Jumat, 18 Oktober 2013

KEMAMPUAN AWAL DAN KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK

I. PENDAHULUAN

Setiap siswa dapat dipastikan memiliki perilaku dan karakteristik yang cenderung berbeda. Dalam pembelajaran, kondisi ini penting untuk diperhatikan karena dengan mengidentifikasi kondisi awal siswa saat akan mengikuti pembelajaran dapat memberikan informasi penting untuk guru dalam pemilihan strategi pengelolaan, yang berkaitan dengan bagaimana menata pengajaran, khususnya komponen-komponen strategi pengajaran yang efektif dan sesuai dengan karakteristik perseorangan siswa sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.

Kegiatan menganalisis kemampuan dan karakteristik siswa dalam pengembangan pembelajaran merupakan pendekatan yang menerima siswa apa adanya dan untuk menyusun sistem pembelajaran atas dasar keadaan siswa tersebut. Dengan demikian, mengidentifikasi kemampuan awal dan karakteristik siswa adalah bertujuan untuk menentukan apa yang harus diajarkan tidak perlu diajarkan dalam pembelajaran yang akan dilaksanakan. Karena itu, kegiatan ini sama sekali bukan untuk menentukan pra syarat dalam menyeleksi siswa sebelum mengikuti pembelajaran.

Karakteristik siswa merupakan salah satu variabel dari kondisi pengajaran. Variabel ini didefinisikan sebagai aspek-aspek atau kualitas individu siswa. Aspek-aspek berkaitan dapat berupa bakat, minat, sikap, motivasi belajar, gaya belajar, kemampuan berpikir dan kemampuan awal (hasil belajar) yang telah dimilikinya.

II. RUMUSAN MASALAH

A. Apa yang dimaksud dengan kemampuan awal dan bagaimana karakteristik peserta didik ?
B. Bagaimana tujuan dan teknik untuk mengidentifikasi kemampuan awal & karakteristik peserta didik?
C. Bagaimana contoh instrumen untuk mengidentifikasi kemampuan awal & karakteristik peserta didik ?

III. PEMBAHASAN
A. Pengertian kemampuan awal dan karakteristik peserta didik

Peserta didik merupakan sumber daya utama dan terpenting dalam proses pendidikan. Peserta didik bisa belajar tanpa guru. Sebaliknya, guru tidak bisa mengajar tanpa peserta didik. Karenanya kehadiran peserta didik menjadi keniscayaan dalam proses pendidikan formal atau pendidikan yang dilambangkan dengan menuntut interaksi antara pendidik dan peserta didik.[1]

Kemampuan awal (Entry Behavior) adalah kemampuan yang telah diperoleh siswa sebelum dia memperoleh kemampuan terminal tertentu yang baru. Kemampuan awal menunjukkan status pengetahuan dan keterampilan siswa sekarang untuk menuju ke status yang akan datang yang diinginkan guru agar tercapai oleh siswa. Dengan kemampuan ini dapat ditentukan dari mana pengajaran harus dimulai. Kemampuan terminal merupakan arah tujuan pengajaran diakhiri. Jadi, pengajaran berlangsung dari kemampuan awal sampai ke kemampuan terminal itulah yang menjadi tanggung jawab pengajar.[2]

Secara kodrati, manusia memiliki potensi dasar yang secara esensial membedakan manusia dengan hewan, yaitu pikiran, perasaan, dan kehendak. Sekalipun demikian, potensi dasar yang dimilikinya itu tidaklah sama bagi masing-masing manusia.[3] Terdapat keunikan-keunikan yang ada pada diri manusia. Pertama, manusia berbeda dengan makhluk lain, seperti binatang ataupun tumbuhan. Perbedaan tersebut karena kondisi psikologisnya. Kedua, baik secara fisiologis maupun psikologis manusia bukanlah makhluk yang statis, akan tetapi makhluk yang dinamis, makhluk yang mengalami perkembangan dan perubahan. Ia berkembang khususnya secara fisik dari mulai ketidakmampuan dan kelemahan yang dalam segala aspek kehidupannya membutuhkan bantuan orang lain, secara perlahan berkembang menjadi manusia yang mandiri. Ketiga, dalam setiap perkembangannya manusia memiliki karakter yang berbeda.[4]

Esensinya tidak ada peserta didik di muka bumi ini benar-benar sama. Hal ini bermakna bahwa masing-masing peserta didik memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik peserta didik adalah totalitas kemampuan dan perilaku yang ada pada pribadi mereka sebagai hasil dari interaksi antara pembawaan dengan lingkungan sosialnya, sehingga menentukan pola aktivitasnya dalam mewujudkan harapan dan meraih cita-cita. Karena itu, upaya memahami perkembangan peserta didik harus dikaitkan atau disesuaikan dengan karakteristik siswa itu sendiri. Utamanya, pemahaman peserta didik bersifat individual, meski pemahaman atas karakteristik dominan mereka ketika berada di dalam kelompok juga menjadi penting. Ada empat hal dominan dari karakteristik siswa.

a. Kemampuan dasar seperti kemampuan kognitif atau intelektual.
b. Latar belakang kultural lokal, status sosial, status ekonomi, agama dll.
c. Perbedaan-perbedaan kepribadian seperti sikap, perasaan, minat, dll
d. Cita-cita, pandangan ke depan, keyakinan diri, daya tahan,dll [5]

Terdapat beberapa pendapat tentang arti dari karakteristik, yakni:

a. Menurut Tadkiroatun Musfiroh, karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).
b. Menurut Sudirman Karakteristik siswa adalah keseluruhan pola kelakuan dan kemampuan yang ada pada siswa sebagai hasil dari pembawaan dari lingkungan sosialnya sehingga menentukan pola aktivitas dalam meraih cita-citanya.
c. Menurut Hamzah. B. Uno (2007) Karakteristik siswa adalah aspek-aspek atau kualitas perseorangan siswa yang terdiri dari minat, sikap, motivasi belajar, gaya belajar kemampuan berfikir, dan kemampuan awal yang dimiliki.
d. Ron Kurtus dalam berpendapat bahwa karakter adalah satu set tingkah laku atau perilaku (behavior) dari seseorang sehingga dari perilakunya tersebut, orang akan mengenalnya “ia seperti apa”. Menurutnya, karakter akan menentukan kemampuan seseorang untuk mencapai cita-citanya dengan efektif, kemampuan untuk berlaku jujur dan berterus terang kepada orang lain serta kemampuan untuk taat terhadap tata tertib dan aturan yang ada.[6]

Karakter seseorang baik disengaja atau tidak, didapatkan dari orang lain yang sering berada di dekatnya atau yang sering mempengaruhinya, kemudian ia mulai meniru untuk melakukannya. Oleh karena itu, seorang anak yang masih polos sering kali akan mengikuti tingkah laku orang tuanya atau teman mainnya, bahkan pengasuhnya. Erat kaitan dengan masalah ini, seorang psikolog berpendapat bahwa karakter berbeda dengan kepribadian, karena kepribadian merupakan sifat yang dibawa sejak lahir dengan kata lain kepribadian bersifat genetis.

B. Tujuan dan Teknik mengidentifikasi kemampuan awal dan karakteristik peserta didik

Identifikasi kemampuan awal dan karakteristik peserta didik adalah salah satu upaya para guru yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman tentang; tuntutan, bakat, minat, kebutuhan dan kepentingan peserta didik, berkaitan dengan suatu program pembelajaran tertentu. Tahapan ini dipandang begitu perlu mengingat banyak pertimbangan seperti; peserta didik, perkembangan sosial, budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kepentingan program pendidikan/ pembelajaran tertentu yang akan diikuti peserta didik.

Identifikasi kemampuan awal dan karakteristik peserta didik bertujuan:

a. Memperoleh informasi yang lengkap dan akurat berkenaan dengan kemampuan serta karakteristik awal siswa sebelum mengikuti program pembelajaran tertentu.
b. Menyeleksi tuntutan, bakat, minat, kemampuan, serta kecenderungan peserta didik berkaitan dengan pemilihan program-program pembelajaran tertentu yang akan diikuti mereka.
c. Menentukan desain program pembelajaran dan atau pelatihan tertentu yang perlu dikembangkan sesuai dengan kemampuan awal peserta didik.

