Senin, 16 Juni 2014

PEMIKIRAN ISLAM MASA PERTENGAHAN (1250-1800 M)

I. PENDAHULUAN

Pada masa klasik umat Islam telah mengukir prestasi yang gemilang. Mereka telah berhasil mencapai kejayaan diberbagai bidang peradaban. Kejayaan ini memantulkan sinarnya ke seantero dunia yang berasal dari Timur dan Barat. Poros Timur berpusat di Baghdad sedangkan poros Barat berpusat di Cordiva Spanyol. Kedua poros itu meskipun berasal dari dua dinasti yang berseteru yaitu Abbasiyah di Timur dan Umayyah di Barat, namun keduanya memiliki komitmen yang tinggi untuk memajukan peradaban Islam.

Pada zaman inilah menghasilkan ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam Ibnu Hanbal dalam bidang hukum, Imam Al-Asy’ari, Imam Al-Maturidi, pemuka-pemuka Muktazilah seperti Wasil bin Ata’, Abu al-Huzail, An-Nazzam, Al-Jubba’i dalam bidang teologi, Zunnun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami dan Al-Hallaj dalam mistisisme atau tasawuf, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Miskawaih dalam falsafat, dan Ibn al-Haisam, Ibn Hayyan, Al-Khawarizmi, Al-Mas’udi dan Ar-Razi dalam bidang ilmu pengetahuan.

Memasuki masa pertengahan pada fase kemunduran dan fase tiga kerajaan besar inilah terjadi kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang.

II. RUMUSAN MASALAH

A. Bagaimana Model Pemikiran Hukum Pada Masa Abad Pertengahan?
B.Bagaimana Prinsip-prinsip Kalam yang dipegangi Masyarakat Islam Pada Masa Abad Pertengahan?
C. Bagaimana Perhatian Umat Islam terhadap Filsafat Pada Masa Pertengahan?
D. Bagaimana Perhatian Umat Islam terhadap Sains Pada Abad Pertengahan?

III. PEMBAHASAN

A. Model Pemikiran Hukum Pada Masa Abad Pertengahan

Hukum islam adalah hukum agama yang bersumber pada wahyu. Wahyu yang datang dari Tuhan Yang Maha Benar bersifat absolut dan mutlak benar. Yang bersifat absolut dan multak benar tidak berubah dan tidak boleh diubah. Ini melahirkan anggapan bahwa hukum islam adalah statis, tidak dapat mengalami perubahan. Dengan kata lain, hukum islam yang disusun belasan abad yang lalu sudah ketinggalan zaman.[1]

Sejak abad ke-10, kaum Muslim telah memiliki kerangka yang semestinya memberdayakan mereka untuk maju dalam berbagai telaah dan mengembangkan keahlian untuk membekali masyarakat dengan jawaban-jawaban tepat atas berbagai pertanyaan. Ilmu-ilmu ini dan tipologinya seharusnya menjadi fondasi, yang hidup untuk pengkajian lebih lanjut. Sayangnya, kerangka ini sering menjadi seperti dinding-dinding penjara intelektual yang mencegah ulama untuk memberikan atau memperkirakan solusi Islam yang orisinal dan akurat untuk problem kontemporer. Selama lebih dari tujuh abad, meskipun ada upaya dari para ulama terkemuka secara terus-menerus, kaum Muslim mengikuti jalan mengikuti jalan peniruan (taqlid) secara membuta tanpa dapat menemukan lagi pesan sejati dan dinamis yang tergantung dalam Al-Qur’an dan Sunnah.[2]

Sebagaimana diketahui wahyu Allah yang disampaikan keapada Nabi terkandung seluruhnya dalam Al-qur’an. Dengan demikian Al-qur’an adalah sumber utama dari agama islam. Dan hukum islam juga memerlukan hadis sebagai sumber keduanya. Ketika Al qur’an dan hadist belum dapat memenuhi kebutuhan para ulama hukum islam, Karena itu mereka pergi pada ijtihad. Ijtihad adalah sumber ketiga dari hukum islam disamping Al qur’an dan hadis.

