Sabtu, 14 Februari 2015

MASA DEPAN KEBUDAYAAN DAN KEBANGKITAN ISLAM

I. PENDAHULUAN
Umat Islam pernah mengalami masa keemasan yang selalu menjadi motifasi bagi umat Islam pada masa selanjutnya. Kejayaan ini yang sampai saat ini ingin diwujudkan kembali oleh umat Islam setelah sekian abad kejayaan itu berada di tangan bangsa barat.
Umat Islam senantiasa mencari trobosan baru dalam menciptakan kejayaan Islam untuk yang kedua kalinya. Telah banyak pemikir atau intelektual-intelektual Islam yang mencoba untuk merumuskan kembali pemikiran agar Islam dapat kembali meraih masa kejayaannya.
Dalam makalah ini penulis mencoba mengungkapkan bagaimana usaha-usaha umat Islam dalam mendesain masa depan agar dapat mencapai masa kejayaan seperti dahulu. Hal itu tidak dapat terlepas dengan wacana bahwa pada abad 15 H merupakan masa kebangkitan Umat Islam

II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana tonggak kebangkitan kembali Islam pada abad 15 H?
B. Bagaimana usaha-usaha umat Islam untuk membangun peradaban masa depan?
C. Bagaaimana kasus yang terjadi di Indonesia mengenai pentas politik, pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya yang menjadi agen perubahan umat Islam ke depan?

III. PEMBAHASAN
A. Tonggak Kebangkitan Kembali Islam pada Abad 15 H
Kita perlu menelusuri pengalaman Islam masa lalu, sebuah pengalaman kejayaan. Pengalaman ini dipergilirkan kepada beberapa negara dan dunia Islam pernah mendapatkan giliran itu sehingga pernah memimpin dunia ini dengan dua kekuatan yaitu kekuatan Islam dibelahan Timur berpusat di Damaskus ketika berada di bawah kekuasan dinasti Umayyah kemudian pindah ke baghdad dibawah kekuasaan Abbasiyah dan dibelahan Barat berpusat di Cordova Spanyol di bawah kekuasaan Umayyah.[1]
Kejayaan Islam pada masa Bani Abasiyah dibawah pemerintahan Abu Ja’far Harun Ar Rasyid. Pada masa pemerintahannya Islam mengalami punck kemegahan dan kesejahteraan yang belumpernah dicapai sebelumnya. Pada masa ini dikenal dengan kekuatan dan kemajuan ilmu pengetahuannya, sehingga Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan, kebudayaan dan perniagaan di dunia. Pada masa ini, Islam telah tersebar sangat luas. Khalifah mendirikan dewan penerjemah yaitu dengan mengumpulkan para sastrawan, budayawan, kaum cendekiawan, dan ahli ilmu. Kota Baghdad terkenal dengan pusat ilmu pengetahuan di seluruh dunia. Pembangunan prasarana umum juga dilakukan dalam berbagai bidang sehingga menciptakan kesejahteraan bagi umat Islam.[2]
Abad ke-15 Hijriah dicanangkan oleh seluruh umat Islam sebagai abad kebangkitan kembali Islam. Chandra Muzaffar menanggapi gaung kebangkitan kembali Islam ini sebagai suatu proses historis yang dinamis. Ada tiga pengertian
tentang konsep kebangkitan kembali Islam yang dikemukakan oleh Muzaffar, dua di antaranya adalah : Pertama, konsep ini merupakan suatu penglihatan dari dalam, suatu cara pandang dalam mana kaum muslimin melihat derasnya dampak agama di kalangan pemeluknya. Hal ini menyiratkan kesan bahwa Islam menjadi penting kambali. Artinya, Islam memperoleh kembali prestise dan kehormatan dirinya. Kedua, “kebangkitan kembali” mengisyaratkan bahwa keadaan tersebut telah terjadi sebelumnya. Maka dalam gerak kebangkitan kembali ini terdapat keterkaitan dengan masa lalu; bahwa kejayaan Islam pada masa lalu itu – jejak hidup Nabi Muhammad saw, dan para pengikutnya – memberi pengaruh besar terhadap pemikiran orang-orang yang menaruh perhatian pada “jalan hidup” Islam pada masa lalu.[3]

Abad ke XV H disebut sebagai masa kebangkitannya umat Islam kembali dapat kita lihat dari beberapa fakta-fakta berikut:
1. Sejarah itu berulang kejadiannya. Umat Islam mencapai/ menikmati kejayaan selama tujuh abad yaitu dari abad ke I sampai abad ke VII H. Kemudian mulai mundur dan negara-negara Islam jatuh satu demi satu di bawah penjajahan Barat, yang dahulunya belajar dari umat Islam. Tujuh abad pula lamanya umat Islam di bawah cengkraman penjajahan dan penindasan Barat. Sesudah tujuh abad, kini negara-negara Islam yang telah jatuh menjadi jajahan Barat itu sekarang sudah merdeka. Mereka mulai menghirup udara kebebasan sesudah lepas dari belenggu penjajahan. Umat Islam seluruh dunia mulai mengatur negara-negaranya sesuai dengan ajaran Islam.
2. Negara-negara Islam banyak yang memiliki kekayaan berupa sumber minyak, sehingga umat Islam menjadi bangsa yang disegani lawan. OPEC (organisasi pengekspor minyak) sebagian besar anggotanya adalah negara-negara Islam yang meliputi: Arab Saudi, Kuwait, Iran, Irak, Venezuela, Aljazair, Equador, Gabon, Indonesia, Libiya, Nigeria, Qatar, Persatuan Emirat. Negara-negara inilah yang memainkan peranan penting dalam menyediakan suplai energy minyak untuk memenuhi kebutuhan dunia.[4]
3. Diselenggarakannya konferensi dunia pertama tentang pendidikan Muslim di Makkah pada tahun 1977. Yang merupakan upaya international ototrofik untuk “mengislamisasi ilmu” yang dibuat oleh sarjana-sarjana muslim.[5]
4. Di abad XV H ini umat Islam telah mempunyai pakar-pakar seperti Prof. Abdussalam dari Pakistan sebagai pemenang Nobel bidang Fisika 1979, Prof. Ali Javan dari MIT Boston sebagai salah satu pioneer Fisika LASER, Dr. Musthafa Chakim (Direktur JPL-Pasadena) yang bertanggungjawab mengontrol misi Voyager, serta Prof. Ahmed Zewail dari Mesir sebagai pemenang hadiah Nobel bidang Kimia 1999. Mereka adalah pakar pakar-pakar muslim abad ini yang concern dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi umat Islam.[6]

B. Usaha-Usaha Umat Islam Untuk Membangun Peradaban Masa Depan
Salah satu perkembangan sosial dan politik umat Islam yang paling signifikan pada dekade-dekade akhir abad 20 adalah munculnya gelombang revivalis (kebangkitan Islam) diseluruh dunia Islam. Etos kebangkitan Islam merupakan salah satu fenomena yang sangat meresap dan memiliki akar yang dalam yang mempengaruhi dunia Islam dewasa ini. Maka tampaklah, “Islam di kebanyakan negaranya sedang mewujudkan kebangkitannya.” Hal ini digerakkan oleh para ideolog revivalis Islam kontemporer meliputi antara lain Hasan al Banna, Abu A’la al-Maududi, Sayyid Qutb, Ayatullah Ruhullah Imam Khumaeni, Muhammad Baqir al-Sadr, ‘Abd al-Salam Faroq, Said Hawa dan Juhaiman al-Utaibi.
Mereka berasal dari negara yang berbeda tetapi memiliki tanggung jawab bersama untuk melepaskan umat Islam dari pasungan negara-negara barat dengan mendorong lahirnya kebangkitan Islam. Mereka tidak pernah mengadakan kesepakatan untuk mendorong kebangkitan Islam, tetapi mereka sama-sama memiliki kepedulian terhadap nasib umat Islam, sehingga mereka bergerak melakukan usaha riil yang sangat dibutuhkan umat.[7]
Gerakan-gerakan Islam yang ada sampai saat ini berupaya untuk mengembalikan kemajuan peradaban yang telah lama hilang, juga berupaya merevalisasi khasanah keislaman lama. Dr. Hassan Hanafi menangkap adanya visi-visi pemikiran mmahasiswa Islam. Sekitar 15% mereka cenderung kepada konsep salaf dan 15% lagi cenderung kepada konsep sekuler. Adapun sisanya belum mempunyai kecenderungan dan legalitas. [8]
Munculnya gagasan tentang dilakukannya Islamisasi ilmu pengetahuan, tokohnya yaitu Ismail Rajiq Al-Faruqi. Mengutip Hasan Asari, al-Faruqi telah menjadi pioner modern yang menghidupkan kembali kesadaran umat Islam terhadap pentingnya merubah visi tentang ilmu pengetahuan.[9] Islamisasi pengetahuan ini sudah mulai digalakkan diberbagai negara Islam seperti yang dilakukan di negara negara yang terletak di Asia Tenggara.
Umat Islam Indonesia terutama pada level pemikir Islam mulai berbenah untuk memengaruhi dan mendorong level di bawahnya agar melakukan perubahan strategis, baik dalam pemikiran, sikap, maupun perilaku keseharian. Mereka senantiasa mengingatkan perlunya mengejar kemajuan sekaligus mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain yang lebih maju.
Mereka terus bergerak maju membangun konsep pemikiran strategis yang dapat dijadikan saluran atau pedoman bagi perubahan perilaku umat Islam. Yaitu dari sejumlah perilaku yang bersifat fanatik, pasif, konsumtif dan menyerah terhadap takdir yang menimpa menjadi beberapa agenda perilaku yang toleran, aktiv, dinamis, produktif, dan mengejar prestasi unggul dalam menatap masa depan. Inilah yang diyakini dapat menyokong dan mengawal kemajuan bangsa dan nefgara sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat umat Islam.
Para pemikir pembaruan Islam telah mengekspresikannya disamping secara lisan, juga melalui tulisan-tulisan, baik disurat kabar, majalah, jurnal, maupun terutama dalam bentuk buku. Sehingga terjadi peningkatan penerbitan buku, Azzyumardi Azra memprediksi bahwa peningkatan penerbitan buku-buku Islam di Indonesia akan menimbulkan pengaruh dan dampak jangka panjang terhadap perjalanan Islam di Negeri ini.
Perkembangan ini akan memainkan sumbangan penting tidak hanya bagi peningkatan attachment kaum Muslim terhadap Islam, tetapi juga pada pengembangan peran pemikir, ulama, dan cendekiawan Muslim Indonesia dalam wacana Islam pada tingkat internasional. Penerbitan buku-buku menjadi media yang efektif bagi para pemikir Islam. Mereka dapat mendistribusikan pemikiran-pemikiran mereka melalui buku, sehingga dapat menyampaikan pesan-pesan penulis apa adanya.[10]

C. Kasus-kasus yang ada di Indonesia
1. Bidang Politik
Sebenarnya Indonesia menganut reformasi sebagai pandangan politiknya, setelah rezim orde lama digantikan orde baru lalu muncullah reformasi yang digadang-gadang dapat memperbaiki kehidupan rakyat. Namun hingga kini tujuan tersebut belum dapat terealisasi dengan sempurna karena proses demokrasi yang berkembang menjadi tidak murni lagi dan juga paham patrimony dan otoriter masih berkembang kuat didalam pelaku politik.
2. Bidang Pendidikan
Dalam kasus pendidikan di Indonesia telah dicanangkan beberapa usaha dalam menyiapkan masa depan bangsa yang lebih cerah, diantaranya yaitu dengan digagasanya Kurikulum 2013 yang berbasis Karakter yaitu yang bertujauan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia melalui sistem pendidikan. Karena secara falsafati, pendidikan adalah proses panjang dan berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi manusia yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya, bagi sesama, bagi alam semesta beserta segenap isi dan peradabannya.
Dalam UU Sisdiknas, menjadi bermanfaat itu dirumuskan dalam indikator strategis, seperti beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam memenuhi kompetensi abad 21 UU Sisdiknas juga memberikan arahan yang jelas, bahwa tujuan pendidikan harus dicapai salah satunya melalui penerapan kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi lulusan program pendidikan harus mencakup tiga kompetensi, yaitu sikap, pengetahuan dan keterampilan, sehingga yang dihasilkan adalah manusia seutuhnya. Dengan demikian, tujuan pendidikan nasional perlu dijabarkan menjadi himpunan kompetensi tiga ranah (sikap, pengetahuan, dan keterampilan). [11]
3. Ekonomi
Ekonomi Indonesia saat ini optimis pertumbuhan ekonomi yang meningkat.dengan pertumbuhan dan pendapatan nasional yang semakin meningkat kita dapat melihat perkembangan dan kemajuan kita pada negara lain. dengan pendapatan nasional per tahun indonesia mampu memberikan kemajuan. Ekonomi makro yang sangat berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi saat ini.salah satu pertumbuhan ekonomi itu dapat dilihat dengan permintaan domestik masih akan menjadi penopang utama kinerja perekonomian. Selain itu, ekspor dan impor, serta investasi. Dan juga semakin maraknya bank-bank yang berbasis syariah yang memberi kontribusi yang signifikan dalam perekonomian Islam.
4. Sosial dan Budaya
Salah satu ciri sosial yang ada di Indonesia adalah tentang pluralisme, dan salah satunya pluralisme dalam beragama. Dalam hal ini toleransi agama tidak hanya diwujudkan antar komunitas agama, tetapi juga intern komunitas agama tertentu. Toleransi agama diantara berbagai penganut agama yang berbeda membutuhkan saling pengertian dan saling menghormati.[12] Dengan begitu akan dapat menguntungkan bagi kedua belah pihak.

[1] Mujamil Qomar, Merintis Kejayaan Islam Kedua, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 10.
[2] Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam Dari Arab Sebelum Islam Hingga Dinasti-Dinasti Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm 94.
[3] Chandra Muzaffar, Kebangkiuatn Kembali Islam: Tinjauan Global dengan Ilustrasi dari Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 7.
[4] Oemar Bakkry, Kebangkitan Umat Islam Abad Ke-15, (Jakarta: Mutiara, 1980), hlm. 12.
[5] Akbar S. Ahmed, Postmodernisme Bahaya Dan Harapan Bagi Islam, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 49.
[6]Mujamil Qomar, Merintis Kejayaan Islam Kedua.., hlm. 33.
[7] Mujamil Qamar, Merintis Kejayaan Islam Kedua…, hlm. 100-101.
[8] Aunul Abied Syah, Islam Garda Depan, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 39.
[9] Hasan Asari, Esai-esai Sejarah Penddikan dan Kehidupan, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009), hlm. 174.
[10] Mujamil Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia?(Bandung: Mizan, 2012), hlm. 165-168.
[11] Mohammad Nuh, Kurikulum 2013, Kemdikbud.go.id/kemdikbud/artikel-mendikbud-kurikulum2013, diunduh pada 12 Juni 2014, pukul 15:19 WIB
[12] Aden Wijdan SZ dkk, Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007), hlm. 213.

ISLAM AGAINST TERORISME

Oleh Prof. Abdurrahman Mas'ud, M.A., Ph.D

Memahami Mayoritas Dunia Islam

Mainstream dunia Islam: Sunni, sebetulnya dalam realitas historis, selamat dari faham fundamentalisme dan terrorisme. Ciri-ciri Sunni dibawah diperoleh dari hasil studi historiografis penulis terhadap pandangan sarjana Barat sejak abad sembilan belas sampai kini. Yakni Dari Gibbon, Goldziher sampai ke contemporary scholars tahun 1990an. Mereka berpandangan Sunni yang tidak fundamentalis dan tidak terroris itu ditandai dengan:
  1. Tidak membrontak terhadap sistem pemerintahan yang mapan.
  2. Rigiditas, ketangguhannya dalam mempertahankan kesatuan melawan segala bentuk disintegrasi dan kekacauan.
  3. Lebih mengutamakan konsep jama`ah, majority, dan supremasi Sunnah hingga lebih pas disebut sebagai Ahlussunah wal Jama`ah.
  4. Memiliki sikap jalan tengah, tawassuth, middle of the road, antara teologi dan politik yang ekstrim ( khawarij) dan syi`ah.
  5. Lebih menampakkan diri sebagai "a normative society," kaum normatif, dengan berdiri tegak mempertahankan prinsip kebebasan spiritual dan menegakkan etika standar dan syari`ah.[1]

Generalisasi dan tipologi diatas tentunya bukanlah hal yang tak bisa diperdebatkan. Unikum dan spesifikasi kaum Sunni Indonesia, tentunya tidak sama persis dengan kaum Sunni di negara lain yang dibatasi dengan ruang dan waktu. Bila ada yang tidak sama persis dengan tipologi diatas, tentu ada pengecualian-pengecualian Betapapun, mainstream ini agaknya sudah menjadi bagian dari sejarah, dimana there is no way to return: tiada jalan kembali untuk merubah masa lampau.. Kita sendiri sebagai bagian dari umat Sunni Indonesia yang terpelajar mengalami dan merasakan secara jujur bahwa tipologi itu tidak jauh dari keberagamaan kita.

Secara lughawi terrorisme berarti Instense fear and panic or a cause of it. Yakni sebuah faham ideologi yang dipraktekkan dalam rangka membuat ketakutan, kepanikan yang tentu biasanya berbentuk violence, atau bahkan severe violence (kekerasan yang dahsyat berlebihan) seperti pembunuhan terhadap Sayyidina Hussein di Karbala. Tapi sesungguhnya sampai saat ini belum ada definisi yang baku tentang terrorisme
Ciri-ciri diatas merupakan antitesa tipologi Fundamentalisme dan Terorisme dalam dunia Islam. Terorisme tentu tidak identik dengan Fundamentalime dalam Islam maupun dalam agama lain. Tapi memang banyak kasus mengindikasikan kekeresan dilakukan oleh oknum-oknum fundamentalis agama-agama. Inilah yang mengahasilakan generalisasi yang berlebihan atau overgeneralization yang salah. Dalam sejarah Islam klasik (baca: salaf dalam bahasa pesantren) justru awal kekerasan terjadi oleh penguasa (structural violence). Severe violence pembunuhan terhadap Sayyidina Hussein beserta pengikut dan sanak familinya di Karbala jelas-jelas bermotif politik yang lepas dari faham fundamentalisme agama. Tapi sebaliknya pada masa yang tidak jauh berbeda apa yang dilakukan kaum khawarij dalam bentuk kekerasan, terorisme adalah bagian dari ideologi kekerasan kaum fundamentalis Khawarij. Bahwa khawarij adalah biang keladi fundamentalisme Islam sesungguhnya merupakan interpretasi historis dari penulis sendiri. Tipologi ini mengisyaratkan bahwa jika terjadi kekerasan pada era moderen ini yang dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan diri sebagai bagian dari umat Islam, sesungguhnya kekerasan itu adalah kesinambungan fenomena Khawarij. Dengan kata lain ia adalah cucunya cucu Khawarij atau Khawarij pada era moderen.
Mendifinisikan Istilah Terrorisme

Dalam literatur sosiologi Barat, terrorisme adalah salah satu bentuk aksi bermotif politik yang menggabungkan unsur-unsur psikologis (seperti mengancam: kondisi akibat diancam) dan fisik (aksi kekerasan) yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok kecil dengan tujuan pengajuan tuntutan teroris terpenuhi[2]
Definisi ini sama dengan pandangan seorang intelektual Muslim dari India, bahwa segala bentuk kekerasan sesungguhnya tidak punya justifikasi keagamaan. Kekerasan, terrorisme hanya merupakan fenomena politik dan sosial saja yang dibatasi oleh ruang dan waktu:

It should be remembered that there is no relation between religion and violence, neither in Islam, nor in any religion for that matter. Violence is a social and political phenomenon. It is true that there is mention of war in scriptures like Ramayana, Mahabharata and the Qura’n. But this mention is not to establish any integral link between religion and violence but to portray certain social and political situation that prevailed at that time. It can be called integral only if these scriptures mandate violence as a desirable solution.
It is important to distinguish between what is empirical and ideological. The Twain do not always meet. While violence is empirical, peace is ideological. All scriptures, particularly the Qur’an while permitting violence in some inevitable situations, ordain peace as a norm. The great religions of the world came to establish justice and peace, not to perpetrate revenge and violence. Revenge and violence can never become part of any religion, much less that of Islam. Allah has created both in human beings – tendency for aggression and violence and exalted feeling for serenity of peace. Allah, according to the Qur’an, created human person in the best of mould (ahsan-i-taqwim) and then rendered him lowest of the low (95:4-5) [3]


Definisi diatas memang tidak sempurna dan sampai saat ini belum ada definisi baku dalam literatur Barat. Yang menarik dicermati adalah bahwa istilah terrorisme tidak datang dari dunia Timur melainkan dari dunia Barat sendiri. Sangatlah sah untuk dipertanyakan wacana ini mengingat imperialisme Barat tidak pernah usai.
Kritik terhadap dunia Barat adalah bahwa issue terrorisme baru berkembang di paruh kedua abad dua puluh, tidak jauh berbeda masanya dengan issue HAM. Masa penjajahan dunia Barat terhadap dunia ketiga selama berabad-abad kemudian luput dari issue terrorisme.
Eufimisme moderen agaknya tidak hanya berlaku di Indonesia, tapi juga melanda kebijakan politik AS. Salah satu contoh adalah lontaran Noam Chomsky dalam Pirates and Emperors, yang menggambarkan standar ganda AS dalam memperlakukan terorisme internasional. Sesungguhnya pencipta teroris terbesar adalah Israel dan Amerika itu sendiri, saat memberi dukungan terhadap Israel tanpa syarat. Pelanggaran hak-hak asasi manusia Israel terhadap kaum Palestina serta pendudukannya yang tidak legal sampai sekarang, telah memberi stimulus lahirnya kelompok keras Hamas, Hizbullah, serta militan-militan lain.
Eufimisme moderen disini mengalami bias geografis, diskriminatif. Amerika selalu melindungi nilai-nilai kemanusiaan karena paham humanismenya, tapi tatkala politik luar negeri yang diterapkan, corak humanisme itu menjadi hilang. Nyawa demikian mahalnya di dalam negeri, termasuk nyawa binatang, hingga tumbuh subur organisasi-organisasi penyayang binatang, dan pencinta lingkungan. Tetapi ingat saja apa yang pernah dilakukan Amerika terhadap Irak dan embargonya, dengan dalih membungkam Presiden Saddam Hussein. Yang terjadi adalah, hampir 1,5 juta penduduk Irak (sesuai dengan laporan PBB) meninggal karena masalah kesehatan seperti kurang nutrisi.
Dalam sejarah belum ada kisah terorisme Arab terhadap orang Barat (apalagi istilah senjata pemusnah massa) sebelum Zionist mulai melaksanakan kontrol terhadap Palestina. Maka dewasa ini reaksi besar-besaran Arab terhadap terorisme Israil, anehnya malah memperkuat kebencian Barat khususnya AS terhadap Islam, atau Arab. Dengan bantuan non-stop propaganda pro-Israel, AS menyimpulkan bahwa Arab pada dasarnya memang bangsa yang suka berbuat kekerasan dan tidak bisa dipercaya. Arab, Islam, telah disalahpahami sebagai sebuah simptom sebab-sebab pengacau moral. Sesungguhnya frekuensi kekerasan lebih kecil terjadi di Arab ketimbang tingkah laku brutal AS terhadap dunia lainnya. Bahkan mereka senang saat memiliki tetangga yang datang dari AS. Apa yang mereka benci adalah aksi-aksi serta kebijakan-kebijakan Israel dan AS yang selalu merugikan mereka. Bangsa Palestina berjuang untuk kemerdekaannya terhadap kekejaman Israel yang telah melakukan invasi secara tidak legal. Arab telah menderita yang teramat sangat ditangan Israel. Apa yang dilakukan bangsa palestina dengan segala bentuk kekerasannya terhadap Israel dan pendukungnya adalah sah menunrut moral.

Semakin jelasnya sutradara teroris dewasa ini juga bisa dilihat dari sikap ilmuwan-ilmuwan AS yang lain serta kaum terdidik. Mereka yang jujur sudah menampakkan ketidak puasannya bahkan kebenciannya terhadap kebijakan politik luar negeri AS yang selalu menganak emaskan Israel. Ron Lukens-Bull, ahli antropologi Islam Jawa (lebih spesifik komunitas pesantren Jawa dalam disertasinya Peaceful Jihad) merasa malu sebagai ilmuwan AS yang tidak bisa membendung pemerintahnya dalam merugikan dunia Islam. Emailnya pada penulis beberapa waktu yang lalu berbunyi: “apa yang dilakukan AS yang merugikan rakyat Palestina dewasa ini tidak bisa dipertahankan dalam ukuran moral dan politik:”

It seems to me that US policy is morally and politically indefensible[4]

Mengamati hubungan Islam-Barat yang semakin meruncing ini, baik dunia Barat maupun dunia Islam dituntut memahami makna Islam itu sendiri yang berarti damai. Islam sebagai landasan ideologis, driving force umat Islam untuk menyikapi dunianya pada era persaingan bebas dan globalisasi ini, tidak bisa diganggu gugat memang menawarkan kedamaian. Kedamaian ini berlaku universal bagi dunia Islam dan juga bagi dunia Barat. Paradigma semacam inilah yang membuat seorang professor dari Jerman, Prof Bassam Tibi meyakni bahwa Indonesia, a Model for the Islamic Civilization in Transition to the 2lst Century.
Dialog penulis dengan dunia Barat saat mengajar di Universitas Katolik Salve Regina University, New Port Rhode Island, USA, tahun 2004, merupakan pengalaman yang meyakinkan bahwa akal sehat di dunia Islam dan barat sama-sama mendambakan kedamaian, Pengalaman penulis berinteraksi dengan dunia kampus AS di bulan Ramdan membuktikan bahwa potensi manusia untuk damai semestinya harus lebih diberi ruang dan dilatih secara berkesinambungan sebagaimana latihan dalam bulan Ramadan. Bukan sebaliknya sisi-sisi konflik kemanusiaan dan peradaban yang ditonjolkan sebagaimana tulisan Samueal Huntington. Salah seorang wartawati muda Newport Daily, Nicole Chevrette, yang juga berpartisipasi dalam dialog dengan penulis, dalam artikelnya menjadi saksi pentingnya dialog kemanusiaan dan patut dikutip untuk mentup tulisan ini:

As Prof. Mas`ud learns about Westrern culture simply by being here, he is also teaching students, many of whom never had any significant interaction with the Islamic world, but who are likely to after graduation. The fact is that Muslims desire peace as much as Westerner do. We must learn to overcome culture devide

(Sementara Prof. Masud belajar budaya Barat dengan kehadirannya disini, dia juga mengajar mahasiswa-I yang kebanyakan mereka belum pernah berinteraksi dengan dunia Islam, tapi agaknya mereka akan mengalami interkasi setelah wisuda. Kenyataannya adalah dunia Islam mendambakan kedamaian, sama seperti orang Barat memimpikannya. Kita, orang Barat, harus belajar untuk mengatasi benturan budaya)

Jihad yang disalah pahami

Tidak sedikit umat Islam yang berpandangan bahwa “jihad” identik dengan perang. Karena faham ini sering terlontarkan dari mimbar ke mimbar, ilmuwan dan media Barat sering mengidentikkan “jihad” dengan kekerasan, violence. Fenomena inilah yang mendorong pemerintah AS dewasa ini untuk memasang spionasi kamera di beberapa masjid, dan Islamic center di AS. Apalagi “Jihad” ini dihubungkan dengan upaya garis keras umat Islam Timur Tengah melawan hegemoni Barat dan kebrutalan penguasa Israel. Fenomena ini menjadikan imej Islam di mata dunia Barat menjadi sah untuk dipandang sebagai “agama Jihad” atau “agama kekerasan.” Belum lagi peristiwa-peristiwa kerusuhan dan kekerasan di Indonesia dimana-mana yang menjadikan penduduk minoritas Indonesia tidak aman dan tidak nyaman. Ini semua jelas telah membawa daftar panjang yang semakin memperkuat kesan dan stereotype dunia Barat atas dunia Islam.
Sebetulnya kasus-kasus kekerasan di Indonesia dan di Timur Tengah jika diteliti lebih cermat belum sebanding dengan warna Islam itu sendiri yang penuh dengan kedamaian. Artinya wajah Islam dan dunia Islam secara umum tetap lebih dominan menampakkan pemandangan peace dari pada violence. Bahkan bisa diteorikan, jika sebuah negara berpenduduk mayoritas Muslim maka non-Muslim di negara tersebut pasti aman, terlindungi dan dijamin kedamaian kehidupan sosio-relijius mereka. Hal ini bisa difahami karena Nabi Muhammad saw., sebagai role model memilih jalan peace dari kekerasan. Dengan kata lain ajaran dasar Islam menawarkan kedamaian dari peperangan. Tidak diragukan lagi pemimpin Muslim in telah membentuk jalan pikiran dan prilaku pengikutnya dimana saja dan sampai kapanpun. Di kalangan kaum Muslim, Muhammad dikenal luas sebagai seorang pendidik. Untuk dapat dipahami secara lebih baik pada poin ini, Dr. James E. Royster dari Cleveland State University, yang telah melakukan riset intensif tentang peran Muhammad sebagai seorang guru, teladan, dan manusia ideal, membahas kesan-kesan kaum Muslim terhadap Nabi mereka. Pada pengantar hasil penelitiannya, ia menyatakan bahwa mungkin tidak ada seorangpun dalam sejarah manusia yang lebih banyak diikuti dari pada Nabi-nya umat Islam (Muhammad). Kenyataan yang seringkali dilupakan oleh orang-orang non-Muslim ini, harus dipahami dalam rangka menilai secara tepat pengaruh Muhammad di antara mereka yang mengakuinya sebagai seorang Nabi. Bagi Royster, Muhammad telah mengajarkan kebenaran dengan ucapan dan mengamalkan kebenaran itu dalam kehidupannya. Kesimpulannya yang tidak kalah penting perlu dicermati:

Muhammad as teacher, exemplar and ideal man fulfills in Islam a role that can hardly be overestimated. From him hundreds of millions of Muslim derive both meaning for personal existence and means for character development and spiritual achievement. In terms of continuing influence Muhammad, the prophet of Islam, must be placed high on the list of those who have shaped the world. Surely it would be markedly different had he not been.[5]

Kutipan Royster di sini menunjukkan bahwa Muhammad sebagai seorang guru tidak hanya bagi generasi masanya saja namun juga bagi seluruh kaum Muslim pada masa sekarang. Dengan kata lain, sang Guru itu adalah Muhammad, dan murid-muridnya adalah seluruh kaum Muslim di dunia Islam. Ketika itu Muhammad merupakan seorang guru yang aktual bagi para Sahabatnya, bagi kaum Muslim berikutnya beliau menjadi seorang “imaginary educator”. Betapapun, kaum Muslim seluruh dunia mempelajari ajaran satu yang sama dari Qur’an dan sunna. Dua hal tersebut telah terbukti pula menjadi pegangan dalam kehidupan kaum Muslim: “aku telah meninggalkan kepada kamu sekalian (Muslim) dua perkara, kamu tidak akan tersesat selama kamu sekalian berpegang kepada keduanya: Qur’an dan hadith”.[6] Bahwa beliau adalah seorang guru juga telah dinyatakan dalam beberapa ayat al-Qur’an. Di antaranya, “(Doa Ibrahim dan Isma’il:) Ya Tuhan kami! Utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah (al-Sunnah) serta mensucikan mereka.”[7]
Jika Muhammad adalah sosok peaceful, al-Qur’an juga lebih mengedapankan kedamaian. Kata Salam yang berarti peace bisa dijumpai 157 kali dalam al-Quran. Islam sebagai universal religion of peace menekankan kedamaian dengan diri sendiri, damai dengan keluarga, damai dengan masyarakat, serta damai dengan alam yang meliputi seluruh makhluq Allah: fissamawati wal ardl. Tradisi Assalamu`alaikum, peace be upon you adalah universal greeting yang selalu terdengar ramah dan damai bagi Muslim-Muslimah sejagat. Allah dan Malaikat menyampaikan salawat dan salam pada Nabi-Nabi. Surga dinamakan oleh Allah darussalam: home of peace. Dalam Islam damai bukanlah masalah international law dan international relation antara negara-negara yang kemudian melahirkan negara super power yang arrogan dan mengklaim diri sebagai polisi dunia, tapi damai dalam Islam dimulai dari konsep diri kemudian meluas ke keluarga, masyarakat, bangsa, dan dunia. Meminjam istilah Hassan Hanafi, paling tidak ada dua damai: yakni peace in the soul (internal peace), dan peace in the world (external peace).
Dengan memperhatikan normatif Islam sebagai landasan ideologis, kata “jihad” dalam al-Qur’an lebih pas dimaknai lawan dari “qu`ud” dalam al-Qur’an. Jika qu`ud artinya adalah kondisi passif sebaliknya jihad merujuk pada keaktifan untuk agama Allah. Di dalam al-Qur’an pengertian jihad fisabilillah lebih ditekankan pada upaya perjuangan meningkatkan kegiatan ibadah dalam rangka mengabdi pada Allah, bukan untuk kepentingan yang lain. Dari sekian banyak ayat yang menyebutkan jihad misalnya al-Hajj 78, al-Taubah 19, 24, al-Mutmainnah l, al-Hujurat 15, dan al-`Ankabut 6, tidak ada satupun ayat yang mengkonotasikan jihad sebagai perang. Ayat-ayat yang berhubungan dengan perang pada umumnya menggunakann istilah qital.

Back to basic

Berbagai masalah sosial budaya dan keagamaan diatas semakin memperjelas dan meyakinkan kita bahwa masalah kemrosotan moral adalah sebuah fenomena nyata di lingkungan kita. Dengan demikian budaya bangsa kita disamping memiliki unsur-unsur positif harus diakui juga mengandung unsur-unsur negatif. Mental agraris (meminjam istilah Umar Khayam) telah mewarnai mentalitas manusia Indonesia. Cara pandang agraris mencerminkan sikap statis, tidak produktif karena pasrah pada siklus waktu. Melihat kondisi ini, "culture of poverty"[8] (kultur miskin) yang masih menjadi ajang perdebatan para sosiolog, bisa jadi sah-sah saja dialamatkan ke bangsa kita. Hal-hal tersebut mengundang pemikiran mendalam untuk menata kembali kehidupan beragama yang lebih menyejukkan, santun, damai, dan peduli terhadap masalah-masalah sosial.
Memang hampir dimana-mana di belahan dunia, persoalan pluralisme selalu masih menjadi topik penting. Istilah pluralisme, kemajmukan, yang digunakan dalam sosiologi moderen dan ilmu politik pada umumnya mengacu pada tradisi Demokrasi Liberal Barat, dimana pluralitas group atau kelompok elit saling berbagi kekuatan atau saling bersaing untuk memenangkan kekuatan secara terus menerus. Dewasa ini ada kecendrungan umum bahwa pluralisme yang ideal sebaiknya "berkiblat" pada dunia Barat khususnya Amerika yang multi etnis, budaya, dan agama. Argumen ini pada dasarnya menunjukkan sikap inferior kompleks dari dunia ketiga. Profesor Cindy Jurisson dari Chicago, pernah mengingatkan, salah satu masalah besar Amerika saat ini adalah absennya agama sebagai sumber utama nilai atau primary value system. Agama besar yang ada memperoleh tantangan berat dari popular spirituality dan agama sipil, yang keduanya tidak lain adalah agama semu. Pluralisme yang telah mereka rumuskan sejak abad lalu, khususnya oleh salah seorang pemikirnya, James Madison (1751-1836), memang turut memberi andil besar dalam menyuburkan kehidupan berdemokrasi di Barat, khususnya di AS. Tapi bukan berarti pluralisme ini tidak meninggalkan masalah. Dominasi faham Liberalisme itu sendiri merupakan masalah. Karena Liberalisme dalam masyarakat ini tidak ditopang oleh nilai-nilai agama, hingga issue-issue moderen yang berkembang dalam masyarakat sekuler hampir tidak pernah mencapai harmoni.
Untuk itu umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas Indoinesia sudah semstinya kembali ke ajaran dasar Islam, normativeness, dalam memecahkan persoalan-persoalan ini. Dalam Islam setiap ibadah ritual sarat dengan pesan moral yang bersifat vertikal dan horizontal. Ibadah puasa misalnya bukan sekadar mengajarkan disiplin diri, atau juga ajakan kesalehan diri, lebih dari itu puasa adalah ajakan peduli terhadap lingkungan dan penegakan HAM. Sangat ironis jika puasa hanya diartikan sebagai takwa pribadi dengan melupakan masalah-masalah sosial atau kesalihan sosial. Budaya kekerasan, budaya menghakimi sendiri, agaknya sudah melembaga dalam masyarakat kita. Istilah "kurang ajar'' (tidak ada istilah "cukup atau berlebihan ajar'') yang biasanya digunakan pendahuluan untuk memukul seseorang adalah ekspresi budaya yang haus "menghajar'' orang lain. Peristiwa kerusuhan atau riot, meskipun para sosiolog menganggap istilah ini kurang pas dan menggantikannya dengan protes sosial, di beberapa tempat dewasa ini jelas melegitimasi bahwa Indonesia sarat kehidupan kekerasan dengan pelbagai macam motifnya. Agaknya di negara kepulauan ini, kekuatan tangan untuk memperingatkan orang lain lebih sering ditempuh. Barangkali karena pengaruh budaya collectivism, atau komunal "mangan ora mangan kumpul'', posisi individu sering tidak terperhatikan dan nyawa nyaris murah dari hari ke hari. Dengan kata lain, "pasrah dan rela dipukul asal kumpul.'' Keadilan sosial bagi seluruh rakyat ternyata masih menjadi masalah utama. Sungguh puasa dan kepedulian sosial adalah bagaikan roh dan badan. Dengan berpuasa manusia bukan hanya bersimpati terhadap kemiskinan, tapi lebih dari itu secara empati merasakan haus dan lapar, sehingga dia memberi apreasisi yang tepat dan fungsional terhadap kesengsaraan rakyat. Penyakit bangsa yang melumpuhkan bangsa-bangsa terdahulu sebagaimana diingatkan Rasul adalah fudlul al-ta'am, fudlul al-manam, fudlul al-kalam; banyak makan, banyak tidur, dan banyak kata karena terjerat dalam budaya seremoni yang mengalahkan substansi. Jelas penyakit ini adalah cermin penyakit manusia yang tidak berpuasa atau berpuasa tanpa roh dan makna. Pantaskah orang berbicara soal penderitaan rakyat, kemiskinan, dan kelaparan, sedangkan dalam pikirannya belum pernah terlintas apalagi mengalami pahitnya kehidupan. Pantaskah seseorang mengembar-gemborkan demokrasi, sedangkan dia adalah bagian dari masyarakat timokratik (meminjam istilah al-Farabi dalam al-Madinah al-Fadilah) yang haus akan kekuasaan, popularitas dan kehormatan. Sia-sialah mereka yang melakukan puasa, tapi tersenyum tatkala manusia lain menderita, tertawa tatkala rakyat menangis, menimbun harta dan dolar tatkala umat kelaparan dan kebingungan dengan pemenuhan bahan-bahan pokok, serta memamerkan kekerasan tatkala rakyat mengharapkan perlindungan.
Manusia beriman dalam arti yang sebenarnya semestinya mengikuti pola kehidupan Nabi dan sahabatnya yang selalu menghormati orang lain. Umat Islam perlu merenungkan kisah- kisah nyata masa salafussalih seperti seorang Sahabat Nabi yang melakukan ikram al-duyuf, memberi penghormatan terhadap seorang tamu. Sang Tuan rumah hanya punya persediaan makan terbatas untuk anaknya, maka sang Ibu menyuruh anaknya untuk segera tidur tanpa makan malam. Sang ayah mematikan lampu mempersilahkan makan tamu dengan pura-pura ikut makan karena persediaan terbatas tersebut. Malam berlalu satu keluarga berkorban tidak memenuhi kebutuhan makan demi Sang Tamu. Inilah contoh orang-orang salih yang perlu kita renungkan dalam kehidupan sekarang ini
Ajaran Islam yang humanis sebagaimana dipaparkan diatas adalah paradigma utama untuk mendasari upaya membangun visi bersama di tengah kemajmukan. “Indonesia tanpa pagar” (meminjam istilah budayawan Darmanto Jatman) haruslah dijadikan sasaran bersama dan agenda utama pluralisme umat beragama di Indonesia, yang merupakan sebuah bangsa yang hidup di tengah-tengah masyarakat internasional yang sedang berada dalam global trends and ethics. Indonesia harus menyesuaikan diri dengan etika global ini seperti demokratisasi, pluralisme dan sebagainya. Relevan kita pungkasi tulisan ini dengan syair-syair teolog dan filosuf Jerman Hanskung:

Not just freedom, but also justice
Not just equality. But also plurality
Not just brotherhood, but also sisterhood
Not just coexistence, but peace
Not just productivity, but solidarity with the environment
Not just toleration, but ecumenism

(Hanskung: global trends and ethics: 1999).

[1] Hasil penelitian individual untuk mata kuliah historiografi Islam dibawah bimbingan Prof. Michael Morony dengan topik paper pribadi “Sunnism in the Eyes of Modern Scholars,” UCLA, AS 1993.
[2] David Jary, Sociology, (New York: 1991), halaman 518.
[3] Asghar Ali Engineer, ON DEVELOPING THEOLOGY OF PEACE IN ISLAM, Islam and Modern Age, October, 2001
[4] Email pribadi 22 April 2002 dari rlukens@unf.edu ke Walisongos@yahoo.com
[5] James E. Royster, “Muhammad as a Teacher and Exemplar”, The Muslim World, 68, no. 4 (1978), hlm. 235-258.
[6]Lihat Ibn Hanbal, Op.cit., III, hlm. 17.
[7] Qur’an, 2: 129. Beberapa ayat lain yang masih berhubungan dengan hal tersebut adalah surat 62: 2 dan 3: 164
[8] Istilah yang digunakan pertama kali oleh Oscar Lewis (1961) ini menekankan fatalisme sebagai ciri utama masyarakat ini. Sosiolog tersebut berargumen bahwa cycle of deprivation (lingkaran kefakiran) terus berlangsung dalam masyarakat ini hingga anak-anak dalam lingkungan ini mampu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai dan sikap-sikap untuk menjadi manusia miskin. Meskipun demikian argumen ini oleh para sosiolog dianggap lemah dan banyak dibantah.

PARADIGMA INTEGRASI KEILMUAN ISLAM DAN SAINS DI ABAD KE-21

I. Pendahuluan
Agama Islam berakar tunjang pada sikap percaya yang sungguh-sungguh atau tulus (iman). Meskipun mungkin pendekatan empiris dapat dilakukan, untuk menguji kebenaran suatu nilai keagamaan, tetapi dasar kebenaran suatu nilai keagamaan terutama terletak dalam verifikasi empiris, melainkan dalam percaya kepada pemberitaan dari atas (wahyu). Karena itu kedudukan sebuah kitab suci dalam agama adalah mutlak. Sebab itu dalam spektrum bidang kognitif manusia, agama menempati ujung yang berlawanan dengan pengetahuan alam. Ilmu pengetahuan, baik yang alamiah maupun yang sosial adalah netral. Artinya tidak mengandung nilai kebaikan atau kejahatan pada dirinya sendiri. Nilainya diberikan oleh manusia yang memilikinya atau menguasainya. Dalam makalah ini akan dibahas tentang integrasi ilmu-ilmu keislaman dan sains modern di abad ke-21.

II. Rumusan Masalah
A. Bagaimana paradigma integrasi ilmu agama dan sains serta upaya islamisasi ilmu pengetahuan?
B. Bagaimana transformasi IAIN menjadi UIN di Indonesia?

III. Pembahasan
A. Paradigma Integrasi Ilmu Agama dan Sains serta Upaya Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Hingga kini, masih kuat anggapan dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa “agama” dan “ilmu” adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal - material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing bahkan sampai ke institusi keagamaan.[1]
Pembicaraan tentang ilmu akan selalu hangat dan menarik untuk diperbincangkan, karena ilmu akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Ilmu tidak akan terhenti selama manusia masih mampu berpikir untuk mencermati segala fenomena-fenomena yang terjadi, baik fenomena dalam dirinya sendiri maupun di luar dirinya.[2]
Pada bagian lain, ilmu pengetahuan dan teknologi modern tidak selalu membawa manfaat bagi kehidupan manusia. Dalam waktu yang bersamaan, keduanya menimbulkan ancaman yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia. Tampaknya, sains dan teknologi itu melahirkan kondisi yang kontras: ada realitas yang positif dan ada pula realita yang negatif. Keduanya beriringan, realitas negatif menyertai realitas positif dan begitu juga sebaliknya. Akibat yang terjadi dari sains dan teknologi modern terhadap lingkungan semesta.
Dampak negatif dari sains dan teknologi modern itu dan itu bermula dari paradigma sekuler yakni model berpikir memisahkan nilai-nilai agama dari kehidupan duniawi, sehingga membahayakan kehidupan manusia. Ketika dampak negatif itu benar-benar merusak, islam harus meresponsnya dengan memberikan solusi terbaik. Kunto Wijoyo menegaskan bahwa dalam sebuah dunia di mana kekuatan dan pengaruh ilmu pengetahuan menjadi dektruktif, mengancam kehidupan umat manusia dan peradabannya, islam jelas harus tampil untuk menawarkan alternatif paradigmatiknya di bidang ilmu. Paradigma Islam di bidang keilmuan ini bertitik tolak pada wahyu yang mengandung premis-premis normatif terutama dari Al-Qur’an kemudian dirumuskan cara berpikir.[3]
Dalam pandangan islam posisi ilmu menempati tingkat yang sangat tinggi, karena itu tidaklah heran jika banyak nash baik Al-Qur’an maupun al-Sunnah yang menganjurkan kepada manusia untuk menuntut ilmu, di antaranya, firman Allah dalam surat Al-Alaq. Bentuk serta ilmu keislaman terangkum dalam syahadah, “kesaksian” yang menjadi dasar tauhid. Oleh karena itu, hal yang terpenting dari berbagai ilmu adalah ilmu tentang Tuhan, sedangkan ilmu tentang selain tuhan merupakan sarana untuk mencapai ilmu tentang Tuhan, karena segala sesuatu pasti akan kembali kepada-Nya.
Dalam hal ilmu, Al-Ghazali membaginya menjadi tiga bagian. Pertama, ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, ilmu-ilmu ini tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, ilmu ramalan. Kedua, ilmu-ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak, jenis ilmu ini dibagi menjadi dua, yaitu wajib ain dan wajib kifayah, yang termasuk kategori ilmu wajib ain untuk dipelajari ini mencakup ilmu-ilmu agama dengan segala jenisnya sedangkan ilmu yang termasuk fardhu kifayah mencakup ilmu keselamatan, kedokteran, hitung, dan lain-lain. Ketiga, ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit, dan akan tercela jika dipelajari secara mendalam, karena akan menyebabkan kekacauan antara keyakinan dan keraguan serta membawa kekafiran, ilmu kategori ini mencakup filsafat, ilmu ilahiyat, logika dan lain-lain.
Berbeda dengan Al-Ghazali, Ibnu Arabi berpendapat bahwa ilmu terdiri dari ilmu tentang Tuhan, ilmu tentang dunia yang akan datang, ilmu tentang dunia ini, ilmu tentang penciptaan serta pemeliharaan dunia, maka segala urusan manusia akan selalu berada “di tangannya” di mana pun dia berada dan manusia pun sadar akan diri dan segala perbuatannya. Masih menurutnya, bahwa ilmu adalah sifat Tuhan yang meliputi segala sesuatu, sehingga ia merupakan karunia Tuhan yang paling besar. Sebagai karunia yang paling besar, ilmu merupakan tuntutan di samping agama bagi manusia dalam mengabdikan dirinya sebagai khalifah di dunia. Dengan demikian, manusia dituntut memaknai hukum-hukum Allah yang kemudian diambil manfaatnya untuk membangun dunia ini. Namun begitu bahwa ilmu yang dijadikan pegangan tidak bisa lepas begitu saja dari agama karena agama merupakan puncak dari pencapaian, sedangkan ilmu adalah alat atau jalan dari pencapaian tersebut. Agama tidak mengadakan perubahan dan memang bukan alat pembaruan, melainkan ilmulah yang mengadakan perubahan dan menjadi alat pembaruan.
Dari sini tampak jelas bahwa tidak ada dikotomi antara agama dan ilmu. Agama dan ilmu merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat berjalan sendiri-sendiri, karena ketika kita membiarkannya berjalan terpisah, hal itu merupakan malapetaka bagi manusia itu sendiri.[4]
Sejarah hubungan ilmu dan agama di barat mencatat bahwa pemimpin gereja menolak Teori Heliosentris Galileo atau teori Evolusi Darwin. Pemimpin gereja membuat pernyataan yang berada di luar kompetensinya. Sebaliknya Issac Newton dan tokoh-tokoh ilmu sekuler menempatkan Tuhan hanya sekedar sebagai penutup sementara lobang kesulitan (to fill gaps) yang tidak pernah terpecahkan dan terjawab oleh teori keilmuan mereka, sampai tiba waktunya diperoleh data yang lebih lengkap atau teori baru yang dapat menjawab kesulitan tersebut. Begitu kesulitan itu terjawab, maka secara otomatis intervensi Tuhan tidak lagi diperlukan. Akhirnya Tuhan dalam benak ilmuwan “sekuler” hanya ibarat pembuat jam (clock maker). Begitu alam semesta ini selesai diciptakan, Ia tidak peduli lagi dengan alam raya ciptaan-Nya dan alam semesta pun berjalan sendiri secara mekanis tanpa campur tangan tujuan agung ketuhanan.
Sementara dalam dunia timur, dalam hal ini dunia Islam, pengajaran ilmu-ilmu agama Islam yang normatif-tekstual terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ilmu-ilmu sosial, ekonomi, hukum dan humaniora pada umumnya.[5]
Sejarah telah mencatat kontribusi peradaban islam dalam peradaban umat manusia, lewat kontribusi mereka dalam peradaban barat. Untuk itu barangkali dapat kita susun sederet nama intelektual islam yang terdiri dari para filosof, sastrawan, penulis, maupun ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu. Berikut ini dapat kita ikuti deretan jenis kontribusi:

1. Astronomi
Astronomi ternyata bukan hanya dipelajari oleh para ilmuwan melainkan juga menarik minat para sultan, Khifah maupun alkhan yang menjadi raja dalam masyarakat muslim. Khalifah Al-Mansyur, misalnya, yang menjadi khalifah kedua dari bani Abasiyah yang berpusat di Baghdad (754-775 M), adalah termasuk salah seorang ahli astronomi dari mazhab Baghdad.

2. Matematika
Salah seorang ahli matematika muslim yang terkenal adalah Muhamad bin Musa bin Khawarizmi yang hidup di masa khalifah Al-Ma’mun, yang menulis buku Al-Jabar berjudul Al-Jabar Wal’maakalala (perhitungan dan simbol). Kata Al-jabar sendiri berarti perhitungan, dan istilah al-goritma berasal dari nama penemunya, yaitu Al-khawarizmi.

3. Kedokteran
Batang tubuh ilmu kedokteran telah ditulis oleh Rhases (Abu bakar ibnu zakaria Al-Razi ) dalam judul havi, yang ditulis dalam khalifah Al-Mansur. Havi merupakan satu dari Sembilan jilid buku kedokteran yang terpampang dalam fakultas kedokteran di Paris pada tahun 1395.[6]

4. Filsafat
Abu Yusuf Ya’kub al-Kindi di anggap termasuk ke dalam barisan terdepan para pemikir yang muncul pada periode pembentukan filsafat islam dan pada permulaan periode-periode transisi kebudayaan dari masa teologi murni ke masa di mana pemikiran islam berakulturasi dengan filsafat Yunani, Persia, India

B. Transformasi IAIN menjadi UIN di Indonesia
Aktivitas pendidikan dan keilmuan di Perguruan Tinggi Umum dan Perguruan Tinggi Agama di tanah air mirip-mirip seperti pola kerja keilmuan awal abad renaissance hingga era revolusi reformasi, yang sekarang ini mulai diratapi oleh banyak kalangan. Hati nurani terlepas dari akal sehat. Nafsu serakah menguasai perilaku cerdik pandai. Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela. Lingkungan alam rusak berat. Tindakan kekerasan dan mutual distrust mewabah di mana-mana.[7]
Pendidikan tinggi Islam pada dasarnya merupakan sebuah institusi sosial yang menjadi bagian integral dari masyarakatnya. Sebagai institusi sosial fungsi pendidikannya secara ideal menjadi fungsi budaya untuk melestarikan dan mengembangkan sistem nilai masyarakatnya. Sebagai suatu organized intelegence, ia menjadi centrum dari berbagai kecerdasan yang diorganisasi untuk menyelenggarakan sebuah masyarakat yang beradab. Dalam fungsi itu Perguruan Tinggi Islam mempunyai kekuatan vital karena bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sulit dibayangkan, ilmu pengetahuan akan dapat dipertahankan dan dikembangkan tanpa adanya lembaga yang bergerak di bidang itu.[8]
Belakangan ini, muncul ide di kalangan pembuat kebijakan pendidikan tinggi Islam untuk mengembalikan semangat kajian Islam yang lebih komprehensif lagi; disiplin keilmuan yang dicakup IAIN tidak melulu meliputi disiplin ilmu agama semata, namun juga ilmu-ilmu umum yang bernuansa keislaman, seperti psikologi, komunikasi, sosiologi, antropologi, dan lain sebagainya, ke depan IAIN akan dikembangkan dalam bentuk Universitas Islam Negeri (UIN) yang membawahi bidang kajian keislaman dan ilmu-ilmu sekuler.
Rencana besar transformasi IAIN menjadi UIN didasari oleh kesadaran futuristik umat Islam terhadap urgensi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menyesuaikan diri dengan akselerasi perubahan zaman yang begitu cepat. Selain itu, transformasi itu muncul sebagai wujud kesadaran umat islam yang tidak mau mengikuti pola dualisme keilmuan, antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu sekuler sebagai dampak historis kebijakan kolonialisme Belanda.[9]
Pengembangan dan konversi IAIN ke UIN adalah proyek keilmuan. Proyek pengembangan wawasan keilmuan dan perubahan tata pikir keilmuan yang bernafaskan keagamaan transformatif. Bukan berubah asal berubah, bukan sekedar ikut-ikutan, bukan pula sekedar proyek fisik. Konversi dari IAIN ke UIN adalah momentum untuk membenahi dan menyembuhkan “luka-luka dikotomi” keilmuan dan agama yang makin hari makin menyakitkan.[10]
Terlepas dari persoalan kontroversi transformasi IAIN menjadi UIN, hal menarik yang perlu digaris bawahi di kalangan IAIN adalah kecenderungan kajian Islam yang berlangsung di dalamnya. Sejak berdirinya, lembaga pendidikan tinggi Islam ini membawa dua tugas utama: sebagai lembaga keagamaan dan sebagai lembaga keilmuan. Sebagai sentral pengkajian keagamaan, IAIN membawa misi religius untuk memberikan pencerahan masyarakat muslim untuk memahami ajaran Islam (lembaga dakwah). IAIN diharapkan menjadi ­avant garde dalam mengkaji Islam sebagai sebuah disiplin akademis, bukan sebagai doktrin agama.[11]
Atas dasar berbagai analisa tentang konsep pendidikan Islam dan berbagai kritisi dari kalangan ilmuwan dan masyarakat terhadap masa depan IAIN, dapat dinyatakan di sini bahwa terdapat dua persoalan spesifik yang dihadapi IAIN, yaitu perihal esensi-substansi kurikulum yang masih berorientasi persial, dan perihal pemberdayaan kelembagaan dalam konteks manajemen dan relevansi SDM. Perubahan sejumlah IAIN menjadi UIN tidak menjadi persoalan sepanjang perubahan tersebut disertai dengan reformulasi esensi-substansi kurikulum, pemberdayaan tenaga birokrasi, pemberdayaan manajemen tenaga edukasi, yang kesemuanya dimaksudkan untuk merespons kebutuhan masyarakat pada era milenium ini.[12]

[1] M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 92.
[2] Abuddin Nata, dkk., Integrasi Ilmu Agama & Ilmu Umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 111.
[3] Mujamil Qomar, Pemikiran Islam Metodologis Model Pemikiran Alternatif Dalam Memajukan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 210 – 211.
[4] Abuddin Nata, dkk., Integrasi..., hlm. 112 – 113.
[5] M. Amin Abdullah, Islamic..., hlm. 93 – 94.
[6] Abu Su’ud, Islamologi Sejarah, Ajaran dan peranannya dalam peradaban umat manusia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hlm. 201 – 206.
[7] M. Amin Abdullah, Islamic..., hlm. 94.
[8] Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hlm. 584 – 585.
[9] Masdar Hilmy dan Akh. Muzakki, Dinamika Baru Studi Islam, (Surabaya: Arkola, 2005), hlm. 54.
[10] M. Amin Abdullah, Islamic..., hlm. 399.
[11] Azyumardi azra, Studi-studi Agama Di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Dalam Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 169 – 170.
[12] Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 201.

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN
Adalah penting sekali memahami kerangka umum Islam bagi kehidupan dan wujud sehingga kita dapat memahami pemikiran dan metodologi Islam serta ruang geraknya dan juga memahami hubungan-hubungan, konsep-konsep dan landasan-landasan pokok yang mengatur dan memberi ciri pemikiran, metodologi dan struktur kehidupan islam.[1]
Gagasan untuk mengkaji Islam sebagai nilai alternatif baik dalam perspektif interpretasi tekstual maupun kajian kontekstual mengenai kemampuan Islam memberikan solusi baru kepada temuan-temuan disemua dimensi kehidupan akhir-akhir ini semakin merebak luas. Penguasaan lebih mendalam mengenai wawasan pemikiran secara filosofis, terutama penjelajahan intelaktual terhadap gagasan-gagasan berpikir Barat yang seakan tak terbendung lagi datangnya bagi kaum muslimin sudah dimulai sejak abad ke-19, dan dipenghujung abad ke-20 serta memasuki abad ke-21, pemikir-pemikir muslim sedang bergelut kuat untuk menemukan jati diri pemikirannya agar bisa memanfaatkan ide-ide yang yang merayap tak terhingga sebagai akibat modernisasi berpikir radikal yang diterapkan Barat.[2]
Islam adalah pandangan dunia yang berorientasi kemasa depan. Suatu sistem pemikiran dan tindakan yang mengandung keabsahan abadi pasti memiliki pula komponen-komponen yang dirancang untuk menghadapi tantangan dimasa yang akan datang. Suatu ideologi universal yang terus menerus berupaya untuk mewujudkan sepenuhnya ajaran-ajarn dasarnya harus memusatkan perhatiannya pada pembentukan masa depan. Suatu peradaban dengan sejarah yang gemilang harus memandang ke masa depan untuk meraih kembali kejayaan-kejayaan masa silamnya. Karenanya, sebagai sebuah agama, ideologi, dan peradaban, Islam memberikan suatu pandangan dunia yang terutama ditujukan untuk pembangunan masa depan baik di dunia maupun diakhirat nanti.[3]
Kalau kita telaah perkembangan pemikiran Islam di tanah Air sejak satu dekade terakhir, maka “situasi Guthenberg” seperti yang pernah terjadi pada dunia Kristen itu benar-benar nyata kita lihat gejalanya dalam lingkungan masyarakat Islam. Seiring dengan maraknya industri penerbitan buku di Tanah Air, perkembangan pemikiran Islam bergejolak tanpa henti dan dan menimbulkan gelombang kontroversi yang tak habis-habisnya. Keadaan semacam ini tentu tak mungkin terjadi jika tak ada kombinasi tiga faktor sekaligus: munculnya kelas terdidik Islam dengan derajat keterdedahan yang tinggi pada ragam informasi yang berjenis-jenis, tumbuhnya industri penerbitan yang bersemangat, dan lingkungan diskursif yang makin terlembaga untuk memperdebatkan pelbagai ragam penafsiran yang muncul.[4]

II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Pemikiran Islam Fundamentalisme Di Indonesia?
B. Bagaimana Pemikiran Islam Liberal Di Indonesia?
C. Bagaimana Pemikiran Islam Moderat Di Indonesia?

III. PEMBAHASAN
A. Pemikiran Islam Fundamentalisme Di Indonesia
Istilah fundamentalisme[5] yang dikaitkan dengan agama bukan muncul dari dan dalam kalangan Islam sendiri, melainkan dari dan dalam kalangan Kristen.[6] Kemudian baju tersebut mereka kenakan pada kalangan tertentu umat Islam yang mempunyai ciri-ciri tertentu pula. Di kalangan umat Islam memang terdapat kelompok yang pada satu segi berupaya untuk mengembalikan umat ini kepada fundamental Islam, dan pada segi lainnya mereka juga cenderung memfundamentalkan segala masalah, termasuk hal-hal yang dapat taktis dan teknis semata.[7]
Dalam membicarakan soal Islam dan fundamentalisme perlu ditegaskan terlebih dahulu bahwa ajaran-ajaran Islam sebenarnya tersusun atas dua kategori, ajaran-ajaran dasar yang bersifat absolut, kekal, dan tidak bisa berubah, dan ajaran-ajaran yang didasarkan atas ajaran-ajaran tersebut, yang bersifat nisbi, tidak kekal, dan dapat berubah menurut perubahan tempat dan perkembangan zaman. Ajaran-ajaran dasar yang bersifat absolut, kekal, dan tidak berubah itu terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis. Sedangkan ajaran-ajaran yang bersifat nisbi dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan tempat, merupakan hasil ijtihad atau pemikiran para ulama’ atas ajaran-ajaran dasar tersebut, dan ia dapat ditemukan dalam buku-buku seperti tafsir, hadis, fiqih, atau hukum Islam, ilmu tauhid atau teologi Islam, ilmu Tasawuf atau mistisisme Islam, dan lain-lain.
Kalau yang dimaksud dengan Fundamentalisme adalah kembali ke ajaran-ajaran dasar agama, seperti yang terkandung dalam arti kata itu, maka fundamentalisme dalam Islam berarti kembali ke ajaran-ajaran kategori pertama, yaitu ajaran-ajaran dasar yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis, dan bukan kembali ke ajaran-ajaran kedua, yaitu ajaran-ajaran yang merupakan hasil ijtihad ulama’. Karena itu konsep fundamentalisme kalau digunakan dalam konteks Islam akan sama dengan paham dan gerakan yang timbul di dunia Islam pada abad ke sembilan belas dan berkembang di abad kedua puluh sekarang ini, yang berprinsip kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadis dengan tujuan mengadakan interpretasi atau ijtihad baru, dan bukan kembali pada buku-buku tafsir, hadis, fiqih, ilmu tauhid, ilmu tasawuf, dan sebagainya yang mengandung ajaran-ajaran hasil ijtihad ulama’.[8]
Gejala fundamentalisme Islam dapat dilihat dari beberapa prinsip:
1. Fundamentalisme adalah “oppsitionalism” (paham perlawanan). Fundamentalisme dalam agama manapun mengambil bentuk perlawanan yang bukannya tak sering bersifat radikal terhadap ancaman yang dipandang akan membahayakan eksistensi agama, apakah dalam bentuk modernitas atau modernisme, sekularisasi, dan tata nilai barat pada umumnya.
2. Penolakan terhadap hermenetika. Dengan kata lain, kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Teks Al-Qur’an harus dipahami secara literal sebagaimana adanya, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks.
3. Penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Pluralisme merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci.
4. Penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan, bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci.[9]
Azurmadi Azra membuat dua tipe fundamentalisme dalam Islam, Yaitu:
1. Fundamentalisme Pra-Modern
Fundamentalisme pra-modern dapat dilacak jauh ke belakang pada masa awal sejarah Islam. Gerakan kaum Khawarij yang muncul pada masa akhir pemerintahan Ali bin Abi Thalib, dengan prinsip-prinsip radikal dan ekstrim, dapat dilihat sebagai gerakan fundamentalisme klasik yang mempengaruhi gerakan fundamentalisme sepanjang sejarah. Pada masa berikutnya mengambil bentuk seperti gerakan di Semenanjung Arabia, di bawah pimpinan Muhamad bin Abdul Wahhab (1703-1792), dengan mengusung term memurnikan Islam dari tahayul, bid’ah, dan khurafat telah mendorong gerakan fundamentalisme Islam radikal.
2. Fundamentalisme Kontemporer
Fundamentalisme kontemporer lebih banyak sebagai respon atas barat. Ada dua masalah besar yang menjadi perhatian kelompok ini. Pertama, mereka menolak sekuleralisme masyarakat barat yang memisahkan agama dari politik, gereja dari negara. Kedua, banyak umat Islam yang menginginkan agar masyarakat mereka diperintah dengan menggunakan Al-Qur’an dan syari’at Islam sebagai aturan hukum bernegara.[10]

B. Pemikiran Islam Liberal Di Indonesia
Islam liberal merupakan sisi lain dari gerakan Islam Indonesia kontemporer. Hingga dewasa ini gerakan ini masih menjadi arus kecil dalam peta gerakan Islam di Indonesia. Kendati demikian, kemampuannya untuk bersuara nyaring dengan menggunakan media dan forum-forum strategis telah menjadikan gerakan inti menarik banyak perhatian. Sejumlah ide yang dilontarkannya mengenai Islam dan keharusan penyegaran kembali pemahaman atasnya telah menyulut kontroversi yang bukan saja muncul dikalangan elit intelektual, tetapi juga dikalangan masyarakat luas sebagaimana tercermin lewat reaksi mereka pada saat khutbah Jum’at dan pengajian-pengajian agama.[11]
Seperti istilah fundamentalis, istilah liberal juga tidak mudah didefinisikan, apalagi ketika istilah liberal ini melekat pada kata Islam, maka serta-merta memiliki daya sensitif yang kaut sekali. Masyarakat Muslim memandang istilah Islam Liberal serba negatif dan serba berbahaya. Pemikiran Islam Liberal di Indonesia sebenarnya mulai muncul pada 1970-an yang digerakkan oleh Harun Nasution. Taufik Abdullah menilai bahwa Nasution dapat disebut sebagai pemikir Islam Liberal paling terkemuka di Indonesia kontemporer. Dia adalah murid tokoh pembaharu Islam Muhamad Abduh. Nasution menyerukan kebangkitan kembali semangat modernis yang telah membebaskan kaum muslim dari keletihan intelektual mereka. Jejak Nasution banyak diikuti oleh Nurcholis Majid, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, dan Abdurrahman Wahid. Mereka telah melancarkan pemikiran-pemikiran yang dinilai Greg Barton sebagai pemikiran-pemikiran atau gagasan-gagasan Islam Liberal.
Islam liberal adalah suatu bentuk penafsiran baru atas agama Islam dengan wawasan berikut:
1. Keterbukaan pintu ijtihad pada semua bidang
2. Penekanan pada semangat religio-etik, bukan pada makna literal sebuah teks
3. Kebenaran yang relatif, terbuka, dan plural
4. Pemihakan pada yang minoritas dan tertindas
5. Kebebasan beragama dan berkepercayaan
6. Pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.[12]
Munculnya gelombang liberalisme Islam di Indonesia sekurang-kurangnya disebabkan karena tiga faktor dominan:
1. Faktor internal umat Islam yang semakin terdidik dengan ilmu-ilmu baru (imu sosial dan Humaniora)
2. Faktor perubahan sosial yang demikian cepat sehingga membutuhkan cara-cara baru dalam memahaminya, baik dalam memahami kitab suci maupun dalam memahami fenomena perubahan sosial tersebut
3. Faktor eksternal umat Islam, yakni faktor dari umat Kristen yang telah lebih dahulu berpikiran maju dan kontekstual dalam memahami kitab suci seperti yang diperlihatkan dalam teologi pembebasan.
Oleh karena itu, visi yang hendak dikembangkan oleh kaum liberal adalah keterbukaan terhadap hal-hal baru yang dulu tidak pernah atau belum terjadi, sementara kitab suci maupun hadis nabi tidak membicarakannya sehingga membutuhkan ijtihad dari Umat Islam agar umat Islam mampu berkembang sesuai dengan konteks zamannya.[13] Denny JA menjelaskan lebih jauh tentang Islam Liberal ini. Menurutnya, Islam Liberal adalah kelompokyang menginterpretasi Islam yang pararel dengan modernitas dan demokrasi. “dan Demokrasi sebagaimana yang diteorikan dan dipraktekkan diseluruh dunia adalah bersifat sekuler, di mana negara mengambil jarak yang sama atas pluralitas agama ataupun pluralitas interpretasi agama,” lebih lanjut ia menyatakan, mengutip William Liddle (1995), bahwa kaum Islam Liberal bisa diberikan label Islam subtansial. Menurut Liddle, ada empat ciri kaum subtansialis ini di Indonesia.
1. Mereka percaya bahwa isi dan subtansi ajaran agama Islam jauh lebih penting daripada bentuk dan lebelnya
2. Mereka percaya, walau Islam (Al-Qur’an) itu bersifat universal dan abadi, namun ia tetap harus terus menerus di interpretasi ulang untuk merespon zaman yang terus berubah dan berbeda
3. Mereka percaya karena keterbatasan pikiran manusia, mustahil mereka mampu tahu setepat-tepatnya kehendak tuhan
4. Mereka menerima bahwa bentuk negara Indonesia sekarang yang bukan merupakan negara Islam adalah bentuk final.[14]

C. Pemikiran Islam Moderat Di Indonesia
Moderat[15] dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pertengahan atau mudah diterima di semua kalangan.[16] Kata moderat yang dimaksud dalam istilah ini di-claim sebagai penafsiran dari kata al-wasatiyah’. Kata ini terdapat dalam ayat Al-Qur’an yang mengatakan bahwa Islam itu adalah al-wasatiyah atau Islam itu adalah pertengahan.[17] Namun, ternyata makna pertengahan antara kedua bahasa ini sebenarnya sangat berbeda. Tidak seperti yang dimaknai secara biasa, yaitu pertengahan.
Memaknai kata pertengan dari kata moderat dan makna kata pertengahan dari bahasa agama sangatlah berbeda. Al-Wasatiyah atau petengahan dalam bahasa agama berarti mengambil jalan tengah yaitu mempertimbangkan segala sesuatunya tanpa ada kehendak mengikuti hawa nafsu disana. Jadi, Islam adalah agama pertengahan yaitu agama yang terbebas daripada mengikuti kehendak hawa nafsu lawwamah, tetapi Islam adalah agama yang dituntun oleh ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
Tarmizi Taher (Mantan Menteri Agama Republik Indonesia tahun 1993-1998 M), memberikan ciri-ciri ummatan wasathan sebagai berikut:
1. Adanya hak kebebasan yang harus selalu diimbangi dengan kewajiban
2. Adanya keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, serta material dan spritual
3. Keseimbangan yang terwujud pada pentingnya kemampuan akal dan moral.[18]
Dalam menghadapi kelompok Islam Fundamentalis dan Islam Liberal yang sama-sama ekstrim itu, di Indonesia terdapat dua kelompok besar yaitu NU dan Muhamadiyah yang menjadi panutan dari sisi doktrin organisasinya dan menjadi pijakan kehidupan sosial keagamaan, khususnya kehidupan keislaman. Doktrin inilah yang dijadikan parameter dalam merespons kedua kelompok yang berseberangan itu, bukan pada tokoh-tokoh tertentu secara parsial yang tidak bisa mewakili umatnya sendiri. M. Syafi’i Anwar menegaskan, “secara umum, NU maupun Muhamadiyah sangat menekankan pendekatan dakwah yang inklusif dan moderat.”
Menurut Anwar, teologi Nu bersumber pada doktrin tawashut (moderat) dan tasamuh (toleran) dalam pandangan dan sikap keagamaan. Sementara itu basis sosial NU adalah pesantren yang sejak awal mendakwahkan Islam yang ramah dan akomodatif terhadap tradisi lokal dan watak budaya Nusantara. Bahkan dalam bermasyarakat, NU memiliki sikap atau doktrin yang lebih terperinci lagi, yaitu tawasut dan i’tidal, tasamuh, tawazun, dan amar ma’ruf nahi munkar.[19]
Adapun penjaga gawang moderasi berikutnya adalah muhamadiyah. Muhamadiyah sebagai organisasi sosial kegamaan, meskipun banyak dipengaruhi Wahabi dan lebih jauh lagi Ibnu Taimiyah dalam menghadapi takhayul, bid’ah, dan khurafat sehingga menentangnya, penentangan muhamadiyah itu masih diimbangi oleh semangat rasional dan modernisasi dari pengaruh Muhamad Abduh, sehingga tidak sampai bertindak radikal yang dapat mengakibatkan kerusakan-kerusakan. Apalagi organisasi yang didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan ini dikenal gigih sekali mengatur strategi untuk melakukan pemberdayaan umat, baik melalui pendidikan, ekonomi, maupun sosial, maka kecenderungan kearah radikalisme semakin sirna. Jadi, perimbangan antara pengaruh wahabi dan Ibnu Taimiyah di satu sisi dengan pengaruh Muhamad Abduh serta konsentrasi pembaruan strategi pemberdayaan di sisi lain mengantarkan Muhamadiyah bersikap relatif moderat.[20]

[1] Abdul Hamid Abu Sulayman, Azmah Al-Aql Al Muslim, Terj oleh Rifyal Ka’bah, (Jakarta: Media Da’wah, 1994), hlm 161.
[2] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 235.
[3] Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape ofIdeas to Came, terj oleh Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 1
[4] Luthfi Assyaukanie, Wajah Liberal Islam di Indonesia, (Jakarta: Akbar Media, 2002), hlm. 76.
[5] Fundamentalisme adalah paham yg cenderung untuk memperjuangkan sesuatu secara radikal, dalam literatur lain diistilahkan sebagai kaum konservatif dan tradisionalis. Fundamentalisme memiliki kesamaan dengan berbagai istilah, yaitu fanatisme, Islam garis keras, revivalisme ekstrim (Roxanne L. Euben: 2002), ekstremisme (Gilles Kepel), radikalisme (Emmanuel Sivan: 1990), bahkan yang paling menyudutkan adalah terorisme. Konsekuensi dari istilah-istilah itu tidak selalu sama, tatapi memiliki kemiripan-kemiripan karakter, yaitu kekerasan, baik kekerasan pemikiran maupun kekerasan tindakan atau gerakan.
[6] Adalah suatu istilah Inggris kuno kalangan protestan yang secara kusus diterapkan kepada orang-orang yang berpandangan bahwa al-kitab harus diterima dan ditafsirkan secara harfiah. Istilah sepadan yang paling dekat dalam bahasa perancis adalah integrisme yang merujuk kepada kecenderungan senada tetapi tidak dalam pengertian kecenderungan yang sama dikalangan kaum katolik Romawi. Dalam Islam, kaum fundamentalis Sunni menerima Al-Qur’an secara harfiah, sekalipun dalam beberapa kasus dengan syarat-syarat tertentu, tetapi mereka juga memilki sisi lain yang berbeda. Kaum Syiah Iran, yang dalam suatu pengertian umum adalah para Fundamentalis, tidak terikat kepada penafsiran harfiah. Lihat William Montgomery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity, Terj oleh Taufik Adnan Amal, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), hlm. 3-4.
[7] Muhamad Amin Rais, Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, (Jakarta: CV Rajawali, 1986), hlm. 85.
[8] Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 122.
[9] Qodri Azizy dkk, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 191-192.
[10] Sumanto Al-Qurtuby dkk, Dekonstruksi Islam Madzhab Ngaliyan: Pergulatan Pemikiran Keagamaan Anak-anak Muda Semarang, (Semarang: Rasail, 2005), hlm. 15-16.
[11] Mukhsin Jamil, Revitalisasi Islam Kultrural: Arus Baru Relasi Agama dan Negara, (Semarang: Walisongo Prees, 2009), hlm. 97.
[12] Mujamil Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia? Kajian Komprehensif atas Arah Sejarah dan Dinamika Intelektuaal Islam Nusantara, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2012), hlm. 132-136.
[13] Zuly Qodir, Islam Liberal: Varian-varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002, (Yogyakarta: PT LKIS Printing Cemerlang, 2010), hlm. 116.
[14] Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal: sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawaban, Cet ke V, (Depok: Gema Insani, 2006), hlm. 8-9.
[15] H. Luthfi Bashori (Ketua Komisi Hukum dan Fatwa MUI Kab. Malang) lebih senang mengistilahkan dengan Kelompok Konsisten Karena jika disebut dengan istilah kaum Moderat dewasa ini, maka akan dipahami oleh masyarakat awam, lebih berorientasi kepada kelompok liberal, karena arti MODERAT, kini sudah bergeser kepada arti kelompok yang dapat menerima hal-hal di luar konteks syariat, termasuk dapat menerima segala macam aliran pemikiran bahkan menerima perilaku dan ritual non muslim. Kelompok Konsisten ini adalah mayoritas umat Islam yang masih mengikuti ajaran syariat yang telah diterima secara estafet dengan panduan kitab yg standar yang diterima secara estafet pula dari para ulama dan orang tua, dari generasi pendahulunya yang lebih tua lagi hingga sampai kepada para pembawa dan penyebar agama Islam yang pertama kali datang ke Indonesia, yaitu para Walisongo dan ulama sejamannya. Kelompok Konsisten ini, selalu berupaya untuk menerapkan syariat Islam secara utuh, namun tetap disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang secara riil dihadapi.
[16] Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm..178.
[17] Meminjam pemikiran yang dikemukakan oleh Yusuf Qordawy bahwa Wasatiyah (pemahaman moderat) adalah salah satu karakteristik Islam yang tidak dimiliki oleh Ideologi-ideologi lain. Dalam alquran di jelaskan:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً
“Dan demikianlah aku jadikan kalian sebagai Umat yang pertengahan”. (QS. Al Baqarah: 143).
Ayat diatas menyeru kepada dakwah Islam yang moderat dan menentang segala bentuk pemikiran yang liberal dan Radikal. Liberal dalam arti memahami Islam dengan standar hawa nafsu dan murni logika yang cenderung mencari pembenaran yang tidak ilmiah. Radikal dalam arti memaknai Islam dalam tataran tekstual yang menghilangkan fleksibilitas ajarannya. Sehingga terkesan kaku dan tidak mampu membaca realitas hidup. Padahal Rasulullah menegaskan :
إياكم والغلو في الدين ؛ فإنما أهلك الذين من قبلكم غلوهم في دينهم. رواه البخاري
“Hindarilah sifat berlebihan dalam agama. Karena Umat sebelum kalian hancur hanya karena sifat tersebut.” (HR. Bukhari)

[18] Tarmizi Taher, Berislam Secara Moderat, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), hlm. 144-146.
[19] Mujamil Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia? Kajian Komprehensif atas Arah Sejarah dan Dinamika Intelektuaal Islam Nusantara, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2012), hlm. 155-156.
[20] Ibid...hlm. 158.

CORAK PEMIKIRAN ISLAM PADA MASA MODERN

I. PENDAHULUAN
Setelah sebelumnya peradaban Islam mengalami masa keemasan Islam pada masa pertengahan, yang ditandai dengan kerajaan-kerajaan Bani Umayyah dan Bani Abasiyah, maka setelahnya adalah masa kemunduran yang sempat mewarnai setelahnya, hingga sampailah pada masa modern.
Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, intuisi-intuisi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbukan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki agama Islam, terutama sesudah pembukaan abad ke 19 M, yang dalam pemikiran Islam dipandang sebagai permulaan periode modern. Kontak dengan dunia Barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan sebagainya.[1]
Maka dari itu, kami akan mengulas materi pemikiran Islam pada masa modern, sebagai bentuk umat Islam atas bangkitnya setelah terjadi masa kemunduran.

II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa Saja Peristiwa-peristiwa Penting yang Mempengaruhi Pemikiran Islam Pada Masa Modern?
B. Bagaimana Corak Pemikiran Islam dalam Bidang Teologi, Filsafat, dan Politik yang Berkembang Pada Masa Modern?

III. PEMBAHASAN
A. Peristiwa-Peristiwa Penting Yang Mempengaruhi Pemikiran Islam Pada Masa Modern
Periode Modern (1800 M dan seterusnya) merupakan zaman kebangkitan umat Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat menginsafkan dunia Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Raja-raja dan pemuka-pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Di periode modern inilah timbul ide-ide pembaharuan dalam Islam.[2]
Periode ini memang merupakan zaman kebangkitan kembali Islam, setelah mengalami kemunduran diperiode pertengahan. Pada periode ini mulai bermunculan pemikiran pembaharuan dalam Islam. Gerakan pembaharuan itu paling tidak muncul karena dua hal. Pertama, timbulnya kesadaran di kalangan ulama bahwa banyak ajaran-ajaran asing yang masuk dan diterima sebagai ajaran Islam. ajaran-ajaran ini bertentangan dengan semangat ajaran Islam yang sebenarnya, seperti bid’ah, khurafat dan tahayyul. Ajaran-ajaran inilah, menurut mereka yang membawa Islam menjadi mundur. Oleh karena itu mereka bangkit untuk membersihkan Islam dari ajaran atau paham tersebut. Kedua, pada periode ini barat mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban. Persentuhan dengan barat menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan ketertinggalan mereka. Karena itu, mereka berusaha bangkit dengan mencontoh barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban untuk menciptakan balance of power.[3]
Sepanjang 12 abad pertama sejarahnya, Islam hidup dengan kesadaran penuh terhadap kebenaran dan realisasi janji tuhan kepada kaum muslimin, bahwa mereka akan menang apabila mereka mengikuti agama-Nya. Mereka menang di dunia ini, terlepas dari perang Salib dan penaklukan singkat atas dunia Islam oleh bangsa Mongol, lantaran mujahidin perang Salib kalah dengaan cucu Hulagu Khan, Uljaitu, menganut agama Islam dan dalam kenyataannya telah menjadi penyokong bagi pengetahuan Islam dan seni.
Sesudah itu datanglah penaklukan atas berbagai kawasan Islam oleh bangsa-bangsa Inggris, Prancis, Belanda, Rusia, belum lagi penaklukan sampingan oleh bangsa-bangsa Portugis dan Spanyol. Walaupun kaum muslimin semula agak enggan terhadap signifikasi jangka panjang kejadian-kejadian ini, akan tetapi, penaklukan Napoleon atas Mesir menimbulkan satu kejutan yang membuat pemimpin-pemimpin muslim sadar akan dimensi dan makna penaklukan barat atas Islam.[4]
Selain itu, ketika tiga kerajaan besar Islam sedang mengalami kemunduran di abad ke-18 M, Eropa barat mengalami kemajuan dengan pesat. Kerajaan Safawi hancur di awal abad ke-18 M dan kerajaan Mughal hancul pada awal paro kedua abad ke-19 M di tangan Inggrisyang kemudian mengambil alih kekuasaan di anak benua India. Kekuatan Islam terakhir yang masih disegani oleh lawan tinggal lagi Kerajaaan Usmani di Turki. Akan tetpi yang takhir ini pun terus mengalami kemunduran demi kemuduran, sehingga dijuluki dengan the sick man of Europa. Kelemahan kerajaan-kerajaan Islam itu menyebabkan Eropa dapat mencaplok negeri-negeri Islam dengan mudah.[5]
Dengan demikianlah timbul apa yang disebut pemikiran dan aliran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam. Para pemuka Islam mengeluarkan pemikiran-pemikiran bagaimana caranya membuat umat Islam maju kembali sebagaimana keadaannya pada periode klasik. Usaha-usaha kearah itupun mulai dijalankan dalam kalangan umat Islam, namun pada dalam periode modern ini, barat juga bertambah maju, sehingga sering terjadi perbenturan antara peradaban barat dan peradaban Islam, yang sekarang populer disebut dengan Al-Ghazwah Al-Fikriyah.[6]

B. Corak Pemikiran Islam Dalam Bidang Teologi, Filsafat, Politik, Yang Berkembang Pada Masa Modern
1. Teologi
Pemikiran teologi Abduh mempunyai dimensi yang sangat luas apalagi jika dikaji sampai detail-detail masalah dan dibahas dan argumen-argumen yang diajukan. Pemikiran Abduh sudah banyak yang ditulis ada yang sifanya pengenalan, pembahasan secara sederhana dan ada pula yang cukup mendalam. Istilah yang digunakan oleh Abduh dalam teoliginya adalah ilmu tauhid yang menurutnya adalah suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib pada-Nya, sifat-sifat yang jaiz dan yang muhal. Disamping itu juga membahas para Rasul Allah, bagaimana meyakinkan kerasulan, meyakinkan apa yang wajib bagi mereka apa yang boleh dan apa yang terlarang menghubungkannya.
Ilmu kalam ini belum ada pada zaman Rasulullah dan baru muncul pada periode setelah itu, yaitu sesudah kaum muslimin bersentuhan dengan budaya dan pemikiran yang datang dari luar. Sebagimana dimaklumi, pemikiran keagamaan semasa Rasul hidup masih sangat secderhana dan jelas belulm berkembang. Untuk perekembangan selanjutnya digambarkan oleh Abduh sebgai berikut:
“Selanjutnya sebagian orang yang turut membaiat ‘Ali (Khalifah keempat) menghianati janji-janji mereka. Karena itulah timbul huru-hara perang saudara dikalangan kaum muslimin (perang Jamal dan Shifin), sampai kemudian pemerintah kemudian dipegang oleh Bani Umayyah. Tetapi pembinaan masyarakat Islam telah hancur berantakan dan tali kesatuan yang mengikat mereka telah putus. Dalam pada itu timbul gejala lain yaitu membuat riwayat palsu dan takwil yang macam-macam. Tiap-tiap golongan sudah menjadi sedemikian fanatiknya yang akhirnya memecah belah tubuh umat Islam ke dalam kelompok Syi’ah, Khawarij dan Mutadilin (moderat).”
Kemunculan masalah teologis diangkat pertama kali oleh kaum khawarij. Semula persoalan teologis ini dimaksudkan sebagai justifikasi terhadap sikap dan gerakan oposisi mereka. Namun dalam perkembangnnya kemudian justru masalah-masalah yang dibicarakan kaum khawarij ini mengkristal menjadi problema pemikiran keagaman.[7]
Pada perkembangan berikutnya situasi bertambah kompleks setelah banyak para pengikut agama lain membawa aqidah dan kepercayaan mereka sebelumnya. Mereka ingin sekali mempertemukan ajaran Islam dengna ajaran dan praktek-praktek yang biasa mereka lakukan. Muncullah kemudian problem filosofis tentang perbuatan manusia, apakah ia sebenarnya makhluk bebas atau terikat. Persoalan ini melhirkan kelompok Qodariyah dan Jabariyah dalam aliran teologi Islam.
Masih dalam kaitan masalah yang dipersengketakan oleh dua kelompok diatas, muncullah golongan Mu’tazilah yang dipelopori oleh Washil bin Atha. Mu’tazilah ini menurut Abduh merupakan aliran yang terlalu mencampuradukkan agama dengan pengetahuan luar, sehingga dalam sisi tertentu mereka telah keluar dari kelompok salaf. Jadi kritik Aabduh kiranya tertuju pada pemikiran keagamaan Mu’tazilah yang terlalu berkembang bebas.[8]
Ide-Ide Pembaharuan Muhammad Abduh
Pokok yang mendasari pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh sangat berkaitan dengan corak teologi yang dianutnya. Para penulis terdahulu berbeda pendapat dala menlai corak teologi mana yang dianut oleh Muhammad Anduh. Penilitian terakhir yang dilakukan oleh Harun Nasution, menunjukkan bahwa teologi Muhammad Abduh bercorak rasional, dekat dengan teologi Mu’tazilah yang mempercayai hukum alam. Kecenderungan Muhammad Abduh kepada teologi Mu’tazilah dapat dilihat dalam buku karangannya yang berjudul Hasyiah ‘Ala Syarh al-Aqaid al-Dawani li al-Adudiyah yang diterbitkan oleh Al- Matba’ah al-Khairiyah di Kairo tahun 1905.
Dengan teologi rasional itulah ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh mempunyai ruang gerak yang lebih luas, dibawah sikap rasional dan paham kebebasan manusia ide pembaharuannya bercorak dinamis, dan mempunyai arti penting bagi kemajuan umat Islam pada zaman modern. Dengan kata lain, gagasan utama pembaharuannya berangkat dari asumsi dasar bahwa semangat rasional harus mewarnahi sikap fikir mayarakat dalam memahami ajaran Islam. Jika semangat ini ditumbuhkan, kecenderngan taklid dan menutup pintu ijtihad dapat dikikis.[9]
2. Filsafat
Islam adalah pewaris warisan Filosofikal dari dunia Mediteranian dan anak benua India. Ia mengalih bentuk warisan ini dalam pandangan dunia Islam dan sesuai denngan semangat dan simbol tertulis Al-Qur’an, dan melahirkan serangkaian besar madzhab-madzhab intelektual dan filosofikal. Tradisi ini melahirkan intelektual-intelektual besar semisal, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Ghazali dan sebagainya yang beberapa diantaranya dikenal di barat dan beberapa yang lain baru sekarang dikenal di luar dunia Islam.
Sewaktu dunia Islam untuk pertama kalinya bertemu barat pada abad ke-19 M di negeri-negrei seperti Mesir, Persia, Turki dan anak benua India, tradisi intelektual yang ada di setiap kawasan menampakkan reaksi sesuai dengan kondisi-kondisi lokal tetapi dalam konteks umum tradisi intelektual universal Islam. Pengaruh filsafat barat disetiap kawasan dunia Islam bergantung pada bentuk kolonialisme yang kebetulan mondominasi di suatu kawasan tertentu. Kalangan modernis di anak benua India misalnya terdominasi oleh filsafat inggris periode Victorian. Sebaliknya kelompok-kelompok modernis di Iran yang menaruh minat pada bahasa dan kebudayaan Perancis untuk dapat melepaskan pengaruh-pengaruh Inggris dan Rusia dari Utara dan Selatan tergila-gila pada Descartes dan selanjutnya filsafat Cartesian dan juga pada positivism comtian abad ke-19.[10]
Kekecewaan dengan peradaban Barat modern, ketidaktentuan masa depan, serta keperluan kembali ke inti agama telah menyebabkan banyak orang terutama kalangan akademis memeriksa ulang Sufisme lalu menyulut minat kepada pengajarannya. Akhirnya kekuatan-kekuatan yang sama telah membimbing banyak orang kepada penemuan kembali filsafat islam sendiri dan pada gilirannya kebangkitan kembali filsafat itu, terutama di wilayah Iran. Kebangkitan-kebangkitan kembali pemikiran Islam dalam bermacam-macam gaya pun teramati disebagian besar di negeri Muslim antara lain: Dunia Arab, Arab bagian Timur yaitu Mesir dan Syiria adalah dua pusat terbesar aktifitas cultural dan filosofikal pada abad ke 20. Banyak tokoh-tokoh yang masyhur sebelum dan sesudah perang dunia ke-2, semisal Abu Halim Mahmud, Ustman Amin, Ibrahim Madkour, dll. Hampir semua tokoh menaruh minat pada kebangkitan filsafat Islam serta perjumpaannya dengan pemikiran Barat. Semenjak perang Dunia ke-2 tujuan membangkitkan kembali pemikiran Islam telah digabungkan dengan suatu gerakan penting yaitu penerjemahan filsafat Barat ke dalam bahasa Arab.[11]
Kebangkitan kembali pemikiran Islam cenderung bernada puritanical yang mengikuti aliran Wahabi-Salafi periode awal atau dengan sufisme yang juga menjadi sasaran penting kebangkitan kembali selama beberapa tahun di Mesir. Di Lebanon, Fokus kegiatan filosofikal yang lebih modern daripada Syiria dan Mesir. Lebanon berusaha memainkan jembatan antara Barat dan dunia Islam. Sepanjang dekade terakhir ini ada cendekiawan-cendekiawan Lebanon baik muslim maupun Kristen seperti Umar Farrukh, Hasan sha’b, Kamal al-Yaziji, dll, yang berkepedulian dengan pengkajian atas filsafat Islam. Di Irak, Irak telah menghasilkan aneka sarjana terkenal yang mengawinkan kedua jenis disiplin itu, yang Islami dan bercorak Eropa. Sarjana-sarjana ini meliputi: Baqir al- Shadr, Kamil al-Syaybi, Husayn Ali Mahfuzh, dan terutama Muhsin Mahdi yang telah memberikan konstribusi yang berharga pada kajian atas al-Farabi dan Ibn Khaldun. Ada pula upaya-upaya untuk menelaah filsafat pendidikan Islam terutama oleh Fadzil al-Jamali.
Di Iran, Filsafat Islam terus berkembang sebagai tradisi yang hidup sesudah apa yang dikenal dengan Abad Tengah dan terus bertahan sampai dewasa ini. Semenjak akhir perang Dunia ke-1 filsafat eropa terutama aliran Prancis yang diidentifikasi dengan tokoh-tokoh seperti Descartes dan lebih belakangan Bergson, berpengaruh di kalangan kelas-kelas akademis khusunya di universitas-universitas dan akademi-akademi modern. Diantara tokoh-tokoh tradisional yang paling aktif dalam kebangkitan kembali filsafat Islam di Iran, orang dapat menyebut Sayyid Abu al-Hassan Qazwini, Sayyid Muhammad Khazim ‘Ashshar, dll.[12]
3. Politik
Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 memperlihatkan sosok buram wajah dunia Islam. Hampir seluruh wilayah Islam berada dalam genggaman penjajah Barat. Dalam internal umat Islam sendiri, emahaman keagaman mereka yang tidak antisipatif terhadap berbagai permasalahan membuat merka semakin jauh tertiggal menghadapi Hegemomi barat. Umat Islam lebih mengandalkan pemahaman ulama-ulama masa lalu daripada melakukan terobosan-terobosan baru untuk menjawab permaalahn-permasalahan yang mereka hadapi.
Dalam politik, dunia Islam mulai bersentuhan dengan gagasan-gagasan pemikiran barat. Sebelumnya, pada masa klasik dan pertengahan, umat Islam dapat dikatakan mendominasi percaturan polotik internasional. Dinasti-dinasti Islam silih berganti naik ke puncak kekuasaan politik. Namun keadaan berbalik pada masa modern. Kekalahan-kekalahan dari dinasti Bani Usmani dari Barat membuat rasa percaya diri Barat semakin tinggi. Hal ini di tambah lagi dengan capaian ilmu pengetahuan dan teknologi Barat dapat menguasahi dunia Islam. Pada masa modern, hampir seluruh dunia Islam mengalam pejajahan Barat.[13]
Salah satu pemikir politik Islam masa modern yaitu Muhamma Abduh. Pada ,masa Abduh dunia Islam menngalami penjajahan dan kolonialisme oleh negara-negara Barat. Hampir tidak ada wilayah Islam yang terbebas dari penjajahan Barat. Meir ysng merupakan negara Abduh juga mengalami penjajahn dari Perancis dan Inggris. Karena itu, Abduh jaga merasa terpannggil untuk menentang kehadiran kolonialisme Barat di negaranya dan dunia Islam umumnya.
Abduh sangat membenci kehadiran bnagsa Barat, namun juga meyesalkan sikap penguaasa-penguasa muslim dan ulama yang memberi mereka kesempatan pada bangsa-bangsa Barat unutk menguasai mereka. Menurut Abduh, kehadiran bangsa-bangsa Barat tidak hanya meguasai dunia Islam, tetapi juga mengembangkan sistem nilai mereka, seperti dalam bidang sosial, politik, pendididkan, budaya dan hukum, terhadap umat Islam. Dalam lapangan sosial politik, bangsa Barat berusaha memaksakan kehendak mereka. Dibidang pendidikan, lembaga-lembaga pendidikan Barat yang memisahkan antara pendidikan agama dan umum menjadi fenomena di dunia Islam.[14]
Kepada penguasa-penguasa muslim yang depotis, Abduh juga mengarahkan kecaman pedasnya dan memandang mereka sebagai antek-antek imperealis Barat yang berkonspirasi menindas rakyat. Menurutnya, pemimpin muslim menyandang gelar tinggi seprti sultan atau pangeran, hidup mewah, dan berupaya mencari perlindungan dari pemerintahan asing non- muslim untuk memperkuat dirinya dalam menghadapi rakyatnya sendiri. Pemimpin seperti ini menjadi penyebab pula bagi kehancuran akhlak di dalam masyarakat. Mereka menjadi pemimpin yang otoriter.
Kondisi ini diperparah oleh kebodohan ahli fiqih. Mereka tidak memahami poliltik dan bergantung kepada penguasa, sehingga tidak memepertanggung jawabkan kekuasaannya. Hal ini disebabkan karena umat Islam sudah terasuki oleh paham-paham keagamaan yang berasal dari luar Islam.
Pandangan Abduh terihat moderat. Ia tidak serta merta menolak Barat. Nilai-nilai demokrasi yang menghendaki adanya kontrol terhadap kekuasaaan dan diwujudkannya melalui lembaga perwakilan dapat diterimanya. Namun, Abduh sangat menolak umat Islam yang mencari sistem hukum yang tidak sejalan dengan tradisi budaya dan masyarakatnya. Menurut Abduh, hukum yang akan dijalankan untuk masyarakat haruslah yang sesuai dengan kepribadian masyarakat itu sendiri.[15]

[1]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2001), hlm. 3.
[2] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam ..., hlm. 6.
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 173-174.
[4] Seyyed Hossen Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Moderen), (Bandung: PUSTAKA, 1986), hlm. 78-77.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam ..., hlm. 174.
[6] Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003), hlm. 230-231.
[7] Ahmad Amir Aziz, Pembaharuan Teologi, (Jogjakarta: Teras, 2009), hlm. 28.
[8] Ahmad Amir Aziz, Pembaharuan Teologi, ..., hlm. 30.
[9] Ris’an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 102-103.
[10] Seyyed Hossen Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Moderen), ..., hlm. 186-187.
[11] Seyyed Hossen Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Moderen) ...hlm. 189.
[12] Seyyed Hossen Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Moderen) ...hlm. 196.
[13] Muhammad Iqbal dkk, Pemikir Politik Islam (Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer), (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 56.
[14] Muhammad Iqbal dkk, Pemikir Politik Islam (Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer), ..., hlm. 72.
[15] Muhammad Iqbal dkk, Pemikir Politik Islam (Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer), ..., hlm. 74-75.