Teori Gardner, sebuah pendekatan yang relatif baru yaitu teori Kecerdasan ganda (Multiple Intelligences), yang menyatakan bahwa sejak lahir manusia memiliki jendela kecerdasan yang banyak. Ada delapan jendela kecerdasan menurut Gardnerd pada setiap individu yang lahir, dan kesemuanya itu berpotensi untuk dikembangkan. Namun dalam perkembangan dan pertumbuhannya individu hanya mampu paling banyak empat macam saja dari ke delapan jenis kecerdasan yang dimilikinya. Kecerdasan tersebut yaitu :

a. Kecerdasan Verbal/bahasa (Verbal/linguistic intelligence)
b. Kecerdasan Logika/Matematika (logical/mathematical intelligence)
c. Kecerdasan visual/ruang (visual/ spatial intelligence)
d. Kecerdasan tubuh/gerak tubuh (body/kinestetic intelligence)
e. Kecerdasan musikal/ritmik (musical/rhytmic intelligance)
f. Kecerdasan interpersonal (interpesonal inteligance)
g. Kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence).
h. Kecerdasan Naturalis (naturalistic Intelligence). [7]

Dengan teori ini maka terjadi pergeseran paradigma psikologis hierarki menjadi pandangan psikologis diametral. Tidak ada individu yang cerdas, bodoh, sedang, genius, dan sebagainya, yang ada hanyalah kecerdasan yang berbeda.

Untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik, seorang pendidik dapat melakukan tes awal (pre-test) untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik tersebut. Tes yang diberikan dapat berkaitan dengan materi ajar sesuai dengan panduan kurikulum. Selain itu pendidik dapat melakukan wawancara, observasi dan memberikan kuesioner kepada peserta didik, guru yang mengetahui kemampuan peserta didik atau calon peserta didik, serta guru yang biasa mengampu pelajaran tersebut. Teknik untuk mengidentifikasi karakteristik siswa adalah dengan menggunakan kuesioner, interview, observasi dan tes.[8] Latar belakang siswa juga perlu dipertimbangkan dalam mempersiapkan materi yang akan disajikan, di antaranya yaitu faktor akademis dan faktor sosial :

a. Faktor akademis
Faktor-faktor yang perlu menjadi kajian guru adalah jumlah siswa yang dihadapi di dalam kelas, rasio guru dan siswa menentukan kesuksesan belajar. Di samping itu, indeks prestasi, tingkat inteligensi siswa juga tidak kalah penting.

b. Faktor sosial
Usia kematangan (maturity) menentukan kesanggupan untuk mengikuti sebuah pembelajaran. Demikian juga hubungan kedekatan sesama siswa dan keadaan ekonomi siswa itu sendiri mempengaruhi pribadi siswa tersebut[9]

Mengidentifikasi kemampuan awal dan karakteristik siswa dalam pengembangan program pembelajaran sangat perlu dilakukan, yaitu untuk mengetahui kualitas perseorangan sehingga dapat dijadikan petunjuk dalam mendeskripsikan strategi pengelolaan pembelajaran. Aspek-aspek yang diungkap dalam kegiatan ini bisa berupa bakat, motivasi belajar, gaya belajar kemampuan berfikir, minat dll

Hasil kegiatan mengidentifikasi kemampuan awal dan karakteristik siswa akan merupakan salah satu dasar dalam mengembangkan sistem instruksional yang sesuai untuk siswa. Dengan melaksanakan kegiatan tersebut, masalah heterogen siswa dalam kelas dapat diatasi, setidak-tidaknya banyak dikurangi.

C. Contoh instrumen untuk mengidentifikasi kemampuan awal dan karakteristik peserta didik

Teknik yang paling tepat untuk mengetahui kemampuan awal siswa yaitu teknik tes. Teknik tes ini menggunakan tes prasyarat dan tes awal (pre-requisite dan pretes). Sebelum memasuki pelajaran sebaiknya guru membuat tes prasyarat dan tes awal, Tes prasyarat adalah tes untuk mengetahui apakah siswa telah memiliki pengetahuan keterampilan yang diperlukan atau disyaratkan untuk mengikuti suatu pelajaran. Sedangkan tes awal (pre test) adalah tes untuk mengetahui seberapa jauh siswa telah memiliki pengetahuan atau keterampilan mengenai pelajaran yang hendak diikuti. Benjamin S. Bloom melalui beberapa eksperimen membuktikan bahwa “ untuk belajar yang bersifat kognitif apabila pengetahuan atau kecakapan pra syarat ini tidak dipenuhi, maka betapa pun kualitas pembelajaran tinggi, maka tidak akan menolong untuk memperoleh hasil belajar yang tinggi ”.. Hasil pre tes juga sangat berguna untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan yang telah dimiliki dan sebagai perbandingan dengan hasil yang dicapai setelah mengikuti pelajaran. Jadi kemampuan awal sangat diperlukan untuk menunjang pemahaman siswa sebelum diberi pengetahuan baru karena kedua hal tersebut saling berhubungan.[10]

Contoh angket sederhana untuk mengetahui kemampuan awal siswa

Seberapa luas pengetahuanmu tentang iman:
1. Saya belum pernah mendengar istilah itu.
2. Saya pernah mendengar tapi belum tahu tentang iman.
3. Saya hanya tahu sedikit tentang iman.
4. Saya belum tahu pengertian iman secara luas.

Atau dengan menggunakan peta konsep, ternyata peta konsep juga dapat dijadikan alat untuk mengecek pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa sebelum mengikuti pembelajaran. Caranya, tuliskan sebuah kata kunci utama tentang topik yang akan dipelajari hari itu di tengah-tengah papan tulis. Misalnya "iman". Berikutnya guru meminta siswa menyebutkan atau menuliskan konsep-konsep yang relevan (berhubungan) dengan konsep iman dan membuat hubungan antara konsep iman dengan konsep yang disebut (ditulisnya) tadi. Seberapa pengetahuan awal yang dimiliki siswa dapat terlihat sewaktu mereka bersama-sama membuat peta konsep di papan tulis.

                   
[1] Sudarwan danim, Perkembangan Peserta Didik, ( Bandung: Alfabeta, 2010), hlm.1.
[2] Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Cet 1, Jakarta: CV Misaka Galiza, 2003),hlm. 57
[3] Sunarto dan Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, ( Jakarta: Rineka Cipta,2008),hlm.10.
[4] Wina Sanjaya, Perkembangan dan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 252-253
[5] Sudarwan danim, Perkembangan Peserta...,hlm.4.
[6] Moh Zaen Fuadi, “Identifikasi Perilaku Dan Karakteristik Awal Siswa”, diakses dari http://moh-zaen-fuadi.blogspot.com/2011/11/identifikasi-prilaku-dan-karakter-awal.html, pada tanggal 4 Oktober 2013, pukul 19:30 WIB
[7] George Boeree, Metode Pembelajaran dan Pengajaran, terjemah oleh Abdul Qadir Shaleh, (Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 130
[8] Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran, (Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009), hal. 132
[9] Mukhtar, Desain Pembelajaran...,hlm. 57-58
[10] Materi Fisika, “Kemampuan Awal Siswa”, diakses dari http://dasar-teori.blogspot.com/2011/09/kemampuan-awal-siswa.html, pada tanggal 5 Oktober 2013 pukul 15:30

Jumat, 04 Oktober 2013

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PESANTREN DI INDONESIA

     Pesantren atau pondok adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran –an yang berarti tempat tinggal santri. dengan nada yang sama Soegarda Poerbakawatja menjelaskan pesantren asal katanya adalah santri yaitu seseorang yang belajar agama Islam, sehingga dengan demikian, pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam.[1]Di Jawa termasuk Sunda dan Madura, umumnya digunakan istilah pesantren atau pondok pesantren sedangkan di Aceh digunakan istilah dayah atau rangkang atau meunasah, dan di Minangkabau dikenal dengan istilah surau.[2]