Dengan demikian keadaan hukum islam, hanya sebagian kecil yang bersifat absolut (Al qur’an dan hadis mutawatir), sedangkan sebagian besar lainnya disebut relative, hasil ijtihad para ulama. Di dalamnya sering dijumpai perbedaan pemikiran antara satu ulama dengan ulama lainnya. Dan perbedaan inilah yang menimbulkan mazhab-mazhab hukum islam. Berbicara tentang mazhab, dikalangan sunni ada emapat mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali, dan masih banyak mazhab lain yang bukan dari kalangan Sunni.

Dapat dilihat bahwa tidaklah benar anggapan kalau hukum islam bersifat statis. Tidak bisa berkembang sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Hakikat hukum islam tidaklah menghendaki keadaan statis, tapi sebaliknya, menghendaki perkembangan. Pada masa lampau hukum Islam memang berkembang. Hanya pernah terjadi dalam sejarah bahwa ijtihad sebagai sumber ketiga yang menjadi pendorong bagi perkembangannya hukum dalam islam, pintunya di anggap tertutup pada abad ketiga belas Masehi. Anggapan inilah yang membuat hukum untuk sementara waktu menjadi statis.[3]

B. Prinsip-Prinsip Kalam Yang Dipegangi Masyarakat Islam Pada Masa Abad Pertengahan

Metode berfikir dalam bidang teologi yang berkembang pada masa ini adalah metode berfikir tradisional. Cara berfikir ini tampaknya, mempengaruhi perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan. Metode berfikir rasional yang dikembangkan oleh aliran teologi Mu’tazilah sudah lama padam. Yang ada adalah metode berfikir tradisional yang dikembangkan oleh aliran teologi Asy’ariyah. Walaupun Asy’ariyah berusaha mendamaikan pemikiran qadariyah yang dinamis dengan jabariyah yang fatalis, tetapi aliran ini tetap terjerumus ke dalam pemikiran jabariyah. Dalam pemikiran Asy’ariyah, perbuatan manusia tidak dipandang efektif, perkembangan sejarah lebih ditentukan oleh perbuatan dan kemahakuasaan Tuhan. Aliran ini berkembang cepat dan dianut oleh mayoritas umat Islam sehingga paham fatalisme dalam Islam menjadi berkembang. Perkembangan metode berfikir seperti ini menyebabkan dinamika umat islam yang terjadi pada masa lalu menurun, digantikan dengan fatalisme. Paham kemerdekaan manusia ditolak dan kepercayaan kepada akal manusia tidak ada lagi.[4]

Pada zaman pertengahan yang merupakan zaman kemunduran, teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiahnya itu hilang dari dunia islam dan digantikan oleh teologi kehendak mutlak Tuhan (jabariyah atau fatalisme), yang besar pengaruhnya pada umat islam di dunia. Mulai dari pertengahan abad ke 12 sampai zaman kita sekarang ini.[5]

C. Bagaimana Umat Islam Kurang Memperhatikan Aspek Filsafat Pada Masa Pertengahan

Filsafat masa pertengahan (479-1492 M) mengalami fase kegelapan. Dimana para ahli fikir saat itu tidak lagi memiliki kebebasan untuk berfikir. Pada masa klasik Islam, kebebasan berfikir berkembang dengan masuknya filsafat Yunani. Namun, kebebasan tersebut ini menurun sejak Al-Ghazali melontarkan kritik tajam terhadap pemikiran filsafat yang tertuang dalam bukunya Tahafut Al-Falasifah. Kritik Al-Ghazali itu memang mendapat bantahan dari filosof besar Islam dan terakhir, Ibnu Rusyd, dalam bukunya Tahafut Al-Tahafud tetapi tampaknya, kritik Al-Ghazali jauh lebih populer dan berpengaruh daripada bantahan Ibnu Rusyd.[6]

Melalui dua kitab yang berlawanan tadi, umat Islam dihadapkan pada dua pola pemikiran yaitu tradisional dan rasional. Pemikiran Al-Ghazali yang berpengaruh terutama di belahan timur, yang mempengaruhi lebih dari dua per tiga umat Islam, sedangkan pemikiran Ibnu Rusyd yang rasional berpengaruh pada umat Islam terutama belahan barat yang tentu jumlahnya sedikit, kurang dari sepertiga. Adanya kenyataan perbandingan ini, secara kuantitatif aliran rasionalisme versi Ibnu Rusyd terkalahkan oleh aliran tradisionalisme versi Al-Ghazali dalam mempengaruhi umat Islam.[7]

