Senin, 16 Juni 2014

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN

Indonesia belum memiliki pengalaman sebagai pusat peradaban islam. Selama ini, umat islam Indonesia menjadi konsumen terhadap pemikiran-pemikiran islam produk para pemikir islam dari mesir, iran, india-pakistan, dan barat. Mereka telah mengekspresikan pemikiran meraka kedalam buku-buku maupun jurnal, baik berbahasa arab maupun inggris, sehingga terdistribusi ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Indonesia. Dengan demikian, pemikiran-pemikiran mereka bisa diserap dan diadaptasi oleh umat islam Indonesia.[1]

Walaupun begitu, ada beberapa hal yang merupakan kelebihan atau kekuatan umat islam Indonesia yang dapat dijadikan sebuah model atau teladan bagi umat islam di Negara-negara lain, khususnya yang berada pada Negara-negara Muslim.

Keteladanan tersebut, Prof. Dr. Mujamil Qahar menyebutkan dalam bukunya “Fajar Baru Islam Indonesia”, yaitu :Pertama: moderasi pemikiran dan tindakan, Kedua: bersikap toleran terhadap pemeluk agama lain, ketiga: ketahanan hidup dalam pluralism, keempat: kehidupan demokrasi, dan kelima: pendekatan kultural dalam memahami dan menjalani agama.

Demikian merupakan keteladanan umat islam Indonesia yang bisa dicontoh umat islam lainnya dinegeri mereka masing-masing. Betapapun, keteladanan ini mesti muncul setelah melalui tahapan pemikiran. Maka kita perlu menelusuri karakteristik pemikiran islam Indonesia agar pemahaman kita terhadap islam Indonesia semakin utuh, terpadu, dan komprehensif.

II. RUMUSAN MASALAH

A. Pemikiran islam fundamental
B. Pemikiran islam moderat
C. Pemikiran islam liberal

III. PEMBAHASAN

A. Pemikiran Islam Fundamental

Istilah fundamentalis sebenarnya berasal dari barat.Penggunaan istilah ini terkait dengan gerakan dibawah Kristen protestan di Amerika pada awal abad ke-20. Istilah fundamentalis atau sering disebut fundamentalisme memiliki kesamaan dengan berbagai istilah, yaitu fanatisme, islam garis keras, radikalisme, bahkan ada yang menyudutkan menjadi terorisme.[2]

Istilah Islam fundamentalis dapat dimaknai Islam yang dalam pemahaman dan prakteknya bertumpu pada ha-hal yang bersifat asasi atau mendasar. Pemahaman secara kebahasaan yang demikian ini mengandung pengertian, bahwa yang dimaksudkan Islam fundamentalis adalah gerakan atau paham yang bertumpu pada ajaran mendasar dalam Islam, teutama terkait dengan rukun Islam dan Iman. Apabila ditinjau dari segi kebahasaan ini, maka semua aliran atau paham yang menjadikan rukun Iman dan Islam sebagai ajaran utama, maka mereka termasuk pada kelompok ini.Bahkan tiga aliran besar di dunia, seperti Sunni, Syi’ah dan Ahmadiyah juga menjadikan ajaran tersebut sebagai dasar pijakan dalam beragama.[3]

Untuk itu kita perlu mengenali ciri-ciri utama yang mendasari pandangan fundamentalisme dan menganalisis implikasinya pada pendirian dan gerakan mereka. Ciri utama fundamentalisme adalah interpretasi meraka yang rigid dan literalis terhadap doktrin agama. Ini dilatarbelakangi oleh beberapa factor diantaranya:

1. Penafsiran seperti itu penting menurut mereka demi menjaga kemurnian doktrin dan pelaksanaannya

2. Diyakini bahwa penerapan doktrin secara utuh merupakan satu-satunya cara dalam menyelamatkan manusia dari kehancuran.[4]

Menisbatkan kemunculan fundamentalisme islam semata-mata reaksi terhadat gerakan fundamentalisme barat dan menyebutnya sebagai satu- satunya pertumbuhan gerakan-gerakan islam, termasuk fundamentalisme kuranglah tepat dan perlu dilakukan kajian. Ini cenderung bersifat apologetic sekaligus mendiskreditkan islam sebagai kelompok yang tidak berdaya dihadapan hegemoni dan penetrasi barat, sekaligus mengsimplifikasikan gejala sosio-histiris kaum muslimin.[5]

Sebagai sebuah fenomena keagamaan, kemunculan fundamentalisme tidak bisa dilepaskan dari fenomena social, budaya dan polotik. Tumbuhkembangnya fundamentalisme keagamaan, diakui sebagai sebuah alternative yang belakangan khususnya di Indonesia mendapat respon dan antusiasme demikian tinggi terutama dikalangan mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi umum maupun beberapa perguruan tinggi agama, serta komunitas muslim terdidik-proffesional di perkotaan.[6]

Dalam konteks islam, gerakan fundamentalis itu berarti melawan amerika dan sekutu-sekutunya, termasuk Negara muslim yang menjadi sekutunya. Gerakan ini melawan kepentingan-kepentingan amerika dan sekutu-sekutunya yang tersebar dimana-mana diseluruh dunia, termasuk kepentingan-kepentingan yang berada dinegara-negara muslim. [7]

Ketika fundamentalisme keagamaan disuguhkan secara damai, mungkin akan terasa menyejukkan dan tidak akan banyak menimbulkan pergolakan. Namun sebaliknya, ketika fenomena fundamentalisme tersebut ditampilkan dalam “wajah Keras”, akan sangat potensial menimbulkan resistensi, cibiran bahkan empati setengan hati dari kelompok islam mainstream.

Maraknya pemikiran dan gerakan fundamentalis di Indonesia ini, terjadi setelah tumbangnya razim orde baru atau pada era revormasi.Kenyataan ini menunjukan bahwa, rezim orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto, tidak memberi peluang bagi pertumbuhan dan perkrmbangan kelompok-kelompok Islam radikal. Control pemerintah orde baru sangat ketat terhadap persemaian kelompok-kelompok tersebut, mulai dari embrio yang sekecil sekalipun. Akhirnya, para tokoh kelompok-kelompok tersebut melakukan gerakan “tiarab” dan sebagian eksodus ke luar negeri.

Berbeda dengan orde baru, era reformasi merupakan era antithesis terhadap era yang dibangun Soeharto tersebut, sehingga kran demokrasi dibuka seluas-luasnya untuk memenuhi tuntutan-tuntutan rakyat yang disorakan mahasiswa dan para tokoh revormasi.

Bersamaan dengan kebebasan suara, berpendapat, bahkan berserikat dalam era revormasi itulah, kelompok-kelompok islam garis keras berrmunculan. Era reformasi merupakan era yang paling subur bagi pertumbuhan dan perkembangan islam garis keras di Indonesia. Hal ini, tidak bisa dimaknai secara salah bahwa era reformasi menghendaki kehadiran kelompok-kelompok tersebut. Pemahaman yang benar adalah kehadiran kelompok-kelompok tersebut sebagai konsekuensi logis atau dampak langsung yang tidak bisa dihindarkan dari kebijakan politik makro era reformasi.[8]

B. Pemikiran Islam Moderat

Sebagai istilah untuk penggolongan corak pemikiran dan gerakan istilah “Islam moderat” diperlawankan dengan istilah lain, yaitu Islam radikal. Islam moderat, dalam pengertian yang lazim kita kenal sekarang, adalah corak pemahaman Islam yang menolak cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh kalangan lain yang menganut model Islam radikal. Tawfik Hamid (2010), seorang mantan anggota kelompok Islam radikal dari Mesir, al-Jamaah al-Islamiyyah, mendefinisikan Islam moderat sebagai Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi

Pengertian Islam moderat juga dirumuskan oleh Dr. Moqtedar Khan , ia memperlawankan istilah Islam moderat terhadap Islam radikal. Perbedaan antara keduanya, menurut dia, adalah bahwa yang pertama lebih menekankan pentingnya prinsip ijtihad dalam pengertian yang lebih luas, yaitu kebebasan berpendapat (dengan tetap bersandar pada sumber utama dalam Islam, yaitu Quran dan Sunnah), sementara yang kedua lebih menekankan konsep jihad (perang suci).[9]

Islam Moderat, kelompok ini sebenarnya di Indonesia merupakan kelompok dominan, tetapi oleh kelompok radikal sering dikatakan sebagai kelompok “ Islam Banci” sebab tidak memiliki ketegasan tatkala berhadapan dengan orang yang beragama lain, terhadap sikap israil ( Yahudi) dan nasrani atas umat Islam indonesia. Kelompok Islam moderat ini bisa dirujukan kepada dua pengikut organisasi Islam terbesar di Indonesia Muhamadiyah dan NU, terutama pada masa kepemimpinan Buya Syafii Ma’arif dan Abdur Rahman Wahid.

Namun demikian pada saat ini, sebagian dari para pengikut Muhamadiyah dan NU telah terjangkit “ virus tarbiyah” dan salafi sampai wahabi sehingga gerakan militan Islam dalam Muhamadiyah dan NU juga semakin mendapatkan tempatnya. Namun begitu, kita masih bisa berharap pada Muhamadiyah dan NU tatkala dua ormas islam terbesar ini mampu menjadi “ payung kebangsaan” yang sering disebut sebagai payung kultural bagi bangsa indonesia. Akan tetapi, apabila Muhamadiyah dan NU juga terjebak dalam tarikan- tarikan pragmatis – politik maka Muhamadiyah dan NU menjadi sulit untuk diharapkan sabagai “ payung kebangsaan” sebagaimana Buya Syafii ma’arif kehendaki ketika itu[10]

Setiap modernis dalam melontarkan gagasan-gagasannya tampaknya senantiasa berangkat dari keprihatinannya terhadap keterbelakangan umat Islam dibanding dengan masyarakat modern barat, dan seterusnya mencari jalan pemecahan untuk membawa umat Islam itu kepada itu kepada kemajuan. Mereka melihat umat Islam itu demikian terbelakang disebabkan tangan dan kakinya terikat kuat oleh sikap taklid pada pemahaman para pendahulu terhadap agama. masyarakat Islam pada umumnya seolah-olah menerima begitu saja klaim para pendahulunya terhadap agama nyaris tidak pernah mempertanyakan keabsahan klaim tersebut.

Maka untuk memajukan umat Islam itu, pada umumnya para pembaru melakukan usaha dalam dua tahap. Tahap pertama, mereka manggagas dilakukannya ijtihad dalam menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam di abad modern. Tahap kedua, mereka menggagaskan peminjaman (borrowing) peradaban barat yang dipandang mendapat legilasi dari ajaran agama yang bersifat dasar.

Dalam menggagas ijtihad, tampaknya tidak ditemukan perbedaan pendapat di kalangan para pembaru Islam. Akan tetapi dalam peminjaman peradaban barat, ditemukan perbedaan visi di kalangan mereka. Secara garis pendapat mereka dapat dikelompokkan kepada tiga. Pertama,sikap paling liberal, yang berkeyakinan bahwa untuk kemajuannya, umat Islam harus meminjam peradaban barat secara keseluruhan. Kedua,visi yang tradisional, yang berkeyakinan bahwa untuk meraih kemajuannya, umat Islam tidak perlu meminjam peradaban barat, akan tetapi mereka harus membangun sendiri peradabannya berdasarkan ortodoksi Islam sendiri, sebab kitab suci Al-Qur’an telah mencakup petunjuk yang dibutuhkannya untuk membangun peradaban ini. Ketiga,visi sintetik, berkeyakinan bahwa di dalam Al-Qur’an tidak terdapat petunjuk yang rinci mengenai bagaimana cara membangun peradaban. Kitab suci ini hanya memuat prinsip-prinsip dasar yang dapat dipedomani untuk membangun sebuah peradaban Islam. Untuk itu umat Islam diperkenankan meminjam peradaban yang dapat menumbuhkembangkan prinsip-prinsip universal yang diajarkan kitab suci.[11]

C. Pemikran Islam Liberal

Definisi dari Islam Liberal sebagai kelompok yang secara kontras berbeda dengan Islam adat dan Islam revivalis yaitu Islam Liberalis menghadirkan masa lalu dalam konteks modernitas, dan menyatakan behwa Islam jika dipahami secara benar maka ia akan sejalan dengan liberalism barat.Prinsip dari Islam Liberal, yakni memberikan ruang pada setiap orang untuk mengekspresikan pikiran dan sikapnya tentang agamanya (Islamnya), tanpa harus diuniformasikan.[12]

Liberalisme adalah sebuah ajaran tentang kebebasan.Secara politik liberal menimbulkan gambaran seperti perjuangan yang revolusioner, runtuhnya kaum penindas dan tegaknya orde sosial yang baru. Dalam hubungannya dengan pembangunan, liberal berarti kemenangan akan hak-hak istimewa, atas kemacetan dan ketrgantungan. Gerakan liberalisme Islam berupaya merekonstruksi semua doktrin agama dan tradisi, termasuk sejarah, sejalan dengan pertumbuhan dan martabat manusia.Dasar berfikir mereka bukan lagi formalitas doktrin, malainkan berangkat dari kemaslahatan.

Pemikiran liberalisme adalah model pemikiran yang berusaha melakukan interpretasi baru atas doktrin agama ( islam ) Al Qur’an dan sunah. Peletak dasar pemikiran liberal islam di Indonesia adalah Nurcholis madjid , Djohan Effendy, Abdurrahman Wahid. Mereka intelektual muda yang berlatar belakang dari NU muhammadiyah dan aktivis NGO sebagai orang yang berada dalam posisi terdepan dalam mengembangkan pemikiran islam di Indonesia. Berkembangnya liberal islam di indonesia memang masih “bayi”. Tetapi liberal islam indonesia sudah berpengaruh sangat besar terutama di kalangan menengah santri, sebagai bentuk baru dari islam populer, sebuah islam yang tidak teramat ketat dengan syariah. Dengan lain perkataan, bisa disampikan bahwa liberal islam telah menghadirkan cara baru dalam beragama, ditengah masyarakat yang pluralistik , semakin terbuka dan moderen.[13]

Gerakan Islam Liberal ini tentu saja banyak mendapatkan kritikan dari berbagai pihak, teruatama bagi mereka yang ingin tetap menjaga ajaran Islam dari pengaruh paham-paham Barat yang cenderung liberal dalam memahami teks agama. Pemikiran Islam Liberal telah dianggap menodai ajaran islam, karena kitab suci dianggap sebagai produk budaya, sehingga sakralitasnya pun menjadi nihil.[14]

Berkaitan dengan metodologi berpikir Islam Liberal, tampaknya mereka adalah kelompok yang berusaha melakukan interpretasi baru atas doktrin agamanya ( Islam ) Al-Qur’an dan As-Sunnah atau hadist, interpretasi atas sejarah sosial dan kontek sosial masyarakat Islam berdasarkan ilmu bahasa, kritik sejarah, dan studi ilmu-ilmu sosial. Untuk mensosialisasikan pemikirannya mereka menggunakan media massa nasional Jawa Pos, serta menrbitkan artikel setiap minggu pada harian tersebut dan menrbitkan buku[15]

Seiring dengan era reformasi, di mana keran demokrasi terbuka seluas-luasnya untuk menjamin kebebasan bersuara, berbicara, berpendapat, dan berserikat, maka telah muncul secara beruntun organisasi-organisasi Islam garis keras, seperti MMI, FPI, Laskar Jihad Ahlussunnah wal Jama’ah, dan HTI, pada gilirannya mendorong tampilnya kekuataan Islam Liberal dalam bentuk yang lebih formal dan terorganisasi berupa Jaringan Islam Liberal (JIL) yamg di koordinasi oleh Ulil Abshar Abdalla.

Islam liberal merupakan suatu bentuk penafsiran baru, tetapi juga tidak benar-benar “baru”, atas agama Islam dengan wacana berikut:

1. Keterbukaan pintu Ijtihad

2. Penekanan pada semangat religio-etik, bukan pada makna liberal sebuah teks

3. Kebenaran yang relatif, terbuka, dan plural.

4. Pemilihan pada yang minoritas dan tertindas.

5. Kebebasan beragama dan berkepercayaan

6. Pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.

Nama “Islam Liberal” menggambarkan prinsip yang dianut yaitu: Islam yang menekankan “ kebebasa Pribadi” (sesuai dengan doktrin kaum mu’tazilah tentang kebebasan manusia) dan “ pembebasan” struktur sosial politik dari dominasi yang tidak sehat dan menindas. Konsep kebebasan berkehendak (free will) dan kebebasan berbuat ( free act ) sebagai ajaran aliran qadariyah yang kemudian diadopsi oleh mu”tazilah, secara rasional dapat menjadi lokomotif kemajuan umat Islam dan tentu berikut peradabannya.[16]


                                             
[1] Mujamil Qamar, Fajar Baru Islam Indonesia, ( Bandung: MIZAN, 2012). Hal.1
[2] Mujamil Qamar, Fajar Baru Islam…,hal. 119
[3]Nur Mukhlish Z, http://ppmidkta.wordpress.com/2012/10/08/peta-gerakan-pemikiran-islam-kontemporer-di-indonesia/. Minggu, 18 mei 2014/pukul 14.57
[4] Syahrin Harahap, Islam Dinamis; Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al-Qur’an dalam Kehidupan Modern di Indonesia, ( Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997). Hal.234-235
[5] Qodri Azizi, dkk. Pemikiran Islam Kontenporer Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005). Hal.192
[6]Umi sunbullah, Konfigurasi Fundamentalisme Islam. ( Malang: UIN- Malang Press, 2009), hal. 1-2
[7]Mujamil Qamar, Fajar Baru Islam... hal. 120
[8]Mujamil Qamar, Fajar Baru Islam…, hal. 123
[9]M. Mukhsin Jamil, http://mukhsinjamil.blog.walisongo.ac.id/2013/12/20/islam-moderat/, rabu, 4 Juni 2014/07.40
[10]Zuly Qodir, Gerakan Sosial Islam, ( Yogyakarta:, pustaka belajar, 2009), Cet. 1, hlm. 93
[11]Syahrin Harahap, Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-Nilai Ajaran Al-Qur’an Dalam Kehidupan Modern Indonesia, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997), hlm. 179-180)
[12] Zuly Qodir, Islam Liberal Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 72-74
[13]Zuly Qodir. Islam Liberal : Paradigma Baru Wacana dan aksi Islam Indonesia ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003 ) , Cet 1, hlm. 80
[14]Nur Mukhlish Z, http://ppmidkta.wordpress.com/2012/10/08/peta-gerakan-pemikiran-islam-kontemporer-di-indonesia/. Minggu, 18 mei 2014/pukul 14.57
[15]Zuly Qadir, Islam Liberal Paradigma ..., hlm 41
[16]Mujamil Qomar, Fajar Baru islam … hlm. 135-137.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar