang berkembang sangat pesat.
Selain itu juga kesulitan menemui sumber-sumber rujukan dalam bidang filsafat ini juga dikarenakan hancurnya sarana-sarana pengembangan Ilmu yang sudah disediakan oleh masa klasik, seperi perpustakaan dan karya-karya Ilmiah baik itu karya yang diterjemahkan dari bahasa Yunani, Persia, India dan Syiria maupun dari bahasa lainya. [16]
Hal tersebut membuat orang lebih memilih mempelajari bidang tasawuf dibandingkan filsafat. Pada masa pertengahan ini tasawuf berkembang menjadi tarekat. Jika masa klasik tasawufnya masih bersifat individual maka pada masa pertengahan ini melalui tarekat, tasawuf telah menjadi bercorak massal. Karena itu bukan sufi saja yang menjalankan ajaran tasawuf, tetapi juga orang awam pun juga mencoba untuk menjalankannya.
Karena tujuan kaum sufi adalah mendekatkan diri pada Tuhan maka mereka lebih mengedepankan kehidupan spiritual ketimbang kehidupan material. Dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, mereka banyak berpuasa dan sedapat mungkin meninggalkan kesenangan materi. Dunia ini mereka tinggalkan untuk bertemu Tuhan. Sikap ini ditiru pula oleh kaum awam maka berkembanglah masyarakat yang berorientasi kepada keakhiratan. Mereka tidak mementingkan hidup dunia bahkan bekerja untuk dunia dianggap pekerjaan yang hina.
Disamping orientasi keakhiratan, dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, para sufi dengan sabar dan tawakal menunggu anugrah Tuhan untuk dapat diterima datang didekat Nya. Adapun yang dilakukan hanya memperbanyak zikir dan mengingat Tuhan semata. Sikap semacam itu mempengaruhi umat secara umum, maka dikalangan mereka terdapat sikap lebih mementingkan hidup spiritual dan sikap tawakkal serta menunggu dengan sabar datangnya rahmat Tuhan.[17]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemikiran Islam dalam bidang filsafat pada masa pertengahan ini sangat terabaikan dan tidak ada pemikiran-pemikiran terkait filsafat yang menonjol. Bahkan para filosof-filosof yang ada kala itu tidak begitu terdengar namanya seperti halnya filosof-filosof masa klasik.
4. Sains (ilmu-ilmu kealaman)
Ilmu pengetahuan mengenai sains khususnya (ilmu kealaman) menjadi sesuatu yang begitu sulit ditemukan pada masa itu. Bagi yang belajar pada madrasah-madrasah yang ada ataupun lembaga-lembaga pendidikan yang ada mutu pendidikan dan pengajarannya kurang begitu diperhatikan ilmu-ilmu umum sebab rata-rata pengelola madrasah-madrasah yang ada adalah seorang sufi.
Dengan telah menyempitnya bidang–bidang ilmu pengetahuan umum, dengan tiadanya perhatian kepada ilmu-ilmu kealaman, maka kurikulum yang ada pada umumnya terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan, ditambah dengan sedikit gramatika dan bahasa sebagai alat yang diperlukan.
Ilmu-ilmu agama yang murni tinggal terdiri dari : Tafsir al Qur’an, Hadits, Fiqh (termasuk ushul fiqh dan prinsip-prinsip hukum) dan Ilmu Kalam atau Teologi Islam, Bahkan di madrasah-madrasah tertentu Ilmu Kalam atau Teologi Islam dicurigai, khususnya di madrasah-madrasah yang diurus oleh kaum Sufi yang memang tersebar luas di negara-negara Islam pada masa itu.
Materi pelajaran yang disampaikannya sangat sederhana, yang ternyata dari jumlah-jumlah buku-buku yang harus dipelajari pada suatu tingkatan (bahkan tingkat tinggi sekalipun) sangat sedikit. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan studi pun relatif singkat. Akibatnya adalah kekurang-mendalamnya materi pelajaran yang mereka terima, sehingga kemerosotan dan kemunduran ilmu pengetahuan para pelajarnya dapat dibayangkan.[18]
Adapun bentuk dari proses pembelajaran dalam proses pelaksanaan kurikulum pada masa itu juga dijelaskan oleh Fazlur Rahman, Biasanya kurikulum dilaksanakan atas metode urutan mata pelajaran. Jadi sebagai contoh urutan tersebut misalnya Bahasa dan Tata Bahasa Arab, Kesusastraan, Ilmu Hitung, Hukum, Yurispudensi, Teologi, Tafsir al Qur’an dan Hadits si Murid melewati kelas demi kelas dengan menyelesaikan satu pelajaran dan memulai lagi mata pelajaran yang lebih tinggi. Dengan sendirinya sistem ini tidak memberikan banyak waktu untuk setiap mata pelajaran yang diajarkan.
Bukan hanya itu saja, metode yang dilakukan, seringkali seorang murid mulai belajar dengan satu ringkasan dalam satu mata pelajaran dan di kelas selanjutnya ia mempelajari pelajaran yang sama dengan detail-detail yang lebih terperinci dan disertai dengan komentar-komentar. Tugas guru adalah menyampaikan komentar-komentar orang lain, disamping teks aslinya, dan biasanya tanpa menyertakan komentar sendiri dalam mata pelajaran tersebut.[19] Bagi mereka yang merasakan kurikulum ini maka mereka nantinya hanya menguasai sedikit bidang keilmuan saja yang kebanyakan hanyalah berkutat pada ilmu-ilmu keagamaan.
Pada zaman pertengahan pekerjaan seperrti dagang, industri dan pertanian dianggap rendah dan itu semua dipandang sebagai pekerjaan yang hanya layak bagi kaum non Islam. Pandangan ini pula yang membuat sanis hilang dari dunia islam, sedangkan di Eropa pada waktu bersamaan mengalami kemajuan sains dan teknologi yang pesat.
Sikap tawakal dari tarekat dan sikap fatalistik dalam teologi kehendak mutlak Tuhan membuat mereka sabar menunggu nasib yang ditentukan Tuhan bagi mereka. Produktivitas ulama’ dan umat islam pada zaman pertengahan dibandingkan dengan produktivitas ulama' zaman klasik jauh menurun. Produktivitas dalam sains dan filsafat lenyap, sedang produktivitas dalam bidang ekonomi pun ikut menurun. [20] Hanya produktivitas dalam bidang politik yang agak menonjol sebab bidang politik menjadi fokus pemerintah yang ada kala itu.
[1] Mujamil Qomar, Merintis Kejayaan Islam Kedua, (Yogyakarta : Teras, 2011), hlm. 72.
[2] Zaman Renaissance (Abad XIV-XVI) merupakan abad keemasan (Golden Age) dalam sejarah peradaban barat. Zaman ini merupakan fase transisi yang menjembatani zaman Kegelapan (Dark Age) dengan zaman Pencerahan (Enlightenment Age). Kata "Renaissance" berasal dari bahasa Perancis Renaissance, yaitu dari kata-kata Re (kembali) dan Naitre (lahir) yang artinya adalah "kelahiran kembali". Hal yang dimaksudkan di sini adalah kelahiran kembali atau kebangkitan bangsa Eropa dari keterpurukan zaman dan menjadi kebangkitan kembali minat yang sangat besar dan mendalam terhadap kekayaan warisan Yunani dan Romawi kuno dalam berbagai aspeknya. Lihat (Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, PT Gramedia Pustaka, 2007, hlm. 109-110)
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 129
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 129
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban islam…, hlm. 153
[5] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 110.
[6] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 111
[7] Zuhairini dkk,Sejarah Pendidikan Islam…, hlm. 112.
[8] Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm 6
[9] Yusran Asmuni, Pengantar Studi…, hlm. 5
[10] Mujamil Qomar, Merintis Kejayaan Islam Kedua…, hlm. 74.
[11] Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 92.
[12] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hlm. 152
[13] Harun Nasution, Islam Rasional… hlm. 116.
[14] Mujamil Qomar, Merintis Kejayaan Islam Kedua…, hlm. 73.
[15] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hlm. 153.
[16] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hlm. 153.
[17] Harun Nasution, Islam Rasional…, hlm. 117.
[18] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam…, hlm. 113.
[19] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam…, hlm. 114-115.
[20] Harun Nasution, Islam Rasional…, hlm. 118.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar