Senin, 16 Juni 2014

PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW

I. PENDAHULUAN

Hadirnya Nabi Muhammad pada masyarakat Arab membuat terjadinya kristalisasi pengalaman baru dalam dimensi ketuhanan yang mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat, termasuk hukum-hukum yang digunakan pada masa itu.

Berhasilnya Nabi Muhammad SAW dalam memenangkan kepercayaan yang dianut bangsa Arab. Dalam waktu yang relatif singkat beliau mampu memodifikasi jalan hidup orang-orang Arab.

Hadirnya Nabi Muhammad, sedikit demi sedikit merubah budaya-budaya yang tidak memanusiakan manusia dalam artian budaya yang mengarah pada keburukan menjadi budaya-budaya yang mengarah kepada kebaikan dalam payung Islam.

Budaya-budaya yang mengarah kebaikan yang dibawa Nabi Muhammad pada akhirnya menghasilkan peradaban yang luar biasa pada zamannya. Yang mana muara dari peradaban itu semua ialah Islam.

Islam sangat berperan penting dalam menciptakan peradaban yang luar biasa yang tercipta pada masa zaman Nabi Muhammad. Dan aktor penting di balik itu semua tidak lain ialah Nabi Muhammad sendiri. Nabi Muhammad tidak hanya sebagai Nabi melaikan juga sebagai pengajar, pendidik, pemimpin, pemimpin militer, politikus, reformis, dan lain-lain.

II. RUMUSAN MASALAH

A. Bagaimana Riwayat Hidup Nabi Muhammad ?
B. Bagaiana Pemikiran dan Peradaban Islam Masa Nabi Muhamad?
C. Bagaimana Peran Sahabat Dalam Memahami Wahyu dan Sunnah Nabi SAW Terkait Dengan Pemikiran dan Peradaban?

III. PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Nabi Muhammad

Muhamad lahir di Mekkah pada hari senin pagi 12 Rabi’ul awal bertepatan dengan tanggal 20 April tahun 571 M. Tahun kelahiran Nabi dikenal dengan tahun Gajah, karena pada tahun itu pasukan Abrahah dengan menunggang gajah menyerbu Mekkah ingin menghancurkan ka’bah.

Beliau lahir dari keluarga miskin secara materi namun berdarah ningrat dan terhormat. Ayahnya bernama Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab. Dikisahkan, bahwa anak-anak Hasyim ini adalah keluarga yang berkedudukan sebagai penyedia dan pemberi air minum bagi para jamaah haji yang dikenal dengan sebutan Siqayah Al Hajj. Sedangkan ibunda Nabi Muhammad Saw adalah Aminah binti Wahab, adalah keturunan Bani Zuhrah. Kemudian, nasab atau silsilah ayah dan ibunda Nabi bertemu pada Kilab ibn Murrah. [1]

Pada waktu lahir Nabi Muhammad SAW dalam keadaan yatim karena ayahnya Abdullah meninggal dunia ketika masih dalam kandungan. Nabi Muhammad kemudian diserahkan kepada ibu pengasuh, Halimah Sa’diyyah. Dalam asuhannyalah Nabi Muhammad SAW dibesarkan sampai usia empat tahun. Setelah kurang lebih dua tahun berada dalam asuhan ibu kandungnya. Ketika usia enam tahun Nabi Muhammad SAW menjadi yatim piatu.

Setelah Aminah meninggal, Abdul Muthalib mengambil alih tangguang jawab merawat Nabi Muhammad SAW. Namun, dua tahun kemudian Abdul Muthalib meninggal dunia karena renta. Tanggung jawab selanjutnya beralih kepada pamannya, Abu Thalib. Seperti juga Abdul Muthalib, dia juga sangat disegani dan dihormati orang Quraisy dan penduduk Makkah secara keseluruhan.

Dalam usia muda Nabi Muhammad SAW hidup sebagai penggembala kambing keluarganya dan kambing penduduk Makkah. Melalui kegiatan penggembalaan ini dia menemukan tempat untuk berfikir dan merenung. Pemikiran dan perenungan ini membuatnya jauh dari segala pemikiran nafsu duniawi, sehingga dia terhindar dari berbagai macam noda yang dapat merusak namanya, karena itu sejak muda dia sudah dijuluki al-amin, orang yang terpercaya.[2]

Pada usia 25 tahun, Nabi Muhammad SAW ikut berdagang ke Syam, menjual barang milik Khadijah, seorang wanita terpandang dan kaya raya. Dia biasa menyuruh orang untuk menjualkan barang dagangannya dengan membagi sebagian hasilnya kepada mereka. Ketika Khadijah mendengar kabar tentang kejujuran perkataan beliau, kredibilitas dan kemuliaan ahlak serta keuntungan dagangannya melimpah, Khadijah tertarik untuk menikahinya. Yang ikut hadir dalam acara pernikahan itu adalah Bani Hasyim dan para pemuka Bani Mudhar.[3]

B. Pemikiran dan Peradaban Islam Masa Nabi Muhamad

Prinsip kesederajatan dan keadilan yang dibangun Nabi, mencakup semua aspekbaik politik, ekonomi, maupun hukum. Pertama, aspek politik, Nabi mengakomodasikan seluruh kepentingan, semua rakyat mendapatkan hak yang sama dalam politik, walaupun penduduk Madinah sangat heterogen, baik dalam arti agama, ras, suku dan golongan-golongan.

Kedua, aspek ekonomi, Nabi mengaplikasikan ajaran egaliterianisme21, yakni pemerataan saham-saham ekonomi kepada seluruh masyarakat. Seluruh lapisan masyarakat mempunyai hak yang sama untuk berusaha dan berbisnis Misi egaliterianisme ini sangat tipikal dalam ajaran Islam. Sebab misi utama yang diemban oleh Nabi bukanlah misi teologis, dalam arti untuk membabat habis orang-orang yang tidak seideologi dengan Islam, melainkan untuk membebaskan masyarakat dari cengkeraman kaum kapitalis.

Ketiga, aspek Hukum, Nabi memahami aspek hukum sangat urgen dan signifikan kaitannya dengan stabilitas suatu bangsa, karena itulah Nabi tidak pernah membedakan "orang atas", "orang bawah" atau terhadap keluarga sendiri Nabi sangat tegas dalam menegakan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Madinah, artinya tidak ada seorangpun kebal hukum. Prinsip konsisten legal [hukum] harus ditegakkan tanpa pandang bulu, sehingga supermasi dan kepastian hukum benar-benar dirasakan semua anggota masyarakat.[4]

Pemikiran dan Peradaban Islam Periode Makkah

Pada malam senin 17 Ramadhan tahun 13 sebelum Hijriyah bertepatan dengan 6 Agustus 610 M. ketika itu Nabi Muhammad berkhalwat di Gua Hira dan Allah mengutus Jibril untuk menyampaikan wahyu pertama yaitu surat al-Alaq.[5] Ketika selesai menerima wahyu Nabi Muhammad pulang dengan kondisi menggigil ketakutan. Beliau meminta agar istrinya menyelimuti beliau kemudian menceritakan kejadian yang terjadi di Gua Hira.

Sebagai seorang istri yang sholeha dalam kondisi apapun selalu berusaha menenangkan hati suaminya begitulah yang dilakukan oleh Khadijah. Khadijah berusaha menenangkan hati Rosulullah yang sangat mengalami kegalauan pada saat itu. Setelah menenangkan Rosulullah, Khadijah pergi untuk menemui Waraqah ibn Naufal. Waraqah adalah paman dari Siti Khadijah beliau adalah seorang Nasrani yang banyak mengetahui naskah-naskah kuno.