Mengenai asal-usul dan latar belakang pesantren di Indonesia terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ahli sejarah . Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pandangan ini dikaitkan dengan fakta bahwa penyebaran Islam di Indonesia pada awalnya banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat dengan dipimpin oleh kyai . Salah satu kegiatan tarekat adalah melakukan ibadah di masjid di bawah bimbingan kyai . Untuk keperluan tersebut, kyai menyediakan ruang- ruang khusus untuk menampung para santri sebelah kiri dan kanan masjid. Para pengikut tarekat selain diajarkan amalan-amalan tarekat mereka juga diajarkan kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan agama Islam

Pendapat kedua , menyatakan bahwa kehadiran pesantren di Indonesia diilhami oleh lembaga pendidikan “ kuttab”, yakni lembaga pendidikan pada masa kerajaan bani Umayyah. Pada tahap berikutnya lembaga ini mengalami perkembangan pesat, karena didukung oleh masyarakat serta adanya rencana-rencana yang harus dipatuhi oleh pendidik dan anak didik.

Pendapat ketiga , pesantren yang ada sekarang merupakan pengambil alihan dari sistem pesantren orang-orang Hindu di Nusantara pada masa sebelum Islam. Lembaga ini dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu serta tempat membina kader-kader penyebar agama tersebut. Pesantren merupakan kreasi sejarah anak bangsa setelah mengalami persentuhan budaya dengan budaya pra-Islam. Pesantren merupakan sistem pendidikan Islam yang memiliki kesamaan dengan sistem pendidikan Hindu -Budha. Pesantren disamakan dengan mandala dan asrama dalam khazanah lembaga pendidikan pra-Islam.[3]
Hasil penelusuran sejarah menunjukkan bahwa cikal bakal pendirian pesantren pada awal ini terdapat di daerah -daerah sepanjang pantai utara Jawa, seperti Giri (Gresik), Ampel Denta (Surabaya), Bonang (Tuban), Kudus, Lasem, dan Cirebon. Kota-kota tersebut pada waktu itu merupakan kota kosmopolitan yang menjadi jalur penghubung perdagangan dunia, sekaligus tempat persinggahan para pedagang dan mubalig Islam yang datang dari Jazirah Arab seperti Persia dan Irak.[4]

Pesantren di Indonesia tumbuh dan berkembang sangat pesat. Sepanjang abad ke- 18 sampai dengan abad ke -20, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam semakin dirasakan keberadaannya oleh masyarakat secara luas, sehingga kemunculan pesantren di tengah masyarakat selalu direspons positif oleh masyarakat. [5]
Di antara elemen-elemen pokok atau unsur pesantren yaitu, kiai, pondok (asrama), masjid, santri, pengajaran kitab kuning.
a. Kiai
Kiai di dalam dunia pesantren sebagai penggerak dalam mengemban dan mengembangkan pesantren. Dengan demikian, kemajuan dan kemunduran pondok pesantren benar-benar terletak pada kemampuan kiai dalam kiai dalam mengatur pelaksanaan pendidikan di dalam pesantren. Hal ini disebabkan karena besarnya pengaruh seorang kiai yang tidak hanya terbatas dalam pesantrennya, melainkan juga terhadap lingkungan masyarakat.
b. Pondok (Asrama)
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana peserta didiknya (santri) tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang guru yang lebih dikenal dengan sebutan “kiai”. Asrama untuk para santri tersebut berada dalam lingkungan kompleks pesantren
Di pondok, seorang santri patuh dan taat terhadap peraturan-peraturan yang diadakan, ada kegiatan pada waktu tertentu yang harus dilaksanakan oleh santri. Ada waktu belajar, shalat, makan, tidur, istirahat, dan sebagainya. Ada beberapa alasan pokok, pentingnya pondok dalam suatu pesantren. Pertama, banyaknya santri-santri yang berdatangan dari daerah yang jauh untuk menuntut ilmu. Kedua, pesantren tersebut terletak di desa-desa dimana tidak tersedia perumahan untuk menampung santri yang berdatangan dari luar daerah. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kiai dan santri, di mana para santri menganggap bahwa kiai tersebut seolah-olah orang tuanya sendiri.[6]
c. Masjid
Masjid, di masa awal perkembangan Islam, selain sebagai tempat ibadah, berfungsi juga sebagai institusi pendidikan. Masjid sebagai pusat pendidikan Islam sudah berlangsung sejak zaman Rasulullah dan para sahabat, tradisi itu tetap dipegang oleh para kiai pemimpin pesantren untuk menjadikan masjid sebagai pusat pendidikan. Kendatipun pada masa sekarang telah memiliki lokal belajar yang banyak untuk tempat berlangsungnya proses belajar mengajar.
d. Santri
Istilah santri hanya terdapat di pesantren sebagai pengejawantahan adanya peserta didik yang haus akan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang kiai yang memimpin sebuah pesantren. Oleh karena itu, santri pada dasarnya berkaitan erat dengan keberadaan kiai dan pesantren.
Cara interaksi antara santri dengan kiai sangat beda bahkan merepresentasikan sikap “taken for granted” tanpa sikap “kritis-logis”. Indikasinya adalah sikap loyalitas yang tinggi terhadap seorang kiai itulah yang salah satu ciri yang mengakar kuat dalam nuansa pondok pesantren.
e. Pengajaran Kitab Kuning
Kitab kuning sebagai kurikulum pesantren ditempatkan pada posisi istimewa. Karena keberadaannya menjadi unsur utama dan sekaligus menjadi ciri pembeda antara pesantren dan lembaga pendidikan lainnya. Berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-kitab klasik, khususnya karangan karangan madzhab syafi’iyah. Pengajaran kitab kuning berbahasa Arab dan tanpa harakat atau sering disebut dengan kitab gundul merupakan metode yang secara formal diajarkan dalam pesantren di Indonesia.[7]
Sejarah perkembangan pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat non klasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan menggunakan metode pengajaran sorongan dan wetonan atau bendungan. Sorongan, disebut juga sebagai cara mengajar per kepala yaitu setiap santri mendapat kesempatan tersendiri untuk memperoleh pembelajaran secara langsung dari Kiai. Sedangkan metode Bendungan atau Halaqah dan sering juga disebut Wetonan, para santri duduk di sekitar kiai dengan membentuk lingkaran, dengan cara bendungan ini kiai mengajarkan kitab tertentu pada sekelompok santri. Karena itu metode ini biasa juga dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif. Di mana baik kiai maupun santri dalam halaqah tersebut memegang kitab masing-masing.
Secara faktual ada beberapa tipe pondok pesantren yang berkembang dalam masyarakat :
a. Pondok Pesantren Tradisional, pondok pesantren ini masih mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh Ulama’ abad 15 dengan menggunakan bahasa Arab.
b. Pondok Pesantren Modern, pondok pesantren ini merupakan pengembangan tipe pesantren. Penerapan sistem modern ini nampak pada penggunaan kelas-kelas seperti dalam bentuk sekolah, perbedaan dengan sekolah terletak pada pendidikan agama dan bahasa Arab yang lebih menonjol.
c. Pondok Pesantren Komprehensif, pondok pesantren ini disebut komprehensif karena sistem pendidikan dan pengajaran gabungan antara tradisional dan modern. Selain diterapkan pengajaran kitab kuning, sistem persekolahan terus dikembangkan. Bahkan pendidikan keterampilan juga diberikan pada santri.[8]
Besarnya arti pesantren dalam perjalanan bangsa Indonesia, khususnya Jawa, tidak berlebihan jika pesantren dianggap sebagai bagian historis bangsa Indonesia yang harus dipertahankan.[9]

                               
[1] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Islam di Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media Group, 2009), hlm. 61
[2] Abdurrachman Mas’ud, Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 50
[3] http://sulsel.kemenag.go.id/file/file/ArtikelTulisan/klbc1367941885.pdf, Diunduh pada tanggal 22 September 2013 Pukul 19:50 WIB
[4] Abdurrachman Mas’ud, Op. Cit, hlm. 248
[5] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 212.
[6] Haidar Putra Daulay, Op. Cit, hlm. 62-63
[7] Umiarso dan Nur Zazin. Pesantren di Tengah Arus Mutu Pendidikan,(Semarang: RaSAIL Media Group, 2011), hlm. 33-35
[8] M. Bahri Ghazali, Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2001), hlm. 14-15
[9] Hanun Ashorah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 184