Senin, 16 Juni 2014

PEMIKIRAN MANHAJ AHLUL FAILASUF

I. Pendahuluan

Filsafat adalah suatu aktifitas manusia dalam mempergunakan akal pikirannya sebaik mungkin untuk mengetahui dan menjawab secara mendalam segala persoalan.

Filsafat, apapun nama dan bentuknya, adalah keberanian untuk mempertanyakan kebenaran-kebenaran yang dalam pandangan umum telah diyakini kebenarannya. Kalau struktur berpikir dalam ilmu kalam berangkat dari nash kemudian dijustifikasi dengan pemikiran filosofis, maka yang terjadi dalam filsafat adalah sebaliknya. Para filosof Muslim mengambil refleksi filosofis Yunani, baru mempertimbangkannya demi kepentingan Islam dan dijustifikasi dengan nash.

Akan tetapi, apapun hasilnya dan apapun penilaian orang terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh para filosof Muslim, mereka telah mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk membuat sintesa yang harmonis antara agama dan filsafat. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijelaskan tentang “pemikiran manhaj ahl al-failasuf”.

II. Rumusan Masalah

A. Bagaimana Pengaruh Teologi Terhadap Pemikiran Filsafat?
B. Bagaimana Penggunaan Rasio Lebih Banyak Mewarnai Hasil Pemikiran Filsafat?

III. Pembahasan

A. Pengaruh Teologi Terhadap Hasil Pemikiran Filsafat

Teologi sebagai ilmu yang membahas ke-Tuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua persoalan tersebut. Akal sebagai daya berfikir yang ada dalam diri manusia berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.[1]

Hubungan interaksi antara wahyu dan akal merupakan landasan utama bagi tercapainya aspek-aspek doktrinal-teologis, dimana akal merupakan alat utama untuk menginterpretasikan doktrin tersebut. Perlu disadari bahwa hal di atas tidak akan mencapai suatu perkembangan inovatif tanpa adanya kerja sama dengan aspek-aspek kultural-historis. Oleh karena itu, untuk mencapai suatu kebenaran maksimal (bukan berarti final), perlu adanya keterkaitan dan kerja sama antara 3 pendekatan:

1. Doktrinal-teologis.
2. Rasional-filosofis.
3. Kultural-historis.[2]

Sebagaimana filsafat, agama juga membentuk pandangan dunianya sendiri yang berbeda dengan pandangan scientific, dan tidak sama persis dengan filosofis. Bagi agama, misalnya alam semesta beserta isinya bukanlah merupakan realitas-realitas independen apalagi terakhir (ultimet), melainkan “tanda-tanda” kebesaran dan keberadaan Tuhan. Karena alam semesta adalah tanda, mempelajari alam sama dengan mempelajari “jejak-jejak Ilahi”, dan karena itu, pengkajian terhadap alam akan dapat menambah keimanan kepada Tuhan.[3]

Islam adalah agama wahyu, seluruh ajaran yang dibawanya merupakan wahyu dari Allah. Muhammad SAW sebagai Nabi merupakan pribadi yang menerima wahyu dan sebagai Rasul beliau hanyalah sebagai penyampai belaka. Sementara adalah hasil dari kreasi manusia melalui pemikiran rasional dengan bantuan logika. Wahyu dalam Islam, di samping harus disikapi dengan penuh keimanan, dalam beberapa hal ia sendiri memberikan legitimasi kepada akal untuk bekerja secara mandiri. Justifikasi demikian berindikasi bahwa akal manusia sangat diperlukan untuk membuktikan adanya wahyu. Akal merupakan hidayah dari Sang Pemberi wahyu dan wahyu dialamatkan kepada orang-orang yang berakal.[4]

Alam diatur melalui apa yang oleh Al Qur’an disebut sebagai sunnatullah. Sunnatullah berbeda dengan hukum alam (natural law), karena sementara hukum alam tidak mengijinkan suatu pengertian kreatifitas apa pun, sunnatullah memberikannya. Sunnatullah adalah kebiasaan atau cara Allah dalam menyelenggarakan alam. Dalam hukum alam kemungkinan mu’jizat tidak mendapat tempat, sementara dalam sunnatullah kemungkinan tersebut tidak dinafikkan. Kalau hukum alam mengandaikan sebuah aturan yang tidak mungkin dilanggar, dalam sunnah atau adat pelanggaran terhadap kebiasaan tidak menimbulkan suatu yang mustahil.[5]

Filsafat memberi tempat yang sangat istimewa di dalam kosmos, sebab betapa pun kecil ukuran fisik manusia, manusia diangkat oleh Tuhan sebagai wakil-Nya di muka bumi, sebuah kedudukan yang bahakan tidak pernah diberikan oleh filsafat humanisme sekalipun. Bukan itu saja, selain menjadi khalifah, manusia dalam pandangan agama juga diberi wewenang yang luas untuk mengatur dunia dan kehidupannya, asal tidak bertentangan secara diametri dengan kehendak Ilahi.[6]

Pengaruh teologi terhadap pemikiran filosof dapat dilihat dari Al-Kindi yang berpendapat antara filsafat dan agama tidak ada pertentangan. Ilmu tauhid atau teologi adalah cabang termulia dari filsafat. Filsafat membahas kebenaran atau hakikat. Kalau ada hakikat-hakikat pasti ada hakikat pertama (al-haqq al-awwal). Hakikat pertama adalah Tuhan Al-Kindi juga membicarakan jiwa (al-nafs, soul) dan akal. Jiwa manusia memiliki tiga daya, daya bernafsu yang berpusat di perut, daya berani yang berpusat di dada dan daya berfikir yang berpusat di kepala. Daya berfikir inilah yang disebut akal.[7]

B. Penggunaan Rasio Lebih Banyak Mewarnai Hasil Pemikiran Filsafat

Pemikiran filsafat bertumpu pada akal dalam menafsirkan problematika ke-Tuhanan, manusia, dan alam, karena wajib al wujud adalah akal murni. Ia adalah subjek yang berfikir sekaligus objek pemikiran. Akal manusia merupakan salah satu potensi jiwa dan disebut rational soul. Tidak semua pengetahuan diwahyukan, tetapi ada pula yang (harus) dideduksi oleh akal melalui eksperimen. Logika Aristoteles mengajarkan cara-cara membuat definisi dan melakukan pembuktian. Nilai suatu pembuktian terletak pada premis-premis meyakinkan yang bisa diterima oleh akal dan seluruh manusia.[8]

Akal manusia bisa sampai kepada pengetahuan yang benar dalam realitas alam jika ia “bersekutu” dengan “akal universal” yakni ketika ia berusaha mengkaji sistem natural dan memahami keniscayaan-keniscayaan dan cakupan yang melekat pada sistem. Dalam pandangan Aristoteles, alam semesta dapat dipahami oleh akal. Demikian itu karena sistem yang mendasari alam dan orang yang memahami tidak lain berarti memahami akal. Dengan kata lain, konsepsi Aristotelian akal berarti “memahami sebab”.[9]

Pada kenyataannya para filosof Muslim dengan kecenderungan rasionalnya sejalan secara khusus dengan Mu’tazilah yang mendahului mereka dalam mengagungkan akal dan tunduk pada hukumnya. Mereka bertumpu pada akal dalam banyak hal. Untuk itu, mereka sepakat bahwa dengan akalnya manusia mampu membedakan baik dan buruk, bahkan mampu membedakan baik buruk sebelum ada ketentuan agama. Mereka mengemukakan teori bahwa Allah harus melakukan yang baik dan yang terbaik, sehingga perbuatan Allah tidak terlepas dari kriteria baik. Mereka menerapkan kebebasan kehendak dan kemerdekaan manusia untuk menciptakan perbuatan-perbuatan. Mereka menakwilkan teks-teks agama yang tidak sejalan dengan logika.[10]

Mu’tazilah yang didirikan oleh Washil Ibn Atha’ adalah aliran teologi Islam yang pertama kali mengadakan antisipasi terhadap pemikiran filsafat. Ia memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan teologis dengan bahasa filsafat. Ajarannya yang terkenal adalah ushul al-khamsah. Munculnya gerakan Mu’tazilah merupakan tahap yang penting dalam sejarah perkembangan intelektual Islam. Mereka merupakan pelopor yang amat bersungguh-sungguh untuk menggiatkan pemikiran tentang ajaran-ajaran pokok Islam secara lebih sistematis.

Karena apresiasi yang amat baik terhadap model pemikiran Yunani, maka kelompok Mu’tazilah pun amat menghargai kemampuan akal, logos, dan daya abstraksi manusia. Karenanya, mereka membangun ajaran teologis atas dasar kekuatan akal manusia.[11]

Menurut Harun Nasution filosofi rasional (al Aql) merupakan turunan dari konsep emanasi. Konsep ini bisa dilacak dari teori Al Farabi ataupun Ibn Sina. Kenyataan adalah rasional (being as reason). Rasional yang dimaksud adalah rasional ilmiah bukan rasional dalam artian “masuk akal”, melainkan eksplorasi ilmiah (abstraksi ilmiah yang serius).

Untuk memberikan dasar atas pemahaman rasional ini, perlu ditegaskan bahwa pemakaian kata rasional dalam Islam harus dilepaskan dari arti kata sebenarnya yaitu percaya kepada rasio semata-mata. Senada dengan ini, Nur Cholis Madjid menjelaskan bahwa dalam Islam yang dibenarkan adalah rasionalitas yaitu dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran. Akan tetapi, kebenaran yang ditemukannya itu adalah kebenaran insani karena ia terkena sifat relatifnya manusia.[12]

                                  
[1]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1972), hlm. 75
[2]Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik, Pengaruhnya Pada Pemiiran Islam Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 107
[3]Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 14
[4]Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 9 – 10
[5]Abdul Halim, Teologi Islam Rasional, Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 102
[6]Mulyadhi Kartanegara, Op. Cit., hlm. 16
[7]Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 48
[8]Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 247
[9]M. Sirozi, dkk., Arah Baru Studi Islam di Indonesia: Teori Dan Metodologi, (Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2008), hlm. 237 – 239
[10]Ibrahim Madkour, Op. Cit., hlm.249
[11]Nurisman, Pemikiran Filsafat Islam Harun Nasution, (Jogjakarta: Teras, 2012), hlm. 369
[12]Ibid, hlm. 228 – 229

Tidak ada komentar:

Posting Komentar