Siti khadijah menceritakan kejadian yang dialami oleh suwaminya kemudian Waraqah mengatakan bahwa yang datang itu adalah Namus (Jibril). Kemudian dia menjelaskan disuatu saat nanti beliau akan diusir oleh kaumnya dari halaman kampungnya sendiri. Ia berharap masih hidup pada masa sulit Rosulullah dan akan memberikan pertolongan yang sungguh-sungguh kepada beliau. Ketika beliau tidur kemudian turun ayat Al-Muddatsir.[6] Kemudian beliau menyampaikan kepada istrinya tentang perintah Jibril untuk menyampaikan dakwahnya kepada umatnya. Kemudian beliau bertanya kembali umatnya itu yang mana. Dengan demikian wahyu yang turun kedua ini merupakan penobatan Rouslullah sebagai utusan Allah.

Untuk mengawali dakwah Rosulullah SAW ada berbagai metode dakwah yang dilakukan oleh beliau diantaranya:

1. Dakwah secara sembunyi-sembunyi

Pada masa ini Rosulullah Saw melakukan dakwah secara diam-diam dilingkungan keluarga sendiri dan dikalangan rekan-rekannya. Mula-mula yang masuk Islam pertama kali adalah istri Rosulullah kemudian saudara sepupunya Ali bin Abu Thalib, Abu Bakar Asidiq, Zaid bekas budak yang menjadi anak angkatnya, Ummu Aimah pengasuh Nabi semenjak ibunya masih hidup.[7]

Kemudian dilanjutkan oleh Ustman bin Affan, Jubair bin Awwam, Abdurahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqasah dan Thahlah bin Ubaidillah mereka dibawah kehadapan Nabi dan mengikrarkan untuk memeluk Islam dihadapan Nabi sendiri. Pada persiapan dakwah yang berat maka dakwah pertama beliau mempersiapkan mental dan moral. Oleh sebab itu beliau mengajak manusia atau umatnya untuk:

a. Mengesakan Allah
b. Mensucikan dan membersihkan jiwa dan hati
c. Menguatkan barisan
d. Meleburkan kepentingan diri di atas kepentingan jamaah.[8]

2. Dakwah terang-terangan

Langkah dakwah selanjutnya menyeru masyrakat secara umum. Nabi menyerukan kepada bangsawan dan seluruh masyarakat Qurais. Pada awalnya Nabi hanya menyeru pada penduduk Mekkah dan dilanjutkan menyeru pada penduduk diluar Mekkah secara terangterangan.

Rosulullah gencar mempublikasikan agar orang masuk Islam, kemudian pada masa itu beliau mengajak segenap umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji. Dilain waktu, acara jamuan tersebut diadakan kembali. Kali ini para tamu undangan mulai mendengarkan perkataan Rasulullah namun tak satupun dari mereka yang meresponnya secara positif. Hal tersebut tidak membuat Rasulullah dan para sahabatnya patah arah, tetapi membuat Rasulullah dan para sahabatnya semangat dan dakwahnya semakin diperluas hingga suatu ketika.

Rasulullah mengadakan pidato terbuka di bukit Sofa. Pidato tersebut berisi perihal kerasulannya. Rasulullah memanggil seluruh penduduk Mekkah dan mengabarkan kepada mereka bahwa dirinya diutus untuk mengajak mereka meninggalkan Paganisme (Penyembahan terhadap berhala). Beliau menjelaskan bahwa tuhan yang wajib disembah hanyalah Allah. Mendengar hal tersebut masyarakat Qurays tersentak kaget, mereka sangat marah karena hal tersebut dan menghina tradisi nenek moyang dan kehormatan mereka. Para pembesar Qurays membentak dan memaki Rasulullah dengan keras. Mereka menganggap bahwa Muhammad adalah orang gila bahkan pamannya sendiri Abu Lahab pun mengancam Rasulullah dengan keras.

Pemimpin Quraiys dengan giatnya menentang dakwah Rosulullah SAW. Pemimpin Qurays merasa bahwa makin maju dakwah Rosulullah maka makin besar tantangan kaum Qurays. Ada 5 faktor yang mendorong Kaum Qurays menentang Rosulullah Saw yaitu:

a. Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan;
b. Nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya. Hal ini tidak disetujui oleh bangsawan Qurays.
c. Para Qurays tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat
d. Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berakar pada bangsa Arab.
e. Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.[9]

Pemikiran dan Peradaban Islam Periode Madinah

Dengan hijrahnya Nabi ke Yatsrib yang kemudian berganti nama Madinah Al Munawarah atau disebut dengan Madinah, Nabi segera meletakan dasar-dasar masyarakat Islam. Nabi resmi mnejadi pemimpin kota ini (pemimpin negara) sekaligus memimpin agama Islam.

Langkah-langkah yang diambil oleh Rasulullah SAW, untuk meletakkan dasar pembinaan masyarakat Madani/Islami di Madinah antara lain:

1. Mendirikan masjid

Masjid disamping untuk tempat beribadah juga untuk tempat berkumpul dan bertemu. Masjid berperan besar dalam menyatukan umat muslimin dari berbagai suku dan mempersatukan jiwa mereka serta tempat bermusyawarah dalam merundingkan persoalan yang dihadapi. Pada masa Nabi masjid dijadikan pusat pemerintahan.

2. Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim)

Persaudaran yang dilakukan oleh Rasulullah berdasarkan agama bukan berdasarkan pertalian darah. Mempersatukan umat yaitu mempersatukan kaum Anshar dan kaum Muhajirin.[10]

3. Kesepakatan untuk salimg membantu antara kaum muslimin dan non muslimin

Di Madinah, ada golongan manusia, yaitu kaum muslimin, orang-orang Arab, serta kaum non muslim, dan orang-orang yahudi (Bani Nadhir, Bani quraizhah, dan Bani Qainuqa’). Rasulullah melakukan kesepakatan dengan mereka untuk terjaminnya sebuah keamanan dan kedaimaian. Juga untuk melahirkan suasanya saling membantu dan toleransi diantara golongan tersebut.[11]

4. Meletakan landasan politik, ekonomi dan kemasyarakatan

Bagi negara Madinah yang baru terbentuk. Dasar berpolotik antara lain prinsip keadilan yang harus dijalankan tanpa pandang bulu. Prinsip egaliter atau persamaan derajat antara manusia, yang membedakan adalah ketaqwaan kepada Allah semata. Untuk memecahkan masalah atau persoalan umat dipeganglah prinsip musyawarah. [12]

C. Peran Sahabat Dalam Memahami Wahyu dan Sunnah Nabi SAW Terkait Dengan Pemikiran dan Peradaban Islam

Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhamad tidak sekaligus, tetapi dengan cara berangsur-angsur. Atas dasar itulah Nabi menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat Islam pada masa itu. Tetapi adakalanya persoalan yang cara penyelesaiannya belum disebut oleh wahyu yang sudah diterima Nabi. Dalam hal ini Nabi memakai ijtihad atau pendapat yang dihasilkan pemikiran secara mendalam.

Pada periode Nabi, segala persoalan hukum dikembalikan kepada Nabi untuk menyelesaikannya, Nabi lah yang menjadi satu-satunya sumber hukum. Secara direk pembuat hukum adalah Nabi,tetapi secara indirek Tuhanlah pembuat hukum, karena hukum yang dikeluarkan Nabi bersumber pada wahyu dari Tuhan.