Akan tetapi tidak berkembangnya filsafat di dunia Islam Sunni sesudah jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad ke-13 tidaklah bisa diletakkan pada serangan Al-Ghazali terhadap pemikiran para filosof. Karena filsafat tidak berkembang pada abad 13 bukanlah diseluru dunia Islam, tetapi hanya didunia Islam Sunni. Perkembangan yang terjadi di dunia Islam Syi’ah tidak diketahui di dunia Islam Sunni, karena hubungan antara kedua umat Islam Sunni dan Syi’ah selama ini kurang baik.

Tetapi, bagaimanapun sebab tidak berkembangnya filsafat di dunia Sunni harus dicari diluar Tahafut Al-Falasifah. Yang jelas kritik Al-Ghazali tidak dijadikan sebab apalagi Al-Ghazali tidak mengharankan filsafat. Ia sendiri mempelajari filsafat.[8]

D. Rendahnya Perhatian Umat Islam Terhadap Sains Pada Abad Pertengahan

Pada dasarnya Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan dengan memberikan penghargaan besar kepada para pencarinya. Umat Islam tidak hanya memanfaatkan kontribusi intelektual yang telah dilakukan oleh peradaban Romawi, Persia, India, dan Cina, tetapi, mereka sendiri juga memperkaya dan mengembangkan tradisi keilmuannya dalam berbagai bidang sains seperti matematika, fisika, kimia, astronomi, biologi dan kedokteran. Oleh karena itu, tidak heran mereka menduduki tempat terhormat dalam berbagai bidang selama hampir empat abad lamanya, yakni dari pertengahan abad ke-8 hingga pertengahan abad ke 12.[9]

Namun kebanyakan umat Islam belakangan ini tidak tertarik untuk mendalami ilmu pengetahuan, mereka lebih tertarik mengejar kekuasaan dan harta sebanyak-banyaknya. Sementara itu, para penguasa di negara-negara Muslim juga tidak menghargai terhadap para ilmuan, mereka lebih menghargai para olahragawan dan artis. Mereka tidak lagi meniru sikap para khalifah pada zaman kejayaan Islam yang mendorong dan menghargai dengan penghargaan besar terhadap para ilmuan yang menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat.

Kecenderungan tidak menghargai ilmu pengetahuan ini telah jelas telah menyimpang ajaran Islam. Penyimpangan pun tetap dilakukan dalam wilayah pengetahuan atau pemahaman agama dengan melakukan taqlid. Taqlid ini menjadi sumber masalah di dalam masyarakat Islam. [10]

Adapun terjadinya stagnasi dan penyebab sains tidak berkembang yaitu: menurunnya dukungan finansial dari Negara, ketidakberdayaan sektor swasta untuk menanggung beban ini, pemaksaan kaum rasionalis untuk memasukkan pandangan-pandangan mereka yang bertentangan dengan pandangan masyarakat, dibarengi dengan reaksi balik atasnya, telah menceraikan sains dari sekolah-sekolah agama.[11]


                           
[1] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung,: Mizan, 1996), hlm.195.
[2] Tariq Ramadan, Teologi Dialog Islam Barat, (Bandung: Mizan, 2002), Hlm. 65.
[3] Harun Nasution, Islam Rasional..., hlm.194-198.
[4]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. RajagrafindoPersada, 2008), hlm. 152.
[5] Harun Nasution, Islam Rasional..., hlm.116.
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban..., Hlm. 152-153
[7] Mujadil Qomar, Merintis Kejayaan Islam Kedua, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 74.
[8] Harun Nasution, Islam Rasional..., Hlm. 383-384.
[9] M. UmerChapra, Peradaban Muslim, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm.132.
[10] Mujadil Qomar, Merintis Kejayaan..., hlm. 65-66.
[11] M. Umer Chapra, Peradaban Muslim..., hlm.133.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar