I. PENDAHULUAN
Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa sumber ilmu kalam adalah Al-Qur’an dan hadis yang dibantu dengan dalil-dalil aqliyah dan dibantu dengan pemikiran filsafat serta unsur-unsur lainnya. Pengembangan ini terjadi lebih kurang abad ke-2 setelah Rasul saw wafat.
Filsafat dan unsur-unsur lain yang masuk ke dunia Islam banyak memberikan sumbangan positif bagi perkembangan ilmu kalam, disamping juga memberi pengaruh negatif bahkan sampai menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Seperti munculnya beberapa kelompok dalam teologi Islam yang saling mengkafirkan diantara sesamanya.
Perbedaan paham dalam Islam merupakan rahmat dari Allah. Hal ini, menunjukkan bahwa dalam agama Islam terdapat kemerdekaan untuk mengemukakan pendapatnya, sesuai dengan konteks historisitas yang melingkupi pada masing-masing ulama. Sebab, pemikiran seseorang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial masyarakat lingkungannya.
Keberagaman pemikiran dalam Islam ini memunculkan pemikiran manhaj Ahl Al Kalam dari berbagai kelompok tradisionalis dan kelompok rasional terhadap etika, fungsi akal dan wahyu yang akan dibahas dalam makalah ini.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apakah yang dimaksud dengan etika, akal, dan wahyu?
B. Bagaimana pandangan kelompok tradisionalis dan rasionalis terhadap etika, fungsi akal dan wahyu?
C. Bagaimana pandangan kelompok tradisionalis dan rasionalis terhadap kafir dan mukmin?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika, Akal, dan Wahyu
Kata etika dan moral berasal dari bahasa Latin yang berasal dari kata etos yaitu kebiasaan dan mores artinya kebiasaannya.
Etika (etimologi), berasal dari kata Yunani “Ethos” yang berarti watak kesusilaan atau adat. Identik dengan perkataan moral yang berasal dari kata Latin “Mos” yang dalam bentuk jamaknya “Mores” yang berarti juga Adat atau cara hidup.
Etika dan Moral sama artinya,tetapi dalam pemakain sehari hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk mengkaji system nilai-nilai yang ada.[1]
Dapat disimpulkan bahwa Etika adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia kepada lainnya, menyatakan suatu tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.[2]
Kata akal berasal dari bahasa Arab al-‘aql yang artinya menahan dan mengikat. Secara istilah akal dapat diartikan sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman empirik dalam berbagai kondisi. Akal dalam pengertian Islam tidak otak, tetapi daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya, yang digambarkan dalam Al-Qur’an, memperoleh pengetahuan dengan memerhatikan alam sekitarnya. Akal inilah yang dikontraskan dalamIslam dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu dari Tuhan.
Sedangkan wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy yang berarti suara, api, dan kecepatan. Disamping itu juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Al-wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihanNya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup.
B. Pandangan Kelompok Tradisional dan Rasional terhadap Etika, Fungsi Akal dan Wahyu
Kerangka berpikir tradisional mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut:
Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti dzanni. Dengan adanya teks agama tersebut membuat suatu pemahaman menjadi tidak pasti, hasil pemikiran menjadi dzanni, tidak mutlak Tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat jelas Memberikan daya yang kecil kepada akal (tidak memberikan kebebasan dalam berpikir).
Kalau dalam ilmu fiqih baru peranan akal dalam hukum Islam yang dipermasalahkan, dalam ilmu kalam permasalahannya meningkat menjadi masalah akal dan wahyu. Polemik penting mengenai hal ini terjadi antara aliran-aliran teologi Islam, terutama antara Mu’tazilah disatu pihak dan Asy’ariyah dan Maturidiyah di pihak lain. Yang dipermasalahkan adalah kesanggupan akal dan fungsi wahyu terhadap dua persoalan pokok dalam agama.[3]
Kelompok tradisionalis senantiasa mempertahankan konsepsi akidah Islamiah yang orisinal-tradisional dengan penuh konsekuen sesuai dengan doktrin akidah pada masa Nabi dan masa sahabat serta masa tabiin. Akidah Islamiyah pada masa ini sangat sederhana sekali. Kaum muslimin waktu itu menerima akidah itu dengan penuh keyakinan secara turun-temurun dari Nabi ke sahabat, dari sahabat ke tabiin berdasarkan iman, ikhlas, dan yakin, tanpa memerlukan argumentasi logika filosofis. Karena pada masa itu mereka belum kenal apa yang disebut ilmu logika (mantiq) maupun filsafat. Karena istilah-istilah itu lahir belakangan pada saat teologi Islam mencapai puncak perkembangnnya yang didominasi oleh kaum mu’tazilah (rasionalisme).
Akidah salafiah (tradisional) sangat bertentangan dengan konsepsi akidah ahli kalam (mutakallimin). Karena yang disebut terdahulu pemahaman akidahnya semata-mata berdasarkan pada tekstual (harfiah), dan sama sekali tidak mau menerima segala sesuatu yang kontekstual. Hal ini menimbulkan kesan bahwa seakan-akan kaum salafiah kaku dan picik dalam memahami konsepsi Islam, terutama dalam konteks akidahnya. Mereka kurang memberi kontribusi bagi peran akal (rasio). Sebaliknya kaum mu’tazilah justru lebih mengutamakan pemahaman secara kontekstual ketimbang tekstual. Jadi, akal (rasio) mendapat kontribusi yang lebih besar dalam pemahaman akidah dikalangan para ahli kalam.[4]
Bagi kaum Mu’tazilah semua pengetahuan dapat diperoleh melalui akal dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Baik dan buruk adalah sifat yang esensil bagi kebaikan dan kejahatan. Kebaikan dan kejahatan wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Sedangkan menurut Asy’ariyah, semua kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu. Akal tidak dapat menentukan sesuatu menjadi wajib dan dengan demikian tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat adalah wajib. Selanjutnya dikatakan pula bahwa akal dapat mengetahui adanya Tuhan, tetapi mengetahui tentang kewajiban terhadap Tuhan diperoleh hanya melalui wahyu.
Jelas bahwa antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah terdapat perbedaan besar mengenai kesanggupan akal manusia. Kalau bagi yang pertama daya pikir manusia adalah kuat, bagi aliran yang kedua akal adalah lemah.
Kaum Maturidiah Samarkand memiliki pendapat lain mengenai akal ini, bagi mereka hanya satu yang tidak dapat diketahui oleh akal, yaitu kewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat. Akal dapat mengetahui adanya Tuhan, wajibnya manusia berterima kasih kepada Tuhan dan kebaikan serta kejahatan. Namun kaum Maturidiah Bukhara tidak sepaham, menurutnya hanya pengetahuan-tengetahuan saja yang dapat diperoleh akal. Adapun kewajiban-kewajiban itu wahyulah yang menentukan. Jadi yang dapat diketahui akal hanya ada dua, adanya Tuhan dan kebaikan serta kejahatan.[5]
C. Pandangan kelompok rasional dan tradisionalis terhadap kafir dan mukmin
Aliran Mu’tazilah cepat berkembang menjadi aliran yang membahas persoalan- persoalan ilmu kalam. Dalam membahas masalah banyak menggunakan akal, sehingga terkenaldengan sebutan aliran rasionalis islam.
Orang-orang muktazilah menyebut dirinya Ahlul Alhli Wat Tauhid (ahli keadilan dan keesaan) yang paham dan pokok ajarannya ada 5, yaitu:
1. At-Tauhid ( keesaan tuhan)
2. Al-‘Adl (keadilan Tuhan )
3. Al-Wa’du wal Wa’id ( janji dan ancaman )
4. Al-Manzilah bainal Manzilatain ( tempat di antara dua tempat )
5. Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar ( memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan )[6]
Tauhid ( Keesaan Tuhan ). Sebagai pokok dan ajaran pertama dalam islam. Namun karena mu’tazilah telah menafsirkan dan mempertahankan sedimikian jauh, maka prinsip ini dipertalihkan kepadanya. Mungkin mereka maksudkan untuk menghadapi golongan Rafidlah yang ekstrim dan menggambarkan Tuhan dalam bentuk jism, bisa di indra dan golongan-golongan agama yang dualisme serta trinitas.
Al-Adlu (keadilan Tuhan). Semua orang muslim dan golonganya mempercayai terhadap keadilan Tuhan. Tetapi karena mu’tazilah memperdalam arti keadilan dan menentukan batas-batasnya, sehingga menimbulkan permasalahan. Bagi mu’tazilah, keadilan Tuhan adalah menetapkan pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatanya.
Al-Wa’d Wal Wa’id (janji dan ancaman). Prinsip ini merupakan kelanjutan dari prinsip tentang keadilan Tuhan. Mu’tazilah meyakini bahwa janji Tuhan memberi pahala kepada orang yang taat pasti terjadi, dan siksa bagi orang yang maksiat pasti dilaksanakan.
Al-Manzilah Bainal Manzilatain (tempat diantara dua tempat). Prinsip ini orang islam yang melakukan dosa besar (selain Syirik) bukan lagi melakukan mukmin dan juga tidak menjadi kafir. Tempatnya dibawah orang mukmin dan diatas orang kafir. Adapun tmpat diakhirat tetap dineraka, tetapi lebih ringan siksanya daripada orang kafir.
Al-Amru bil Ma’ruf wannabyu anilmunkar (memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan). Prinsip ini lebih banyakberkaitan dengan amalan lahir dan bidang fiqih daripada lapangan aqidah serta ketauhidan.
Pendapat mu’tazilah samadengan aliran khawarij dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu mereka berpendapat agar amar ma’ruf nahi munkar dijalankan dengan hati bila sudah dicukupkan demikian dan apabila belum secara bertingkat dilakukan dengan lisan, dengan kekuasaan atau kalau perlu dengan pedang.[7]
Pemikiran tradisionalis diantaranya Asy’Ariyah dan Maturidiyah, keduanya disebut Ahlu Sunnah Waljama’ah. Pemikiran tradisionalis menurut Syeh Abdul Qadir Jailani yaitu
1. Ahlisuunah Wal Jama’ah meyakini surga dan neraka.
2. Keduanya tidak rusak selamanya.
3. Surga adalah surga yang ditempati oleh adam dan hawa
4. Pengingkaran mu’tazilah kepada surga dan neraka sekarang. Dan pengingkaran mereka terhadap keabadianya
5. Menghukumi mu’tazilah tidak masuk surga[8]
Pandangan tradisional selanjutnya terhadap siapa yang mukmin dan yang kafir menurut khawarij berkaitan dengan masalah khilafiyah antara Ali dan Muawiyah mengenai tahkim yang mereka anggap keluar dari syariat islam yang benar berdasar Al-Qur’an dan Hadis Nabi.
Kaum khawarij pada umumnya terdiri atas orang badui. Hidup di padang pasir yang tandus dan kering membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, tidak bergantung pada orang lain.
Perubahan agama tidak membawa perubahan dalam sifat-sifat kebaduian mereka. Ajaran-ajaran Islam, sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis, mereka artikan menurut lafazdnya dan harus dilaksanakan sepenuhnya.oleh karena itu iman dan paham meraka merupakan iman dan paham orang yang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan sikap fanatik ini membuat mereka tidak bisa mentolerir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walaupun hanya penyimpangan dalam bentuk kecil.[9]
[1] Achmad Charis Zubair, Kuliah etika, (Jakarta : PT Raja Grafindopersada, 1995)H. 13
[2] Farid Ma’ruf, Etika, (Ilmu Akhlak), (Jakarta : 1975), h. 3
[3] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 75
[4] Z. A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), hlm. 23-26
[5] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 76-77
[6] Ghazali Munir, Ilmu Kalam: Aliran-Aaliran dan Pemikiran ,( Semarang: Rasail, 2010), hal. 60-62
[7] M. Muhaimin, Ilmu kalam sejarah dan aliran-aliran, (jogkakarta:Pustaka Pelajar, 1999), hal. 79.
[8] Said bin musfir Al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, (Bekasi: Darul Falah, 2011), hlm. 316
[9] Harun Nasution, Teologi Islam; Alira-Aliran Sejarah analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 14-15