Di periode sahabat, daerah yang dikuasai Islam tambah luas dan termasuk didalmnya daerah-daerah di luar semenanjung Arabia yang telah mempunyai kebudayaan tinggi dan susunan masyarakat yang bukan sederhana, di perbandingkan dengan masyarakat Arabia ketika itu. Dengan demikian persoalan-persoalan permasyarakatan yang timbul di periode ini lebih sulit penyelesaiannya dari pesoalan-persoalan yang timbul di masayraktat Semenanjung Arabia.

Untuk mencari penyelesaian bagi soal-soal baru itu para sahabat kembali ke Al-Qur’an dan sunnah yang ditinggalkan Nabi. Dalam pada itu timbul pula suatu problema lain. Sebagai dilihat ayat ahkam berjumlah sedikit dan tidak semua persoalan timbul dapat dikembalikan kepada Al-qur’an dan sunnah Nabi. Untuk menyelesaikan persoalan yang tidak dijumpai dalam kedua sumber hukum itu, khalifah dan para sahabat mengadakan ijtihad.

Sesuai dengan bertambah luasnya daerah Islam, berbagai macam bangsa masuk Islam dengan membawa berbagai adat-istiadat, tradisi dan sistem kemasyarakatan. Problema hukum yang dihadapi beragam pula. Untuk mengatasinya para sahabat dan ulama banyak mengadakan ijtihad yang didasarkan kepada Al-qur’an dan sunnah Nabi.[13]


                         
[1] Khoiriyah, Reorintasi Wawasan Sejarah Islam Dari Arab Sebelum Islam Hingga Dinasti-dinasti Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 31-32.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiah II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm.17
[3] Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: UIN Press, 2007), hlm. 19
[4] http://sanaky.com/wp-content/uploads/2009/02/05-peradaban-islam-masa-nabi1. didownload pada hari selasa 25 Maret 2014 pukul 13.12 WIB
[5] Ali Sodiqin Sejarah Peradaban Islam (Dari Masa Klasik Hingga Modern),(Yogyakarta: LESFI, 2009), hlm. 24
[6] Ali Sodiqin, Sejarah Peradaban Islam ..., hlm. 25-26
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2001), hlm. 19
[8] Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hlm. 63
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam...,hlm. 20-21
[10] Khoiriyah, Reorintasi Wawasan Sejarah..., hlm. 39.
[11]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung :Pustaka Setia, 2008), hlm 64.
[12] Khoiriyah, Reorintasi Wawasan Sejarah..., hlm. 40
[13] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid II, (Jakarta: UI Press, 2012), hlm. 4-6.

PEMIKIRAN MANHAJ AHLUL FAILASUF

I. Pendahuluan

Filsafat adalah suatu aktifitas manusia dalam mempergunakan akal pikirannya sebaik mungkin untuk mengetahui dan menjawab secara mendalam segala persoalan.

Filsafat, apapun nama dan bentuknya, adalah keberanian untuk mempertanyakan kebenaran-kebenaran yang dalam pandangan umum telah diyakini kebenarannya. Kalau struktur berpikir dalam ilmu kalam berangkat dari nash kemudian dijustifikasi dengan pemikiran filosofis, maka yang terjadi dalam filsafat adalah sebaliknya. Para filosof Muslim mengambil refleksi filosofis Yunani, baru mempertimbangkannya demi kepentingan Islam dan dijustifikasi dengan nash.

Akan tetapi, apapun hasilnya dan apapun penilaian orang terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh para filosof Muslim, mereka telah mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk membuat sintesa yang harmonis antara agama dan filsafat. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijelaskan tentang “pemikiran manhaj ahl al-failasuf”.

II. Rumusan Masalah

A. Bagaimana Pengaruh Teologi Terhadap Pemikiran Filsafat?
B. Bagaimana Penggunaan Rasio Lebih Banyak Mewarnai Hasil Pemikiran Filsafat?

III. Pembahasan

A. Pengaruh Teologi Terhadap Hasil Pemikiran Filsafat

Teologi sebagai ilmu yang membahas ke-Tuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua persoalan tersebut. Akal sebagai daya berfikir yang ada dalam diri manusia berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.[1]

Hubungan interaksi antara wahyu dan akal merupakan landasan utama bagi tercapainya aspek-aspek doktrinal-teologis, dimana akal merupakan alat utama untuk menginterpretasikan doktrin tersebut. Perlu disadari bahwa hal di atas tidak akan mencapai suatu perkembangan inovatif tanpa adanya kerja sama dengan aspek-aspek kultural-historis. Oleh karena itu, untuk mencapai suatu kebenaran maksimal (bukan berarti final), perlu adanya keterkaitan dan kerja sama antara 3 pendekatan:

1. Doktrinal-teologis.
2. Rasional-filosofis.
3. Kultural-historis.[2]

Sebagaimana filsafat, agama juga membentuk pandangan dunianya sendiri yang berbeda dengan pandangan scientific, dan tidak sama persis dengan filosofis. Bagi agama, misalnya alam semesta beserta isinya bukanlah merupakan realitas-realitas independen apalagi terakhir (ultimet), melainkan “tanda-tanda” kebesaran dan keberadaan Tuhan. Karena alam semesta adalah tanda, mempelajari alam sama dengan mempelajari “jejak-jejak Ilahi”, dan karena itu, pengkajian terhadap alam akan dapat menambah keimanan kepada Tuhan.[3]

Islam adalah agama wahyu, seluruh ajaran yang dibawanya merupakan wahyu dari Allah. Muhammad SAW sebagai Nabi merupakan pribadi yang menerima wahyu dan sebagai Rasul beliau hanyalah sebagai penyampai belaka. Sementara adalah hasil dari kreasi manusia melalui pemikiran rasional dengan bantuan logika. Wahyu dalam Islam, di samping harus disikapi dengan penuh keimanan, dalam beberapa hal ia sendiri memberikan legitimasi kepada akal untuk bekerja secara mandiri. Justifikasi demikian berindikasi bahwa akal manusia sangat diperlukan untuk membuktikan adanya wahyu. Akal merupakan hidayah dari Sang Pemberi wahyu dan wahyu dialamatkan kepada orang-orang yang berakal.[4]

Alam diatur melalui apa yang oleh Al Qur’an disebut sebagai sunnatullah. Sunnatullah berbeda dengan hukum alam (natural law), karena sementara hukum alam tidak mengijinkan suatu pengertian kreatifitas apa pun, sunnatullah memberikannya. Sunnatullah adalah kebiasaan atau cara Allah dalam menyelenggarakan alam. Dalam hukum alam kemungkinan mu’jizat tidak mendapat tempat, sementara dalam sunnatullah kemungkinan tersebut tidak dinafikkan. Kalau hukum alam mengandaikan sebuah aturan yang tidak mungkin dilanggar, dalam sunnah atau adat pelanggaran terhadap kebiasaan tidak menimbulkan suatu yang mustahil.[5]

Filsafat memberi tempat yang sangat istimewa di dalam kosmos, sebab betapa pun kecil ukuran fisik manusia, manusia diangkat oleh Tuhan sebagai wakil-Nya di muka bumi, sebuah kedudukan yang bahakan tidak pernah diberikan oleh filsafat humanisme sekalipun. Bukan itu saja, selain menjadi khalifah, manusia dalam pandangan agama juga diberi wewenang yang luas untuk mengatur dunia dan kehidupannya, asal tidak bertentangan secara diametri dengan kehendak Ilahi.[6]

Pengaruh teologi terhadap pemikiran filosof dapat dilihat dari Al-Kindi yang berpendapat antara filsafat dan agama tidak ada pertentangan. Ilmu tauhid atau teologi adalah cabang termulia dari filsafat. Filsafat membahas kebenaran atau hakikat. Kalau ada hakikat-hakikat pasti ada hakikat pertama (al-haqq al-awwal). Hakikat pertama adalah Tuhan Al-Kindi juga membicarakan jiwa (al-nafs, soul) dan akal. Jiwa manusia memiliki tiga daya, daya bernafsu yang berpusat di perut, daya berani yang berpusat di dada dan daya berfikir yang berpusat di kepala. Daya berfikir inilah yang disebut akal.[7]

B. Penggunaan Rasio Lebih Banyak Mewarnai Hasil Pemikiran Filsafat

Pemikiran filsafat bertumpu pada akal dalam menafsirkan problematika ke-Tuhanan, manusia, dan alam, karena wajib al wujud adalah akal murni. Ia adalah subjek yang berfikir sekaligus objek pemikiran. Akal manusia merupakan salah satu potensi jiwa dan disebut rational soul. Tidak semua pengetahuan diwahyukan, tetapi ada pula yang (harus) dideduksi oleh akal melalui eksperimen. Logika Aristoteles mengajarkan cara-cara membuat definisi dan melakukan pembuktian. Nilai suatu pembuktian terletak pada premis-premis meyakinkan yang bisa diterima oleh akal dan seluruh manusia.[8]

Akal manusia bisa sampai kepada pengetahuan yang benar dalam realitas alam jika ia “bersekutu” dengan “akal universal” yakni ketika ia berusaha mengkaji sistem natural dan memahami keniscayaan-keniscayaan dan cakupan yang melekat pada sistem. Dalam pandangan Aristoteles, alam semesta dapat dipahami oleh akal. Demikian itu karena sistem yang mendasari alam dan orang yang memahami tidak lain berarti memahami akal. Dengan kata lain, konsepsi Aristotelian akal berarti “memahami sebab”.[9]

Pada kenyataannya para filosof Muslim dengan kecenderungan rasionalnya sejalan secara khusus dengan Mu’tazilah yang mendahului mereka dalam mengagungkan akal dan tunduk pada hukumnya. Mereka bertumpu pada akal dalam banyak hal. Untuk itu, mereka sepakat bahwa dengan akalnya manusia mampu membedakan baik dan buruk, bahkan mampu membedakan baik buruk sebelum ada ketentuan agama. Mereka mengemukakan teori bahwa Allah harus melakukan yang baik dan yang terbaik, sehingga perbuatan Allah tidak terlepas dari kriteria baik. Mereka menerapkan kebebasan kehendak dan kemerdekaan manusia untuk menciptakan perbuatan-perbuatan. Mereka menakwilkan teks-teks agama yang tidak sejalan dengan logika.[10]

Mu’tazilah yang didirikan oleh Washil Ibn Atha’ adalah aliran teologi Islam yang pertama kali mengadakan antisipasi terhadap pemikiran filsafat. Ia memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan teologis dengan bahasa filsafat. Ajarannya yang terkenal adalah ushul al-khamsah. Munculnya gerakan Mu’tazilah merupakan tahap yang penting dalam sejarah perkembangan intelektual Islam. Mereka merupakan pelopor yang amat bersungguh-sungguh untuk menggiatkan pemikiran tentang ajaran-ajaran pokok Islam secara lebih sistematis.

Karena apresiasi yang amat baik terhadap model pemikiran Yunani, maka kelompok Mu’tazilah pun amat menghargai kemampuan akal, logos, dan daya abstraksi manusia. Karenanya, mereka membangun ajaran teologis atas dasar kekuatan akal manusia.[11]

Menurut Harun Nasution filosofi rasional (al Aql) merupakan turunan dari konsep emanasi. Konsep ini bisa dilacak dari teori Al Farabi ataupun Ibn Sina. Kenyataan adalah rasional (being as reason). Rasional yang dimaksud adalah rasional ilmiah bukan rasional dalam artian “masuk akal”, melainkan eksplorasi ilmiah (abstraksi ilmiah yang serius).

Untuk memberikan dasar atas pemahaman rasional ini, perlu ditegaskan bahwa pemakaian kata rasional dalam Islam harus dilepaskan dari arti kata sebenarnya yaitu percaya kepada rasio semata-mata. Senada dengan ini, Nur Cholis Madjid menjelaskan bahwa dalam Islam yang dibenarkan adalah rasionalitas yaitu dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran. Akan tetapi, kebenaran yang ditemukannya itu adalah kebenaran insani karena ia terkena sifat relatifnya manusia.[12]

                                  
[1]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1972), hlm. 75
[2]Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik, Pengaruhnya Pada Pemiiran Islam Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 107
[3]Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 14
[4]Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 9 – 10
[5]Abdul Halim, Teologi Islam Rasional, Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 102
[6]Mulyadhi Kartanegara, Op. Cit., hlm. 16
[7]Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 48
[8]Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 247
[9]M. Sirozi, dkk., Arah Baru Studi Islam di Indonesia: Teori Dan Metodologi, (Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2008), hlm. 237 – 239
[10]Ibrahim Madkour, Op. Cit., hlm.249
[11]Nurisman, Pemikiran Filsafat Islam Harun Nasution, (Jogjakarta: Teras, 2012), hlm. 369
[12]Ibid, hlm. 228 – 229

MANHAJ PEMIKIRAN AHLUL TASAWUF

I. Pendahuluan

Tasawuf menurut Ibnu Khaldun adalah ilmu yang memberi perhatian khusus pada usha menjaga tata krama bersama Allah S.W.T. secara dzahir dan batin, yakni dengan tetap menjalankan hukum-hukum syari’at secara formal sambil mensucikan hati secara substansial sehingga fokus hanya kepada Allah.[1]

Tasawuf tumbuh dan berkembang sebagai menifestasi dari kesadaran spiritual manusia tentang dirinya sebagai makhluk Tuhan. Kesadaran itu mendorong manusia-para sufi utnuk memusatkan perhatiannya untuk beribadah kepada Allah S.W.T yang dibarengi dengan kehidupan asketisme atau zuhud, dengan tujuan pertama sebagai pembinaan moral. Kecenderungan kepada moralitas itu, mendorong mereka untuk mempercakapkan pengetahuan intuitif berikut sarana dan metodenya. Tindak lanjut dari percakapan itu mengarahkan mereka kepada aspek-aspek yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan atau hubungan Khaliq dengan makhluk.

Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai manhaj/ pemikiran ahlul tasawuf falsafi dan ahlul- tasawuf akhlaqi. Selain itu, akan dibahas juga mengenai tarekat dan perkembangannya.[2]

II. Rumusan masalah

A. Bagaimana  manhaj/ pemikiran Ahlul-Tasawuf Falsafi?
B. Bagaimana manhaj/ pemikiran Ahlul-Tasawuf Akhlaqi?
C. Bagaimana perkembangan tarekat dan Substansi pemikiran tarekat?

III. Pembahasan

A. Manhaj/ pemikiran ahlul-Tasawuf Falsafi

Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (makrifat) dengan pendekatan Rasio (filsafat) hingga menuju ke tempat yang lebih tinggi bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wahdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.[3]

Pada tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat di kalangan para filosof, seperti filosof tentang Tuhan, manusia, hubungan manusia dengSan Tuhan dan lain sebagainya. [4]

Tasawuf falsafi lebih menonjol kepada segi teoritis sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asa rasio dengan pendekatan-pendekatan filosof yang sulit diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang-orang awam.

Menurut At-Taftazani, taawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad ke-6 H. Meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak itu, tasawuf ini terus hidup dan berkembang, terutama di kalangan para sufi yang juga filosof sampai menjelang akhir-akhir ini.

Ciri umum taswuf falsafi adalah ajarannya samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq). Tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.

Menurut Ibnu Khaldun, ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, diantaranya yaitu: Pertama, latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta instropeksi diri yang timbul darinya. Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib, seperti sifat-sifat rabbani, arsy, malaikat, wahyu, kenabian, roh. Ketiga, peristiwa dalam alam yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk keramatan atau keluarbiasaan. Keempat, menciptakan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya dan menyetujuinya.[5]

Dalam bukunya Nasirudduin, M. Ag, tasawuf falsafi adalah tasawuf yang didalamnya tercampur antara rasa (dzauq) tasawuf dan pemikiran akal. Dzauq lebih dekat dengan tasawuf dan rasio lebih dekat dengan filsafat. Adapun ciri dari tasawuf falsafi adalah menyusun teori-teori wujud berlandaskan rasa atau kajian proses bersatunya Tuhan dengan manusia dan tasawuf ini bersifat pemikiran dan renungan.

Diantara konsep tasawuf falsafi adalah sebagai berikut:

a.) Fana’

Fana’ dalam tasawuf pada umumnya dipahami sebagai tidak adanya kesadaran indrawi dan yang disadari hanya Allah SWT. Sehingga orang yang tenggelam (fana’) kedalam Tuhan (fana’ fi al-khaliq) berarti tidak lagi sadar terhadap selain Tuhan.[6]

b.) Ittihad

Ittihad adalah apabila seorang sufi telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-baqa’. Di dalam perpaduan itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan.

c.) Hulul

Pengertian al-Hulul secara singkat ialah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat-sifat kemanusiaanya melalui fana atau ektase. Maka Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan.[7]

Diantara tokoh-tokoh tasawuf falsafi adalah sebagai berikut:

1. Ibn’Arabi

Ajaran sentral Ibnu Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat al- wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidak berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentral tersebut.

Menurut Ibn’Arabi, wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khalik dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira adanya perbedaan wujud khalik dan makhluk, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan Dzatiyah, yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya.

2. Al-Jili dengan ajaran tasawufnya, yaitu:

a. Ajaran tentang insan kamil

Ajarannya yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia sempurna). Menurut Al-Jilli, Insan kamil adalah nuskhoh atau copy Tuhan, Al-jilli memperkuatnya dengan “Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang maha Rahman”. Hadis lainnya; “ Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya.

Sebagaimana diketahui Tuhan memiliki sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia Adam pun memiliki sifat-sifat seperti itu.Setelah Tuhan menciptakan substansi, Huwiyah Tuhan dihadapkan dengan Huwiyah Adam, dan Dzat Nya dihadapkan pada dzat Adam. Melalui konsep ini, kita memahami bahwa adam dilihat dari sisi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaan-Nya. Al-jilli berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat ilahiah itu pada dasarnya milik insan kamil sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinya. Sebab, sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan kepada insan kamil.[8]

b. Maqamat

Al-Jilli dengan filsafat insan kamilnya merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi. Tingkat-tingkat itu adalah:

Pertama, Islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan ritual saja, tetapi ahrus dipahami dan dirasakan lebih dalam. Kedua, Iman yakni membenarkan denagn sepenuh keyakinan akan rukun iman, dan melaksanakan dasar-dasar Islam. Ketiga, as-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus kepada Allah dengan penuh perasan khauf dan raja’. Keempat , ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukkan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek (atsar) nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada di ahdapan-Nya. Kelima, syahadah, seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah ayng bercirikan; Mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadi. Keenam, shiddiqiyah, istilah ini menggambarkan tingkat pencapaian hakikat yang makrifat yang diperoleh secara bertahap. Ketujuh, qurbah, maqam ini merupakan maqam yang memungkinkan seseorang dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.[9]

3. Ibnu Sab’in dengan ajaran Tasawuf nya yaitu:

a. Kesatuan mutlak

Ibn Sab’in menggagas sebuah paham dalam tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak, gagasan esensialnya adalah sederhana yaitu Wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Wujud yang lainnya yaitu wujud yang satu itu sendiri.

Dalam paham ini, Ibn Sab’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Sebab wujud Allah menurutnya adalah Asal segala yang ada pada massa lalu, masa kini maupun masa depan. Sementara wujud materi yang tampak justru dia rujukan pada wujud mutlak yang rohaniyah.

Pemikiran Ibn Sab’in ini mengambil rujukan Dari Al-Qur’an, “Dia itulah Yang awal dan yang akhir yang dzahir dan yang batin.” (QS. Al-Hadid (57): 3).

b. Penolakan Terhadap Logika Aristotelian

Paham tentang kesatuan mutlak telah membuatnya menolak logika Aristotelian.Terbukti dalam karyanya Budd Al-Arif, ia menyusn suatu logika baru yang bercorak iluminatif, sebagai pengganti logika yang berdasarkan pada konsep jamak, Ibn Sab’in menanamkan logika barunya itu dengan logika pencapaian kesatuan mutlak, tidak termasuk logika yang bisa dicapai dengan penalaran tetapi termasuk tembusan Ilahi yang bisa membuat manusia bisa melihat apa yang belum dilihatnya maupun mendengar apa yang belum didengarnya. Dengan demikian logika tersebut bercorak intuitif.[10]

B. Manhaj/ pemikiran ahlul-Tasawuf Akhlaqi

Secara etimologi, tasawuf akhlaki bermakna membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan tingkah laku.

Tujuan dari tasawuf ini yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghiasi diri dengan perbuatan yang terpuji.

Pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang yang tahapannya terdiri dari: [11]

1. Takhalli

Takhalli yaitu usaha mengosongkan diri dari perilaku atau akhlak tercela dan kotoran atau penyakit yang merusak.

2. Tahalli

Tahalli adalah upaya menghias diri dengan jalan membiasakan sifat dan sikap yang baik, membina pribadi agar berakhlak mulia. Sifat-sifat itu antara lain: tauhid, ikhlas, taubat, zuhud, hubb, wara’ sabar, syukur, dan lainnya.[12]

3. Tajalli

Tahap tajalli ini termasuk penyempurnaan kesucian jiwa. Para sufi sependapat bahwa tingkat kesempurnaan kesucian jiwa hanya dapat ditempuh dengan satu jalan, yaitu cinta kepada Allah dan memperdalam rasa kecintaan itu.

Ciri-ciri tasawuf akhlaki antara lain:

1. Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam ajaran ajarannya, cenderung memakai landasan Qur’ani dan Hadis sebagai kerangka pendekatannya.

2. Kesinambungan antara hakikat dengan syari’at, yaitu keterkaitan antara tasawuf (sebagai aspek batiniyah) dengan fiqih (seb agai aspek lahiriyah).

3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antar Tuhan dan manusia.

4. Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pembinaan akhlak dan pengobatan jiwa dengan cara latihan mental (takhalli, tahallli, dan tajalli).

5. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat, terminlogi-terminologi yang dikembangkan lebih transparan.

Tokoh-tokoh tasawuf Akhlaki adalah sebagai berikut:

1. Hasan Al-Bashri (21-110 H)

Prinsip ajaran Hasan Al-Bashri yang berkaitan dengan hidup kerohanian senantiasa diukurnya dengan sunnah Nabi. Dasar pendirian Hasan Al-Bashri adalah hidup zuhud terhadap kehidupan duniawi yang tahu terhadap dosanya dan selalu beribadah kepada Allah. Konsep zuhud Hasan Al-Bashri berdasarkan rasa takut kepada Allah, bukanlah takut masuk neraka, akan tetapi takut akan murka Allah S.W.T.[13]

2. Al-Muhasibi (165-243H)

a. Pandangan Al-Muhasibi tentang makrifat

Menurut Al-Muhasibi makrifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab Al-Qur’an dan Sunnah. Menurutnya tahpan-tahapan makrifat sebagai berikut: Tahapan pertama, yaitu taat. Taat merupakan awal dari kecintaan kepada Allah. Kedua, aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati. Ketiga, Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan keghaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap diatas. Keempat, apa yang dikatakan oleh sementara sufi dan fana’ yang menyebabkab baqa’.

b. Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’

Pandangan al-Muhasibi mengenai khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang dalam membersihkan jiwa.

Raja’ dalam pandangan al-Muhasibi harus melahirkan amal shaleh. Seseorang yang telah melakukan amal shaleh, berhak mengharap pahala dari Allah. Dan inilah yang dilakukan oleh mukmin yang sejati dan para sahabat Nabi. [14]

3. Al-Ghazali (450-505 H)

Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menguraikan ajaran ketasawufannya dengan tamsil-tamsil dan analogi-analogi yang jelas dan mudah dipahami. Misalnya: keberadaan Tuhan secara realitas yang sebenarnya ngegla (terang benderang) ditamsilkan seperti halnya matahari. Manusia dengan kekuatan panca inderanya ditamsilkan seperti halnya kelelawar. Kelelawar selama hidupnya tidak bisa melihat matahari lantaran indera matanya terlalu lemah, tidak sesuai untuk menangkap cahaya matahari yang terlalu terang cahayanya.

Demikian pula mata manusia, tidak bisa menangkap cahaya Tuhan lantaran terlalu terang. Sedang sebenarnya Dzat Tuhan itu ngegla (terang benderang) tanpa tabir apa-apa. Jadi menrut Al-Ghazali cahaya Allah itu teramat terang, mata manusia tidak mampu menangkapnya. Oleh karena itu, manusia bisa menangkap cahaya Allah langsung menurut Al-Ghazali, dengan mata hatinya. Hati atau qalb oleh Al-Ghazali diibaratkan laksana cermin (mir’ah). Bila kaca hatinya dibersihkan dari kotoran keduniawiaan, akan mampu menangkap cahaya Allah, sehingga manusia bisa melihat bayang-bayang Allah secara langsung melalui cermin hatinya.[15]

C. Perkembangan tarekat dan substansi pemikiran tarekat

1. Perkembangan Tarekat

Tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah yang artinya jalan, cara, aliran atau metode. Secara istilah tarekat adalah suatu sistem hidup bersama dan kebersamaan dalam keberagamaan sebagai upaya spiritualisasi pamahaman dan pengalaman ajaran Islam menuju tercapainya ma’rifatullah.

Tarekat berakar dari pengalaman seorang sufi-ahli tasawuf- dalam mengajarkan ilmunya kepada orang lain, pengajaran mana kemudian dikembangkan pengikutnya.

Oleh karena itu, dalam perkembangannya kemudian, tarekat terkait erat dengan nama guru tasawuf itu. Dalam pengertian ini, maka penamaan suatu tarekat diambil dari nama pimpinan kelompok belajar itu. Misalnya tarekat Naqsyabandiyah dinamai demikian adalah karena kelompok pembelajaran tasawuf itu dirintis oleh Bahauddin al-Naqsyaband. Hal ini berarti nampaknya tarekat mirip dengan aliran tasawuf-the sufi orders, atau semacam pranata sosial keagamaan yang visi dan misinya sufism.[16]

Dilihat dari sisi historisnya, kapan dan tarekat mana yang mula- mula timbul sebagai lembaga tidak dapat diketahui secara jelas. Akan tetapi nampaknya tarekat Taifuriyah adalah tarekat tertua.

Tarekat ini berdiri pada abad ke XI di Persia yang dikembangkan oleh Abu Yazid Al-Busthami al-Taifuriyah.

Namun perkembangan nyata tarekat adalah sekitar abad ke XII di dua daerah basis, yaitu di Khurasan (Persia) dan Mesopotamia( Irak ). Tarekat yang bermunculan di daerah Khurasan beraliran tasawuf Abu Yazid, sedangkan tarekat yang berkembang di daerah Mesopotamia berakar pada tasawuf Junaid Al-Baghdadi. Pada era abad dua belas itu, di Khurasan berdiri tarekat Yasaviyah yang dipelopori oleh Ahmad al-Yasavi (w. 1169) dan tarekat Khawajaganiyat yang didirikan oleh Abdul Khaliq al-Ghazdawani (1220).

Tarekat Yasaviyah melebarkan sayapnya ke kawasan Turki dengan nama baru tarekat Bekthasiyah diidentikan dengan nama pendirinya Muhammad Atha’ bin Ibrahim Hajji Bektash(w. 1335). Terekat ini cukup populer pada masa kekuasaan Sultan Murad I, karena tarekat ini memiliki pasukan komando sebagai kekuatan inti kerajaan Turki Usmani, yang disebut “jenisari”. Tarekat Naqsyabandiyah merupakan pengembangan dari tarekat Khawajaganiyah yang didirikan Muhammad Bahauddin an-Naqsyaband al-Awisi al-Bukhari (w.1335). dalam perkembangan selanjutnya, tarekat ini menyebar ke Turki, India dan Indonesia dengan nama baru sesuai dengan pendirinya di kawasan setempat. Di Indonesia, tarekat yang merupakan cabang dari Naqsyabandiyah antara lain tarekat Khalidiyah, Muradiyah, Mujaddidiyah, Ahsaniyah, dan lain-lain. Selain dari kedua induk tadi, tarekat yang tergolong rumpun khurasan masih banyak lagi yang berpengaruh dalam dunia tarekat, seperti tarekat Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar al-Khalwati(w.1379).

Tarekat yang berasal dari rumpun mesopotamia (Irak) anutannya berakar pada tasawuf Abdul Qadir Qasim Al-Junaidi yang meninggal sekitar tahun 910 atau menganut paham tasawuf Abdul Qadir Al-Jailani(w.1078).Tarekat Suhrawardiyah yang dirintis oleh Abu Hafs as Suhrawardi(1234), tarekat Kubrawiyah yang dipelopori oleh Najamuddin Kubra(w.1221) dan tarekat Maulawiyah yang didirikan oleh Jalaluddin al-Rumi(w.1273), adalah tarekat-tarekat yang besar yang mengacu pada tasawuf Junaidi.

Tarekat Qadiriyah yang dibangun oleh Muhayyidin Abdul Qodir al-Jailani di Irak, melebarkan ajaran tasawufnya melalui tarekat Shadziliyah yang di dirikan oleh Nuruddin as-Shadzili(w.1258) dan tarekat Rifaiyah yang dirintis oleh Ahmad Ibn Ali Ar-Rifai (w.1182). Tarekat yang berasal dari rumpun Qadiriyah, tersebar luas dihampir seluruh negeri Islam. Tarekat Faridiyah yang mengilhami lahirnya tarekat Sanusiyah dan Idrisiyah di Kawasan Afrika Utara , adalah tarekat-tarekat yang termasuk rumpun Qadiriyah yang berakar tasawuf Dzuna Nun al-mishri (w.860). Tarekat Qadiriyah masuk ke kawasan India atas jasa Muhammad al-Ghawthiya sekitar tahun 1617.[17]

Dengan demikian, Tarekat yang pada awalnya dimaknai sebagai metode mendekatkan diri kepada Allah, berubah menjadi sistem pembelajaran tasawuf yang melembaga. Dalam tarekat sebagai lembaga, ditemui adanya seorang mursyid atau pembimbing dan biasanya didampingi satu orang asisten atau lebih yang disebut khalifah atau wakil, pengikutnya dinamai “ murid” yang berminat. Tempat untuk belajar dan pondokan semacam asrama disebut ribath atau zawiyah dan juga dinamai taqiyah yang dalam bahasa Persia disebut khonaqah.[18]

2. Substansi Pemikiran Tarekat

Sebagai jalan spiritual, tarekat ditempuh oleh para sufi atau zahid di sepanjang zaman. Setiap orang yang menempuhnya mungkin mempunyai pengalaman yang berbeda-beda. Sekalipun tujuannya adalah sama, yaitu untuk menuju atau mendekati Tuhan atau bersatu dengan-Nya.[19]

Sedangkan tarekat dalam arti metode spiritual, sebagaimana ynag dipraktikkan tarekat-tarekat tertentu, meliputi program penyucian jiwa, dzikir, tafakkur, meditasi, mendengarkan musik dan menari, qiyamul lail dan sebagainya.

Dalam hal ini kita melihat beberapa praktik yang berbeda antara satu tarekat dengan tarekat yang lain, tetapi sebenarnya substansi dan tujuan mereka adalah sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah (Taqarrub Ila Allah).[20]


                                     
[1]Muhammad fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm.6.
[2] A. Rivey Siregar, Tasawuf (Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 34.
[3] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Harum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm.33.
[4]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm.18.
[5] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Harum Siregar, Akhlak..., hlm.33-34.
[6] Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2010), hlm. 109-110.
[7] A. Rivey Siregar, Tasawuf..., hlm. 152-156.
[8] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Harum Siregar, Akhlak..., hlm.37.
[9] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Harum Siregar, Akhlak..., hlm.38-39.
[10]Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Harum Siregar, Akhlak..., hlm.33-41.
[11] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf..., hlm.18.
[12]Muhammad Solikhin, Tasawuf Aktual Menuju Insan Kamil, (Semarang: Pustaka Nuun, 2004), hlm.15-16.
[13] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Harum Siregar, Akhlak..., hlm. 206-207.
[14] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Harum Siregar, Akhlak..., hlm.217-219.
[15] Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.162
[16] A. Rivey Siregar, Tasawuf ..., hlm. 264.
[17] A. Rivey Siregar, Tasawuf..., hlm. 266-268.
[18] A. Rivey Siregar, Tasawuf..., hlm. 264.
[19] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm.16.
[20] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk..., hlm.177.

PEMIKIRAN ISLAM MASA PERTENGAHAN (1250-1800 M)

I. PENDAHULUAN

Pada masa klasik umat Islam telah mengukir prestasi yang gemilang. Mereka telah berhasil mencapai kejayaan diberbagai bidang peradaban. Kejayaan ini memantulkan sinarnya ke seantero dunia yang berasal dari Timur dan Barat. Poros Timur berpusat di Baghdad sedangkan poros Barat berpusat di Cordiva Spanyol. Kedua poros itu meskipun berasal dari dua dinasti yang berseteru yaitu Abbasiyah di Timur dan Umayyah di Barat, namun keduanya memiliki komitmen yang tinggi untuk memajukan peradaban Islam.

Pada zaman inilah menghasilkan ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam Ibnu Hanbal dalam bidang hukum, Imam Al-Asy’ari, Imam Al-Maturidi, pemuka-pemuka Muktazilah seperti Wasil bin Ata’, Abu al-Huzail, An-Nazzam, Al-Jubba’i dalam bidang teologi, Zunnun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami dan Al-Hallaj dalam mistisisme atau tasawuf, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Miskawaih dalam falsafat, dan Ibn al-Haisam, Ibn Hayyan, Al-Khawarizmi, Al-Mas’udi dan Ar-Razi dalam bidang ilmu pengetahuan.

Memasuki masa pertengahan pada fase kemunduran dan fase tiga kerajaan besar inilah terjadi kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang.

II. RUMUSAN MASALAH

A. Bagaimana Model Pemikiran Hukum Pada Masa Abad Pertengahan?
B.Bagaimana Prinsip-prinsip Kalam yang dipegangi Masyarakat Islam Pada Masa Abad Pertengahan?
C. Bagaimana Perhatian Umat Islam terhadap Filsafat Pada Masa Pertengahan?
D. Bagaimana Perhatian Umat Islam terhadap Sains Pada Abad Pertengahan?

III. PEMBAHASAN

A. Model Pemikiran Hukum Pada Masa Abad Pertengahan

Hukum islam adalah hukum agama yang bersumber pada wahyu. Wahyu yang datang dari Tuhan Yang Maha Benar bersifat absolut dan mutlak benar. Yang bersifat absolut dan multak benar tidak berubah dan tidak boleh diubah. Ini melahirkan anggapan bahwa hukum islam adalah statis, tidak dapat mengalami perubahan. Dengan kata lain, hukum islam yang disusun belasan abad yang lalu sudah ketinggalan zaman.[1]

Sejak abad ke-10, kaum Muslim telah memiliki kerangka yang semestinya memberdayakan mereka untuk maju dalam berbagai telaah dan mengembangkan keahlian untuk membekali masyarakat dengan jawaban-jawaban tepat atas berbagai pertanyaan. Ilmu-ilmu ini dan tipologinya seharusnya menjadi fondasi, yang hidup untuk pengkajian lebih lanjut. Sayangnya, kerangka ini sering menjadi seperti dinding-dinding penjara intelektual yang mencegah ulama untuk memberikan atau memperkirakan solusi Islam yang orisinal dan akurat untuk problem kontemporer. Selama lebih dari tujuh abad, meskipun ada upaya dari para ulama terkemuka secara terus-menerus, kaum Muslim mengikuti jalan mengikuti jalan peniruan (taqlid) secara membuta tanpa dapat menemukan lagi pesan sejati dan dinamis yang tergantung dalam Al-Qur’an dan Sunnah.[2]

Sebagaimana diketahui wahyu Allah yang disampaikan keapada Nabi terkandung seluruhnya dalam Al-qur’an. Dengan demikian Al-qur’an adalah sumber utama dari agama islam. Dan hukum islam juga memerlukan hadis sebagai sumber keduanya. Ketika Al qur’an dan hadist belum dapat memenuhi kebutuhan para ulama hukum islam, Karena itu mereka pergi pada ijtihad. Ijtihad adalah sumber ketiga dari hukum islam disamping Al qur’an dan hadis.

Dengan demikian keadaan hukum islam, hanya sebagian kecil yang bersifat absolut (Al qur’an dan hadis mutawatir), sedangkan sebagian besar lainnya disebut relative, hasil ijtihad para ulama. Di dalamnya sering dijumpai perbedaan pemikiran antara satu ulama dengan ulama lainnya. Dan perbedaan inilah yang menimbulkan mazhab-mazhab hukum islam. Berbicara tentang mazhab, dikalangan sunni ada emapat mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali, dan masih banyak mazhab lain yang bukan dari kalangan Sunni.

Dapat dilihat bahwa tidaklah benar anggapan kalau hukum islam bersifat statis. Tidak bisa berkembang sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Hakikat hukum islam tidaklah menghendaki keadaan statis, tapi sebaliknya, menghendaki perkembangan. Pada masa lampau hukum Islam memang berkembang. Hanya pernah terjadi dalam sejarah bahwa ijtihad sebagai sumber ketiga yang menjadi pendorong bagi perkembangannya hukum dalam islam, pintunya di anggap tertutup pada abad ketiga belas Masehi. Anggapan inilah yang membuat hukum untuk sementara waktu menjadi statis.[3]

B. Prinsip-Prinsip Kalam Yang Dipegangi Masyarakat Islam Pada Masa Abad Pertengahan

Metode berfikir dalam bidang teologi yang berkembang pada masa ini adalah metode berfikir tradisional. Cara berfikir ini tampaknya, mempengaruhi perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan. Metode berfikir rasional yang dikembangkan oleh aliran teologi Mu’tazilah sudah lama padam. Yang ada adalah metode berfikir tradisional yang dikembangkan oleh aliran teologi Asy’ariyah. Walaupun Asy’ariyah berusaha mendamaikan pemikiran qadariyah yang dinamis dengan jabariyah yang fatalis, tetapi aliran ini tetap terjerumus ke dalam pemikiran jabariyah. Dalam pemikiran Asy’ariyah, perbuatan manusia tidak dipandang efektif, perkembangan sejarah lebih ditentukan oleh perbuatan dan kemahakuasaan Tuhan. Aliran ini berkembang cepat dan dianut oleh mayoritas umat Islam sehingga paham fatalisme dalam Islam menjadi berkembang. Perkembangan metode berfikir seperti ini menyebabkan dinamika umat islam yang terjadi pada masa lalu menurun, digantikan dengan fatalisme. Paham kemerdekaan manusia ditolak dan kepercayaan kepada akal manusia tidak ada lagi.[4]

Pada zaman pertengahan yang merupakan zaman kemunduran, teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiahnya itu hilang dari dunia islam dan digantikan oleh teologi kehendak mutlak Tuhan (jabariyah atau fatalisme), yang besar pengaruhnya pada umat islam di dunia. Mulai dari pertengahan abad ke 12 sampai zaman kita sekarang ini.[5]

C. Bagaimana Umat Islam Kurang Memperhatikan Aspek Filsafat Pada Masa Pertengahan

Filsafat masa pertengahan (479-1492 M) mengalami fase kegelapan. Dimana para ahli fikir saat itu tidak lagi memiliki kebebasan untuk berfikir. Pada masa klasik Islam, kebebasan berfikir berkembang dengan masuknya filsafat Yunani. Namun, kebebasan tersebut ini menurun sejak Al-Ghazali melontarkan kritik tajam terhadap pemikiran filsafat yang tertuang dalam bukunya Tahafut Al-Falasifah. Kritik Al-Ghazali itu memang mendapat bantahan dari filosof besar Islam dan terakhir, Ibnu Rusyd, dalam bukunya Tahafut Al-Tahafud tetapi tampaknya, kritik Al-Ghazali jauh lebih populer dan berpengaruh daripada bantahan Ibnu Rusyd.[6]

Melalui dua kitab yang berlawanan tadi, umat Islam dihadapkan pada dua pola pemikiran yaitu tradisional dan rasional. Pemikiran Al-Ghazali yang berpengaruh terutama di belahan timur, yang mempengaruhi lebih dari dua per tiga umat Islam, sedangkan pemikiran Ibnu Rusyd yang rasional berpengaruh pada umat Islam terutama belahan barat yang tentu jumlahnya sedikit, kurang dari sepertiga. Adanya kenyataan perbandingan ini, secara kuantitatif aliran rasionalisme versi Ibnu Rusyd terkalahkan oleh aliran tradisionalisme versi Al-Ghazali dalam mempengaruhi umat Islam.[7]

Akan tetapi tidak berkembangnya filsafat di dunia Islam Sunni sesudah jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad ke-13 tidaklah bisa diletakkan pada serangan Al-Ghazali terhadap pemikiran para filosof. Karena filsafat tidak berkembang pada abad 13 bukanlah diseluru dunia Islam, tetapi hanya didunia Islam Sunni. Perkembangan yang terjadi di dunia Islam Syi’ah tidak diketahui di dunia Islam Sunni, karena hubungan antara kedua umat Islam Sunni dan Syi’ah selama ini kurang baik.

Tetapi, bagaimanapun sebab tidak berkembangnya filsafat di dunia Sunni harus dicari diluar Tahafut Al-Falasifah. Yang jelas kritik Al-Ghazali tidak dijadikan sebab apalagi Al-Ghazali tidak mengharankan filsafat. Ia sendiri mempelajari filsafat.[8]

D. Rendahnya Perhatian Umat Islam Terhadap Sains Pada Abad Pertengahan

Pada dasarnya Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan dengan memberikan penghargaan besar kepada para pencarinya. Umat Islam tidak hanya memanfaatkan kontribusi intelektual yang telah dilakukan oleh peradaban Romawi, Persia, India, dan Cina, tetapi, mereka sendiri juga memperkaya dan mengembangkan tradisi keilmuannya dalam berbagai bidang sains seperti matematika, fisika, kimia, astronomi, biologi dan kedokteran. Oleh karena itu, tidak heran mereka menduduki tempat terhormat dalam berbagai bidang selama hampir empat abad lamanya, yakni dari pertengahan abad ke-8 hingga pertengahan abad ke 12.[9]

Namun kebanyakan umat Islam belakangan ini tidak tertarik untuk mendalami ilmu pengetahuan, mereka lebih tertarik mengejar kekuasaan dan harta sebanyak-banyaknya. Sementara itu, para penguasa di negara-negara Muslim juga tidak menghargai terhadap para ilmuan, mereka lebih menghargai para olahragawan dan artis. Mereka tidak lagi meniru sikap para khalifah pada zaman kejayaan Islam yang mendorong dan menghargai dengan penghargaan besar terhadap para ilmuan yang menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat.

Kecenderungan tidak menghargai ilmu pengetahuan ini telah jelas telah menyimpang ajaran Islam. Penyimpangan pun tetap dilakukan dalam wilayah pengetahuan atau pemahaman agama dengan melakukan taqlid. Taqlid ini menjadi sumber masalah di dalam masyarakat Islam. [10]

Adapun terjadinya stagnasi dan penyebab sains tidak berkembang yaitu: menurunnya dukungan finansial dari Negara, ketidakberdayaan sektor swasta untuk menanggung beban ini, pemaksaan kaum rasionalis untuk memasukkan pandangan-pandangan mereka yang bertentangan dengan pandangan masyarakat, dibarengi dengan reaksi balik atasnya, telah menceraikan sains dari sekolah-sekolah agama.[11]


                           
[1] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung,: Mizan, 1996), hlm.195.
[2] Tariq Ramadan, Teologi Dialog Islam Barat, (Bandung: Mizan, 2002), Hlm. 65.
[3] Harun Nasution, Islam Rasional..., hlm.194-198.
[4]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. RajagrafindoPersada, 2008), hlm. 152.
[5] Harun Nasution, Islam Rasional..., hlm.116.
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban..., Hlm. 152-153
[7] Mujadil Qomar, Merintis Kejayaan Islam Kedua, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 74.
[8] Harun Nasution, Islam Rasional..., Hlm. 383-384.
[9] M. UmerChapra, Peradaban Muslim, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm.132.
[10] Mujadil Qomar, Merintis Kejayaan..., hlm. 65-66.
[11] M. Umer Chapra, Peradaban Muslim..., hlm.133.